Satu bulan ini puluhan juta sudah ku keluarkan untuk membiayai operasi dan perawatan kakakku. Dia belum sadarkan diri juga setelah kecelakaan yang membuat kepalanya gegar otak karena melerai pertengkaran adikku dengan preman. Sekarang apa lagi?
Yang benar saja!
“Jangan keterlaluan!” Bentakku. “Kakak di rumah sakit belum sadarkan diri sampai sekarang juga karena ulahmu. Aku saja tidak tahu uang tabunganku cukup atau tidak untuk biaya rumah sakit sampai dia sadar nanti. Bisa-bisanya kamu–”
“Mau gimana lagi memangnya?” Dia malah balas membentak. “Kalau tidak segera dilunasi, mereka pasti melabrakku lagi.”
“Kamu–”
“Terus,” selanya lagi. “Utang itu… aku pakai sertifikat rumah Papa sebagai jaminannya. Kalau Kakak tidak ada uang, rumah Papa akan disita… dua hari lagi.”
***
Malam ini, sepulang dari tempat kerja, Aku bergegas menuju rumah sakit untuk menemani kakakku dengan pikiran yang begitu kacau. Suara adikku di telepon tadi menyebut nominal dua ratus juta dan kata “dua hari lagi” terus terngiang dalam ingatanku.
Sedangkan si bungsu brengsek itu entah kemana ketika aku sampai di rumah sakit. Padahal tangan ini sudah gatal ingin memukul kepalanya.
Hingga Dokter datang dan memberitahuku kalau belum ada perkembangan baik atas keadaan kakakku, hatiku kembali gusar.
Aku mendekat padanya dan membisikkan kalimat yang siapa tau bisa menggugah semangatnya untuk bangun.
“Ayolah Kak, bangun … dunia sedang begitu jahat padaku. Apa kamu tidak ingin menemaniku? Seperti hari-hari sulit yang sudah kita taklukkan tanpa Papa Mama kemarin?” Air mataku menetes di punggung tangannya yang ku genggam.
Sungguh ini hari yang gila, aku lelah seharian di omeli raja neraka itu di kantor, sedih memikirkan keadaan kakakku, bingung memikirkan kemana harus cari uang, dan marah pada adik sialanku.
Semua rasa ini bercampur dalam benakku. Begitu sulit untuk ku cerna.
Saat ini aku benar-benar merasa membutuhkan bahu seseorang untuk sekedar bersandar sebentar.
Karena itu aku tak bisa lagi menahan diri, sambil melihat wajah kakakku yang cantik memejamkan mata dari sofa seberang tempat tidurnya, aku menelepon Mr. Bossy.
Hanya saja, pikiranku tetap melayang entah ke mana saat mengobrol dengannya.
“Ily, sepertinya kamu agak lain hari ini.”
Aku terhenyak, “hah? Lain bagaimana?”
“Kamu lebih banyak diam, ada apa?”
“A-aku… Tidak.” Aku tergagap, panik karena emosiku terbaca oleh Mr. Bossy.
Jujur, aku takut dan malu untuk menceritakan masalah keluargaku pada Mr. Bossy karena ini lebih ke urusan uang. Bagaimanapun kami belum pernah bertemu, aku takut nanti dikira aku menjual cerita sedih dan mau meminta uang padanya.
Aku tidak mau dicap sebagai perempuan matre.
Kenyataannya Aku hanya ingin ada seseorang di sampingku, itu saja. Mengenai masalahku, rasanya aku masih bisa menyelesaikannya sendiri.
Seperti masalah ini, aku sudah menyiapkan rencana untuk menyelesaikannya. Besok aku akan coba mengajukan pinjaman di koperasi perusahaan saja untuk menebus sertifikat rumah Papa.
“Aku tidak apa-apa.” Mati, Aku belum menemukan topik lain untuk mengalihkan pembicaraan.
“Kamu mau mencoba berbohong padaku?”
Hah kok jadi gitu prasangkanya padaku?
“Tidak, tentu saja tidak begitu. Biasa… Aku sedang lelah saja karena dia!”
“Dia? Bos mu, kenapa lagi dia?” tanya pria di ujung ponsel dengan antusias.
“Aku lelah,” nada bicara ku begitu mewakili perasaanku sampai mau menangis lagi rasanya. “Setiap hari aku bangun pagi sekali untuk mengurus semua keperluannya, memastikan semua pekerjaanku sesuai standar dia. Huft…” Aku melenguh. “Tapi apa yang terjadi, kesalahan kecil saja bisa membuatnya memakiku sampai seperti tak punya harga diri.”
Rasanya aku sudah tidak tahu lagi hal mana yang lebih menyakitkan hati; mengingat omelan bosku atau kenyataan baha aku harus berjuang sendirian di sini.
Dadaku rasanya sesak. Kutatap langit-langit kamar rawat inap kakakku dengan pikiran berkecamuk.
Tanpa sadar, aku terisak.
“Lhoh, kok nangis?” Sepertinya Mr Bossy mendengar isak ku. Ah, sial. Tapi kenapa aku justru merasa, nada suaranya seperti sedang menahan tawa?
“Tapi dia tidak melukaimu kan?” Imbuhnya.
“Tidak, harga diriku saja yang terlukai.” Jawabku kesal sambil menghirup ingus ku sendiri.
Tawa Mr. Bossy terdengar lebih jelas, “tunggu, aku selesaikan dulu tertawaku. Ahahaha…” Dia memang receh, cerita sederhanaku setiap hari seolah sudah cukup untuk membuatnya tertawa.
“Ah~ Aku benar-benar lelah, kenapa kamu malah ketawa?” Aku semakin kesal padanya, dia seperti tidak serius menanggapi ceritaku.
“Lalu bagaimana?”
“Lanjutkan saja tertawanya, setidaknya aku dapat pahala dengan membuat orang bahagia malam ini.” sarkas ku.
“Bagaimana kalau kamu bekerja dengan saya saja?” Tiba-tiba nada bicaranya berubah jadi serius. “Akan kupastikan kamu puas, baik secara fisik, mental dan emosional.”
Akhirnya aku tahu kemana arah pembicaraan dia ketika aku mendengar kata “puas”.
“Dapet nafkah lahir batin ya?” Senyumku pun sedikit terulas menimpa kesedihanku. Emosiku sepertinya membaik.
“Ah… Mr. Bossy. Aku selalu bermimpi bisa bertemu denganmu.” Di Atas sofa rumah sakit, Aku merubah posisi rebahan ku dari terlentang menjadi tengkurap. “Lalu, kapan kita ketemu?”
“Nanti pasti ada saatnya kita bertemu.” Jawab cepat Mr. Bossy dengan nada tenang.
“Ah! Selalu saja begitu jawabannya.”
Mr. Bossy hanya tertawa kecil.
Satu tahun yang lalu, Aku mengenal Pria dengan user name Mr. Bossy dari aplikasi kencan online dan selama setahun belakangan, Mr. Bossy berhasil menjadi support system bagiku. Berkat Pria yang bahkan Aku tidak tahu nama aslinya ini. Aku berhasil melewati hari-hari sulitku di kantor melalui nasehat dan semangatnya.
Namun, entah kenapa kami belum bisa bertemu juga meski sudah berkenalan selama itu. Jujur, aku ingin sekali bisa bertemu dengannya.
***
Adamindo Tower, lantai 34.
“Selesaikan materi syuting dengan G TV pukul 11 ini, lalu geser jadwal meeting pukul 9 nanti ke pukul 2 siang. Siapkan juga setelan jas warna navy yang bergaris. Tidak, yang polos saja! Atur rapat pengecekan stock pukul 1 siang”
Di koridor, Aku berjalan cepat berusaha menyesuaikan langkah cepat atasanku itu sambil mencatat. Namun aku kewalahan dan akhirnya menginterupsi.
“Pak, maaf bisa lebih lambat, saya terlambat mencatat.”
Pak Harvey pun menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku yang berdiri di belakangnya.
“Pukul berapa rapat stok nya Pak?” Tubuhnya yang tinggi membuatku mendongak. Aku menunggu kalimat keluar dari bibirnya, sambil bersiap mencatat.
Namun, Pak Harvey tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku, membuatku terkejut dan reflek sedikit mundur.
“Pukul berapa?” tanyanya seperti mengintimidasi.
“Y-Ya, Pak.”
Aku gugup sekali. Asli, wajahnya begitu dekat saat ini, aku sampai bisa melihat pori-porinya yang lebih halus dari pori-pori wajahku. Wajahnya mulus sih, tapi angker.
“Tebak saja sendiri.” Ucap Pak Harvey dengan segera melanjutkan langkahnya. “Kalau tau tidak pintar setidaknya belajar mencatat dengan cepat,” gerutunya meninggalkan ku yang masih tertegun.
Sementara Pak Harvey kembali ke ruangannya, Aku segera menghampiri mejaku untuk mencetak bahan rapat yang harus segera ku serahkan ke Pak Harvey.
Aku hanya bisa membuang napas besar. Lagi-lagi sepagi ini aku sudah dibuat begitu tertekan dengan perlakuan Si Raja neraka. Tapi apa boleh buat, aku hanya bisa bersabar sekuat tenaga dan menyemangati diriku sendiri dalam hati.
Beberapa saat kemudian, ketika aku mengantarkan dokumen rapat yang dimintanya, Pak Harvey segera membacanya dan...
BRAK!
Dia membanting file itu dari tangannya ke meja dengan kasar.
“Jarak dari sisi-sisi kertasnya harus 2,5 cm! Bukan dua cm! Kamu buat pembahasan rapat atau menulis novel? Kamu tidak tahu cara meringkasnya, ini panjang sekali?!”
Engap sekali dadaku karena dibentaknya.
Seolah tak cukup, Pak Harvey kembali mengambil dokumen dari meja kemudian melemparnya ke lantai. Ini membuat bulu kuduk ku bergidik. Aku benar-benar merasa tertekan kali ini. .
“Keluar, kemasi semua barangmu, aku tidak perlu sekretaris sepertimu!”
Astaga! Inilah kata-kata menakutkan yang tidak asing ku dengar semenjak meja kerjaku berada di depan ruangan Pak Harvey Adam, si Raja Neraka Adamindo Group. akhirnya kini kata-kata itu terlontar untukku.
Namun satu yang Aku pikirkan ketika mendengar ini.
Kemana Aku akan mencari uang untuk menebus rumah peninggalan orang tuaku yang telah digadaikan Adikku Putra pada rentenir jika aku dipecat?
Dari sejak semalam Aku sudah berencana meminjam di koperasi perusahaan siang ini. Aku cuma punya waktu dua hari untuk mencari pinjaman dua ratus juta. Sedangkan tabungan ku hanya tersisa sekitar lima puluh jutaan. Belum lagi Aku harus membayar biaya rumah sakit kakak yang sedang koma.
Mana mungkin perusahaan memberikan pinjaman ketika Aku sudah bukan karyawan disini.
Sungguh, aku tidak tahan lagi dengan ini semua, tapi hanya bisa menangis tersedu di dalam toilet. Berharap tak ada yang akan mengetahuinya.
Aku duduk di atas wc duduk yang tertutup, “Hiks, biarkan saja, kuhabiskan tisunya, biar perusahaan ini bangkrut gara-gara beli tisu.” Sengaja ku tarik panjang sekali tisu gulung di depanku ketika ponsel dalam saku blazerku bergetar.
Aku mengeluarkan ponsel ku dari dalam saku dan sejenak mematung.
“Mr. Bossy?”
“Mr. Bossy?” Aku merasa heran karena tak biasanya kekasih virtual ku ini mengaktifkan nomor ponselnya di siang hari. Ada apa kali ini, momentum nya begitu pas. Apa mungkin chemistry kami yang mengundang Mr. Bossy untuk menelepon ketika Aku sedang terpuruk seperti ini? “Hi, Ily kamu sedang apa?” Aku semakin terisak mendengar kalimat sapaan Mr. Bossy. “Kamu nangis?” Aku masih terus terisak. Belum mulai bicara, bibir ini kelu rasanya, tak tahu harus mulai dari mana untuk bercerita. “Ok, lanjutkan dulu menangisnya. aku disini menunggumu untuk bercerita.” Tapi pengertiannya justru membuat emosiku meluap. “Huaaa, aku dipecat Bos menyebalkan itu,” Tangisku pecah, aku tak sanggup lagi menahannya, berusaha mengatur napasku. “Huf, huf, huf…” Aku mengipas wajahku dengan tangan, berharap air mataku mereda. “Padahal hari ini rencananya aku mau mengambil pinjaman di koperasi kantor karena rumah peninggalan orang tuaku digadaikan adikku, dan kakakku juga sedang sakit.” Seperti tak sadar, a
Setelah sekitar 30 menit duduk bersama si raja neraka dengan hening di dalam mobil. Aku merasakan mobil ini berhenti, tapi aku tidak tau ini dimana. Karena sepanjang jalan aku hanya bergelut dengan gelisahku.Aku memikirkan hutang keluargaku, memikirkan apa yang akan dia lakukan padaku dan bantuan seperti apa yang akan dia berikan. Semua itu hanya bisa kuraba dalam ilusiku.Tiba-tiba asisten pribadi Pak Harvey, bernama Panji yang tadinya duduk di barisan depan dengan tenang, keluar dari mobil, membukakan pintu untukku, mempersilahkanku turun.Begitu aku turun dari mobil dan membalikkan punggungku, “jet pribadi?" Gila, aku baru dadar dan tak percaya, di atas hamparan aspal yang luas di hadapanku, terparkir sebuah jet pribadi milik Adamindo Group. Bukankah ini terlalu membingungkan? Buat apa aku disini?Kita mau menikah di bali, atau bagaimana? Aku bahkan belum siap, siapa walinya, apa maksud dari semua ini?Sontak aku melangkah mundur, tapi seorang pramugari datang dan tersenyum padaku
Turun dari pesawat, aku tak bertanya apapun pada Pak Harvey, begitu juga sebaliknya. Bahkan dia meninggalkanku di belakang. Hanya ada Panji yang siaga di sampingku, membantu aku turun dari pesawat. Jujur, aku sangat penasaran sebenarnya, skenario apa ini, ada juga kekhawatiran, bagaimana kalau Raja Neraka ini menipuku? Tapi aku segera mengusir pikiran-pikiran buruk itu, tak mau ambil pusing, ku sugesti otakku dengan afirmasi baik. Selesai dari sini semua masalah keluargaku pasti beres! Di seberang pesawat kami parkir, ada mobil sedan hitam menunggu. Aku paham itu pasti mobil jemputan untuk kami. Dalam jarak tempuh sekitar 30 menit yang sunyi, mobil itu membawa kami masuk ke sebuah halaman bungalow. Jelas sekali terlihat jika di dalam bungalow tersebut sedang ada sebuah acara. Banyak dekorasi selamat datang berhiaskan bunga-bunga segar dengan tema warna soft purple. Yang pertama kali terlintas dalam pikiranku adalah, kenapa diantara warna yang begitu lembut ini, gaunku berwarna
Pagi ini aku merasa lebih segar meski jam tidurku terbilang kurang. Sebelum subuh tadi aku baru sampai rumah dan baru istirahat setelah berjuang ambil peran dalam drama yang di sutradarai si Raja neraka kemarin. Namun, ketika baru bangun tidur, saat nyawaku belum benar-benar terkumpul. Putra tiba-tiba masuk kamarku tanpa mengetuk pintu dan langsung menegurku. “Kak, Kakak serius ada hubungan dengan Bos Kakak, Harvey Adam ini?” Putra menunjuk layar ponsel di tangannya. Aku hanya menatap Putra tanpa berkata apa-apa. Otakku masih nge-lag. “Kak, dia ini pengusaha terkenal. Kakak maupun keluarga kita gak selevel sama dia, Kak! "Aku takut kalau Kakak cuma dipakai mainan sama dia!” Seketika mataku melebar, “ngomong apa sih?” “Ini…” Putra mendekat, memberikan ponselnya padaku. “Seheboh itu beritanya!"Beberapa saat aku menatap layar ponsel itu dan membaca judul postingan “Ini Alasan Harvey Adam Ditinggalkan Tunangannya!"Wah parah sih ini, kalau begini tentu aku yang paling dirugikan. D
“Hah? Apa? Maaf?” Kedua alis Pak Harvey bertaut, terlihat tidak puas pada jawabanku. Tujuanku menciumnya di depan umum memang untuk balas dendam, agar dia tidak bisa mencabut deklarasi yang kemarin dia buat, kalau aku adalah kekasihnya. Aku tidak mau dianggap buruk sendirian… Ini saatnya untukku membela diri, namaku di luar sana sedang di gunjing habis-habisan sebagai perusak hubungan orang! Namun Pak Harvey juga tidak meminta penjelasan lebih, dia malah meninggalkanku melangkah keluar dari gedung putih begitu saja. “Eh, Pak!” Aku malah yang jadi kesal. Harusnya dia minta penjelasan, kalau perlu memaksaku. Agar aku bisa mengajaknya adu argumen! Beberapa detik menoleh kanan dan kiri, aku melihat para wartawan berbondong-bondong masuk ke gedung putih. Rupanya Pak Harvey segera meninggalkan gedung ini karena melihat mereka. Sontak aku terhenyak dan tidak ada pilihan lain. Aku segera ikut pergi keluar menyusul Pak Harvey yang terlihat memasuki mobil. Saat aku masih berdiri beberapa
“Tunggu!” Yes! Aku menang. Aku tahu dia pasti akan memanggilku dan setuju dengan permintaanku. Aku menghela napas besar untuk berdrama seolah-olah malas, kemudian berbalik melihatnya yang sudah berada di belakangku. Kami sudah masuk dalam ruangan kantornya saat ini. “Duduk dulu!” Pak Harvey memundurkan kursi mempersilahkanku duduk. “Silahkan!” Aku duduk dan memangku tasku. “Kamu akan kembali bekerja disini, tapi bukan sebagai sekretaris saya, melainkan asisten pribadi!” “Baik, Saya akan menjadi asisten anda.” Jawabku seketika dengan tegas. “Tapi saya ingin menambahkan sesuatu di poin perjanjian.” Pak Harvey duduk di kursi kerjanya, tepat di hadapanku, aku melanjutkan perkataanku, “Anda tidak boleh menyakiti Saya!” “Menyakiti bagaimana maksudnya?” Tanyanya bingung. “Anda adalah Pria yang dingin dan kejam. Jadi Saya hanya ingin memastikan kalau Anda tidak akan menyakiti Saya, Anda tidak akan mempermalukan Saya di depan semua orang.” “Lanjutkan!” “Sementara itu dulu!” “Oke,”
Aku memulai hidup baru hari ini… Mulai hari ini, aku akan berpura-pura menjadi tunangan seorang pria yang selama ini menjadi momok dalam hari-hariku sebelumnya. Tapi semua ini akan berakhir setelah dua bulan. Aku yakin, dengan mudah aku akan melewatinya. Setelah itu dia akan bersama wanita tercintanya dan aku akan kembali menata hidupku yang lebih indah… Pikiran-pikiran baik ini ku ucapkan terus menerus seperti mantra, sambil tersenyum, menyirami bunga-bunga milik Kak April di halaman rumahku pagi ini. Sejenak memandangi bunga-bunga di taman sederhana yang tadinya setiap pagi dirawat Kak April, hatiku merasa sedih… “Kak, aku akan rawat bunga Kakak sampai Kakak sembuh,” gumamku. Kakak cantikku yang satu itu memang hobi sekali menanam bunga, tangan hangatnya membuat apapun yang ditanamnya selalu tumbuh subur. Ah… Aku merindukannya. Lekas sembuh ya, Kak… Ketika pikiranku melayang ke rumah sakit bersama Kak April, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara sapaan dua wanita. “Ily!” “Se
Raja Neraka ini langsung tancap gas.Aku terhenyak. Seketika meraih sabuk pengaman dan memakainya sambil panik.Bodohnya aku… Kenapa juga tadi langsung masuk mobil terus duduk?“Apa yang Anda lakukan?” Aku meminta penjelasan dengan ketus padanya.“Dalam perjanjian, setiap pagi kita akan berangkat ke kantor bersama-sama!”“Dari mana Bapak tahu rumah saya? Astaga, konyol kalau saya menanyakan itu!” Aku langsung meralat kembali pertanyaanku.Mencari alamat rumahku bagaikan mengupas kulit kacang tanah untuk seorang Harvey Adam.“Tadi, Saya itu sedang menjelaskan tentang pertunangan kita di depan sahabat Saya. Apa susahnya turun menyapa mereka sebentar, Pak?”“Saya tidak tahu, lain kali saja saya menyapa mereka.” Ucapnya begitu santai, sedangkan aku benar-benar kesal padanya.“Yah! Itu harus!” “Harus kalau Bapak ingin drama ini berjalan dengan baik!”Sedetik Aku menghela napas untuk menenangkan diri, “ini masih jam enam pagi, mau kemana kita sebenarnya?” mendadak suaraku meninggi, emosiku n
Setelah keluar dari toko perhiasan, Pak Harvey mengajakku ke sebuah restoran dengan pemandangan tepian laut ibu kota. Pelayan restoran disana langsung mengarahkan kami duduk di meja paling sudut di depan jendela besar yang sangat strategis menampakkan pemandangan laut dengan beberapa bukit yang menakjubkan.Begitu duduk, aku mengamati view istimewa restoran ini. Ini pemandangan yang luar biasa. Tapi aku heran, karena sejak datang, Pak Harvey justru sibuk membolak balik buku menu tanpa sedikitpun memperdulikan pemandangan disini dan membuatku bertanya.“Sejak kita duduk, Anda tidak sekalipun menoleh ke pemandangan sekeliling kita.”“Saya sering kesini, ini tempat favorit saya, saya sudah hafal diluar kepala bagaimana bentuk pemandangan disini.” jawab Pak Harvey sambil terus sibuk membolak-balik buku menu, sambil sesekali membalas pesan masuk di ponselnya.Aku bergumam, “Ini hal terbodoh yang pernah saya dengar di hidup saya.”Bagaimana tidak jadi hal terbodoh? Definisi dari tempat favo
Begitu Pak Fikri pergi, aku sudah tidak tahan untuk meminta penjelasan tentang pesta pertunangan ini.“Siapa yang mengizinkan anda memutuskan untuk mengadakan pesta pertunangan ini sendiri, pak Harvey?”Wajah pak Harvey seketika berubah tegas. “Kita bicara di dalam!” dia melangkah masuk ke ruang konferensi dengan aku di belakangnya.Begitu kami masuk, Pak Harvey menutup pintu, “Ily, jangan pernah meneriaki saya lagi!” tekannya.Aku meletakkan tas tanganku diatas meja konferensi dengan sedikit membanting.Dia pikir, cuma dia yang bisa marah disini dan aku akan takut, kemudian tunduk padanya?Oh, tidak!Aku semakin mendekat dan ku jenjangi tatapan mata Pak Harvey, “Lalu. saya harus berterimakasih, gitu? Setidaknya anda beritahu saya kalau akan ada pesta pertunangan. Bukan malah saya tidak tahu apa-apa seperti ini!? Apa—apa yang anda pikirkan tentang saya? Anda menganggap saya sebagai mainan anda? Anda pikir saya akan mengikuti apapun kemauan anda seperti kerbau dicocok hidungnya, begitu?
Setelah membeli cincin, aku pulang ke rumah menggunakan taksi online dan turun di ujung jalan besar, karena aku berniat untuk mampir membeli makan siang di warteg. Namun ketika aku berjalan melewati warung kaki lima di trotoar milik Mbak Lastri. Dia menyapaku, “Ily dari mana, cantik banget?” “Ini–” Aku baru akan menjawab sapaannya ketika tiba-tiba aku terkejut melihat apa yang ada di rak koran dan majalah hadapanku. “Astaga!” Aku ternganga. Ada fotoku yang sedang mencium Pak Harvey kemarin, sudah terpampang di sampul majalah. “Aa~ Mbak Lastri, kok gini?” Aku merengek protes padanya. “Kenapa Ily?” Dia melongokkan kepalanya keluar dari gerobaknya. “Aku pikir kita prend? Tetangga akrab gitu, tapi kok jahat~” Aku menunjuk majalah di depanku. Mbak Lastri mengerutkan dahi, “Lah, kenapa marah sama aku, memangnya aku yang tulis beritanya? Agennya titip itu, ya sudah aku taruh di tempatnya.” Sebenarnya kalau dipikir-pikir benar juga, Mbak Lastri hanya menerima ini dari agen, “tapi k
“Oke, lupakan! Saya akan memperkenalkan seseorang, mungkin kalian sudah kenal, tapi sekali lagi saya akan memperkenalkan dia sebagai tunangan saya.” Tangan pak Harvey menengadah menunjukku. Aku menganggukkan kepala menyapa mereka. “Dan pada saat yang sama, mulai sekarang dia akan menjadi asisten pribadi saya di perusahaan ini.” Di samping Bu Riri, aku melihat Bu Lena membelalakkan matanya, “Apa dia akan menggantikan saya?” dia panik. “Tidak Lena, Anda akan mengajari Prilly tentang semuanya, oke? Sementara ini anda akan bekerja satu ruangan dengannya.” Pak Harvey beralih, “Riri, Panji. Bisa ke ruangan saya sekarang?” “Lena, bantu Prilly mulai bekerja lebih lanjut!” Sesuai instruksi bos besar, kami pun membubarkan diri. Tinggal aku dan Bu Lena tersisa. Sebelumnya Bu Lena adalah seniorku, tapi entah keadaan macam apa ini, dalam waktu singkat, aku menggantikan dirinya bahkan satu ruangan dengannya. Aku tersenyum canggung padanya, “Jadi, kita mulai dari mana?” “Y-Ya, ayo pergi ke ru
Dengan terpaksa, aku mengikuti Pak Harvey untuk menemui Ibu nya. Gugup, tapi seperti biasa, aku tidak akan memperlihatkan sisi lemahku di hadapan orang-orang seperti mereka. Satu tahun kemarin aku sudah cukup menahan diri, tapi kali ini keadaannya berbeda, hubungan kita untuk saling menguntungkan. Bukan atasan dan bawahan secara harfiah. “Silahkan Tuan Harvey, Nona Prilly!” Ada seorang pria yang mempersilahkan kami masuk ketika tiba di pintu, aku rasa dia asisten Ibu Pak Harvey. Dia terlihat ramah, bahkan sedikit gemulai untuk seorang laki-laki. “Terimakasih Syarif!” Jawab Pak Harvey. Kami pun berjalan masuk melewati Ibu Pak Harvey yang sudah lebih dulu duduk. Aku mengikuti Pak Harvey dan duduk di sebelahnya setelah dipersilahkan. Wanita paruh baya nyentrik itu terus menatapku, melihat penampilanku yang kali ini sedang memakai baju semi casual, sesekali dia mencebik juga menghembuskan napas remeh. Di perusahaan yang sekarang dikelola oleh Pak Harvey memang tidak mewajibkan peke
Raja Neraka ini langsung tancap gas.Aku terhenyak. Seketika meraih sabuk pengaman dan memakainya sambil panik.Bodohnya aku… Kenapa juga tadi langsung masuk mobil terus duduk?“Apa yang Anda lakukan?” Aku meminta penjelasan dengan ketus padanya.“Dalam perjanjian, setiap pagi kita akan berangkat ke kantor bersama-sama!”“Dari mana Bapak tahu rumah saya? Astaga, konyol kalau saya menanyakan itu!” Aku langsung meralat kembali pertanyaanku.Mencari alamat rumahku bagaikan mengupas kulit kacang tanah untuk seorang Harvey Adam.“Tadi, Saya itu sedang menjelaskan tentang pertunangan kita di depan sahabat Saya. Apa susahnya turun menyapa mereka sebentar, Pak?”“Saya tidak tahu, lain kali saja saya menyapa mereka.” Ucapnya begitu santai, sedangkan aku benar-benar kesal padanya.“Yah! Itu harus!” “Harus kalau Bapak ingin drama ini berjalan dengan baik!”Sedetik Aku menghela napas untuk menenangkan diri, “ini masih jam enam pagi, mau kemana kita sebenarnya?” mendadak suaraku meninggi, emosiku n
Aku memulai hidup baru hari ini… Mulai hari ini, aku akan berpura-pura menjadi tunangan seorang pria yang selama ini menjadi momok dalam hari-hariku sebelumnya. Tapi semua ini akan berakhir setelah dua bulan. Aku yakin, dengan mudah aku akan melewatinya. Setelah itu dia akan bersama wanita tercintanya dan aku akan kembali menata hidupku yang lebih indah… Pikiran-pikiran baik ini ku ucapkan terus menerus seperti mantra, sambil tersenyum, menyirami bunga-bunga milik Kak April di halaman rumahku pagi ini. Sejenak memandangi bunga-bunga di taman sederhana yang tadinya setiap pagi dirawat Kak April, hatiku merasa sedih… “Kak, aku akan rawat bunga Kakak sampai Kakak sembuh,” gumamku. Kakak cantikku yang satu itu memang hobi sekali menanam bunga, tangan hangatnya membuat apapun yang ditanamnya selalu tumbuh subur. Ah… Aku merindukannya. Lekas sembuh ya, Kak… Ketika pikiranku melayang ke rumah sakit bersama Kak April, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara sapaan dua wanita. “Ily!” “Se
“Tunggu!” Yes! Aku menang. Aku tahu dia pasti akan memanggilku dan setuju dengan permintaanku. Aku menghela napas besar untuk berdrama seolah-olah malas, kemudian berbalik melihatnya yang sudah berada di belakangku. Kami sudah masuk dalam ruangan kantornya saat ini. “Duduk dulu!” Pak Harvey memundurkan kursi mempersilahkanku duduk. “Silahkan!” Aku duduk dan memangku tasku. “Kamu akan kembali bekerja disini, tapi bukan sebagai sekretaris saya, melainkan asisten pribadi!” “Baik, Saya akan menjadi asisten anda.” Jawabku seketika dengan tegas. “Tapi saya ingin menambahkan sesuatu di poin perjanjian.” Pak Harvey duduk di kursi kerjanya, tepat di hadapanku, aku melanjutkan perkataanku, “Anda tidak boleh menyakiti Saya!” “Menyakiti bagaimana maksudnya?” Tanyanya bingung. “Anda adalah Pria yang dingin dan kejam. Jadi Saya hanya ingin memastikan kalau Anda tidak akan menyakiti Saya, Anda tidak akan mempermalukan Saya di depan semua orang.” “Lanjutkan!” “Sementara itu dulu!” “Oke,”
“Hah? Apa? Maaf?” Kedua alis Pak Harvey bertaut, terlihat tidak puas pada jawabanku. Tujuanku menciumnya di depan umum memang untuk balas dendam, agar dia tidak bisa mencabut deklarasi yang kemarin dia buat, kalau aku adalah kekasihnya. Aku tidak mau dianggap buruk sendirian… Ini saatnya untukku membela diri, namaku di luar sana sedang di gunjing habis-habisan sebagai perusak hubungan orang! Namun Pak Harvey juga tidak meminta penjelasan lebih, dia malah meninggalkanku melangkah keluar dari gedung putih begitu saja. “Eh, Pak!” Aku malah yang jadi kesal. Harusnya dia minta penjelasan, kalau perlu memaksaku. Agar aku bisa mengajaknya adu argumen! Beberapa detik menoleh kanan dan kiri, aku melihat para wartawan berbondong-bondong masuk ke gedung putih. Rupanya Pak Harvey segera meninggalkan gedung ini karena melihat mereka. Sontak aku terhenyak dan tidak ada pilihan lain. Aku segera ikut pergi keluar menyusul Pak Harvey yang terlihat memasuki mobil. Saat aku masih berdiri beberapa