Jarinya tidak berhenti menggulir layar ponsel yang dia angkat di depan wajah sedangkan badannya rebah di atas ranjang. Rambut panjang lurusnya terurai sampai sisi ranjang dengan beberapa buku yang berserakan di sekitar tubuhnya.
Setelah menghabiskan hampir tiga jam untuk belajar tes masuk ke perguruan tinggi, gadis berparas cantik itu memutuskan untuk beristirahat dengan berselancar di sosial media sebentar sebelum pergi tidur. Netranya mengerjap lelah setelah seharian melakukan acara perpisahan di sekolah, belum lagi dia harus belajar karena tanggal tes masuk ke perguruan tinggi sebentar lagi. Dia harus berusaha keras untuk mimpinya. Netranya terpejam dengan ponsel yang terjatuh ke perutnya sebelum badannya tersentak kecil ketika mendengar seruan dari luar pintunya. "Ruby! Ayah kedatangan tamu, tolong bikinin minum!" Ruby berdecak sebelum menendang-nendang udara dengan kesal. Padahal sedikit lagi dia bisa bertemu idola koreanya dan berjabat tangan dalam mimpi. "Siapa sih, yang datang malam-malam? Bertamu juga ada tatakramanya!" Pekik Ruby sebal sebelum beranjak malas dan pergi keluar kamar tanpa berganti baju terlebih dahulu, pikirannya sudah diisi dengan membuat minum dan langsung tidur, dia tidak sempat memikirkan apapun lagi. Ruby datang dengan nampan berisi dua kopi dan beberapa kotak makanan ringan. Netranya mengerjap ketika mendapati pria paruh baya yang berpakaian jas hitam dengan rambut ditata rapi, duduk di ruang tamunya. "Silahkan, Pak!" Ujar Ruby pelan sambil meletakan nampan di mejanya. Pria tersebut menatap Ruby sebelum dia menggeleng pelan mendapati Ruby yang memakai kaos putih polos oblong oversize yang membuat kerahnya terbuka dan memperlihat tulang selangka ketika Ruby membungkuk. Belum lagi celana pendek yang dia kenakan hampir tidak terlihat karena tertutup oleh kaosnya yang kebesaran. "Ayah saya kemana?" Tanya Ruby menatap sekeliling sebelum netranya bergulir ke pintu depan yang terbuka dan dia menangkap asap rokok di udara. "Apakah kamu tidak punya rasa malu?" "Maaf?" Tanya Ruby mengangkat alisnya. "Bukankah sebaiknya berpakaian tertutup ketika ada seseorang yang bertamu ke rumah, apalagi tamu tersebut adalah seorang pria." Ruby memutar netranya kesal mendengar penuturan itu, "Ini baju tidur dan baju rumahan saya, jadi saya wajar menggunakannya karena ini di rumah saya. Disini anda yang salah karena bertamu tidak tahu waktu!" "Seharusnya kamu diam ketika orang yang lebih tua memberikan nasihat." Ruby tersenyum segaris sebelum mengangguk terpaksa. Untuk apa dirinya menghabiskan waktu mengobrol dengan orang tua seperti dia. Meskipun wajahnya tampan dan karismanya kuat, tetap saja dia bukan tipe Ruby, masih lebih ganteng idolanya. "Ruby." Ruby memejamkan netra, bersumpah serapah dalam hati ketika namanya dipanggil sebelum berbalik dan memasang senyum palsu. "Kenapa, pak Andra?" Tanya Ruby. Keduanya sudah saling mengetahui rupa dan nama masing-masing karena bukan hanya sekali dua kali pria paruh baya bernama lengkap Andra Wijaya itu datang ke rumah Ruby. Apalagi setelah Ayah dan dirinya kehilangan orang yang paling berharga, Ibunya. Andra sering datang untuk menjenguk Ayah yang benar-benar terpuruk. Maka dari itu mereka sering bertemu pandang namun baru kali keduanya bertukar perbincangan. "Kamu udah lulus, kan? Ada rencana di lanjut ke perguruan tinggi?" Tanya Andra sambil menyesap kopi buatan Ruby sebelum alisnya mengkerut. "Kamu tidak menambahkan gula di kopinya?" "Karena Ayah suka kopi pahit. Aku pikir selera kopi kalian sama karena kalian bersahabat." Ujar Ruby mengedikan bahunya acuh. "Bersahabat bukan berarti semua hal yang disukai sama. Justru persahabatan yang bertahan lama biasanya didasari oleh dua orang yang sangat berbeda satu sama lain. Seperti Ayah kamu dan saya." Ujar Andra membuat Ruby mengangguk-angguk acuh, dia paling tidak suka orang tua yang banyak bicara seperti Andra. Sungguh. "Mau saya tambahkan gula, Pak?" Tawar Ruby, berharap bisa pergi dari hadapan Andra. "Tidak usah. Saya akan meminum air putih saja. Kamu belum menjawab pertanyaan saya." Jawab Andra. Ruby tidak berkedip ketika Andra mendongkak untuk menenggak air dari botol membuat jakunnya naik turun. Ruby meneguk ludah sebelum memukul kepalanya sendiri dengan keras. Sepertinya dia gila karena baru saja terpesona pada pria tua, teman Ayahnya sendiri. "Niatnya saya mau lanjutin kuliah ke Universitas Ratama, jurusan ()." "Itu Universitas tempat saya bekerja dan jurusan tempat saya mengajar. Kebetulan sekali." Ruby mengangguk sekali sebelum mengusap sikunya, "Itu memang sudah jadi tujuan saya dari awal." "Kalau begitu, semoga kita bisa bertemu di sana." Ruby menolak dalam hati namun bibirnya tersenyum. Dilihat-lihat, Andra ini tipe dosen galak yang pelit nilai. Apalagi Andra tipe pengatur dan banyak memberikan nasihat seperti orang tua. Memang sudah tua, deh. Dan Ruby merupakan anak perempuan yang tidak mau di atur dan dinasihati panjang lebar. Tipe anak muda. "Kalau gitu saya permisi, Pak." Pamit Ruby sebelum mengangkat alis ketika Andra juga beranjak berdiri. "Bapak mau kemana?" "Saya mau ke toilet." Harum maskulin dengan perpaduan kayu manis membuai hidung Ruby begitu Andra melewatinya membuat Ruby sampai membalikan badan untuk menatap punggung kekar itu. Ruby mengikuti di belakang untuk pergi arah dapur ketika tenggorokannya terasa kering, dia meraih sebotol air mineral untuk dibawa ke kamar sebelum beranjak pergi. Netra Ruby membelalak dan menjerit kecil ketika lantai yang dia pijak licin membuat badannya limbung dengan belakang kepala yang tertarik gravitasi terlebih dahulu. Untungnya Andra sigap meraih belakang kepalanya namun badannya limbung ke depan ketika telapak kakinya juga menginjak lantai yang licin membuat Ruby jatuh dengan Andra yang menindih tubuhnya dari atas. Ruby meringis merasakan punggungnya serasa retak karena menghantam lantai apalagi beban berat yang diberikan Andra di atasnya, untungnya belakang kepalanya tidak langsung menghantam lantai karena terhalang telapak tangan Andra. Ruby mengerjap sebelum menatap Andra yang juga menatapnya. Posisi mereka ambigu membuat detak jantung Ruby berdegup kencang, dia mendorong tubuh Andra membuat Andra segera bangun dan menarik tangan Ruby. Ruby meraba punggungnya sambil meringis pelan membuat Andra menatapnya. "Ada bekas tumpahan kopi di lantai. Sebaiknya jika setelah menyeduh kopi, kamu pastikan bahwa tidak air yang tumpah ke lantai. Ini akibatnya jika kamu tidak memeriksa kebersihan dan kerapihan dengan benar." Omel Andra membuat Ruby menganga kecil. "Iya, saya baik-baik saja, Pak. Terimakasih karena telah menindih saya membuat punggung saya serasa patah." Ujar Ruby sarkas sambil menatap Andra sengit. Heran deh, orang tua satu ini. Bukankah seharusnya dia menanyakan keadaan Ruby terlebih dahulu sebelum mengomel? "Kamu kalau di nasehatin selalu menjawab begini, Ruby?" Tanya Andra menggeleng pelan. "Saya termasuk anak yang patuh kok kalau sama Ayah saya." Balas Ruby sebelum mengambil kembali botol dan beranjak ke kamarnya. "Dasar tidak sopan." Gumam Andra menatap punggung Ruby. "Dasar Pak Tua." Gumam Ruby sambil meringis meraba punggungnya. ** "Kamu sudah gila, Sapta? Jangan berperilaku diluar nalar! Almarhum istri kamu menitipkan Ruby dengan penuh rasa percaya dan kamu harus bertanggung jawab sepenuhnya!" Ujar Andra menaikan intonasinya sebelum mengacak belakang kepalanya dengan gusar. Sapta yang duduk di kursi depan rumah itu menggeleng, memijit kepalanya yang berdenyut. "Aku pun tidak tahu mengapa aku seperti ini, Ndra. Kamu harus mengerti aku! Gak ada yang salah dari perilaku dan perasaan ini! Ini wajar dan normal!" Balas Sapta beranjak berdiri. "Gila kamu, Sapta!" Andra menggeleng pelan, sudah kehilangan kata-kata dan tidak habis pikir dengan pola pikir Sapta. "Seharusnya kamu bersyukur gak aku habisin sekarang juga!" Ujar Andra menekankan setiap katanya ketika emosi mulai naik ke ubun-ubun. "Terserah! Aku pikir bercerita yang sebenarnya dengan kamu akan menjadi lebih baik, ternyata tidak!" "Itu karena aku waras! Sapta! Kamu mau kemana dalam keadaan mabuk?!" Andra berteriak ketika Sapa masuk ke dalam mobilnya dan keluar dari halaman rumah. Andra mengacak rambutnya sebelum mengumpat pelan dan bergegas menaiki mobil miliknya sendiri untuk mengejar Sapta, meninggalkan Ruby sendirian di rumah dengan pintu depan terbuka. Sampai waktu tepat pukul tiga malam, Ruby menarik selimutnya karena hawa dingin masuk lewat jendelanya yang sedikit terbuka dengan ponsel menyala ketika notifikasi pesan masuk. Pak Andra : Ruby. Pak Andra : Ayah kamu meninggal.Ruby menatap sendu pada gundukan tanah dengan bibir bergetar yang tidak dapat berhenti menangis. Netranya mengabur ketika air mata luruh melewati pipinya. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan hadiah perpisahan sekolah dengan perpisahan yang sesungguhnya.Padahal baru satu tahun yang lalu dia mengunjungi pemakaman Ibunya dengan rasa kehilangan dan tidak percaya. Hari ini dia harus kembali menghadapi kenyataan pahit bahwa yang di ambil darinya kali ini adalah Ayahnya.Bahkan Ruby tidak tahu apa penyebab kecelakaannya karena otaknya mendadak berhenti berfungsi ketika Polisi dan para orang dewasa menjelaskan. Yang keluar hanya tangis tanpa kata apapun.Ruby sangat menyayangi Sapta meskipun dia bukan Ayah kandung Ruby. Dia menyayangi Sapta sebagai Ayahnya."Ruby, kamu yang tenang, ya? Harus kuat." Ujar Hani, wanita berumur yang merupakan Ibu dari Andra.Ruby menggeleng pelan, dipaksa kuat pun, dunianya benar-benar sedang hancur.Bagaimana mungkin Ruby kuat menjalani hidup tanpa peno
Pukul empat pagi, Ruby sudah beranjak dari ranjang dan membersihkan diri ke kamar mandi. Hari pertama yang dia jalani tanpa orang tua dengan tempat yang baru akan segera dimulai. Ruby menuruni tangga menuju lantai pertama untuk menyapu seluruh rumah sebelum mengepelnya.Rumah Andra memiliki dua lantai, lantai pertama terdapat kamar tidur Hani, dapur, toilet serta ruang tamu. Sementara lantai dua hanya terdapat dua kamar tidur yang ditempati Andra dan satunya mejadi kamar Ruby yang akan menjadi tempat istirahat dan pulangnya.Ketika waktu menujukan pukul enam tepat, Ruby selesai mengepel seluruh lantai rumah. Dia hanya perlu waktu sepuluh menit untuk istirahat duduk, minum air dan melamun sebelum kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan."Nak, biar Nenek aja yang masak. Setelah ini kamu kerja, kan?"Ruby menoleh ketika Hani datang dengan tergopoh-gopoh. Ruby menyimpan mangkuk di meja makan sebelum merangkul lengan Hani untuk duduk."Gapapa, Nek. Lagipula sarapannya sudah sele
Ruby duduk di kursi dengan nampan di tangannya sebelum netranya menatap gadis berambut pendek dengan gaya tomboy duduk di depannya sambil melahap makanannya.Ruby meraih gelang yang ada di lengannya sebelum menggigit dan tangannya meraup rambut menjadi satu, memperlihatkan leher jenjang dan tulang selangkanya yang mulus kemudian mengikatnya.Gerakan Ruby barusan sukses menarik perhatian para pengunjung Cafe lain yang berjenis kelamin laki-laki. Wajar saja, mengingat kecantikannya yang mencolok mata."Gini ya temenan sama seleb Tiktok. Jadi pusat perhatian mulu." Sindir Karin. "Eh, setelah ini elo mau ikut main gak?""Gas." Jawab Ruby langsung."Gila, bahkan elo gak nanya main kemana. Tapi enaknya temenan sama elo itu, gak pernah nolak kalau di ajak main." Ujar Karin membuat Ruby tertawa kecil."Jelaslah! Gue kan mau menikmati masa muda yang kerjaannya kuliah, main, belajar, pacaran dan gak perlu mikirin pusingnya nyari uang dan capeknya kerja." Jawab Ruby membuat Karin mengangguk makl
Andra sontak menutup pintu kamar Ruby dengan keras sebelum menyandarkan punggungnya dengan napas memburu. Andra mengusap keningnya, tiba-tiba badannya terasa panas ketika bayangan punggung polos Ruby kembali hinggap di kepalanya membuat Andra memukul kepalanya sendiri ketika otaknya sudah tidak bisa dia kontrol."Ruby! Cepet turun sarapan!" Teriak Andra sebelum berlari turun.Tangannya terulur mengisi gelas dengan air putih sampai penuh dan sedikit tumpah sebelum menghabiskannya dalam satu kali tegukan ketika tenggorokannya tiba-tiba kering.Andra menghidupkan AC, menambah suhu mendapati badannya tiba-tiba panas. Andra menarik napas dalam, mencoba untuk tenang tapi reaksi tubuhnya tidak dapat dia kontrol.Hani yang duduk di depan Andra jadi mengerjap, mendapati anak bungsunya yang biasa tenang kini bergerak-gerak gelisah.Andra berdecak sebelum kembali mengambil air mineral dan menenggaknya sebelum dia menyemburkan airnya ketika mendapati Ruby turun dari tangga dengan rambut acak-acak
"Kamu tahu apa salahmu?"Ruby menundukkan kepala, meremas ujung sofa yang dia duduki sambil mengangguk, mengakui bahwa dia salah."Lain kali jangan bawa pacar kamu ke sini!" Andra memperingatkan membuat Ruby mendongkak menatapnya yang berdiri menjulang di depannya."Kalau gitu saya mau keluar dari rumah ini untuk ngekos."Andra sontak mengangkat alis sambil menatapnya tidak percaya."Kamu meminta saya mengijinkan kamu tinggal sendiri setelah saya melihat kamu dan pacar kamu hampir ciuman?!""Bukannya kalau pacaran, ciuman itu hal biasa, Pak?" Tanya Ruby melengos kasar."Saya mengerti, untuk hubungan asmara anak muda yang membara itu adalah hal yang sama dengan pegangan tangan. Tapi bagaimana jika kalian kebablasan saat sedang berdua di kosan? Tidak ada yang tahu! Nafsu bisa datang saat berduaan, maka dari itu yang ketiganya setan!" Ujar Andra membuat Ruby menunduk."Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya." Ujar Ruby ketika menyadari bahwa memang dialah yang salah membawa ora
Andra membanting pintu kamarnya sebelum mengacak belakang rambutnya sendiri dengan gusar. Andra berjalan mondar-mandir sebelum berdecak dan duduk di kursi kerjanya sambil kembali mengacak rambutnya kesal.Netra Andra melirik pada ponsel yang berada di atas meja, menimang-nimang sebelum meraih dan menekan nomor Brian. "Wah, ada apa Pak Dosen nelpon malem-malem?" Tanya Brian di seberang telpon."Bri, gue ... ehm kenapa ya, gue?" Tanya Andra sambil mengernyit dan mengacak rambutnya sendiri."Lah? Mana gue tahulah, nyet! Lo kenapa? Kok kayak lagi gelisah gitu? Gak biasanya, padahal elo itu tipe yang paling tenang diantara kita." Ujar Brian."Gue juga gak tahu kenapa gue kayak gini.""Ck, ceritain pelan-pelan."Brian tertawa setelah mendengar Andra bercerita bahwa dia marah karena Ruby akan berciuman dengan pacarnya."Fiks, sih! Elo suka sama anak yang namanya Ruby! Eh, sorry! Bukan anak-anak ya? Udah dewasa!" Ujar Brian sambil tertawa geli."Suka sama Ruby? Gak mungkin. Apa mungkin gue u
Andra membanting pintu kamarnya sebelum mengacak belakang rambutnya sendiri dengan gusar. Andra berjalan mondar-mandir sebelum berdecak dan duduk di kursi kerjanya sambil kembali mengacak rambutnya kesal.Netra Andra melirik pada ponsel yang berada di atas meja, menimang-nimang sebelum meraih dan menekan nomor Brian. "Wah, ada apa Pak Dosen nelpon malem-malem?" Tanya Brian di seberang telpon."Bri, gue ... ehm kenapa ya, gue?" Tanya Andra sambil mengernyit dan mengacak rambutnya sendiri."Lah? Mana gue tahulah, nyet! Lo kenapa? Kok kayak lagi gelisah gitu? Gak biasanya, padahal elo itu tipe yang paling tenang diantara kita." Ujar Brian."Gue juga gak tahu kenapa gue kayak gini.""Ck, ceritain pelan-pelan."Brian tertawa setelah mendengar Andra bercerita bahwa dia marah karena Ruby akan berciuman dengan pacarnya."Fiks, sih! Elo suka sama anak yang namanya Ruby! Eh, sorry! Bukan anak-anak ya? Udah dewasa!" Ujar Brian sambil tertawa geli."Suka sama Ruby? Gak mungkin. Apa mungkin gue u
"Kamu tahu apa salahmu?"Ruby menundukkan kepala, meremas ujung sofa yang dia duduki sambil mengangguk, mengakui bahwa dia salah."Lain kali jangan bawa pacar kamu ke sini!" Andra memperingatkan membuat Ruby mendongkak menatapnya yang berdiri menjulang di depannya."Kalau gitu saya mau keluar dari rumah ini untuk ngekos."Andra sontak mengangkat alis sambil menatapnya tidak percaya."Kamu meminta saya mengijinkan kamu tinggal sendiri setelah saya melihat kamu dan pacar kamu hampir ciuman?!""Bukannya kalau pacaran, ciuman itu hal biasa, Pak?" Tanya Ruby melengos kasar."Saya mengerti, untuk hubungan asmara anak muda yang membara itu adalah hal yang sama dengan pegangan tangan. Tapi bagaimana jika kalian kebablasan saat sedang berdua di kosan? Tidak ada yang tahu! Nafsu bisa datang saat berduaan, maka dari itu yang ketiganya setan!" Ujar Andra membuat Ruby menunduk."Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya." Ujar Ruby ketika menyadari bahwa memang dialah yang salah membawa ora
Andra sontak menutup pintu kamar Ruby dengan keras sebelum menyandarkan punggungnya dengan napas memburu. Andra mengusap keningnya, tiba-tiba badannya terasa panas ketika bayangan punggung polos Ruby kembali hinggap di kepalanya membuat Andra memukul kepalanya sendiri ketika otaknya sudah tidak bisa dia kontrol."Ruby! Cepet turun sarapan!" Teriak Andra sebelum berlari turun.Tangannya terulur mengisi gelas dengan air putih sampai penuh dan sedikit tumpah sebelum menghabiskannya dalam satu kali tegukan ketika tenggorokannya tiba-tiba kering.Andra menghidupkan AC, menambah suhu mendapati badannya tiba-tiba panas. Andra menarik napas dalam, mencoba untuk tenang tapi reaksi tubuhnya tidak dapat dia kontrol.Hani yang duduk di depan Andra jadi mengerjap, mendapati anak bungsunya yang biasa tenang kini bergerak-gerak gelisah.Andra berdecak sebelum kembali mengambil air mineral dan menenggaknya sebelum dia menyemburkan airnya ketika mendapati Ruby turun dari tangga dengan rambut acak-acak
Ruby duduk di kursi dengan nampan di tangannya sebelum netranya menatap gadis berambut pendek dengan gaya tomboy duduk di depannya sambil melahap makanannya.Ruby meraih gelang yang ada di lengannya sebelum menggigit dan tangannya meraup rambut menjadi satu, memperlihatkan leher jenjang dan tulang selangkanya yang mulus kemudian mengikatnya.Gerakan Ruby barusan sukses menarik perhatian para pengunjung Cafe lain yang berjenis kelamin laki-laki. Wajar saja, mengingat kecantikannya yang mencolok mata."Gini ya temenan sama seleb Tiktok. Jadi pusat perhatian mulu." Sindir Karin. "Eh, setelah ini elo mau ikut main gak?""Gas." Jawab Ruby langsung."Gila, bahkan elo gak nanya main kemana. Tapi enaknya temenan sama elo itu, gak pernah nolak kalau di ajak main." Ujar Karin membuat Ruby tertawa kecil."Jelaslah! Gue kan mau menikmati masa muda yang kerjaannya kuliah, main, belajar, pacaran dan gak perlu mikirin pusingnya nyari uang dan capeknya kerja." Jawab Ruby membuat Karin mengangguk makl
Pukul empat pagi, Ruby sudah beranjak dari ranjang dan membersihkan diri ke kamar mandi. Hari pertama yang dia jalani tanpa orang tua dengan tempat yang baru akan segera dimulai. Ruby menuruni tangga menuju lantai pertama untuk menyapu seluruh rumah sebelum mengepelnya.Rumah Andra memiliki dua lantai, lantai pertama terdapat kamar tidur Hani, dapur, toilet serta ruang tamu. Sementara lantai dua hanya terdapat dua kamar tidur yang ditempati Andra dan satunya mejadi kamar Ruby yang akan menjadi tempat istirahat dan pulangnya.Ketika waktu menujukan pukul enam tepat, Ruby selesai mengepel seluruh lantai rumah. Dia hanya perlu waktu sepuluh menit untuk istirahat duduk, minum air dan melamun sebelum kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan."Nak, biar Nenek aja yang masak. Setelah ini kamu kerja, kan?"Ruby menoleh ketika Hani datang dengan tergopoh-gopoh. Ruby menyimpan mangkuk di meja makan sebelum merangkul lengan Hani untuk duduk."Gapapa, Nek. Lagipula sarapannya sudah sele
Ruby menatap sendu pada gundukan tanah dengan bibir bergetar yang tidak dapat berhenti menangis. Netranya mengabur ketika air mata luruh melewati pipinya. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan hadiah perpisahan sekolah dengan perpisahan yang sesungguhnya.Padahal baru satu tahun yang lalu dia mengunjungi pemakaman Ibunya dengan rasa kehilangan dan tidak percaya. Hari ini dia harus kembali menghadapi kenyataan pahit bahwa yang di ambil darinya kali ini adalah Ayahnya.Bahkan Ruby tidak tahu apa penyebab kecelakaannya karena otaknya mendadak berhenti berfungsi ketika Polisi dan para orang dewasa menjelaskan. Yang keluar hanya tangis tanpa kata apapun.Ruby sangat menyayangi Sapta meskipun dia bukan Ayah kandung Ruby. Dia menyayangi Sapta sebagai Ayahnya."Ruby, kamu yang tenang, ya? Harus kuat." Ujar Hani, wanita berumur yang merupakan Ibu dari Andra.Ruby menggeleng pelan, dipaksa kuat pun, dunianya benar-benar sedang hancur.Bagaimana mungkin Ruby kuat menjalani hidup tanpa peno
Jarinya tidak berhenti menggulir layar ponsel yang dia angkat di depan wajah sedangkan badannya rebah di atas ranjang. Rambut panjang lurusnya terurai sampai sisi ranjang dengan beberapa buku yang berserakan di sekitar tubuhnya. Setelah menghabiskan hampir tiga jam untuk belajar tes masuk ke perguruan tinggi, gadis berparas cantik itu memutuskan untuk beristirahat dengan berselancar di sosial media sebentar sebelum pergi tidur.Netranya mengerjap lelah setelah seharian melakukan acara perpisahan di sekolah, belum lagi dia harus belajar karena tanggal tes masuk ke perguruan tinggi sebentar lagi. Dia harus berusaha keras untuk mimpinya.Netranya terpejam dengan ponsel yang terjatuh ke perutnya sebelum badannya tersentak kecil ketika mendengar seruan dari luar pintunya."Ruby! Ayah kedatangan tamu, tolong bikinin minum!"Ruby berdecak sebelum menendang-nendang udara dengan kesal. Padahal sedikit lagi dia bisa bertemu idola koreanya dan berjabat tangan dalam mimpi."Siapa sih, yang datan