Andra sontak menutup pintu kamar Ruby dengan keras sebelum menyandarkan punggungnya dengan napas memburu. Andra mengusap keningnya, tiba-tiba badannya terasa panas ketika bayangan punggung polos Ruby kembali hinggap di kepalanya membuat Andra memukul kepalanya sendiri ketika otaknya sudah tidak bisa dia kontrol.
"Ruby! Cepet turun sarapan!" Teriak Andra sebelum berlari turun. Tangannya terulur mengisi gelas dengan air putih sampai penuh dan sedikit tumpah sebelum menghabiskannya dalam satu kali tegukan ketika tenggorokannya tiba-tiba kering. Andra menghidupkan AC, menambah suhu mendapati badannya tiba-tiba panas. Andra menarik napas dalam, mencoba untuk tenang tapi reaksi tubuhnya tidak dapat dia kontrol. Hani yang duduk di depan Andra jadi mengerjap, mendapati anak bungsunya yang biasa tenang kini bergerak-gerak gelisah. Andra berdecak sebelum kembali mengambil air mineral dan menenggaknya sebelum dia menyemburkan airnya ketika mendapati Ruby turun dari tangga dengan rambut acak-acakan dengan pakaian kemeja putih yang panjangnya menutupi celana pendek sepaha yang Ruby kenakan. Andra menggelengkan kepalanya kuat tatkala bayangan punggung polos Ruby kembali hadir bagai lagu yang terngiang-ngiang tidak mau pergi dari kepalanya. Gila. Sepertinya lama-lama dia bisa gila. "Loh, Nenek mau kemana?" Tanya Ruby sambil duduk di sebelah Andra membuat empunya mengumpat dalam hati. Kenapa harus memilih duduk di sebelahnya. Sementara Andra tidak bisa diam, Ruby menyendok makanan ke dalam piring sebelum melirik Andra sekilas. "Nenek udah selesai, kalian sarapan aja, jangan buru-buru mumpung hari ini libur." Ujar Hani tersenyum sambil mengusap punggung Ruby sebelum melenggang pergi. Andra menghembuskan napas kasar ketika Ruby mengubah posisi duduknya menjadi bersila membuat ujung lutut Ruby menyentuh celana Andra sedikit. Netra Ruby membelalak ketika kursinya digeser menjauh oleh Andra menggunakan sebelah kakinya. "Apa kamu tidak punya malu hanya memakai kemeja saja?" Ruby yang sedang mengunyah itu jadi menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Saya pakai celana kok, cuman pendek." Ujar Ruby mengangkat ujung kemejanya membuat Andra segera membuang muka. "Kamu memang tidak punya urat malu, ya?" "Bukannya setiap hari udah biasa saya pakai baju kayak gini? Ini bukan pertama kalinya Bapak lihat dan Nenek Hani juga biasa aja. Ini kan baju rumahan saya, Pak." "Ada baiknya kamu memilih baju rumah yang lebih tertutup. Ini untuk kebaikan kamu sendiri dan lagi jika kamu lupa, di rumah ini ada laki-laki. Seharusnya kamu lebih menjaga sopan santun dalam berpakaian, apalagi saya dosen kamu sekarang." Ujar Andra tanpa menoleh. Ruby mengernyit mendengar nasihat Andra yang panjang lebar, padahal akhirnya dia bisa senang tanpa ada yang merecoki dan mengomelinya tapi kali ini Ruby dibuat jengah kembali. "Tapi Pak, saya udah biasa pakai baju begini dan semua baju saya juga modelnya gak jauh beda. Padahal kita udah tinggal selama tiga tahun bareng tapi kenapa Bapak baru protes sekarang?" Tanya Ruby dengan raut wajah kesal yang kentara. Mendadak selera makannya hilang. Karena Andra sudah melihat punggung Ruby yang polos! Oleh karena itu jika dia melihat bagian tubuh Ruby yang tidak tertutup oleh pakaian, pikirannya akan langsung melayang pada kejadian pagi ini. Maka dari itu Andra sudah menetapkan pikirannya, "Saya membuat keputusan untuk menetapkan aturan yaitu dilarang mengenakan baju ketat dan kurang bahan di rumah ini!" Ujar Andra membuat Ruby melotot tidak setuju. "Maaf sebelumnya, tapi saya gak mau di atur Pak. Melihat yang tinggal di rumah ini hanya tiga orang, sudah jelas bahwa peraturan itu untuk saya, dan saya gak suka diatur." Jawab Ruby. "Tapi ini rumah saya dan kamu tinggal disini!" "Tapi saya bayar!" "Kalau begitu, tidak boleh memakai pakaian ketat di depan saya!" Putus Andra membuat Ruby mengernyit. Sebenarnya ada apa? Kenapa Andra tiba-tiba bersikap seperti ini? Netra Ruby jadi membelalak dengan tangan yang menutup mulutnya sendiri, "Apa jangan-jangan ... Bapak beneran tergoda sama saya?" "Mana mungkin saya tergoda dengan tubuh anak-anak." Andra mengelak. Ruby menoleh protes, "Kalau gitu apa Pak Andra mau lihat tubuh saya supaya Bapak yang keras kepala ini percaya kalau saya udah bukan anak-anak lagi?" Andra melotot, "Kamu gila?! Apa kamu sudah tidak punya urat malu berbicara seperti itu pada orang yang lebih tua apalagi saya dosen kamu?!" "Kalau gitu jangan panggil saya anak-anak!" Ujar Ruby tegas. Keduanya saling menukar pandangan sebelum membuang muka ketika Hani berjalan melewati keduanya untuk ke arah dapur. "Pokoknya tidak boleh memakai pakaian ketat!" Ujar Andra berbisik. "Pokoknya gak mau!" Protes Ruby menggeleng kuat. "Kamu harus menuruti saya!" "Kenapa Bapak ngatur?" ** Deru motor meraung menulikan gendang telingan bersamaan dengan asap motor yang mengepul ke udara menjadi polusi. Tidak hanya asap motor, tapi asap rokok begitu menusuk hidung. Seorang wanita seksi dengan bendera di tangannya berdiri di tengah kedua pengendara motor yang sedang menarik gasnya sebelum benderanya dia lempar dan kedua motor tersebut melaju kencang saling susul demi menggapai kemenangan. Teriak terdengar berisik dan heboh dari penonton yang antusias meneriakan nama calon juara yang mereka dukung demi kembalinya modal dari taruhan yang sudah di pasang. Begitu pula dengan Ruby dan Karin yang tidak kalah semangat meneriakan nama pacar masing-masing. Sampai Ruby berteriak paling heboh ketika pacarnya yang sampai garis finish terlebih dahulu. Dika mengangkat tangannya ke atas setelah memarkir motor membuat semua orang berteriak dan membopongnya untuk di lempar ke atas. Setelah seremoni yang begitu membahagiakan, Dika menghampiri Ruby membuat semua orang yang mengetahui hubungan keduanya bersorak menggoda. "Selamat." Ujar Ruby tersenyum membuat Dika mengangguk sebelum memeluknya. Semua orang sontak menjerit termasuk Karin yang bersorak sebelum lelaki tinggi merangkul dirinya dan menariknya mendekat. "Lo kesel karena kalah?" Tanya Karin membuat Malik menggeleng pelan. "Gue seneng karena lo datang." Ujar Malik. "Yeu gombal." Decak Karin sebelum kembali menatap Ruby. "Lo gak dimarahin kalau pulang malem?" Ruby sontak melirik jam tangannya yang menunjukan pukul enam tepat. "Gak akan. Gak ada larangan pulang malem. Gue juga punya kunci cadangan, jadi gue bakal main sampai malem!" Ujar Ruby bersorak membuat Dika memeluknya gemas. "Nanti gue anterin pulang." Ujar Dika membuat Ruby mengangguk sebelum keningnya mengernyit ketika perutnya melilit membuat tungkainya lemas. Dika sontak memegang lengan Ruby agar tidak ambruk dengan wajah cemas, "Lo kenapa? Sakit?" ** "Gimana? Udah baikan?" Tanya Dika sambil mengusap pelipis Ruby. Ruby mengangguk sebelum menyandarkan kepalanya pada bahu Dika membuat tangan Dika terulur mengusap surainya. Karena tamu bulanan Ruby datang, Ruby harus pulang duluan. Kebetulan Andra mengirim pesan bahwa dia akan pulang larut sementara Hani sedang pergi ke rumah Paman Andra lagi membuat rumah kosong, maka dari itu Dika memutuskan untuk mampir dan merawat Ruby sebentar. Ruby menatap kaleng jamu pereda nyeri haid yang dibelikan oleh Dika sebelum mengulum senyum ketika jantungnya berdebar, Dika memang seperhatian itu. Meskipun terbilang anggota geng dan anak nakal, tapi jika bersamanya, Dika menjadi pribadi yang dewasa dan lembut. Mereka baru jadian satu bulan yang lalu, tepat saat Ruby masuk Universitas dengan Dika yang merupakan katingnya. Tanpa pdkt, Dika langsung tancap gas dan beruntungnya Ruby menerima. Ruby pikir cinta bisa datang belakangan, kapan lagi dia ditembak oleh kating ganteng yang populer seantero kampus. Belum lagi Ruby sudah lama mendambakan hidupnya yang berwarna karena memiliki kisah cinta setelah sekian lama berjuang sendirian dan kesepian. Ruby mendongkak sontak membuat Dika menunduk, keduanya saling bertukar pandang dalam jarak yang begitu dekat sampai deru napas mereka yang hangat terasa di kulit masing-masing. Pandangan Dika jatuh pada bibir Ruby yang ranum dan dipoles lipstik merah menggoda membuatnya mengikis jarak. Sontak Ruby memejamkan netra, bibir keduanya hampir bersentuhan sebelum suara pintu terbuka dan Andra muncul dengan raut wajah memerah dengan emosi yang naik ke ubun-ubunya. "Apa yang kamu lakukan di rumah saya, Ruby?""Kamu tahu apa salahmu?"Ruby menundukkan kepala, meremas ujung sofa yang dia duduki sambil mengangguk, mengakui bahwa dia salah."Lain kali jangan bawa pacar kamu ke sini!" Andra memperingatkan membuat Ruby mendongkak menatapnya yang berdiri menjulang di depannya."Kalau gitu saya mau keluar dari rumah ini untuk ngekos."Andra sontak mengangkat alis sambil menatapnya tidak percaya."Kamu meminta saya mengijinkan kamu tinggal sendiri setelah saya melihat kamu dan pacar kamu hampir ciuman?!""Bukannya kalau pacaran, ciuman itu hal biasa, Pak?" Tanya Ruby melengos kasar."Saya mengerti, untuk hubungan asmara anak muda yang membara itu adalah hal yang sama dengan pegangan tangan. Tapi bagaimana jika kalian kebablasan saat sedang berdua di kosan? Tidak ada yang tahu! Nafsu bisa datang saat berduaan, maka dari itu yang ketiganya setan!" Ujar Andra membuat Ruby menunduk."Maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulanginya." Ujar Ruby ketika menyadari bahwa memang dialah yang salah membawa ora
Andra membanting pintu kamarnya sebelum mengacak belakang rambutnya sendiri dengan gusar. Andra berjalan mondar-mandir sebelum berdecak dan duduk di kursi kerjanya sambil kembali mengacak rambutnya kesal.Netra Andra melirik pada ponsel yang berada di atas meja, menimang-nimang sebelum meraih dan menekan nomor Brian. "Wah, ada apa Pak Dosen nelpon malem-malem?" Tanya Brian di seberang telpon."Bri, gue ... ehm kenapa ya, gue?" Tanya Andra sambil mengernyit dan mengacak rambutnya sendiri."Lah? Mana gue tahulah, nyet! Lo kenapa? Kok kayak lagi gelisah gitu? Gak biasanya, padahal elo itu tipe yang paling tenang diantara kita." Ujar Brian."Gue juga gak tahu kenapa gue kayak gini.""Ck, ceritain pelan-pelan."Brian tertawa setelah mendengar Andra bercerita bahwa dia marah karena Ruby akan berciuman dengan pacarnya."Fiks, sih! Elo suka sama anak yang namanya Ruby! Eh, sorry! Bukan anak-anak ya? Udah dewasa!" Ujar Brian sambil tertawa geli."Suka sama Ruby? Gak mungkin. Apa mungkin gue u
"Ha? Dihukum? Pak Andra ngomomg apa, sih?" Tanya Ruby meneguk ludah gugup tatkala Andra mengikis jarak, tangan Ruby terjulur mendorong dada Andra namun gagal tatkala Andra menyingkirkan tangannya sebelum mendorong bahu Ruby.Memojokannya membuat punggung Ruby menyentuh pintu kulkas, Ruby tidak bisa kabur tatkala Andra mengurung tubuhnya dengan kedua tangan membuat Ruby meneguk ludah, melirik takut-takut pada Andra yang menatapnya tajam dengan raut wajah mengeras."Dari kapan mau merokok?" tanya Andra membuat Ruby meneguk ludah."U-udah lama, Pak. Tapi saya gak sering kok." Ujar Ruby meringis pelan sebelum tersentak tatkala Andra merampas rokok di tangannya sebelum melemparkannya pada tempat sampah."Saya memang bukan siapapun, saya tidak punya hak melarang kamu merokok, tapi mohon mengikuti peraturan di rumah ini, jangan merokok di sekitaran apalagi di dalam rumah karena orang tua saya masih tinggal di sini, Ruby. Asap rokok bisa sangat berbahaya jika dihirup dan mengepul dalam rumah.
"Ruby, kamu gak sarapan?" Langkah Ruby terhenti, dia meneguk ludah, perilaku Andra padanya tadi malam masih membekas di setiap ingatan atau kulit dan bibir yang Andra sentuh. Kepala Ruby menggeleng kuat, mengenyahkan pikiran gilanya. "Aku mau sarapan di kampus aja, bareng pacar aku." Jawab Ruby, menekankan kalimat terakhir sebelum tersenyum sopan dan menunduk untuk pamit. Andra yang tengah duduk di meja makan jadi menatap punggung Ruby yang menghilang dari balik pintu sebelum menghembuskan napas kasar. Sepertinya akan sulit sekali mendapat hati gadis itu meskipun Andra sudah terang-terangan, apalagi masih ada nama lelaki lain dalam hatinya. * "Lo ngapain bengong di sini?" Ruby tersentak tatkala Karin sudah ada di sampingnya. "Gue lagi nungguin Dika." jawab Ruby meringis pelan, berdiri di samping pintu kelas yang tertutup sebelum pintunya terbuka, para mahasiswa dan mahasiswi mulai keluar. Sementara kelas Ruby sudah selesai lebih awal, dia berniat pulang bersama Dika."Kal
"Permisi, Pak Andra."Ruby sontak mendorong Andra menjauh sampai tubuh lelaki itu terjungkal ke tepi sofa, Ruby refleks berdehem canggung, berpura-pura sibuk pada kertas lagi sebelum mendongkak menemukan Sinta yang membuka pintunya barusan.Ternyata Dosennya yang lain."Ada apa, Bu?" tanya Andra setelah berdehem pelan."Bapak sibuk? Saya mau mendiskusikan hal yang kemarin saya bilang. Bapak ada waktu?" tanya Sinta, melirik Ruby sebelum membalas senyum mahasiswinya.Andra sontak mengangguk sebelum mempersilahkan Sinta duduk. Senyum segaris sontak tersungging dari bibir Ruby, harus bagaimana dia sekarang? Entah kenapa ini canggung sekali, mana pekerjaan yang dimintai tolong oleh Andra belum selesai. Ini terasa canggung karena Ruby sesekali melirik pada Sinta yang seperti tidak nyaman dengan kehadiran Ruby di ruangan ini.Ruby mengerti sekali tatapan Sinta pada Andra. Sudah jelas dosen perempuannya itu menyukai om-om modus di sebelahnya ini. Tatapan netranya persis seperti saat Ruby mena
"Padahal saya bisa pulang sendiri." Tukas Ruby setelah masuk ke dalam mobil Andra, duduk di sebelahnya yang mengemudi."Padahal kalau ada kejadian seperti tadi, kamu bisa memberitahu saya." Tukas Andra."Kenapa saya harus? Itu kan urusan saya bukan urusan Pak Andra." Tukas Ruby heran membuat Andra menghela napas.Ruby tersentak saat Andra mencondongkan tubuh ke arahnya sampai ujung hidung keduanya hampir bersentuhan membuat Ruby menahan napas."A-apa? Kenapa?" Tanya Ruby terbata sebelum mengerjap tatkala Andra hanya memasangkan sabuk pengamannya sebelum kembali mundur ke jok mobilnya sendiri.Ruby menakan dadanya sendiri dengan ujung jari sebelum menghembuskan napas panjang. Seharusnya dia tidak boleh berdebar pada lelaki lain apalagi Andra. Ruby sudah punya kekasih, jika begini, dia akan menyakiti kekasihnya Dika."Lain kali jangan begitu, bilang aja. Saya punya tangan sendiri." Tegur Ruby, menatap keluar jendela.Andra meliriknya, dia sadar bahwa Ruby kesal dengan tindakannya, tapi
"Kamu dimana? Kenapa gak ngabarin? Aku udah spam chat padahal." Ujar Ruby pada sebrang telepon.Andra menipiskan bibirnya dengan perasaan bergemuruh, padahal selama ini Ruby yang dia kenal adalah perempuan pekerja keras akan hidupnya, mandiri, tegas dan tidak ragu dalam mengambil keputusan. Ruby adalah perempuan yang bisa segalanya sendiri.Namun saat ini saat mendengar nada bicara Ruby yang clingy pada pacarnya, Andra baru mengetahui sisi Ruby yang lain. Ternyata dia bisa semanja dengan orang yang dia sayangi.Genggaman tangan Andra pada stir mobil menguat dengan api panas di kepalanya yang pening, dia berharap sifat manja Ruby hanya ditunjukan padanya. Dia ingin membuat Ruby menunjukan seluruh sifatnya.Andra jadi menghela napas panjang, dia harus sabar untuk mengejar Ruby. Sebenarnya sikap Ruby saat ini wajar mengingat hubungan keduanya sebelumnya, pasti sangat canggung untuk gadis itu jika tiba-tiba Andra mendekati layaknya pria dewasa.Dia harus mengubah persepsi Ruby padanya. Bu
Sorak-sorai diiringi teriakan yang menggelegar dari ribuan orang memenuhi stadion, menggetarkan atsmosfer juga gendang telinga, namun tidak cukup untuk membuat Andra bereaksi banyak. Pria dengan kaos bola berwarna merah cabe yang dibalut jaket hitam tebal. Setelah keringatnya bercucuran membasahi pelipis dan punggung, Andra jadi merasa menyesal harus memakai jaket ini, namun jika tidak, besoknya dia akan masuk angin."Haahh," Andra menghela napas kasar, meskipun terlihat awet muda dan bugar, tapi usianya tidak bisa bohong jika tubuhnya sekarang jompo dan mudah masuk angin.Apalagi pekerjaan Andra hanya mengharuskan tubuhnya duduk diam berjam-jam di depan laptop atau sekedar berdiri puluhan menit di depan kelas. Bukan jenis pekerjaan berat yang dapat membuat tubuh mengalami sekresi. Itu juga yang membuat daya tahan tubuh Andra semakin menurun. Dia tidak punya dan tidak sengaja menyisihkan waktu untuk berolahraga karena sibuk bekerja.Andra jadi menipiskan bibir, jika begini terus dia a
Netra Andra melebar dengan jantung mencelos tatkala mendapati untuk pertama kalinya Ruby menginginkan untuk menyentuh bahkan memeluk Andra dengan kesadarannya sendiri. Kening Andra mengernyit, hatinya ikut sakit saat mendapati pundak Ruby bergetar dengan tangisnya yang menyayat pilu. Andra segera membawanya ke pelukan lebih erat, mengusap punggungnya mencoba menenangkan sebelum menggendong Ruby tanpa mengubah posisinya dengan muda dan membawanya masuk ke mobil.Andra menempatkan Ruby di kursi samping kemudi sebelum dia beralih ke kursinya sendiri. Andra mengambil selimut, memakaikannya pada tubuh Ruby yang menggigil kedinginan baru Andra mendekat untuk membantu memasangkan sealt belt. Tangis Ruby tidak reda, namun bibirnya tetap bergetar dan terisak.Andra mengambil beberapa lembar tisu, melap wajahnya yang basah juga sisi wajahnya yang kotor karena tanah kuburan yang menempel di sana. Setelahnya Andra baru memberikan mug hangat berisi air hangat, memaksa kedua tel
Tangan Ruby bergetar, napasnya memberat dengan netra memburam karena air mata melesak berlomba agar keluar dan turun membasahi mata. Napasnya mulai memburu namun dengan cepat dia memfoto semua riwayat chat Dika dan wanita itu yang diberi nama 'Penjual Galon' oleh Dika. Setelah mendapatkan semua bukti, Ruby melempar ponsel Dika ke kursi, dia menyambar tasnya dan segera berlari keluar dari sana dengan kaki pincang dan menjeritkan tangis pilu. Ruby masih terus berlari menjauhi rumah Dika, dia membelah jalanan komplek sebelum berbelok ke gang sempit antar celah rumah setelah mendengar suara Dika meneriakan namanya keluar rumah. Ruby memaksa kakinya yang pincang untuk berlari keluar dari gang sempit, dia menginjak jalanan besar perumahan kembali sebelum berlari untuk keluar dari sana. Tangisnya tidak berhenti, malah semakin keras dan keras. Dia mematikan ponselnya agar Dika tidak bisa melacak keberadaannya lewat aplikasi track girlfriend. Air
"Kemana pacar kamu? Udah pulang?" Tanya Andra setelah menginjak anak tangga terakhir. Wajahnya sudah lebih segar setelah mandi, mengenakan kaos rumahan dan celana joger panjang.Ruby yang tengah duduk di sofa jadi menoleh. "Dika di toilet. Kita mau jalan sekarang."Andra bisa melihat Ruby tampil lebih segar dengan dress polkadot merah semata kaki dibalut kardigan berwarna tulang. Rambut panjang diikat kuda.'Cantik seperti biasa.' Puji Andra dalam benaknya."Jalan kemana? Mau kukuh padahal kaki kamu lagi sakit?" Tanya Andra tidak habis pikir."Mau kemana pun bukan urusan Bapak, kan? Lagipula saya cuman main ke rumah Dika. Itupun gak akan banyak gerak, karena dia bisa gendong saya kapanpu. Kita cuman mau nonton." Jawab Ruby agak kesal karena tidak mau dikekang oleh seseorang yang bahkan bukan siapa-siapanya.Andra jadi mengernyit, nonton film? Di rumah cowok? Berduaan?Andra jadi teringat pernah menggep Ruby dan Dika yang
"Kenapa? Lo ketemu pacarnya Ruby?" Tanya Brian, nadanya lebih tenang sambil menahan tawa geli. Ini pertama kalinya, sahabatnya Andra uring-uringan karena seorang wanita.Mungkin ini akan menjadi hal penting dalam pertumbuhan perasaannya, sepertinya Brian akan merecord percakapan ini dan menyebarkan ceritanya di grup chatting circle mereka. Hitung-hitung hiburan di tengah hiruk pikuknya dunia kerja. Dan Andra yang menjadi topik hiburannya.Andra menghela napas kotor, menyugar rambutnya frutasi sebelum menahan tubuhnya pada tembok. "Dia datang ke rumah, jemput Ruby buat date. Kaki Ruby lagi cedera, gue pikir itu bisa jadi alesan buat mereka gagal date. Sialannya, mereka malah mesra-mesraan depan gue, mana nyokap welcome dan nawarin sarapan bareng lagi."Brian sontak terbahak lebar, bisa dipastikan dia tengah menahan perutnya yang geli sambil memukuli pahanya sendiri berkali-kali sekarang."Udah ketawanya?" Tanya Andra jengah."Ha ha ha. Hab
Andra menghela napas panjang, membiarkan suara bel berdenting memenuhi pendengarannya dengan emosi naik turun dan napas memburu. Melihat Andra tidak ingin beranjak membuat Hani mengambil alih untuk membukakan pintu. "Maaf ngerepotin, Nek." Ujar Ruby meringis bersalah karena kakinya. Hani hanya menggeleng pelan sebelum berlalu, meninggalkan Ruby dan Andra yang berada dalam keheningan. Tidak ada yang menyentuh alat makan mereka. Ruby merasakan aura dingin kuat yang menguar dari Andra tapi dia bungkam. "Apa gak sebaiknya janji kalian dibatalkan?" Tanya Andra setelah bergeming lama, menyahut datar dan penuh penekanan. Ruby sontak menoleh protes, "gak bisa dong, Pak! Kita udah gak ketemu seminggu ini dan cuman ngabarin lewat chat. Ini udah hari yang aku tungguin dari kemarin." Hati Andra serasa diremas mendengar jawabannya, panas, emosi dan cemburu bercampur aduk menjadi satu. Namun Andra menahannya meskipun raut
Begitu melihat Hani, sakit di pergelangan kaki Ruby sontak menghilang. Dia mendorong Andra sampai terjungkal ke belakang sebelum berdehem canggung."Tadi biaya diurutnya berapa, Nek? Aku ganti." Ujar Ruby, mengalihkan topik."Gak usah. Saya yang tanggung. Lagian jumlahnya gak banyak, kamu gak perlu ngerasa gak enak." Tolak Andra, beranjak berdiri sebelum meneguk segelas air dari atas meja.Hani mengangguk, mengambil alih duduk di sebelah Ruby sebelum mengusap bahunya penuh sayang. "Kamu jangan pikirin biayanya, ya? Lagipula, masalah kamu bayar karena tinggal di sini juga, Nenek masih kurang setuju sampai sekarang."Ruby terkekeh pelan, meraih jemari Hani yang sudah layu dengan permukaan tangan kasar namun hangat. "Ini kan kemauan aku sendiri, gapapa. Efek positivenya aku bisa mandiri. Meskipun kedepannya mungkin, aku bakal pikirin buat keluar dari sini dan ngekos."Sontak Andra maupun Hani terkejut samar."Kamu mau keluar dari rumah ini?" Tanya Hani."Kenapa mendadak?" Tanya Andra.Ru
Andra menaikan alisnya saat mendapati seorang pria kepala tiga, mungkin sebaya dengannya tengah melambai tinggi ke arah Ruby dengan senyumnya yang lebar. Andra tidak pernah melihatnya sebelumnya."Dia siapa?" Tanya Andra menoleh pada Ruby."Ah, itu ... Bapak inget waktu aku kecopetan? Beliau yang bantuin ngurus semuanya di kantor polisi. Dia aparat polisi, pak." Jawab Ruby agak berbisik, Andra sampai teralihkan karena panasnya napas Ruby yang menyentuh ujung telinganya, membuatnya tergelitik dalam perasaan senang."Hai.""Halo, pak Juan." Sapa Ruby melempar senyum sopan dan mengangguk.Juan jadi ikut tersenyum, agak terpana melihat Ruby yang berkeringat dengan seragam jogging, membuatnya nampak sangat segar dan muda. Andra yang menyadari tatapan terpana itu jadi menggeser tubuh membuat kini tubuh Andra yang menghadap Juan dengan Ruby di belakangnya."Ah, ini?" Tanya Juan melirik pada Ruby di belakang Andra."Saya—,""Ini saudara saya." Jawab Ruby cepat membuat Andra melotot samar, tid
Andra menipiskan bibir saat Ruby menampilkan raut wajah enggan dan canggung yang kentara, entah kenapa membuat hatinya teremas sakit. Sebegitu tidak maunya kah Ruby bersentuhan dengan dirinya? Padahal Andra tidak punya penyakit menular yang menyebabkan kematian.Jika tahu Ruby akan canggung dan menghindarinya seperti ini, Andra agak menyesal telah mengungkapkan perasaannya. Seharusnya Andra menahan diri, namun ternyata perasaannya bisa meledak begitu saja hanya dengan melihat wajah Ruby."Pak?" Panggil Ruby sebelum mengerjap tatkala menemukan raut wajah Andra yang menurun dengan gurat murung."Ruby, kamu tunggu di sini, ya? Saya bakalan pulang buat ambil kendaraan. Gak akan sampai lima menit, habis itu kita langsung ke klinik." Ujar Andra setelah termenung lama. Andra tidak bisa memaksa jika Ruby tidak ingin dia gendong. Lagipula wajar, dia wanita yang sudah dewasa dan Andra juga pria dewasa."Pak! Tunggu! Nanti Bapak bakal bolak-balik kalau gitu!" Tukas Ruby membuat langkah Andra yan
"Tumben udah bangun. Mau kemana kamu?" Tanya Hani, menyimpan segelas air putih di meja makan sebelum meniti penampilan Andra dari atas ke bawah. Biasanya saat wekeend seperti ini, Andra akan bangun lebih siang karena ini merupakan kesempatan liburnya dari rutinitas harian dan menumpuknya pekerjaan.Tapi kali ini, putranya sudah siap dengan kaos hitam dengan bahan menyerap keringat dan celana joger abu-abu."Olahraga. Udah lama badan gak gerak." Jawab Andra, mendekat pada Hani sambil melakukan peregangan."Gimana keadaan Bang Putra ? Udah sehat? Aku gak enak karena gak jenguk." Ujar Andra mengingat Hani menginap di rumahnya beberapa hari ini.Hani menggeleng sekilas, "Putra sendiri yang larang kamu datang. Dia gak mau repotin kamu apalagi tahu kalau kamu selalu sibuk sama kerjaan. Ini juga bukan operasi gede. Usus Putra udah baik-baik saja. Untung istrinya Putra baik, perhatian dan bisa ngurus suaminya dengan baik." Ujar Hani membuat Andra mengangguk, turut merasa lega."Kamu kapan pun