"Oh, sayang!" Zoya memanggil, matanya berbinar saat suaminya mendekat, sedikit lebih lambat dari langkah cepatnya beberapa saat lalu.Arvin berdeham singkat, "Jadi, bisakah aku bergabung merayakan ulang tahunmu?" tanyanya dengan nada seperti orang linglung.'Dia pasti baru saja bangun dan bergerak cepat ke sini.' Zoya membatin kasihan, tapi senyumnya segera terbit saat ia menunjuk pada kursi kosong di sisi kanannya."Kamu juga harus duduk, Mia!" Zoya memberi arahan yang jelas tudak bisa dibantah.Meski sedikit kikuk dan ragu awalnya, Mia memilih untuk menuruti permintaan Zoya setelah melihat Arvin mengangguk dan mengizinkannya untuk duduk juga. Setelahnya, Zoya melanjutkan menutup mata, dengan kedua tangan yang terjalin di depan dada. Tidak banyak yang bisa Zoya harapkan untuk angka 20 di atas kue ulang tahunnya, jadi wanita itu hanya berdoa agar apa pun luka atau rasa kecewa yang ia miliki di masa lalu bisa sembuh perlahan dan tidak mengganggunya lagi.Zoya meniup lilin beberapa kali
Mereka terlambat untuk makan malam, persis seperti yang Zoya pikirkan. Wanita itu menuruni tangga dengan wajah merengut, tahu jika dokter sudah datang dan sedang memeriksa Kaindra dari salah satu pelayan yang mengetuk kamarnya."Jangan menyentuhku!" sungut Zoya ketika Arvin mengejar dan mencoba meraih pinggangnya. Zoya menjauh, mempercepat langkah dengan wajah masam. "Aku kan, tidak mengingkari janji, Love!" Arvin kembali berjalan di sisi Zoya, sedikit menyeringai melihat bibir cemberut wanita itu. "Aku hanya melakukannya sekali sesuai keinginanmu!"Zoya langsung menoleh, matanya menatap tajam, seolah sebuah sinar merah akan keluar dari tatapannya jika itu adalah sebuah komik. "Memang hanya sekali, tapi kamu menundanya sangat lama! Sudah kubilang untuk menyelesaikannya dengan cepat, tapi kamu--!" Seruan Zoya terhenti saat menyadari jika langkahnya sudah sampai di dekat kamar Kaindra, beberapa pelayan menoleh saat mendengar suara Zoya yang sedikit keras.Zoya menarik napas panjang, m
Zoya kembali ke kamarnya setelah menghabiskan makan malam dan memberi tambahan waktu bagi Elvio untuk bermain hingga pukul sembilan. Beruntung Arvin juga memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, jadi pria itu segera mendekam di ruang kerjanya dan meminta Zoya untuk datang setelah menidurkan Elvio.Masih ada satu jam sebelum jadwal tidur Elvio datang, jadi Zoya memilih untuk menyalakan laptop dan membuka file-file yang dikirimkan Hana.Seperti yang dikatakan Arvin, lambang kepala serigala itu adalah milik Thrixx. Hana memberi laporan yang jelas jika tidak ada organisasi lain dengan lambang seperti itu selain Thrixx, karena bagi mereka yang bekerja di dunia bawah seperti itu, lambang adalah harga diri yang tidak boleh sama dengan siapa pun."Bukan organisasi yang besar, tapi karena berada di bawah pohon keluarga Veuster, maka tidak ada yang berani menyentuh Thrixx?" Zoya bergumam saat membaca informasi yang tertera.Jika Kaindra adalah musuh bagi Thrixx sejak pria itu menghabisi salah sa
"Dokter tadi bilang apa tentang om Kai?" Zoya yang sedang menyelimuti Elvio, menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan anak itu. Senyumnya terukir dengan lembut."Dokter bilang akan segera sembuh, tapi setidaknya membutuhkan waktu hingga satu bulan sebelum om Kai boleh beraktivitas lagi."Elvio mengerjap, "Lebih parah dari aku berarti ya, Ma?" tanyanya seraya menghela napas lega. Padahal ia sudah sedikit khawatir jika harus mendekam di rumah sakit terlalu lama sejak mendengar jika ia harus dioperasi waktu itu, tapi dokter mengizinkannya untuk pulang tidak sampai sepuluh hari setelah dirawat.Zoya terkekeh pelan. Alasan Elvio diperbolehkan pulang adalah karena keinginan Zoya sendiri yang selalu menerima keluhan dari Elvio. Tentu saja berada di rumah sakit itu membosankan, jadi Zoya memilih untuk membawa pulang putranya dengan syarat untuk rajin kontrol."Ah, itu jadi mengingatkan Mama pada jadwal pemeriksaanmu besok!" Zoya mengecup kening putranya sebelum menepuk-nepuk pelan t
Kedua wanita itu langsung menoleh, Zoya menahan tawanya melihat Arvin bersandar di pintu dengan kening berkerut. "A-anu ... maksud saya begini ...." Mia gelagapan, tidak pernah berpikir seseorang yang sedang ia bicarakan tiba-tiba datang. Meski dia tidak menyukai Arvin sekali pun, status mereka yang sangat berbeda sama sekali tidak membenarkan tindakan Mia untuk terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka."Ma-maafkan saya, Tuan." Mia menunduk, sedikit gemetar ketakutan. Meski Arvin bersikap baik padanya, hal itu semata karena Zoya yang meminta. Pria itu pasti tidak akan memaafkannya orang yang sembarangan bicara."Akan kupikirkan bisa memaafkanmu atau tidak pagi nanti," ucap Arvin seraya menunjuk pada jam dinding. "Sudah waktunya untuk tidur," lanjutnya."Oh!" Zoya yang menyadari jika sudah pukul satu dini hari sekarang, langsung mengerjap tidak percaya. Padahal rasanya ia baru saja memasuki kamar Kaindra, tapi sudah berjam-jam berlalu?!"Kamu juga harus beristirahat, Mia. Aku yakin
"Ap-apa maksud--!""Aku tahu yang kalian lakukan sejak dulu," ucap Zoya, tidak memberi kesempatan bagi wanita yang tampak pucat di depannya untuk berpura-pura tidak mengerti. "Aku tidak tidur saat kamu dan Kai mulai berciuman di ruang belajar. Aku bahkan menahan langkahku saat melihat kalian bercumbu di pinggir kolam renang."Zoya tersenyum lebar, menepuk bahu Mia sekali sebelum merangkulnya. "Aku diam saja karena berpikir kalian sudah cukup dewasa untuk memahami resiko dari hubungan kalian. Apa menurutmu tindakanku menutup mata waktu itu salah?"Mia menunduk, merasa bersalah karena tidak pernah mengatakan apa-apa pada Zoya. Seandainya Kaindra bukanlah saudara kembar Zoya, Mia pasti akan menceritakan segalanya, segala hal tentang pria yang ia kagumi. Sayangnya, Mia tidak bisa menceritakannya. Memang apa yang bagus dari hubungannya dan Kaindra? Mia hanya menerima saat Kaindra menciumnya, menikmati setiap sentuhan sang tuan muda dan merasa kehilangan saat kehangatan itu menjauh. Tapi,
Kata-kata Zoya menimbulkan keheningan di meja makan, bahkan Elvio yang sedang meneguk susu coklatnya pun turut berhenti."Kamu serius?" Arvin mengernyit, tentu saja terkejut atas keputusan mendadak istrinya."Kenapa tiba-tiba berhenti?" Elvio ikut bertanya, matanya mengerjap bingung."Bukankah kamu yang bilang kita akan kembali ke kediaman utama Kalandra saat hotel di sini sudah diresmikan? El juga sebentar lagi lulus, hanya tinggal menunggu ijazah sebenarnya, jadi sebaiknya aku berhenti juga." Zoya meraih tangan Arvin, mengelusnya perlahan dan meyakinkan pria itu jika keputusannya sudah bulat. "Aku tidak pernah bermaksud memaksamu--!""Aku juga tidak pernah bilang begitu?" Zoya memotong, senyumnya terpatri sempurna. "Ada sesuatu yang ingin kulakukan setelah kita kembali ke kediaman Kalandra. Maksudku ... bersamaan dengan masuknya El ke SD, aku juga berniat untuk melanjutkan pendidikanku." Zoya sudah memikirkan hal ini sejak beberapa hari terakhir. Ia ingin menjadi pendamping yang s
Zoya mengerjap pelan, keningnya mengernyit bingung atas pertanyaan Arvin. Kalau yang memberikannya adalah pelayan di kediaman Kalandra, bukankah sudah pasti itu hadiah dari Arvin? Zoya ingat merasa kesal karena pria itu tidak memberikannya secara langsung dan malah menitipkannya pada pelayan."Semua hadiah pernikahan yang kuberikan sudah ada di kamarmu, Love, aku meminta pelayan untuk langsung menyusunnya di sana. Kamu masih ingat wajah pelayan itu?" Zoya mengangguk, "Dia salah satu yang paling sabar menghadapiku," ucapnya terus terang. Sejujurnya seluruh pelayan di kediaman Kalandra tidak ada yang pernah melawan atau mendesah kesal atas sikap Zoya, mereka selalu melayani dengan baik tidak peduli kekacauan apa yang telah Zoya lakukan."Kita akan bertanya padanya setelah kembali ke kediaman utama." Arvin memutuskan setelah tidak menemukan solusi lain atas pertanyaannya. Lagi pula perhiasan yang dikenakan Zoha saat ini sangat cocok dengannya. Sampai di depan gerbang sebuah rumah, Zoya
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,