Zoya kembali ke kamarnya setelah menghabiskan makan malam dan memberi tambahan waktu bagi Elvio untuk bermain hingga pukul sembilan. Beruntung Arvin juga memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, jadi pria itu segera mendekam di ruang kerjanya dan meminta Zoya untuk datang setelah menidurkan Elvio.Masih ada satu jam sebelum jadwal tidur Elvio datang, jadi Zoya memilih untuk menyalakan laptop dan membuka file-file yang dikirimkan Hana.Seperti yang dikatakan Arvin, lambang kepala serigala itu adalah milik Thrixx. Hana memberi laporan yang jelas jika tidak ada organisasi lain dengan lambang seperti itu selain Thrixx, karena bagi mereka yang bekerja di dunia bawah seperti itu, lambang adalah harga diri yang tidak boleh sama dengan siapa pun."Bukan organisasi yang besar, tapi karena berada di bawah pohon keluarga Veuster, maka tidak ada yang berani menyentuh Thrixx?" Zoya bergumam saat membaca informasi yang tertera.Jika Kaindra adalah musuh bagi Thrixx sejak pria itu menghabisi salah sa
"Dokter tadi bilang apa tentang om Kai?" Zoya yang sedang menyelimuti Elvio, menghentikan gerakannya saat mendengar pertanyaan anak itu. Senyumnya terukir dengan lembut."Dokter bilang akan segera sembuh, tapi setidaknya membutuhkan waktu hingga satu bulan sebelum om Kai boleh beraktivitas lagi."Elvio mengerjap, "Lebih parah dari aku berarti ya, Ma?" tanyanya seraya menghela napas lega. Padahal ia sudah sedikit khawatir jika harus mendekam di rumah sakit terlalu lama sejak mendengar jika ia harus dioperasi waktu itu, tapi dokter mengizinkannya untuk pulang tidak sampai sepuluh hari setelah dirawat.Zoya terkekeh pelan. Alasan Elvio diperbolehkan pulang adalah karena keinginan Zoya sendiri yang selalu menerima keluhan dari Elvio. Tentu saja berada di rumah sakit itu membosankan, jadi Zoya memilih untuk membawa pulang putranya dengan syarat untuk rajin kontrol."Ah, itu jadi mengingatkan Mama pada jadwal pemeriksaanmu besok!" Zoya mengecup kening putranya sebelum menepuk-nepuk pelan t
Kedua wanita itu langsung menoleh, Zoya menahan tawanya melihat Arvin bersandar di pintu dengan kening berkerut. "A-anu ... maksud saya begini ...." Mia gelagapan, tidak pernah berpikir seseorang yang sedang ia bicarakan tiba-tiba datang. Meski dia tidak menyukai Arvin sekali pun, status mereka yang sangat berbeda sama sekali tidak membenarkan tindakan Mia untuk terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka."Ma-maafkan saya, Tuan." Mia menunduk, sedikit gemetar ketakutan. Meski Arvin bersikap baik padanya, hal itu semata karena Zoya yang meminta. Pria itu pasti tidak akan memaafkannya orang yang sembarangan bicara."Akan kupikirkan bisa memaafkanmu atau tidak pagi nanti," ucap Arvin seraya menunjuk pada jam dinding. "Sudah waktunya untuk tidur," lanjutnya."Oh!" Zoya yang menyadari jika sudah pukul satu dini hari sekarang, langsung mengerjap tidak percaya. Padahal rasanya ia baru saja memasuki kamar Kaindra, tapi sudah berjam-jam berlalu?!"Kamu juga harus beristirahat, Mia. Aku yakin
"Ap-apa maksud--!""Aku tahu yang kalian lakukan sejak dulu," ucap Zoya, tidak memberi kesempatan bagi wanita yang tampak pucat di depannya untuk berpura-pura tidak mengerti. "Aku tidak tidur saat kamu dan Kai mulai berciuman di ruang belajar. Aku bahkan menahan langkahku saat melihat kalian bercumbu di pinggir kolam renang."Zoya tersenyum lebar, menepuk bahu Mia sekali sebelum merangkulnya. "Aku diam saja karena berpikir kalian sudah cukup dewasa untuk memahami resiko dari hubungan kalian. Apa menurutmu tindakanku menutup mata waktu itu salah?"Mia menunduk, merasa bersalah karena tidak pernah mengatakan apa-apa pada Zoya. Seandainya Kaindra bukanlah saudara kembar Zoya, Mia pasti akan menceritakan segalanya, segala hal tentang pria yang ia kagumi. Sayangnya, Mia tidak bisa menceritakannya. Memang apa yang bagus dari hubungannya dan Kaindra? Mia hanya menerima saat Kaindra menciumnya, menikmati setiap sentuhan sang tuan muda dan merasa kehilangan saat kehangatan itu menjauh. Tapi,
Kata-kata Zoya menimbulkan keheningan di meja makan, bahkan Elvio yang sedang meneguk susu coklatnya pun turut berhenti."Kamu serius?" Arvin mengernyit, tentu saja terkejut atas keputusan mendadak istrinya."Kenapa tiba-tiba berhenti?" Elvio ikut bertanya, matanya mengerjap bingung."Bukankah kamu yang bilang kita akan kembali ke kediaman utama Kalandra saat hotel di sini sudah diresmikan? El juga sebentar lagi lulus, hanya tinggal menunggu ijazah sebenarnya, jadi sebaiknya aku berhenti juga." Zoya meraih tangan Arvin, mengelusnya perlahan dan meyakinkan pria itu jika keputusannya sudah bulat. "Aku tidak pernah bermaksud memaksamu--!""Aku juga tidak pernah bilang begitu?" Zoya memotong, senyumnya terpatri sempurna. "Ada sesuatu yang ingin kulakukan setelah kita kembali ke kediaman Kalandra. Maksudku ... bersamaan dengan masuknya El ke SD, aku juga berniat untuk melanjutkan pendidikanku." Zoya sudah memikirkan hal ini sejak beberapa hari terakhir. Ia ingin menjadi pendamping yang s
Zoya mengerjap pelan, keningnya mengernyit bingung atas pertanyaan Arvin. Kalau yang memberikannya adalah pelayan di kediaman Kalandra, bukankah sudah pasti itu hadiah dari Arvin? Zoya ingat merasa kesal karena pria itu tidak memberikannya secara langsung dan malah menitipkannya pada pelayan."Semua hadiah pernikahan yang kuberikan sudah ada di kamarmu, Love, aku meminta pelayan untuk langsung menyusunnya di sana. Kamu masih ingat wajah pelayan itu?" Zoya mengangguk, "Dia salah satu yang paling sabar menghadapiku," ucapnya terus terang. Sejujurnya seluruh pelayan di kediaman Kalandra tidak ada yang pernah melawan atau mendesah kesal atas sikap Zoya, mereka selalu melayani dengan baik tidak peduli kekacauan apa yang telah Zoya lakukan."Kita akan bertanya padanya setelah kembali ke kediaman utama." Arvin memutuskan setelah tidak menemukan solusi lain atas pertanyaannya. Lagi pula perhiasan yang dikenakan Zoha saat ini sangat cocok dengannya. Sampai di depan gerbang sebuah rumah, Zoya
"Kenapa menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil begitu?" Zoya yang memilih untuk menikmati waktu di taman samping rumah sembari menunggu waktu untuk menjemput Elvio, menoleh pada suara ketukan sepatu kets milik Mia yang menghampiri dengan suara dihentakkan sepanjang jalan.Mia menarik kursi di hadapan Zoya, bibirnya merengut sempurna. "Sudah kubilang itu salah paham, kenapa kamu meninggalkanku?!" Zoya mendengus, mengangkat cangkir tehnya dan menyesap perlahan. "Sudah setengah jam sejak aku meninggalkan kalian, Mia, kenapa baru mengejar dan merajuk padaku sekarang? Apa saja yang kalian lakukan selama tiga puluh menit lebih?"Setengah jam memang telah berlalu sejak Zoya memergoki adiknya dan Mia sedang melakukan yang iya-iya. Zoya segera menemui pelayan yang diberi tanggung jawab untuk merawat Kaindra dan bertanya apa yang dokter katakan pagi ini.Mia berdecak, semakin kesal mendengar pertanyaan main-main yang dilayangkan Zoya. "Tuan Muda hanya membutuhkan sedikit bantuan dan aku
"Tes DNA?" Suara bingung Arvin menggema di seberang telepon. Zoya yang tengah berada di ruang kerja suaminya, duduk di kursi kerja Arvin sambil menelepon pria itu, melirik pada album foto yang terbuka di atas meja."Karena kita akan ke rumah sakit, jadi kupikir sekalian saja. Bukankah lebih cepat lebih baik? Aku mau kamu berhenti gelisah karena Mia. Kalau dia memang adik kandungmu, Azalea, maka itu berita bagus dan kamu punya kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi dua puluh dua tahun lalu. Tapi, kalau pun bukan, setidaknya kamu tidak lagi bertanya-tanya."Zoya menyentuh sebuah wajah yang tercetak dengan senyum lebar pada salah satu foto di album. Itu adalah foto nyonya Kalandra, ibu kandung Arvin semasa gadisnya. Wanita di foto terlihat sangat cantik, dengan rambut panjang kecoklatan yang terurai, matanya bersinar penuh kehangatan ketika senyumnya juga tidak kalah lebar, mengenakan gaun krem selutut yang tampak diterpa angin. Seikat lili putih tergenggam di tangannya."Mereka t