Mia yang merasakan keseriusan di tatapan Zoya, segera meletakkan buku seri petualangan yang tengah dibacanya. "Ada apa, Lova? Semua baik-baik saja, kan?" tanyanya cemas.Zoya tersenyum simpul, duduk di sisi ranjang dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, tapi ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Aku tidak sengaja menemukan foto lamamu, jadi kupikir pasti menyenangkan melihatnya lagi bersama-sama." Melihat album foto yang digoyangkan di hadapannya, Mia menghela napas lega, senyumnya dengan cepat terbit. Ia pikir terjadi sesuatu hingga Zoya mendatanginya dengan wajah sangat serius, syukurlah jika hanya ingin mengajak melihat foto-foto lama.Mia menggeser duduknya, membiarkan Zoya naik ke ranjang dan mengisi tempat kosong di sisinya. "Jadi, ini foto kapan? Aku tidak tahu kamu mencetaknya dan membuat album seperti ini." Mia melirik pada album di pangkuan Zoya, tidak sabar untuk segera melihat apa saja yang tercetak di dalamnya."Sebelum itu lihat ini dulu! Aku menemukannya di l
Mia terdiam mendengar permintaan yang diajukan Zoya. Kata-katanya tidak seringan pengucapannya, tes DNA bukan sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja hanya karena mencurigai sesuatu. Hal pertama yang harus Mia lakukan adalah mempercayai kemungkinan jika ia benar-benar putri Kalandra yang hilang, tapi meski benar begitu, apa yang akan terjadi ke depannya?Hasil tes DNA hanya akan mempengaruhi statusnya jika dinyatakan benar, tapi hanya akan membuat canggung suasana antara ia dan Zoya jika ternyata dugaan itu salah. Mia tidak mau ada yang berubah."Kurasa tidak perlu, Lova. Tidak ada alasan bagiku untuk melakukan tes DNA atau semacamnya. Anggap saja ini sama seperti salah satu fakta dunia tentang tujuh orang yang memiliki wajah sama di dunia ini, jadi tidak ada yang perlu dikonfirmasi."Jawaban Mia membuat napas Zoya tercekat, sepenuhnya memahami apa yang dipikirkan Mia tentang situasi ini. "Tidak akan ada yang berubah apa pun hasilnya nanti, Mia. Kamu akan selalu menjadi Mia bagiku, b
Memasuki lobi rumah sakit, Zoya yang sebelumnya sempat merasa tenang setelah bertemu Arvin, menelan ludah gugup saat berjalan menuju lift. Melihat bagaimana istrinya berjalan sambil menunduk, Arvin mengeratkan genggaman tangannya. Dia tahu Zoya khawatir tentang keberadaan ibunya di tempat ini, tapi mereka bahkan tidak bisa mengganti rumah sakit karena sejak awal Elvio di rawat di sini. Mia dan Elvio mengikuti di belakang, turut bergandengan tangan seperti pasangan di depan mereka. Elvio melanjutkan cerita-ceritanya yang tertunda, sementara Mia menanggapi dengan sesekali tertawa, rasa gugupnya hilang bersamaan dengan celoteh riang Elvio sepanjang jalan.Sampai di ruangan dokter, Elvio melepaskan genggaman tangannya dan mengikuti kedua orang tuanya untuk masuk. Mia menunggu di luar, duduk di kursi yang tersedia dan iseng meraih sebuah brosur rumah sakit yang ada di belakang kursi. Itu hanyalah brosur biasa, sedikit informasi tentang kapan rumah sakit dibangun dan ada berapa jumlah ten
Napas Zoya tercekat saat suara familier itu kembali menyapa telinganya. Kenapa dia harus ada di sini? Kenapa harus bertemu sekarang? Padahal Zoya hampir menghela napas lega, padahal sebentar lagi sampai di mobil dan ia akan pergi dari rumah sakit, tapi kenapa?!Tubuh Zoya gemetar tanpa ia menyadarinya, memegang belakang jas suaminya untuk menopang tubuh yang tiba-tiba lemas. "Love, bisakah ... bisakah kita bicara sebentar?" Zoya semakin mengeratkan pegangannya, menarik Arvin dengan kuat hingga pria itu mundur selangkah dan hampir limbung. "Ugh!" Zoya terkejut saat sosok kecil dalam gendongan Arvin tampak melenguh, jelas tidurnya terganggu. Elvio membuka perlahan matanya, mengerjap ketika orang pertama yang dilihat adalah ibunya yang tampak linglung. Posisi Elvio yang memang tidur sambil memeluk Arvin membuatnya langsung berhadapan dengan Zoya ketika membuka mata, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu sedikit kelimpungan untuk mengatur ekspresi."Uh, oh, kamu sudah bang
Meski beberapa kali Zoya meyakinkan dirinya jika ia telah dibuang dengan menyedihkan, nyatanya perasaan rindu terhadap kehangatan yang pernah ia bagi bersama keluarganya selalu menggerogoti. "Tidak apa-apa," ucap Arvin seraya menepuk pelan punggung istrinya. "Merindukan seseorang bukanlah kejahatan." Zoya melepas pelukannya, keningnya berkerut saat menatap tajam pada Arvin. "Kubilang aku benci mereka, bukan merindukannya, kamu mendengarkanku tidak, sih?!" Arvin tersenyum, mengecup lembut pipi wanita yang tampak jengkel. "Aku tahu," katanya sembari memberikan kecupan lain di bibir Zoya. "Apa yang kamu tahu?! Aku sama sekali tidak merindukan mereka! Kenapa juga aku harus merindukan orang-orang yang membuangku seperti sampah?!" Zoya menatap sengit, menjauhkan wajahnya dari Arvin saat pria itu akan mencium keningnya."Kamu benar, aku tidak mengerti dan salah menilai." Arvin kembali menarik pinggang Zoya mendekat, mendekapnya erat. "Maaf karena sudah sembarang bicara. Aku akan berusaha
Zoya sedikit menyesali tindakannya dalam memprovokasi Arvin. Seperti yang pria itu katakan, Zoya tidak bisa bangun dari kasurnya meski matanya terbuka. Pukul lima pagi sekarang, Zoya yang terbiasa bangun untuk menyiapkan bekal makan siang Elvio, hanya bisa mengutuk ketika pinggangnya terasa nyeri.Belum lagi rasa kebas dan berdenyut di bagian bawah tubuhnya membuat Zoya semakin tidak berdaya, ia bahkan sedikit meringis saat serat kain yang melekat di tubuhnya bergesekan dengan dadanya."Aku merasa ingin mati!" Zoya menghela napas pelan setelah berhasil duduk, menatap agak jengkel pada pria yang tertidur pulas di sisinya.Arvin masih tidak mengenakan atasan, rambutnya terlihat berantakan dan Zoya bisa melihat bekas cakaran kuku di punggung, bahu dan lengan suaminya. Sejujurnya Zoya tidak ingat kapan mereka berhenti melakukannya semalam.Sejak Arvin membawanya pulang kemarin, Zoya baru bisa makan pukul delapan malam setelah tertidur--atau mungkin pingsan--selama satu jam. Ia pikir Arvin
Melihat bagaimana saudara kembarnya tidur sambil memeluk Mia dengan erat membuat Zoya menghela napas jengkel. Sejak dulu, meski ia beberapa kali memergoki mereka bercumbu, Kaindra tidak permah benar-benar meresmikan hubungannya dan Mia.Zoya tidak mengerti kenapa Mia masih membiarkan Kaindra berbuat seenaknya. "Haruskah aku menyiram mereka agar bangun?" Zoya bergumam sembari menatap tajam sepasang manusia yang membuatnya jengkel pagi-pagi. Menarik napas panjang, Zoya akhirnya memilih untuk menutup kembali pintu, membuang semua pikirannya untuk membuat keributan. "Aku benar-benar harus bicara dengan mereka nanti." Rencananya hari ini Arvin dan Mia akan bicara, meski hasil tes belum keluar, Zoya menyarankan agar Arvin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya dua puluh dua tahun yang lalu. Meski harus menunggu selama dua minggu untuk benar-benar mencari tahu hubungan antara hilangnya Azalea dan Thrixx, Zoya berhasil meyakinkan suaminya untuk menunggu dengan sabar.Zoya j
Eropa? Berperang? Zoya menggertakkan gigi, menahan amarah yang mulai menguasai. Dia bahkan baru saja melewati sesuatu yang menakutkan setelah melihat adiknya datang dalam kondisi terluka parah, tapi apa yang dikatakan pria itu sekarang?"Aku tidak mau mendengarkan alasan, Kai, kerjakan saja apa yang harus kamu selesaikan di sini." Kaindra menghela napas, tahu jika hanya akan ada pertengkaran jika mencoba menjelaskan sesuatu pada Zoya. "Ayo bicara, Love. Aku akan menceritakan semuanya padamu, apa saja yang kulakukan selama tujuh tahun terakhir, di mana aku bertemu dengan Ketua dan alasanku berakhir di organisasi. Aku juga akan memberitahumu lokasi markas pusat dan misi yang sedang kujalani saat ini." Zoya menggigit bibir, tawaran yang sangat menggoda mengingat ia belum mengetahui apa pun. Tapi, jika bayaran dari informasi itu adalah membiarkan Kaindra pergi dari sini, Zoya tidak bisa."Aku akan meminta pelayan untuk membawakan sarapanmu ke sini," ucap Zoya seraya bangkit dari dudukn
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,