"Kenapa menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil begitu?" Zoya yang memilih untuk menikmati waktu di taman samping rumah sembari menunggu waktu untuk menjemput Elvio, menoleh pada suara ketukan sepatu kets milik Mia yang menghampiri dengan suara dihentakkan sepanjang jalan.Mia menarik kursi di hadapan Zoya, bibirnya merengut sempurna. "Sudah kubilang itu salah paham, kenapa kamu meninggalkanku?!" Zoya mendengus, mengangkat cangkir tehnya dan menyesap perlahan. "Sudah setengah jam sejak aku meninggalkan kalian, Mia, kenapa baru mengejar dan merajuk padaku sekarang? Apa saja yang kalian lakukan selama tiga puluh menit lebih?"Setengah jam memang telah berlalu sejak Zoya memergoki adiknya dan Mia sedang melakukan yang iya-iya. Zoya segera menemui pelayan yang diberi tanggung jawab untuk merawat Kaindra dan bertanya apa yang dokter katakan pagi ini.Mia berdecak, semakin kesal mendengar pertanyaan main-main yang dilayangkan Zoya. "Tuan Muda hanya membutuhkan sedikit bantuan dan aku
"Tes DNA?" Suara bingung Arvin menggema di seberang telepon. Zoya yang tengah berada di ruang kerja suaminya, duduk di kursi kerja Arvin sambil menelepon pria itu, melirik pada album foto yang terbuka di atas meja."Karena kita akan ke rumah sakit, jadi kupikir sekalian saja. Bukankah lebih cepat lebih baik? Aku mau kamu berhenti gelisah karena Mia. Kalau dia memang adik kandungmu, Azalea, maka itu berita bagus dan kamu punya kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi dua puluh dua tahun lalu. Tapi, kalau pun bukan, setidaknya kamu tidak lagi bertanya-tanya."Zoya menyentuh sebuah wajah yang tercetak dengan senyum lebar pada salah satu foto di album. Itu adalah foto nyonya Kalandra, ibu kandung Arvin semasa gadisnya. Wanita di foto terlihat sangat cantik, dengan rambut panjang kecoklatan yang terurai, matanya bersinar penuh kehangatan ketika senyumnya juga tidak kalah lebar, mengenakan gaun krem selutut yang tampak diterpa angin. Seikat lili putih tergenggam di tangannya."Mereka t
Mia yang merasakan keseriusan di tatapan Zoya, segera meletakkan buku seri petualangan yang tengah dibacanya. "Ada apa, Lova? Semua baik-baik saja, kan?" tanyanya cemas.Zoya tersenyum simpul, duduk di sisi ranjang dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, tapi ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Aku tidak sengaja menemukan foto lamamu, jadi kupikir pasti menyenangkan melihatnya lagi bersama-sama." Melihat album foto yang digoyangkan di hadapannya, Mia menghela napas lega, senyumnya dengan cepat terbit. Ia pikir terjadi sesuatu hingga Zoya mendatanginya dengan wajah sangat serius, syukurlah jika hanya ingin mengajak melihat foto-foto lama.Mia menggeser duduknya, membiarkan Zoya naik ke ranjang dan mengisi tempat kosong di sisinya. "Jadi, ini foto kapan? Aku tidak tahu kamu mencetaknya dan membuat album seperti ini." Mia melirik pada album di pangkuan Zoya, tidak sabar untuk segera melihat apa saja yang tercetak di dalamnya."Sebelum itu lihat ini dulu! Aku menemukannya di l
Mia terdiam mendengar permintaan yang diajukan Zoya. Kata-katanya tidak seringan pengucapannya, tes DNA bukan sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja hanya karena mencurigai sesuatu. Hal pertama yang harus Mia lakukan adalah mempercayai kemungkinan jika ia benar-benar putri Kalandra yang hilang, tapi meski benar begitu, apa yang akan terjadi ke depannya?Hasil tes DNA hanya akan mempengaruhi statusnya jika dinyatakan benar, tapi hanya akan membuat canggung suasana antara ia dan Zoya jika ternyata dugaan itu salah. Mia tidak mau ada yang berubah."Kurasa tidak perlu, Lova. Tidak ada alasan bagiku untuk melakukan tes DNA atau semacamnya. Anggap saja ini sama seperti salah satu fakta dunia tentang tujuh orang yang memiliki wajah sama di dunia ini, jadi tidak ada yang perlu dikonfirmasi."Jawaban Mia membuat napas Zoya tercekat, sepenuhnya memahami apa yang dipikirkan Mia tentang situasi ini. "Tidak akan ada yang berubah apa pun hasilnya nanti, Mia. Kamu akan selalu menjadi Mia bagiku, b
Memasuki lobi rumah sakit, Zoya yang sebelumnya sempat merasa tenang setelah bertemu Arvin, menelan ludah gugup saat berjalan menuju lift. Melihat bagaimana istrinya berjalan sambil menunduk, Arvin mengeratkan genggaman tangannya. Dia tahu Zoya khawatir tentang keberadaan ibunya di tempat ini, tapi mereka bahkan tidak bisa mengganti rumah sakit karena sejak awal Elvio di rawat di sini. Mia dan Elvio mengikuti di belakang, turut bergandengan tangan seperti pasangan di depan mereka. Elvio melanjutkan cerita-ceritanya yang tertunda, sementara Mia menanggapi dengan sesekali tertawa, rasa gugupnya hilang bersamaan dengan celoteh riang Elvio sepanjang jalan.Sampai di ruangan dokter, Elvio melepaskan genggaman tangannya dan mengikuti kedua orang tuanya untuk masuk. Mia menunggu di luar, duduk di kursi yang tersedia dan iseng meraih sebuah brosur rumah sakit yang ada di belakang kursi. Itu hanyalah brosur biasa, sedikit informasi tentang kapan rumah sakit dibangun dan ada berapa jumlah ten
Napas Zoya tercekat saat suara familier itu kembali menyapa telinganya. Kenapa dia harus ada di sini? Kenapa harus bertemu sekarang? Padahal Zoya hampir menghela napas lega, padahal sebentar lagi sampai di mobil dan ia akan pergi dari rumah sakit, tapi kenapa?!Tubuh Zoya gemetar tanpa ia menyadarinya, memegang belakang jas suaminya untuk menopang tubuh yang tiba-tiba lemas. "Love, bisakah ... bisakah kita bicara sebentar?" Zoya semakin mengeratkan pegangannya, menarik Arvin dengan kuat hingga pria itu mundur selangkah dan hampir limbung. "Ugh!" Zoya terkejut saat sosok kecil dalam gendongan Arvin tampak melenguh, jelas tidurnya terganggu. Elvio membuka perlahan matanya, mengerjap ketika orang pertama yang dilihat adalah ibunya yang tampak linglung. Posisi Elvio yang memang tidur sambil memeluk Arvin membuatnya langsung berhadapan dengan Zoya ketika membuka mata, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu sedikit kelimpungan untuk mengatur ekspresi."Uh, oh, kamu sudah bang
Meski beberapa kali Zoya meyakinkan dirinya jika ia telah dibuang dengan menyedihkan, nyatanya perasaan rindu terhadap kehangatan yang pernah ia bagi bersama keluarganya selalu menggerogoti. "Tidak apa-apa," ucap Arvin seraya menepuk pelan punggung istrinya. "Merindukan seseorang bukanlah kejahatan." Zoya melepas pelukannya, keningnya berkerut saat menatap tajam pada Arvin. "Kubilang aku benci mereka, bukan merindukannya, kamu mendengarkanku tidak, sih?!" Arvin tersenyum, mengecup lembut pipi wanita yang tampak jengkel. "Aku tahu," katanya sembari memberikan kecupan lain di bibir Zoya. "Apa yang kamu tahu?! Aku sama sekali tidak merindukan mereka! Kenapa juga aku harus merindukan orang-orang yang membuangku seperti sampah?!" Zoya menatap sengit, menjauhkan wajahnya dari Arvin saat pria itu akan mencium keningnya."Kamu benar, aku tidak mengerti dan salah menilai." Arvin kembali menarik pinggang Zoya mendekat, mendekapnya erat. "Maaf karena sudah sembarang bicara. Aku akan berusaha
Zoya sedikit menyesali tindakannya dalam memprovokasi Arvin. Seperti yang pria itu katakan, Zoya tidak bisa bangun dari kasurnya meski matanya terbuka. Pukul lima pagi sekarang, Zoya yang terbiasa bangun untuk menyiapkan bekal makan siang Elvio, hanya bisa mengutuk ketika pinggangnya terasa nyeri.Belum lagi rasa kebas dan berdenyut di bagian bawah tubuhnya membuat Zoya semakin tidak berdaya, ia bahkan sedikit meringis saat serat kain yang melekat di tubuhnya bergesekan dengan dadanya."Aku merasa ingin mati!" Zoya menghela napas pelan setelah berhasil duduk, menatap agak jengkel pada pria yang tertidur pulas di sisinya.Arvin masih tidak mengenakan atasan, rambutnya terlihat berantakan dan Zoya bisa melihat bekas cakaran kuku di punggung, bahu dan lengan suaminya. Sejujurnya Zoya tidak ingat kapan mereka berhenti melakukannya semalam.Sejak Arvin membawanya pulang kemarin, Zoya baru bisa makan pukul delapan malam setelah tertidur--atau mungkin pingsan--selama satu jam. Ia pikir Arvin