Zoya terkekeh pelan, mengusak gemas surai kelam putranya sebelum mendaratkan sebuah kecupan di pipinya. Padahal Zoya baru memejamkan mata tidak lebih dari satu jam, tapi kegelisahannya tentang Elvio yang mungkin kelaparan membuatnya tidak nyenyak."Maaf ya, Mama agak malas hari ini. Tapi, ternyata sudah ada yang membuatkan sarapan untukmu?" Zoya beralih pada wanita paruh baya yang baru selesai meletakkan dua roti bakar dengan telur mata sapi dan taburan keju. Ia juga bisa melihat beberapa sosis yang juga masih beruap, tanda jika makanan itu baru aja dibuat."Kamu bukan yang bertugas untuk masak, kan? Maaf, Elvio pasti sudah merepotkanmu." Zoya segera mengangguk singkat pada wanita tua yang cepat-cepat melambaikan tangan ringan."Kebetulan saja tadi saat datang, saya bertemu Kepala Pelayan yang baru membuatkan sarapan untuk Tuan Muda, Nyonya. Dia meminta saya untuk menunggu sampai Tuan Muda turun, tapi karena khawatir Tuan Muda tidak mempercayai masakan yang diberikan orang asing, jadi
Pertanyaan Arvin membuat Zoya langsung menahan napas. Kenangannya bertahun lalu kembali terbayang, ketika ia sering menemui Aileen seperti yang dikatakan Arvin, tapi tidak untuk mengatakan hal-hal buruk seperti itu. “Aku memang sering menemuinya, bahkan sebelum kita menikah.” Zoya menarik napas perlahan, membulatkan tekadnya untuk menyampaikan perasaannya bertahun lalu. “Tapi, yang perlu kamu ketahui adalah tidak pernah sekali pun aku mengatakan hal-hal seperti itu. Aku menemuinya untuk bertanya tentangmu karena kupikir dia teman yang paling dekat denganmu.”Arvin menegakkan tubuh, kepalanya menoleh dengan cepat. “Bertanya tentangku?”Zoya menundukkan pandangan, menatap jemarinya yang saling bertaut dengan milik Arvin. “Aku ingin tahu apa yang kamu sukai, kebiasaanmu, makanan dan minuman favorit. Aku juga bertanya tentang masa lalumu, wanita mana saja dan dari kalangan mana yang pernah kamu kencani, lalu pertanyaan umum tentang apakah kamu terbiasa dengan hubungan satu malam. Hal-hal
Zoya menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan, ia melakukannya berkali-kali agar napasnya yang sedikit sesak sisa dari tangisnya bisa berkurang. "Siang itu aku ke perusahaan," ucap Zoya pelan, suaranya serak dan pecah, tapi ia tetap melanjutkan perkataannya. "Resepsionis bilang kamu belum turun sejak pagi, jadi aku langsung naik ke atas. Aku membawakan bekal makan siang untukmu, niatnya ingin mengajakmu makan siang."Zoya terdiam setelahnya dan Arvin menanti dengan sabar. Pria itu kurang lebih bisa menebak apa yang mungkin saja terjadi sejak mengetahui betapa gilanya Aileen, tapi ia ingin mendengarnya langsung dari istrinya. "Saat sampai di sana, aku tidak menemukan Aileen di tempatnya. Kupikir dia masih melaporkan sesuatu padamu di dalam, jadi aku langsung berjalan menuju ruanganmu. Tapi, aku belum sampai di depan pintu saat tiba-tiba Aileen keluar dari ruanganmu." Zoya menghela napas perlahan, menenangkan dirinya agar tidak mulai menangis lagi saat mengingat kejadia
Pangeran mayat? Yang benar saja! Arvin mendengus mendengar panggilan yang diberikan Zoya padanya. “Kamu serius tidak ingat padaku sama sekali?” tanyanya dengan kening mengernyit.“Bukan tidak ingat, tapi sepertinya aku melupakannya begitu saja setelah pindah ke kediaman utama Aldara ketika orang tuaku bercerai.” Zoya menarik napas perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh wajah pria yang dulu benar-benar tidak terlihat hidup. “Tapi, karena kamu mengatakannya, aku jadi ingat bagaimana kamu dulu.”“Bagaimana penampilanku? Bukankah aku sangat tampan sampai kamu langsung terpesona dan mengajakku menikah?”Zoya terkekeh, mengecup pipi Arvin singkat sebelum memindahkan kecupannya di kening pria itu cukup lama. “Seperti yang kamu ingat dengan kata-kataku waktu itu, kamu benar-benar terlihat seperti mayat hidup. Meski pun tersenyum dan terlihat bicara dengan ramah pada orang-orang, kamu terlihat seperti orang mati.”Jawaban istrinya membuat Arvin berdecak. Hari itu adalah dua tahun sejak ia
Arvin mendengus, menyetujui perkataan istrinya. "Malam itu ketika aku pulang, aku sungguh tidak mau bicara denganmu dan mendengarkan permintaanmu untuk bercerai. Bahkan ketika kamu pergi dan aku tahu kamu pulang ke kediaman Aldara, tekadku masih sama, kalau aku hanya akan membiarkanmu menenangkan diri sebentar sebelum membawamu kembali."Zoya menghela napas, mengingat jika malam itu ia langsung menyuruh sopir untuk kembali setelah tiba di kediaman Aldara, tentu saja laporan yang diterima Arvin adalah Zoya berada di rumah kakek-neneknya. Sekarang Zoya sedikit mengerti kenapa Arvin tidak mencarinya."Tapi, saat aku memintamu ke kafe waktu itu, kenapa kamu menandatangani berkasnya begitu saja? Kamu bahkan mengatakan harapanmu agar itu adalah pertemuan terakhir kita." Zoya menatap netra kelam suaminya tanpa menutupi perasaan sedih dan kecewa yang dulu menggerogotinya.Arvin mendesah pelan, tangannya terulur dan merapikan rambut Zoya ke belakang telinga. "Selama dua minggu Aileen terus me
Zoya yang terlambat bereaksi hanya bisa terdiam kaku, mencoba mencerna dengan benar informasi yang disampaikan putranya. "Om Kai? Maksudmu Om Kaindra yang kita temui waktu itu?" Zoya bertanya dengan suara sedikit gemetar. Ketika Elvio mengangguk cepat dengan air mata berlinang, barulah Zoya bangkit dari jongkoknya dan menyadari jika Arvin sudah bertindak lebih dulu. Zoya bisa mendengar Arvin berteriak memerintah sopir untuk menjemput Kaindra di gerbang dan meminta pelayan lainnya untuk segera menyiapkan kamar tamu, beberapa sibuk mencari alat-alat untuk pertolongan pertama.Semuanya terjadi begitu cepat. Zoya yang diliputi rasa panik dan tidak bisa berbuat apa pun, hanya bisa menahan napas sambil menanti di depan pintu utama, membiarkan Arvin memberi perintah lainnya agar dokter segera dihubungi. Saat mobil yang membawa Kaindra datang, Zoya segera berlari dan berniat membantu membukakan pintu mobil saat matanya melihat jika seseorang sudah membukanya lebih dulu. Wajah pucat seseora
Mia memulai ceritanya dengan suara gemetar, wajahnya tampak semakin pucat saat mengingat bagaimana dia terjebak ke sebuah tempat yang tidak pernah terbayangkan olehnya dan hampir saja dilecehkan oleh orang-orang asing."Aku menghabiskan uang pesangon yang diberikan Nyonya untuk membayar orang, mencari tahu arti lambang kepala serigala di kalungku. Seminggu lebih aku tinggal di kontrakan dan menunggu, lalu mendapatkan kabar jika ada klub malam yang punya lambang seperti kalungku." Zoya menelan ludah, mengingat lagi perkataan Kaindra tentang organisasi yang memiliki lambang kepala serigala."Klub itu hanya buka setiap hari selasa dan sabtu dari pukul sembilan malam, jadi aku langsung ke sana karena waktunya tepat. Tapi, saat masuk, yang kulihat sangat berbeda dengan klub malam yang ada di film-film. Tempat itu cukup terang, ada banyak meja bundar di seluruh ruangan dan orang-orang bicara menggunakan bahasa yang tidak kupahami." Mia berhenti sejenak, menghela napas saat mengingat bau r
Suara yang menginterupsi itu membuat Zoya dan Mia langsung melepas pelukannya dan menoleh, menatap pada seorang pelayan yang sebelumnya ada di ruangan di mana Kaindra sedang dirawat.Zoya segera berdiri, diikuti oleh Mia. "Sebaiknya kamu diam di sini, Mia, aku akan panggil Arvin dan biarkan kami mengurus Kai. Kamu harus beristirahat juga."Mia terdiam di tempatnya, tidak bisa membantah saat Zoya meminta dengan tegas. Wanita itu hanya bisa duduk kembali dan menggigit bibir, mengkhawatirkan sosok yang telah menyelamatkannya.Zoya yang telah meminta pelayan untuk memberi tahu Arvin, memilih untuk pergi lebih dulu dan menemui dokter. Ia bisa melihat luka di perut adiknya sudah ditutup dengan perban. "Bagaimana dia?!" Zoya langsung bertanya pada pria paruh baya yang baru saja merawat Kaindra, berusaha keras mengabaikan kapas-kapas penuh darah dan beberapa alat yang sedang disiram entah dengan cairan apa. Para pelayan bekerja dengan cepat, membereskan kekacauan dalam diam."Apa perlu diba