Pangeran mayat? Yang benar saja! Arvin mendengus mendengar panggilan yang diberikan Zoya padanya. “Kamu serius tidak ingat padaku sama sekali?” tanyanya dengan kening mengernyit.“Bukan tidak ingat, tapi sepertinya aku melupakannya begitu saja setelah pindah ke kediaman utama Aldara ketika orang tuaku bercerai.” Zoya menarik napas perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh wajah pria yang dulu benar-benar tidak terlihat hidup. “Tapi, karena kamu mengatakannya, aku jadi ingat bagaimana kamu dulu.”“Bagaimana penampilanku? Bukankah aku sangat tampan sampai kamu langsung terpesona dan mengajakku menikah?”Zoya terkekeh, mengecup pipi Arvin singkat sebelum memindahkan kecupannya di kening pria itu cukup lama. “Seperti yang kamu ingat dengan kata-kataku waktu itu, kamu benar-benar terlihat seperti mayat hidup. Meski pun tersenyum dan terlihat bicara dengan ramah pada orang-orang, kamu terlihat seperti orang mati.”Jawaban istrinya membuat Arvin berdecak. Hari itu adalah dua tahun sejak ia
Arvin mendengus, menyetujui perkataan istrinya. "Malam itu ketika aku pulang, aku sungguh tidak mau bicara denganmu dan mendengarkan permintaanmu untuk bercerai. Bahkan ketika kamu pergi dan aku tahu kamu pulang ke kediaman Aldara, tekadku masih sama, kalau aku hanya akan membiarkanmu menenangkan diri sebentar sebelum membawamu kembali."Zoya menghela napas, mengingat jika malam itu ia langsung menyuruh sopir untuk kembali setelah tiba di kediaman Aldara, tentu saja laporan yang diterima Arvin adalah Zoya berada di rumah kakek-neneknya. Sekarang Zoya sedikit mengerti kenapa Arvin tidak mencarinya."Tapi, saat aku memintamu ke kafe waktu itu, kenapa kamu menandatangani berkasnya begitu saja? Kamu bahkan mengatakan harapanmu agar itu adalah pertemuan terakhir kita." Zoya menatap netra kelam suaminya tanpa menutupi perasaan sedih dan kecewa yang dulu menggerogotinya.Arvin mendesah pelan, tangannya terulur dan merapikan rambut Zoya ke belakang telinga. "Selama dua minggu Aileen terus me
Zoya yang terlambat bereaksi hanya bisa terdiam kaku, mencoba mencerna dengan benar informasi yang disampaikan putranya. "Om Kai? Maksudmu Om Kaindra yang kita temui waktu itu?" Zoya bertanya dengan suara sedikit gemetar. Ketika Elvio mengangguk cepat dengan air mata berlinang, barulah Zoya bangkit dari jongkoknya dan menyadari jika Arvin sudah bertindak lebih dulu. Zoya bisa mendengar Arvin berteriak memerintah sopir untuk menjemput Kaindra di gerbang dan meminta pelayan lainnya untuk segera menyiapkan kamar tamu, beberapa sibuk mencari alat-alat untuk pertolongan pertama.Semuanya terjadi begitu cepat. Zoya yang diliputi rasa panik dan tidak bisa berbuat apa pun, hanya bisa menahan napas sambil menanti di depan pintu utama, membiarkan Arvin memberi perintah lainnya agar dokter segera dihubungi. Saat mobil yang membawa Kaindra datang, Zoya segera berlari dan berniat membantu membukakan pintu mobil saat matanya melihat jika seseorang sudah membukanya lebih dulu. Wajah pucat seseora
Mia memulai ceritanya dengan suara gemetar, wajahnya tampak semakin pucat saat mengingat bagaimana dia terjebak ke sebuah tempat yang tidak pernah terbayangkan olehnya dan hampir saja dilecehkan oleh orang-orang asing."Aku menghabiskan uang pesangon yang diberikan Nyonya untuk membayar orang, mencari tahu arti lambang kepala serigala di kalungku. Seminggu lebih aku tinggal di kontrakan dan menunggu, lalu mendapatkan kabar jika ada klub malam yang punya lambang seperti kalungku." Zoya menelan ludah, mengingat lagi perkataan Kaindra tentang organisasi yang memiliki lambang kepala serigala."Klub itu hanya buka setiap hari selasa dan sabtu dari pukul sembilan malam, jadi aku langsung ke sana karena waktunya tepat. Tapi, saat masuk, yang kulihat sangat berbeda dengan klub malam yang ada di film-film. Tempat itu cukup terang, ada banyak meja bundar di seluruh ruangan dan orang-orang bicara menggunakan bahasa yang tidak kupahami." Mia berhenti sejenak, menghela napas saat mengingat bau r
Suara yang menginterupsi itu membuat Zoya dan Mia langsung melepas pelukannya dan menoleh, menatap pada seorang pelayan yang sebelumnya ada di ruangan di mana Kaindra sedang dirawat.Zoya segera berdiri, diikuti oleh Mia. "Sebaiknya kamu diam di sini, Mia, aku akan panggil Arvin dan biarkan kami mengurus Kai. Kamu harus beristirahat juga."Mia terdiam di tempatnya, tidak bisa membantah saat Zoya meminta dengan tegas. Wanita itu hanya bisa duduk kembali dan menggigit bibir, mengkhawatirkan sosok yang telah menyelamatkannya.Zoya yang telah meminta pelayan untuk memberi tahu Arvin, memilih untuk pergi lebih dulu dan menemui dokter. Ia bisa melihat luka di perut adiknya sudah ditutup dengan perban. "Bagaimana dia?!" Zoya langsung bertanya pada pria paruh baya yang baru saja merawat Kaindra, berusaha keras mengabaikan kapas-kapas penuh darah dan beberapa alat yang sedang disiram entah dengan cairan apa. Para pelayan bekerja dengan cepat, membereskan kekacauan dalam diam."Apa perlu diba
Zoya mengekor di belakang suaminya saat pria itu keluar dari kamar setelah memastikan Kaindra tidur nyenyak. Meski sempat khawatir karena suhu tubuh saudara kembarnya sangat tinggi, Zoya hanya bisa memerintah pelayan untuk terus menjaga dan menyeka keringat Kaindra.“Arvin!” Zoya memanggil, masih belum puas ketika suaminya hanya terkekeh dan mengacak surainya. “Jangan percaya pada wajah baik seseorang, Love, karena di luar sana kebanyakan penjahat memiliki wajah seorang malaikat.”Kata-kata Arvin membuat Zoya merengut, mau tidak mau setuju dengan pendapat pria itu. “Nona!” Mia langsung berlari mendekat sejak melihat Zoya dan Arvin keluar dari kamar. Ia membungkuk sopan pada Arvin sebelum menatap penuh harap pada Zoya. “Bagaimana kondisi tuan muda?” tanyanya cemas."Dokter akan datang memeriksanya lagi nanti malam, tapi katanya untuk saat ini baik-baik saja. Kamu sebaiknya tidur dulu, Mia, ada kamar tamu di samping kamarku."Mia menghela napas lega setelah mendengar langsung jika Kai
Zoya mengetahui perasaan Mia sejak mereka masih remaja, sejak saat ia menyadari jika tatapan yang Mia berikan pada Kaindra tampak berbeda. Bertahun-tahun sudah berlalu sejak Zoya mendengar pengakuan Mia atas perasaannya.Kaindra itu baik, lembut dan penuh perhatian, Zoya memahami alasan Mia bisa jatuh hati pada pemuda itu. Setidaknya bagi Zoya yang selalu diperlakukan dengan penuh kasih sayang meski sering bertengkar, juga Mia yang merasakan kebaikan dan kelembutan Kaindra, pria itu adalah orang baik.Tapi, Zoya tidak bisa membantu apa-apa. Ia tidak mau merusak hubungan baik Kaindra dan Mia jika memaksa adiknya itu untuk memahami perasaan yang Mia punya. Tidak hanya itu, perbedaan status yang terlalu tinggi membuat Zoya tidak yakin akan merestui hubungan mereka bahkan jika Kaindra memiliki perasaan yang sama. Zoya tidak mau satu-satunya teman yang ia punya harus menghadapi kritikan dan kata-kata pedas juga penuh hina dari orang-orang di dunia sosial. Meski pendidikan dan kekayaan bis
Zoya menutup pintu perlahan, matanya mengawasi Arvin yang baru saja berteriak dengan seseorang di telepon. Pemuda itu terlihat marah dengan punggung tegak, satu tangan di pinggang dan satu tangan lainnya memegang ponsel.Posisi Arvin yang tengah bersandar di meja kerja dan secara otomatis membelakangi pintu masuk, membuatnya tidak menyadari kehadiran Zoya, atau mungkin saja pria itu terlalu fokus pada sosok di seberang hingga tidak mendengar kedatangan istrinya."Sudah kukatakan untuk melupakan perjanjian damai atau apalah itu! Aku tidak pernah menyelidiki mereka sejak Zhea menghilang karena perjanjian yang ada, tapi bagaimana jika mereka adalah dalang dibalik hilangnya adikku?!" Zoya berhenti tepat di belakang Arvin, jantungnya berdetak kencang mendengar nama seseorang yang cukup asing di telinganya disebut, tapi tidak ada yang lebih mengejutkannya selain kata-kata Arvin tentang perjanjian damai. Zoya tidak mengerti dengan siapa Kalandra membuat perjanjian hingga tidak perlu diselid