Bella menguap sebentar. Merasa setengah jiwanya masih tertinggal dalam mimpi. Gadis itu menggerutu pada sosok Stevano yang hilang di balik pintu. Pria itu mengganggu sekali, padahal Bella masih ingin bergelung membagi kehangatan dengan kasur.
Tidak ada yang dapat Bella lakukan selain menuruti sang tuan rumah. Dia hanyalah seekor kucing kecil yang beruntung dipungut oleh Stevano. Tidak ada alasan bagi Bella untuk membantah pada pria yang sudah memberinya kenyamanan tidur dalam kamar yang besar, mewah, juga indah.
Bella menyibak selimut lembut yang menemaninya tidur. Lalu melipat selimut itu agar terlihat rapi sebelum turun dari ranjang. Dan masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan rutinitasnya setiap hari.
Bella sungguh terkesiap dengan kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Dia kira kamar mandi ini kecil, karena memang begitu jika dilihat dari luar. Ternyata tidak, ini terlalu luas jika hanya digunakan untuk seorang diri.
Terdapat shower berbahan bagus di kamar mandi itu. Tidak lupa dengan toilet duduk dan bathtub berukuran besar yang dilengkapi dengan aircon water heater. Bella tertawa dalam hati. Dengan ini, dia tidak akan merasa kedinginan jika mandi tengah malam. Bella rasa kehidupannya akan berubah mulai sekarang. Menjadi lebih baik, mungkin.
Sebenarnya, seberapa kaya pria itu hingga semua barang kecil pun terlihat sangat mewah?
Tidak ingin pusing memikirkan apa yang dimiliki Stevano. Bella lekas melepas baju helai demi helai. Kemudian menghidupkan shower dan merasakan sensasi air yang berlarian turun melewati badan.
Setelah mandi, Bella baru sadar jika ia tidak mempunyai baju ganti untuk dia pakai.
Wanita itu mendadak panik sendiri.
Bagaimana ini? Terlambat baginya untuk memakai baju yang sebelumnya karena telah ia cuci.
Dan tidak mungkin ia tidak akan memakai baju. Kalau begitu, Bella akan lebih memilih untuk mengurung dirinya di kamar.
Bella mendesah lelah. Dia mencoba berpikir logis saat matanya menangkap lemari besar yang berada di dalam kamarnya.
Dengan sehelai handuk yang membungkus tubuh, Bella mulai mendekat, dan berharap lemari tersebut ada isinya.
Dan benar saja! Terdapat banyak sekali baju bagus dengan merk mahal yang menggantung di sana.
"Kapan baju-baju ini ada di sini?" gumam Bella pelan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Bella segera memilih salah satu baju yang tergantung dengan indah di dalam lemari itu. Memakainya cepat sebelum pria arogan itu datang dan kembali memberinya ucapan pedas karena tidak lekas turun.
Bella terlihat berkali-kali lipat lebih cantik setelah dia memakai dress hijau muda tanpa lengan dan bawahan yang hanya lima belas senti meter di atas lutut.
Sangat seksi.
Bella mendengkus, dia tidak menemukan baju yang lebih panjang dari ini. Semuanya sama, rok dan celana tidak ada yang panjangnya melebihi lutut. Dan itu membuat Bella merasa tidak nyaman.
Apa seperti ini selera pria jahat itu? Wanita berpakaian seksi yang menggoda?
Cih.
Bella tidak punya niat sedikit pun untuk menggoda Stevano. Pria itu bengis dan Bella tidak menyukainya. Itu sangat menakutkan jika sewatu-waktu pria itu memukul Bella entah pada bagian mana. Bella yakin pria itu dapat membuatnya memar, atau bahkan patah tulang.
Membayangkannya saja sudah membuat Bella merinding.
Setelah menyisir rambutnya yang terurai kemana-mana. Bella lekas menuju pintu dan bersiap untuk turun.
Dan benar saja. Setelah Bella turun dan menuju ruang makan untuk ikut sarapan, Stevano sudah duduk pada salah satu kursi yang berada di sana. Tidak mengalihkan pandangannya pada Bella saat gadis itu mendekat.
"Kau tidak punya kaki? Lama sekali hanya untuk sekadar turun. Kau merangkak dari atas sampai sini?" ucap Stev.
Membuat Bella yang akan menarik kursi itu meringis. Mulut pria ini benar-benar menyakitkan.
"Maaf, Tuan." Bella menunduk, mengurungkan niatnya untuk duduk dan ikut bergabung makan dengan pria itu. Padahal perutnya sejak tadi malam terus meronta minta diisi.
Ya, Tuhan.
"Sudah kubilang panggil aku Stev! Kau pikir aku setua itu, hah?!"
Bella semakin takut. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menuruti keinginan dari pria itu agar tidak bertambah marah.
"Baik, Stev." Bella tidak berani menatap mata pria itu yang setajam elang dan siap menguliti orang hidup-hidup. Terlalu mengerikan hingga Bella hanya bisa menunduk dalam diam. Tidak berani bersuara.
Sementara Stevano menaikkan salah satu alisnya tinggi saat gadis di depannya itu tidak segera mengambil duduk dan hanya berdiri dalam kebisuan.
Lagi-lagi pria itu berdecak.
"Kau mau menjadi patung?" Stev berucap sarkas. Dan Bella hanya dapat bersabar dalam hati menghadapi segala ucapan pria itu yang menyakitkan.
Bella segera menarik kursi dan mendudukinya. Dia merasa canggung hanya makan berdua bersama Stevano. Mansion sebesar ini, apakah hanya dihuni oleh pria itu saja? Bella tidak lupa jika ada Lucy juga semalam. Tapi, Bella tidak tahu kemana Lucy pergi. Bella pikir Lucy juga tinggal di sini.
Sayang sekali mansion sebesar dan semewah ini sangat sepi.
Wanita itu tidak ingin begitu memikirkan hal lain yang tidak penting. Prioritasnya saat ini adalah makan, perutnya terus berbunyi saat melihat banyak makanan lezat yang tersaji di atas meja.
Bella benar-benar kelaparan sekarang. Dan Stev yang melihat itu hanya diam, tidak memberi komentar apapun pada gadis yang kini sedang makan seperti kucing kelaparan.
Stev tersenyum tipis. Bella memang kucing kecil yang menyedihkan.
Pria itu tidak lagi melanjutkan makannya kala dia melihat Bella yang sedang makan dengan lahap.
Menuangkan anggur pada gelas, lalu meminumnya perlahan. Merasakan sensasi dingin yang mengalir melewati tenggorokannya. Stev menjilat bibir bawahnya pelan kala merasa ada setitik anggur yang terlewat di sana.
Matanya tidak lepas dari Bella. Terus memperhatikannya seperti singa yang sedang membidik mangsa kecil seperti kelinci.
Dan kemudian pria itu tersenyum tipis. Bella bukanlah kelinci. Dia adalah kucing kecil yang masuk kedalam perangkap hidupnya.
Alis Stev saling bertautan saat Bella meletakkan alat makannya dengan pelan. Tidak melanjutkan kembali makan yang masih tersisa setengah. Tentu saja Stev bingung dengan ekspresi gadis itu yang tiba-tiba berubah. Menjadi lebih sedih.
"Kenapa? Makanannya tidak enak?" tanya Stev pada gadis itu.
Bella mengangkat wajah menghadap Stev dengan tatapan memohon.
"Stev ..." Bella memanggil pria itu dengan pelan, gadis itu terlihat seperti ingin menangis saat ini juga. Dan Stev tidak mengerti apa yang ada pada pikiran gadis itu.
"Hn?"
"Bolehkah aku ..." Bella menghela napas pendek sebelum melanjutkan, " ... melihat keadaan Sean?"
Tak.
Stev meletakkan gelas anggurnya pada meja, menimbulkan suara keras yang sangat kontras dengan keadaan ruang makan yang hening.
"Tidak boleh," desis pria itu.
Bella mendesah pendek, dia sudah menduga hal ini sebelumnya. Stev tidak akan dengan mudah membiarkan dirinya keluar untuk melihat keadaan Sean. Padahal, ia benar-benar khawatir dengan Sean sejak tadi malam.
Bagaimana kondisi Sean sekarang? Apakah sudah membaik atau belum?
Beberapa detik berlanjut, wanita itu kemudian mengambil napas banyak sebelum kembali berucap untuk memohon.
"Ijinkan aku keluar, Stev. Aku tidak akan kabur."
"Ijinkan aku keluar Stev. Aku tidak akan kabur."Pria itu mendesis pelan mendengar apa yang baru saja Bella ucapkan. Dia tidak bisa cepat percaya pada gadis itu. Di mata Stev, Bella hanyalah kucing kecil pemberontak yang ingin melepaskan diri."Tidak," ucap pria itu sekali lagi. Bella tidak dapat berkata-kata lagi. Bibirnya kelu dan terkunci rapat. Dia hanya dapat menatap Stev dengan pandangan penuh permohonan."Aku mohon Stev. Kau dapat membunuhku jika aku kabur." Bella meringis, tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya.Stev tersenyum miring. "Jadi, aku harus susah payah mencari dirimu dulu sebelum aku membunuhmu? Kau mau mati? Aku akan mengabulkannya sekarang." Pria kejam itu menyeringai senang saat tubuh Bella tiba-tiba bergetar. Bella takut dengan ancaman pria itu tentu saja."Kucing kecil yang malang. Kau seharusnya menuruti perintah majikanmu jika ingin terus hidup," ucap Stev. Dia melirik pada dress yang Bella kenakan. Bella terlihat lebih cantik dengan dr
Stev terkekeh pelan melihat isi dari galeri ponsel milik Bella yang penuh dengan foto gadis itu. Terdapat beberapa teman-temannya yang juga ikut terpotret di sana. Dan Stev juga dapat melihat lelaki berambut hitam yang masuk rumah sakit karena anak buahnya semalam.Sean.Entah mengapa Stev tidak suka melihat wajah Sean yang terlihat sedikit tampan itu. Ia mendengkus, lalu memutar bola matanya bosan dan menggeser pada foto berikutnya. Terdapat satu album di sana. Bella menamainya album kenangan. Dan Stev yang tidak dapat menahan rasa penasarannya lantas membuka album tersebut.Di dalamnya, terdapat potret wanita muda yang berumur sekitar dua puluh tahunan mengenakan dress putih di dasar pantai. Wanita itu tersenyum pada kamera yang sedang mengabadikan gambar untuknya. Salah satu tangannya menggenggam pergelangan tangan anak kecil yang Stev tebak tak lebih dari sepuluh tahun.Anak kecil itu tak lain adalah Bella. Stev dapat melihat banyak kesamaan antara Bella dengan anak kecil yang be
"Kau yakin?" Stev memastikan.Bella menatap pria itu dengan tenang. "Ya, aku tidak akan berani melarikan diri darimu," ucap wanita itu.Stev dapat melihat kesungguhan di mata Bella. Gadis itu tidak sedang berbohong saat ini. Dan pada akhirnya, Stev memberi ijin pada gadis itu. "Baiklah, tapi kau tidak boleh pulang lebih dari jam satu. Jika kau melanggar itu, kau akan tahu apa akibatnya," ucap Stev penuh penekanan.Bella mengangguk cepat. Gadis itu terlihat sangat senang saat Stev memberi ijin padanya untuk bertemu dengan Sean. Wanita itu kemudian berbalik. Ingin segera mandi dan berganti baju. Namun, langkahnya terhenti saat dia mengingat sesuatu. Ia kembali membalikkan badan. Menghadap pada Stev yang kini menatap Bella dengan salah satu alis yang terangkat naik."Kenapa?" tanya pria itu heran. "Aku harus ke rumah sakit yang mana? Kau tidak memberi tahu aku di mana rumah sakit tempat Sean dirawat." "Golden Suite." Stev menjawab singkat."Terima kasih, Tampan," ucapnya sembari ter
"Kau pulang tepat waktu rupanya, gadis pintar," ucap Stev saat melihat Bella baru saja selesai menutup pintu mansion.Pria itu menggenggam gelas berisi vodka. Menggoyang-goyangkan isi yang berada dalam gelas itu sebentar sebelum meminumnya. Namun, tiba-tiba saja Bella berdecak kesal. "Dasar! Anjing gilamu itu benar-benar menyebalkan. Aku dikejar oleh mereka saat masuk gerbang tadi, untung saja aku bisa melarikan diri." Wanita itu tampak bersungut sebal. Yang membuat Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas.Bella kemudian berjalan ke arah Stev. Dan duduk di sofa sebelah pria itu. Lantas mencopot jaket milik Stev yang ia gunakan untuk menutupi tubuh seksinya. "Ini, aku kembalikan." Ia menyodorkan jaket itu pada Stev yang kini memandangnya aneh. "Kau tidak ingin berterima kasih padaku?" "Aku sebenarnya tidak ingin memakainya." Bella memalingkan wajah dari Stev dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau mulai berani, ya? Apa perlu aku memberimu hukuman agar kau menjadi penu
Sebuah suara yang terdengar membuat mereka berdua mengalihkan pandangan pada pintu. Dan melihat seorang wanita berperawakan tinggi berjalan masuk dengan pakaian sama dengan mereka. "Apa aku terlambat?" tanya wanita itu sembari melepas topi yang ia pakai. Matanya menerawang masuk pada kedua pria itu yang juga menatapnya. "Tidak, Ellen. Kau tepat waktu seperti biasa." Lucy mengangkat jempol dan memberikannya pada Ellen. Wanita itu tersenyum, sorot mata cantiknya terlihat mematikan. Gesekan sepatu boot hitam wanita itu terdengar jelas saat beradu dengan lantai di mansion Stev. "Halo, Stev. Lama tidak bertemu, aku merindukanmu." Ellen mendekat pada Stev. Memeluk lengan pria itu dengan erat seakan tidak mau melepaskannya barang sedetik saja. Terlalu banyak hal yang dia lakukan akhir-akhir ini sehingga tidak dapat bertemu dengan Stev. Membuat rindunya pada pria itu tak tertahankan."Halo, Ellen." Stev mengecup sebelah pipi Ellen dengan cepat. Membuat hati wanita itu melambung tinggi hin
"Waktunya bergerak," ucap Stev kala melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Lucy dan Ellen mengangguk. Kemudian mengikuti langkah kaki Stev yang membawa mereka keluar. Di depan mansion sudah terparkir dengan apik SUV hitam yang akan menjadi kendaraan mereka malam ini."Kau yang menyetir," Stev melempar kunci mobil pada Lucy. Dan pria berambut jabrik itu menangkap dengan gesit.Mereka bertiga masuk ke dalam mobil dengan Ellen yang berada di kursi belakang. Gadis itu membuka laptop yang menjadi salah satu benda penting dalam menjalankan aksi mereka bertiga. Ellen sangat pintar dalam urusan meretas keamanan dan CCTV. Karena itulah, Stev merekrut Ellen menjadi bagian dari organisasinya.Jari-jemari gadis itu dengan lincah memainkan keyboard di atas laptop. Mencari data guna meretas keamanan perusahaan yang saat ini menjadi tujuan mereka."Perusahaan Xixi, perusahaan yang saat ini tengah naik daun dengan pendapatan terbesar di Los Angeles d
Stev mengetuk tiga kali pintu ruangan Presiden Direktur di hadapannya. Ia menyeringai seram saat pria di dalam ruangan tersebut mempersilahkannya masuk. "Selamat malam. Tuan Robert Sand," sapa Stev setelah ia membuka pintu dan membuyarkan perhatian Robert dari dokumen yang sedang dia tandatangani. Pria yang duduk di atas kursi kebesarannya itu menoleh. Dan menemukan Stev berdiri di pintu masuk ruangannya dengan sorot wajah yang menyeringai seram. "Siapa kau?" ujar Robert. Dia dapat merasakan suasana tidak baik saat Stev mulai berjalan menuju tempatnya.Dan saat Stev membuka masker hitam yang menutupi wajah tampannya dengan pelan. Wajah Robert berubah memucat. Detik itu juga."S-Stev ..." ujar Robert dengan suara bergetar. Tidak percaya jika ia akan berhadapan dengan Stev di sini. "Kau mengenalku?" tanya Stev sembari menipiskan bibir.Tiba-tiba Robert bersimpuh di depan Stev. Pria berumur lima puluhan itu tahu dengan jelas apa tujuan Stev datang kemari tanpa undangannya.Stev pas
Bella membuka mata pagi harinya. Menemukan cahaya matahari yang menerobos masuk melewati celah ventilasi udara. Menyapanya ramah, seakan menyuruhnya agar terbangun karena hari sudah beranjak siang. Tapi, seperti ada yang aneh. Gadis itu merasakan perutnya terlilit oleh benda keras. Pandangannya turun dan seketika terkejut saat sebuah tangan kekar melingkar pada perutnya. "Pagi, Bella." Leher gadis itu merinding saat mendengar suara serak khas orang bangun tidur. Napas Stev terasa hangat di lehernya. "Pagi, Stev. Kau bisa singkirkan tanganmu? Aku mau bangun." Bella menyingkirkan tangan Stev dengan pelan. Namun pria itu menolak. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Bella. "Ini masih terlalu pagi. Biarkan aku tidur sebentar," ujar Stev. Pria itu lelah karena tadi malam pulang dini hari.Dan Bella hanya memutar bola matanya malas. Kemudian dengan paksa menyingkirkan lengan Stev yang mulai merambat ke mana-mana. "Ini sudah hampir siang. Cih, lihat siapa yang pernah menegur
Bella hanya menghela napas pendek saat Stev malah balas bertanya padanya. Ia mengeratkan selimut milik Stev yang menutupi dirinya sampai ke batas leher. Tidak tahukah dia jika saat ini Bella tengah menanggung malu mati-matian?"A—aku ingin memakai bajuku," ucap Bella pelan. Meski ia tahu jika Stev pasti mendengar ucapannya barusan dengan jelas."Pakai saja," ucap Stev dengan ringan. Seolah perkataan Bella barusan hanyalah angin lalu. Lain halnya dengan Bella. Gadis itu hanya bisa melotot sembari menatap tajam pada Stev. Pria itu benar-benar!"Apa kau ingin aku yang memakaikanmu baju?" ujar Stev. Sungguh Bella ingin tertawa saat melihat ekspresi pria itu saat ini. Setidaknya jika ingin menggoda, Stev seharusnya mengubah sedikit wajahnya yang datar itu. Wajah pria itu sangat tidak cocok dengan perkataannya. Bella berdehem pelan. Gadis itu membuang jauh-jauh rasa gelinya sebelum Stev sadar jika ia baru saja ingin menertawakan Stev. "Tidak perlu, Stev. Aku akan memakai bajuku sendiri,"
Pada akhirnya Bella tidak dapat menolak permintaan Lucy yang meminta tolong padanya. Dan di sinilah Bella saat ini. Di kamar Stev yang mungkin dua kali lebih luas di bandingkan dengan kamarnya. Kamar bernuansa abu-abu itu menjadi ciri khas seorang Stev yang menurut Bella terlalu kelabu. Tentu saja kehidupan pria itu bukan kelabu lagi, tapi sudah berganti menjadi hitam pekat. Ia tak tahu apa yang membuatnya menjadi berpikir Stev adalah seperti itu. Namun sepertinya memang benar, pria itu terlalu tertutup dan mencurigakan. Bella tidak dapat mengerti dengan pria itu, ia terlalu menakutkan bagi Bella. Saat gadis itu melangkah lebih jauh memasuki kamar Stev, ia dapat melihat pria itu masih bergelung dengan selimut. Ia terlihat sangat nyaman sehingga Bella tidak berani membangunkannya. Ia takut jika pria itu merasa terganggu dengan kehadirannya dan membunuhnya saat ini juga. Tidak tidak.Bella yakin Stev tidak akan seperti itu. Meskipun pria itu sudah jelas kejamnya. Setidaknya Stev tida
"Woah, apa dia tertidur karena menonton televisi?" Sebenarnya bukan Bella yang tertidur di sofa yang membuatnya kaget. Namun ia terkejut pada hal yang ada di atas meja. Terdapat lima wadah es krim di sana. Dan semuanya kosong, habis tanpa sisa."Apa Bella menghabiskan semua itu?" ucap Lucy tidak percaya. Sementara Stev hanya menatap tajam pada pria itu. Menyuruh Lucy untuk sedikit merendahkan nada suaranya. Lain halnya dengan Ellen. Wanita itu hanya memutar kedua bola matanya dengan pelan sembari menatap penuh benci pada Bella yang kini tertidur di sofa. Ia berharap jika wanita kecil itu tidak akan bangun lagi untuk selamanya."Dasar rakus," ucap Ellen dengan pelan. "Aku akan membawa Bella ke kamarnya," ucap Lucy. Pria itu telah melangkah maju dan bersiap untuk mengangkat Bella. Namun, sebelum pria itu benar-benar mengangkat gadis itu, pergerakannya terhenti karena Stev menarik kerah bajunya ke belakang. "Sebaiknya kau segera mandi dan tidur," ucap Stev. Pria itu menatap Lucy penuh
DORR!!Satu tembakan yang diluncurkan oleh teman pria yang tadi Ellen lawan membuat seseorang di sana berlubang, dan mengeluarkan darah dari bagian perutnya. "Ugh ... Sial." Sementara Ellen hanya terkekeh pelan sembari menjatuhkan pria yang ia angkat untuk menghalangi tembakan yang baru saja membidik ke arahnya itu. Pria berbadan besar yang tadi melawan Ellen itu jatuh ke dasar lantai dengan kedua tangan yang memegang perutnya yang berlubang. Ia menatap Ellen tak percaya. Wanita itu, ia bisa mengangkatnya dengan sekali gerakan cepat. Padahal besar tubuh mereka berbeda jauh. Sungguh mustahil jika wanita itu dapat mengangkat tubuhnya ke atas tanpa perlu susah payah. Sebenarnya, terbuat dari apa otot dan tulang wanita itu? "Frans!" teriak orang yang tadi menembak pria tersebut. Yang tak lain adalah teman dari pria itu sendiri. "Bajingan kau!" teriak pria yang tersungkur di bawah kaki Ellen itu. Ia menatap marah pada temannya yang kini menjatuhkan pistolnya tak percaya. Ia menat
"Memangnya kenapa?" tanya Stev sembari menoleh pada orang yang baru saja berbicara dengannya. Sementara orang di sebelah Stev itu hanya menghela napas pelan."Aku tahu membunuh adalah hobi mu, Stev. Tapi, dia tidak bersalah apa-apa," ucap pria itu. Ia berusaha untuk menghentikan Stev sehingga pria itu tidak membuat kekacauan di pesta yang tengah dibuatnya. "Berisik.""Ini pesta ulang tahun anakku, Stev. Jangan mengacaukannya," ucap pria itu lagi. Ia mendesah pelan. Ia tahu jika Stev tidak akan berhenti sampai di sini. Pria itu terlalu keras kepala.Stev menipiskan bibirnya dengan perlahan."Benarkah? Ku rasa anakmu nanti akan berterima kasih kepadaku," balas pria tampan itu. Dan tidak lagi menunggu waktu yang lama untuk Stev menarik pelatuk pada pistolnya. DORR!! Satu peluru dengan cepat menembus kaki kanan dari gadis itu. Membuatnya langsung jatuh dari tempat duduknya dan mengaduh kala dirinya menimpa lantai yang keras. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Banyak orang terdiam dar
Bella keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang menutupi bagian tubuhnya hingga ke lutut. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian besar yang ada di kamarnya. Kemudian membukanya dan memilih baju yang sekiranya cocok untuk ia gunakan malam ini. Akhirnya, setelah beberapa saat memilih, gadis itu mengambil sebuah sweater berwarna biru muda dengan celana kain hitam yang panjang. Kemudian tanpa berlama-lama lagi, gadis itu segera melepas jubah mandinya dan berganti dengan pakaian yang baru saja ia pilih. Setelah berganti pakaian, Bella kemudian mengambil sisir yang tergeletak di atas meja di kamarnya. Gadis itu dengan pelan menyisir rambut hitam panjangnya di depan cermin. "Kurasa rambutku sudah terlalu panjang, apa aku harus memotongnya?" gumam Bella pada diri sendiri. Wanita itu terkekeh kecil sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu menolehkan kepalanya pada jam dinding yang berada di kamarnya, dan waktu di sana sudah menunjukkan pukul delapan l
Bella menuruni mobil yang ditumpanginya dengan raut wajah masam. Ia menutup pintu mobil berwarna hitam pekat tersebut dengan sedikit bantingan keras. Membuat seorang pria yang menjadi supir dalam mobil tersebut menatap gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang salah darinya? Dia hanya menjalankan perintah bosnya untuk membawa Bella pulang. Gadis itu bahkan kembali dengan selamat tanpa terluka seujung jari pun.Sementara Bella yang kini memasuki mansion Stev itu mendengus pelan. Gadis itu tahu siapa yang melaporkan dirinya pada Stev. Siapa lagi kalau bukan pengawal pria itu yang tadi sudah berada di depan kafe saat gadis itu baru saja melangkah keluar?"Dasar menyebalkan!" gerutu Bella dengan pelan. Gadis itu tentu saja tidak berani memarahi pengawal Stev yang ada di luar mansion itu. Bisa-bisa dirinya nanti dibuang oleh orang-orang yang menjadi anak buah Stev ke tengah hutan. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Bella merinding dibuatnya. Ia tidak akan m
Bella melirik pada kedua sahabatnya yang kini sedang menatap ke arahnya dengan raut wajah yang penasaran. Tampaknya mereka berdua tidak mendengar suara orang di balik telepon Bella. "Ada apa, Bella?" tanya Kylie dengan nada setengah berbisik. Wanita itu tidak ingin orang yang ada di balik telepon Bella mendengar suaranya. Sementara Sean, pria itu juga memandang Bella dengan sorot mata yang menyiratkan kekhawatiran. Tampaknya Sean tahu apa yang sedang terjadi pada Bella. Perlakuan gadis itu yang mengedarkan pandangan pada seisi kafe ini sudah menjadi jawaban. Jika kedatangan Bella ke kafe ini sepertinya sudah diketahui dengan tuannya. Sementara Bella hanya bisa menghela napas pendek setelah gadis itu menutup panggilan telepon. "Maaf, Sean, Kylie. Sepertinya aku akan pulang dulu," ucap Bella dengan nada yang sedikit tidak terima. Wanita itu tersenyum pada keduanya, ia kembali memasukkan ponselnya pada tas dan merogoh sesuatu yang lain di sana. "Kali ini aku yang bayar," ucap Bella
"Benarkah? Wow, selamat Bella!" ucap Kylie tidak percaya. Wanita itu tentu saja senang saat Bella mendapatkan pekerjaannya lagi, meskipun ia tahu. Jika Bella mencari pekerjaan bukan karena benar-benar ingin bekerja. Namun wanita itu pasti bosan berada di dalam mansion yang megah itu seorang diri. Sementara semua penghuni mansion itu pasti akan pergi jika mereka sedang melakukan pekerjaannya. Dan tidak ada yang Bella lakukan lagi kecuali hanya tersenyum membalas ucapan selamat dari Kylie."Terima kasih, Kylie. Aku sekarang berada di Jenjay, bersama dengan Jennie yang menjadi atasanku di sana," ucap Bella kemudian. Gadis itu dapat melihat jika kedua mata Kylie melebar saat ia mengatakan itu. Tampaknya wanita itu lebih kaget dari yang sebelumnya."Jenjay?! Jenjay yang itu?!" Kylie memekik, dan Sean yang berada di samping gadis itu menaikkan salah satu alisnya dengan heran. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh dua gadis yang berada di meja yang sama dengannya itu. Apa katanya