Bella tidak mengerti kemana dia akan dibawa pergi. Stevano hanya diam saat melajukan mobil, tidak bersuara barang sedikit saja untuk memecah keheningan yang melanda.
Dan Bella tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada pria itu.
"Kita akan ke mana?" tanya Bella. Matanya melirik sekilas pada pria itu.
"Kau akan tahu nanti," balas pria itu singkat. Matanya lurus menatap jalanan kota Los Angeles yang mulai padat di malam hari.
Sekitar satu jam berlalu, mobil yang mereka tumpangi melambat, kemudian berhenti tepat pada mansion besar yang berdiri di depan mata.
Gelap.
Itu adalah kalimat pertama yang Bella ucapkan dalam hati. Meski terlihat megah dari luar, mansion itu mempunyai aura hitam tersendiri. Seperti pria di sampingnya itu.
Stevano menatap Bella yang tidak bergerak dan malah tercenung oleh bangunan besar yang merupakan mansionnya.
"Turun," ucap pria itu.
Dan Bella turun mengikuti Stevano. Ia mengekor pada pria itu seperti anak kucing pada induknya.
Pria itu membuka pelan pintu yang menjadi pembatas antara luar dan dalam. Bella yang sedari tadi berada di belakang Stevano terkesiap. Tidak sesuai dugaan Bella. Dalam mansion tersebut berisi benda-benda mahal dan cantik. Sangat kontras dengan pemandangan mansion ini dari luar. Mungkin inilah yang disebut dengan, jangan menilai buku dari sampulnya. Tapi ini benar-benar luar biasa, bahkan Bella rasa ini bukan hanya sekedar mansion biasa. Namun istana.
"Indah sekali," Bella berucap tanpa sadar. Matanya mengedar, memandang isi dalam mansion itu dengan tatapan kagum.
Sementara Stevano hanya melirik gadis itu sekilas. Membiarkan Bella mengamati isi mansionnya untuk saat ini.
"Yo, Stev!"
Tiba-tiba seorang pria berambut jabrik muncul dari arah dapur. Menyapa Stevano dengan pukulan rendah. Salah satu tangan pria itu memegang segelas wine yang tinggal setengah isinya.
Stevano tidak menjawab, dia hanya menatap malas pada pria jabrik di depannya.
"Woah, mainan barumu?" Pria berambut jabrik itu menatap Bella yang berdiri di belakang Stevano dengan tatapan penuh arti.
Sementara wanita itu hanya bisa mengigit bibir bawahnya pelan.
Apa maksud dari pria jabrik ini? Kenapa dia merasakan itu bukan suatu hal yang baik?
"Kau sudah selesai?" tanya Stevano pada pria itu. Tidak menjawab pertanyaan yang pria jabrik itu lontarkan.
"Tentu saja," balas pria itu.
Bella tidak mengerti apa yang sedang mereka berdua bicarakan. Jadi, yang Bella lakukan saat ini hanyalah menjadi pendengar yang baik tanpa tahu jalan ceritanya.
"Bagus," ucap Stevano. Wajahnya terlihat puas.
Tiba-tiba saja, pria jabrik itu telah berada di samping Bella dalam hitungan detik. Membuat Bella terkesiap dengan kecepatan pria itu.
"Hai. Perkenalkan, aku Lucy. Teman dari Stev si pria datar itu. Siapa namamu, Nona Manis?" tanya pria jabrik itu yang mengenalkan dirinya sebagai Lucy.
"Aku ... Bella," balas Bella pelan.
"Bella, nama yang cantik, seperti orangnya."
Bella tidak menanggapi Lucy dengan serius. Karena semua pria di dunia ini menurutnya sama saja. Suka menggoda para gadis demi tujuan tertentu.
"Di mana kau bertemu dengan Stev?" tanya Lucy.
Dan Bella tidak menjawab pertanyaan pria berambut jabrik itu kala Stevano memberinya isyarat untuk mengikuti.
Bella membuang napas pelan. Sebelum mengikuti Stevano naik ke lantai atas yang terhubung dengan tangga memutar.
Di lantai atas terdapat dua kamar. Di mana kamar yang satunya menjadi kamar milik pria tersebut.
"Itu kamarmu," ucap Stevano memberi tahu. Menunjuk salah satu kamar yang ada dengan dagunya. Dan Bella berterima kasih pada pria itu. Ternyata Stevano tidak semengerikan yang ia bayangkan.
"Terima kasih banyak, Tuan." Bella menundukkan sedikit badannya.
Sementara pria itu menatap Bella dengan alis yang mengkerut heran. "Kau panggil aku apa?" suaranya seperti biasa, dingin dan datar.
Bella mendongak pada pria di hadapannya. "Tuan, kenapa?" tanya Bella yang terlihat bingung.
Stevano mendengus keras. Menatap Bella dengan intens. "Panggil aku Stev, kau tidak tuli saat Lucy memanggil namaku tadi."
Bella menghela napas pelan. Baru saja dia memuji pria itu. Kini dia sudah dihempas pada kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Stevano yang kejam.
"Baik, Tuan Stev."
. . .Bella memasuki kamar yang telah disediakan untuknya. Dia terkesiap melihat isi kamar yang akan menjadi tempatnya melepas lelah. Kamar ini begitu luas, dan juga cantik. Sangat jauh berbeda dengan miliknya yang bahkan luasnya saja tidak ada setengah dari kamar ini.
Kenapa pria itu sangat baik hati? Membiarkan Bella tidur di ranjang besar dengan kasur berukuran king size yang empuk. Bella yakin, tidurnya malam ini akan menjadi tidur ternyenyak di sepanjang hidupnya.
Di kamar ini terdapat kamar mandi pribadi. Dan juga sofa besar berwarna merah yang berada di samping ranjang.
Bella tersenyum dalam hati. Meskipun pria itu dingin dan terkesan kejam. Tetapi Bella tidak dapat menampik kenyataan jika pria itu begitu tampan, dan juga baik hati, mungkin?
Bella tidak lagi berpikir kemana-mana setelah dirinya hanyut dalam kehangatan di atas ranjang barunya.
Oh, bahkan selimutnya benar-benar halus.
Dan tanpa Bella sadari, matanya telah tertutup untuk mengakhiri aktivitas hari ini. Pikirannya terbang melayang di dalam mimpi yang indah.
. . .Bella terkesiap, saat dia membuka mata. Yang dia lihat pertama kali adalah sosok Stevano yang duduk di sofa dengan pandangan yang lurus menatapnya tanpa berkedip.
Wanita itu lantas berdeham sebentar. Membuang rasa malu ketika Stevano tak segera mengalihkan pandangan darinya.
"Selamat pagi Tuan ... Stev," sapa Bella tergagap. Dia tidak dapat berkutik dengan tatapan tajam yang pria itu berikan.
"Hn," balas Stevano. Matanya masih menatap lurus pada Bella yang juga tengah menatapnya.
Kedua manik mereka bertemu, untuk waktu yang sedikit lama.
Bella meneguk ludahnya tanpa sadar, sedikit terpesona oleh wajah rupawan yang terpahat dengan sempurna pada diri pria itu.
"Mengapa Tuan ada di sini?"
"Stev." Pria itu berucap cepat. Dan Bella langsung sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
"Mengapa kau ada di sini, Stev?" Kini Bella membuang rasa formalnya seperti yang pria itu inginkan. Dia yakin juga umur Stevano tidak jauh dari umurnya. Dua tahun di atasnya, mungkin?
Sementara Stevano masih saja menatap Bella dengan datar. Satu alisnya terangkat naik, memberi Bella balasan sarkas.
"Ini rumahku. Aku bebas berada di manapun, termasuk di atas ranjang yang saat ini kau gunakan." Pria itu menyeringai saat wajah Bella terlihat mulai memerah. Entah apa yang sedang wanita itu pikirkan.
Bella menggeleng cepat. Membuang pikiran lain yang tiba-tiba saja mampir pada kepalanya.
Dan kemudian ia bernapas lega. Saat mendapati Stevano berdiri dan berjalan menjauh darinya, mendekati pintu.
"Turun. Dan jangan biasakan bangun siang. Kau gadis kecil yang bodoh," ucap Stevano yang terdengar seperti perintah.
Membuat Stev merasa dia baru saja mendisiplinkan anak kecil yang baru bisa berjalan.
Dan Bella memandang kepergian pria itu dengan dengkusan kesal. Ia benar-benar akan menarik kata-katanya yang menyebut jika Stevano adalah pria baik.
Dia adalah pria terburuk yang pernah Bella temui.
Bella menguap sebentar. Merasa setengah jiwanya masih tertinggal dalam mimpi. Gadis itu menggerutu pada sosok Stevano yang hilang di balik pintu. Pria itu mengganggu sekali, padahal Bella masih ingin bergelung membagi kehangatan dengan kasur. Tidak ada yang dapat Bella lakukan selain menuruti sang tuan rumah. Dia hanyalah seekor kucing kecil yang beruntung dipungut oleh Stevano. Tidak ada alasan bagi Bella untuk membantah pada pria yang sudah memberinya kenyamanan tidur dalam kamar yang besar, mewah, juga indah.Bella menyibak selimut lembut yang menemaninya tidur. Lalu melipat selimut itu agar terlihat rapi sebelum turun dari ranjang. Dan masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan rutinitasnya setiap hari.Bella sungguh terkesiap dengan kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Dia kira kamar mandi ini kecil, karena memang begitu jika dilihat dari luar. Ternyata tidak, ini terlalu luas jika hanya digunakan untuk seorang diri.Terdapat shower berbahan bagus di kamar mandi itu. Tidak l
"Ijinkan aku keluar Stev. Aku tidak akan kabur."Pria itu mendesis pelan mendengar apa yang baru saja Bella ucapkan. Dia tidak bisa cepat percaya pada gadis itu. Di mata Stev, Bella hanyalah kucing kecil pemberontak yang ingin melepaskan diri."Tidak," ucap pria itu sekali lagi. Bella tidak dapat berkata-kata lagi. Bibirnya kelu dan terkunci rapat. Dia hanya dapat menatap Stev dengan pandangan penuh permohonan."Aku mohon Stev. Kau dapat membunuhku jika aku kabur." Bella meringis, tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya.Stev tersenyum miring. "Jadi, aku harus susah payah mencari dirimu dulu sebelum aku membunuhmu? Kau mau mati? Aku akan mengabulkannya sekarang." Pria kejam itu menyeringai senang saat tubuh Bella tiba-tiba bergetar. Bella takut dengan ancaman pria itu tentu saja."Kucing kecil yang malang. Kau seharusnya menuruti perintah majikanmu jika ingin terus hidup," ucap Stev. Dia melirik pada dress yang Bella kenakan. Bella terlihat lebih cantik dengan dr
Stev terkekeh pelan melihat isi dari galeri ponsel milik Bella yang penuh dengan foto gadis itu. Terdapat beberapa teman-temannya yang juga ikut terpotret di sana. Dan Stev juga dapat melihat lelaki berambut hitam yang masuk rumah sakit karena anak buahnya semalam.Sean.Entah mengapa Stev tidak suka melihat wajah Sean yang terlihat sedikit tampan itu. Ia mendengkus, lalu memutar bola matanya bosan dan menggeser pada foto berikutnya. Terdapat satu album di sana. Bella menamainya album kenangan. Dan Stev yang tidak dapat menahan rasa penasarannya lantas membuka album tersebut.Di dalamnya, terdapat potret wanita muda yang berumur sekitar dua puluh tahunan mengenakan dress putih di dasar pantai. Wanita itu tersenyum pada kamera yang sedang mengabadikan gambar untuknya. Salah satu tangannya menggenggam pergelangan tangan anak kecil yang Stev tebak tak lebih dari sepuluh tahun.Anak kecil itu tak lain adalah Bella. Stev dapat melihat banyak kesamaan antara Bella dengan anak kecil yang be
"Kau yakin?" Stev memastikan.Bella menatap pria itu dengan tenang. "Ya, aku tidak akan berani melarikan diri darimu," ucap wanita itu.Stev dapat melihat kesungguhan di mata Bella. Gadis itu tidak sedang berbohong saat ini. Dan pada akhirnya, Stev memberi ijin pada gadis itu. "Baiklah, tapi kau tidak boleh pulang lebih dari jam satu. Jika kau melanggar itu, kau akan tahu apa akibatnya," ucap Stev penuh penekanan.Bella mengangguk cepat. Gadis itu terlihat sangat senang saat Stev memberi ijin padanya untuk bertemu dengan Sean. Wanita itu kemudian berbalik. Ingin segera mandi dan berganti baju. Namun, langkahnya terhenti saat dia mengingat sesuatu. Ia kembali membalikkan badan. Menghadap pada Stev yang kini menatap Bella dengan salah satu alis yang terangkat naik."Kenapa?" tanya pria itu heran. "Aku harus ke rumah sakit yang mana? Kau tidak memberi tahu aku di mana rumah sakit tempat Sean dirawat." "Golden Suite." Stev menjawab singkat."Terima kasih, Tampan," ucapnya sembari ter
"Kau pulang tepat waktu rupanya, gadis pintar," ucap Stev saat melihat Bella baru saja selesai menutup pintu mansion.Pria itu menggenggam gelas berisi vodka. Menggoyang-goyangkan isi yang berada dalam gelas itu sebentar sebelum meminumnya. Namun, tiba-tiba saja Bella berdecak kesal. "Dasar! Anjing gilamu itu benar-benar menyebalkan. Aku dikejar oleh mereka saat masuk gerbang tadi, untung saja aku bisa melarikan diri." Wanita itu tampak bersungut sebal. Yang membuat Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas.Bella kemudian berjalan ke arah Stev. Dan duduk di sofa sebelah pria itu. Lantas mencopot jaket milik Stev yang ia gunakan untuk menutupi tubuh seksinya. "Ini, aku kembalikan." Ia menyodorkan jaket itu pada Stev yang kini memandangnya aneh. "Kau tidak ingin berterima kasih padaku?" "Aku sebenarnya tidak ingin memakainya." Bella memalingkan wajah dari Stev dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau mulai berani, ya? Apa perlu aku memberimu hukuman agar kau menjadi penu
Sebuah suara yang terdengar membuat mereka berdua mengalihkan pandangan pada pintu. Dan melihat seorang wanita berperawakan tinggi berjalan masuk dengan pakaian sama dengan mereka. "Apa aku terlambat?" tanya wanita itu sembari melepas topi yang ia pakai. Matanya menerawang masuk pada kedua pria itu yang juga menatapnya. "Tidak, Ellen. Kau tepat waktu seperti biasa." Lucy mengangkat jempol dan memberikannya pada Ellen. Wanita itu tersenyum, sorot mata cantiknya terlihat mematikan. Gesekan sepatu boot hitam wanita itu terdengar jelas saat beradu dengan lantai di mansion Stev. "Halo, Stev. Lama tidak bertemu, aku merindukanmu." Ellen mendekat pada Stev. Memeluk lengan pria itu dengan erat seakan tidak mau melepaskannya barang sedetik saja. Terlalu banyak hal yang dia lakukan akhir-akhir ini sehingga tidak dapat bertemu dengan Stev. Membuat rindunya pada pria itu tak tertahankan."Halo, Ellen." Stev mengecup sebelah pipi Ellen dengan cepat. Membuat hati wanita itu melambung tinggi hin
"Waktunya bergerak," ucap Stev kala melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Lucy dan Ellen mengangguk. Kemudian mengikuti langkah kaki Stev yang membawa mereka keluar. Di depan mansion sudah terparkir dengan apik SUV hitam yang akan menjadi kendaraan mereka malam ini."Kau yang menyetir," Stev melempar kunci mobil pada Lucy. Dan pria berambut jabrik itu menangkap dengan gesit.Mereka bertiga masuk ke dalam mobil dengan Ellen yang berada di kursi belakang. Gadis itu membuka laptop yang menjadi salah satu benda penting dalam menjalankan aksi mereka bertiga. Ellen sangat pintar dalam urusan meretas keamanan dan CCTV. Karena itulah, Stev merekrut Ellen menjadi bagian dari organisasinya.Jari-jemari gadis itu dengan lincah memainkan keyboard di atas laptop. Mencari data guna meretas keamanan perusahaan yang saat ini menjadi tujuan mereka."Perusahaan Xixi, perusahaan yang saat ini tengah naik daun dengan pendapatan terbesar di Los Angeles d
Stev mengetuk tiga kali pintu ruangan Presiden Direktur di hadapannya. Ia menyeringai seram saat pria di dalam ruangan tersebut mempersilahkannya masuk. "Selamat malam. Tuan Robert Sand," sapa Stev setelah ia membuka pintu dan membuyarkan perhatian Robert dari dokumen yang sedang dia tandatangani. Pria yang duduk di atas kursi kebesarannya itu menoleh. Dan menemukan Stev berdiri di pintu masuk ruangannya dengan sorot wajah yang menyeringai seram. "Siapa kau?" ujar Robert. Dia dapat merasakan suasana tidak baik saat Stev mulai berjalan menuju tempatnya.Dan saat Stev membuka masker hitam yang menutupi wajah tampannya dengan pelan. Wajah Robert berubah memucat. Detik itu juga."S-Stev ..." ujar Robert dengan suara bergetar. Tidak percaya jika ia akan berhadapan dengan Stev di sini. "Kau mengenalku?" tanya Stev sembari menipiskan bibir.Tiba-tiba Robert bersimpuh di depan Stev. Pria berumur lima puluhan itu tahu dengan jelas apa tujuan Stev datang kemari tanpa undangannya.Stev pas
Bella dengan cepat menjauhkan dirinya dari Stev. Wanita itu memandang pria itu dengan waspada. Kalau-kalau pria ini berani berbuat macam-macam padanya. "Apa-apaan kau," ucap Bella dengan sebal. Wanita itu mengambil gelas yang tadi di hidangkan oleh salah satu pelayan di sini."Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Stev. Membuat Bella yang sedang minum itu menatap Stev dengan tatapan bertanya. "Apa?" tanya wanita itu. Dan Stev hanya mendesah pelan. Ia terlalu malas untuk mengulang perkataannya. Namun kali ini sepertinya ia harus kembali mengatakannya pada Bella. Pikiran wanita itu berjalan seperti siput, lambat sekali. "Kau tidak ingin bertanya mengapa aku membawamu kemari?" tanya Stev. Dan Bella yang menyadari jika Stev tadi juga berkata seperti itu hanya mendesah pelan. "Apakah aku harus bertanya seperti itu?" Wanita itu tidak membalas ucapan Stev dan malah balik bertanya.Stev tidak percaya jika Bella akan berkata seperti itu. Padahal wanita itu selalu ingin ikut campur urusan
..."Wow! Ini menakjubkan, kurasa mansion ini lebih indah dari yang saat ini kau tinggali Stev," ucap Bella. Wanita itu menatap bangunan besar yang ada di hadapannya. Di setiap sisi mansion itu terlihat beberapa pohon besar tumbuh dengan taman di depan mansion tersebut, terlihat rindang dan menyejukkan mata.Tampak lebih hidup daripada mansion yang juga digunakan sebagai tempat tinggalnya. "Kau suka?" tanya pria itu masih dengan wajah datarnya yang membuat Bella mendengus pelan. "Tentu saja aku suka. Siapa yang tidak akan suka tinggal di tempat cantik seperti ini? Ini seperti sebuah cerita dalam novel. Hanya saja ini nyata dan bukan fiksi," balas Bella. "Kalau begitu ayo masuk," ucap Stev sembari berjalan. Membiarkan Bella mengikutinya dari belakang. "Apa di sini ada orang?" tanya Bella pada pria yang berjalan di sebelahnya itu. Akhirnya Bella berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Stev. "Ada." Pria itu membalas singkat. "Apa mereka keluargamu?" tanya Bella lagi. Dan pria it
Stev mendesah pelan saat pria itu melihat Bella masih terbaring di atas ranjang dengan nyamannya. Tanpa tahu jika dirinya sudah memandang penuh ke arah wanita itu lebih dari sepuluh menit. Ia melihat jam yang ada pada pergelangan tangan besarnya. Padahal waktu yang tertera masih setengah lima pagi, dan Stev sudah siap dengan pakaiannya yang rapi. Ia melesak masuk ke dalam kamar Bella tanpa permisi, dan dengan gerakan cepat tangannya menyingkap selimut yang Bella kenakan hingga membuat gadis itu menggigil kedinginan. "Bangun," ucap Stev pada wanita itu. Dan bukannya bangun, Bella malah berbalik memunggungi Stev dengan tangan yang terus menggapai-gapai di mana selimutnya berada. "Bangun atau aku akan memakanmu saat ini juga," ucap Stev sekali lagi. Dan anehnya, Bella langsung membuka kedua matanya. Gadis itu seperti mendengar suara Stev di kamarnya. Bella berpikir jika itu pasti mimpi. Dia tidak mempedulikan hal ini dan kembali menutup mata, tubuhnya begitu lelah karena ia tidur te
"Lucy akan kembali besok. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali. Menggunakan helikopter," balas Stev. Membiarkan Bella membulatkan bibirnya tak percaya. "Apa? Jangan bilang kau belum pernah naik helikopter," ucap Stev yang ternyata tepat. Gadis itu memang belum pernah menaiki helikopter, namun ia pernah melihat benda terbang itu. "Aku memang belum pernah," ucap Bella sembari terkekeh pelan. Dan Stev hanya mendecih mendengar perkataan wanita itu. "Dasar miskin.""Ck! Kau tidak boleh bicara seperti itu meski pun kau orang kaya, Stev! Akan ada saatnya kau di bawah nanti. Lihat saja," balas Bella."Kau sedang mengancamku atau mendoakan aku?" "Terserah kau mau menganggapnya apa," balas Bella. Wanita itu kini lebih memfokuskan diri untuk memasak daripada berbicara dengan Stev yang tidak terlalu penting itu. "Kau membuat apa?" tanya Stev. Pria itu berdiri tepat di belakang Bella, membuat wanita itu menghela napas pelan. "Jauhkan wajahmu dari sana, sebelum aku menyiram wajahmu denga air
Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas saat ia melihat Bella menghentikan langkahnya. Wanita itu seperti ragu untuk untuk melangkah masuk ke kamar Ellen. Jadi, yang dilakukannya saat ini hanyalah diam di tempat berdirinya. "Kau tidak mau masuk?" tanya Stev. Pria itu mendekat ke arah Bella dengan langkah kakinya yang lebar-lebar."Apakah dia akan memperbolehkan masuk ke sana?" tanya Bella. Ia tidak yakin jika Ellen akan baik-baik saja dan menerima dirinya. Wanita itu pasti akan langsung mengusir Bella saat Bella hanya baru satu kali melangkah ke dalam kamar wanita itu. Sementara Stev hanya mengendikkan bahunya acuh. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Bukankah kau sendiri yang bilang jika ingin ke kamarnya?" tanya Stev. Dan tidak ada yang Bella lakukan selain hanya menghela napas pelan sembari mengangguk."Baiklah," balas wanita itu dengan yakin. Ya, setidaknya ia harus mencoba terlebih dahulu. Dan jika Ellen mengusirnya Bella hanya bisa menuruti permintaan wanita itu.
Bella mengerutkan dahi saat dirinya hanya mendapati Lucy yang sendirian."Di mana dua sahabatmu itu?" tanya Bella sembari berjalan masuk ke dalam. Sementara Lucy hanya mendengus pelan mendengar pertanyaan Bella. "Yang kau maksud itu mereka berdua atau hanya Stev saja?" tanya Lucy. Pria itu sedikit tidak yakin jika Bella benar-benar bertanya di mana Ellen berada. Dan Bella hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aku tidak peduli dengan pria arogan itu," balas Bella. Tampaknya wanita itu langsung berubah mood menjadi buruk saat mendengar nama Stev yang Lucy ucapkan."Siapa yang kau sebut pria arogan?" ucap suara baritone di belakang Bella. Membuat Bella melotot seketika. Ia menoleh ke belakang, dan menemukan Stev sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Pria itu menaikkan sedikit dagunya dengan angkuh. Membuat Bella yang melihat itu mendengus. "Kau tidak perlu tahu siapa pria itu," balas Bella dengan nada suara yang sedikit ketus. Memb
"Hati-hati di jalan, Bella!" ucap Freya. Wanita itu melambai ke arah Bella dengan senyum manis yang tersemat di bibir.Sementara Bella hanya mengangguk singkat pada wanita itu. Ia lalu keluar dari Jenjay dengan langit yang sudah mulai berganti warna.Saat dirinya berjalan hendak pulang, tiba-tiba saja seorang anak kecil berwajah manis menghampirinya dengan keranjang bunga yang menggantung di lengan anak kecil itu. "Kakak. Belilah bunga ini, ini sangat cocok dengan kakak yang cantik," ucap gadis kecil itu sembari menyodorkan setangkai bunga lily pada Bella disertai senyum yang menggemaskan.Bella terpaku di tempat. Ia tidak menyangka jika gadis kecil itu menjual bunga sendirian di sini. Tanpa seseorang yang mendampinginya. Apa anak kecil itu tidak takut tersesat? "Bunga yang cantik, aku akan membelinya beberapa tangkai," balas Bella. Ia pun berjongkok, menyetarakan tinggi badannya dengan tinggi badan gadis kecil tersebut. Sementara gadis kecil itu tiba-tiba mengerjap senang. "Benar
"Dia benar-benar hebat, Bos. Kemampuannya dalam meretas keamanan dan membuat strategi tidak main-main. Aku pernah sekali menghadapinya. Saat itu aku yakin jika aku bisa mengalahkan wanita itu karena dia yang terdesak sendirian tanpa Stev dan Lucy di sana. Namun, dia berhasil membalikkan keadaan dan balas menyerangku dengan beberapa orang yang aku bawa. Aku beruntung, aku tidak mati saat itu juga karena dia yang membiarkanku pergi," ucap pria itu. Sementara bosnya itu hanya mengangguk-angukkan kepala sembari mendesis pelan. "Wanita itu ... aku ingin mendapatkannya," ucapnya dingin.Membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu membelalakkan mata. "Tapi, Bos. Itu sepertinya tidak mungkin, dia adalah musuh kita." Satu-satunya wanita yang ada di sana menolak keras keinginan bosnya itu. "Apa kau takut jika dia akan mengalahkanmu, Vivie?" tanya pria itu sembari menatap datar pada wanita di hadapannya. Ia tahu dengan persis apa yang sedang di pikirkan wanita itu. Vivie menggeleng pe
"Terima kasih, Stev."Stev tidak menjawab. Melainkan hanya mengangguk pelan pada gadis itu tanpa berniat membuka mulut untuk mengeluarkan suara. Sementara Bella yang sudah hafal dengan persis kebiasaan Stev itu hanya bisa tersenyum masam. Ia maklum dengan pria yang menurutnya sangat irit bicara itu. Namun, jika sekali saja Stev berucap. Suara pria itu akan terdengar sangat seksi hingga membuat orang yang mendengarnya merasa tergoda untuk mendekat.Mobil pria itu kembali berjalan. Meninggalkan Bella di depan gedung tempat kerja gadis itu. Bella hanya mendesah pelan sembari menatap kepergian mobil Stev yang semakin lama semakin menjauh. Gadis itu kemudian membalikkan badannya dan memasuki tempat kerjanya dengan langkah senang. Tanpa tahu, jika orang yang sedari tadi berdiri di dalam Jenjay mengamati Bella yang sedang berbicara dengan Stev. Ia dapat melihat Bella yang tersenyum dengan manis pada seseorang yang ada di dalam mobil tersebut. "Ada apa, Ketua?" tanya seseorang yang kini