Bella melebarkan mata saat pria itu menempelkan bibirnya dengan tiba-tiba. Menciumnya cepat sebelum melirik pada Austin yang juga kaget melihat kejadian di depan matanya.
Oh, tidak!
Bella akan mendapat masalah yang besar jika masih berada di sini.
Ketika sadar dengan apa yang baru saja terjadi, Bella mendorong pria itu sekuat tenaga. Namun, pria itu hanya mendecih saat merasakan dorongan Bella yang tidak jauh dari seekor kucing. Lemah.
'Astaga, ciuman pertamaku direbut paksa oleh pria gila ini,' ucap Bella dalam hati.
"Aku akan membawa dia ikut bersamaku."
Manik hitamnya menatap Austin yang bergetar di tempat duduknya.
"Ja ... jangan, Tuan."
Austin tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi itu pasti bukan hal yang baik.
Sedangkan Bella masih berdiri. Tangannya digenggam erat oleh lelaki yang seenaknya mencuri ciuman pertamanya tadi.
"Lepaskan aku!" teriak Bella, dan pria itu hanya menyeringai menatap Bella yang berusaha melepaskan tangan dari genggamannya. Itu tidak mudah karena perbedaan tenaga mereka yang begitu jauh.
Mata pria itu kembali mengedar, menatap Austin setajam elang dengan aura hitam yang menguar.
"Kau tidak setuju jika aku membawa gadis kecil ini? Hanya. Gadis. Ini. Dan. Hutangmu. Padaku. Lunas." Pria itu menekan setiap kata-katanya.
Gadis? Tentu saja pria itu tahu jika Bella masih gadis dan masih perawan. Dilihat dari gerak-gerik gadis itu, sepertinya Bella belum pernah mendapatkan sentuhan menggairahkan.
Dan ini sangat menyenangkan baginya ketika mengetahui masih ada gadis perawan di tengah kerasnya Los Angeles yang terkenal dengan slogan terbarunya. Kota penuh hiburan. Bahkan, orang-orang dari luar kota saja rela meluangkan waktu demi singgah di kota ini.
"Apa yang kau maksud dengan hutang?"
Pria itu menatap Bella dalam.
"Kau tidak tahu? Bar ini berdiri karena siapa?" tanya pria itu. Tatapannya menusuk hingga ke ulu hati Bella.
Bella tercenung, "Bos ku, bukan?
Dan lelaki itu tersenyum tipis mendengar jawaban polos Bella, "Naif sekali."
Pria itu kembali mendekatkan wajahnya kepada Bella. "Gadis kecil, biar ku beritahu satu hal. Bar ini berdiri karena aku, dengan uangku."
Perkataan pria itu membuat Bella terkesiap. Netranya berganti memandang Austin dengan tatapan bertanya.
"Bos, jangan bilang—"
"Benar Bella, bar tempat kau bekerja ini milik dia, Tuan Stevano," ucap Austin. Dia mendesah pelan sebelum melanjutkan perkataannya.
"Tuan, jangan bawa Bella. Dia sudah seperti anak sendiri untukku. Dan dia adalah bartender terbaik yang kami miliki. Pemasukan terbesar di bar ini karena Bella, tanpa dia bar ini tidak dapat berjalan."
Austin mencoba memohon pada pria itu. Dan Bella tidak bisa untuk tidak menutup mulut tak percaya saat mendengar pernyataan Austin.
Namun, Bella bersyukur, Austin berusaha untuk melindunginya dari pria mengerikan ini.
Sementara pria yang dipanggil Stevano itu menatap Austin datar, tanpa ekspresi.
"Kau sedang membantahku?" Suara Stevano terdengar berat.
Austin lantas melebarkan mata kala melihat Stevano yang kini mengangkat senjata api menghadap dirinya.
"Jangan!"
Bella menghalangi Austin dari kekejaman pria yang kini sedang menodongkan senjata api itu.
Dan Stevano tidak bisa untuk tidak menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyum simpul.
"Kau melindunginya?"
"Ya! Dan kau pria kejam yang hanya berani mengancam orang lain dengan senjata api," tukas Bella cepat.
Stevano terkekeh pelan, "Oh, kau tidak ingin aku mengenakan senjata? Tapi, itu akan lebih menyakitkan jika seseorang menerima pukulan ku secara langsung. Kau mau merasakannya?"
Bella diam. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan tidak masuk akal dari pria itu.
"Ikut denganku, maka aku akan membiarkan Austin hidup dan Eflic tetap berdiri."
"Jika aku tidak mau?" tantang Bella. Dia sengaja mengeraskan suaranya agar pria di depannya itu tidak berani berbuat macam-macam.
"Kau tidak mau? Kalau begitu sesuai keinginanku. Bar ini akan hancur dan Austin akan mati, saat ini juga. Ah, bukan hanya Austin yang akan mati. Tapi semua yang ada di Eflic ini akan ikut mati. Semua. Tanpa terkecuali."
Suara Stevano terdengar mengerikan. Pria itu sepertinya tidak sedang main-main.
Bella menarik napas, sebelum membuangnya dalam hembusan panjang.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu."
"Bella!"
Bella menengok ke belakang. Melihat Austin yang sudah seperti ayah sendiri itu menatapnya dengan sedih.
"Aku tidak bisa membiarkan bar ini hancur, Bos," ucap Bella lirih.
"Kau benar-benar yakin? Kenapa kau rela mengorbankan dirimu?" tanya Austin dengan suara yang terdengar parau.
Bella tersenyum pada Austin. Mengatakan jika semua akan baik-baik saja.
"Bar ini sudah menjadi rumah sendiri bagiku. Aku tidak akan membiarkan kenangan yang telah ada di sini hilang begitu saja."
Austin diam. Dia tidak tahu harus berkata apa pada Bella yang rela ikut bersama Stevano untuk membiarkan bar ini tetap berdiri.
"Tapi Bela-"
"Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir."
Tatapan Austin terlihat sendu. Ia berusaha untuk menahan air matanya keluar.
"Terima kasih, Bella. Terima kasih," ucap Austin. Meski dia tidak begitu rela jika gadis itu pergi.
Austin hanya bisa berdoa dalam hati. Sebelum mengajukan sebuah permintaan pada Stevano yang kini berdiri menatap mereka berdua dalam diam.
"Tuan ... bolehkah aku meminta satu hal padamu?"
"Katakan," ucap Stevano singkat. Wajahnya masih saja datar seperti tembok.
"Jangan menyakiti Bella. Meskipun dia terlihat kuat, sebenarnya Bella hanyalah seorang gadis kecil yang lemah."
Bella mengerutkan dahi mendengar perkataan Austin.
Apa yang baru saja bosnya itu bicarakan?
Berbeda dengan Stevano. Dia kemudian tersenyum tipis mendengar permohonan Austin.
"Kau memerintahku?" Pria itu mengangkat dagunya angkuh.
"Ti ... tidak, Tuan."
"Jangan banyak berharap. Kau tidak dalam kapasitas bisa memberikan perintah untukku," ucap pria kejam itu.
Austin menunduk. Tidak berani menatap mata hitam yang terpancar dengan aura mematikan di hadapannya.
"Sesuai janjiku, hutangmu lunas dan bar ini tetap akan berdiri."
Dan dalam hitungan detik, pria itu menarik Bella keluar. Menariknya dengan paksa hingga Bella merasakan pergelangan tangannya memerah dan sakit.
. . .Para karyawan yang sedang membersihkan kekacauan ini mengalihkan kesibukannya pada Bella yang sedang ditarik oleh pemimpin orang-orang tadi. Beberapa pasang mata menatap tidak percaya pada Bella yang hanya pasrah dibawa entah ke mana.
Tidak ada pilihan bagi Bella untuk lari. Gadis itu benar-benar telah menyerahkan diri masuk ke kandang singa.
"Bella!"
Bella menoleh, menemukan Kylie yang menatapnya dengan sedih.
"Kau mau pergi kemana?"
Bella tidak langsung menjawab, gadis itu tersenyum pada sahabatnya. Ini demi masa depan bar tempat mereka mencari uang, dia harus rela pergi bersama dengan Stevano.
"Jaga dirimu baik-baik."
Itu adalah ucapan terakhir Bella. Dia tidak mengatakan selamat tinggal pada siapapun di sana. Karena Bella yakin, dia masih dapat bertemu dengan mereka semua. Meski ia tak tahu itu kapan.
Dan Bella tidak dapat menolak saat Stevano memasukkannya ke dalam mobil pria itu dengan cepat. Terkesan memaksa hingga Bella mengaduh karena terbentur.
"Ah ..."
Stevano tidak mempedulikan hal itu. Karena yang dia lakukan selanjutnya adalah duduk pada kursi kemudi, dan melajukan mobil yang ditumpanginya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Yang membuat Bella memegang dadanya saat dirasa berdetak semakin cepat. Dan berpikir akan mati sebentar lagi bersama pria ini.
'Ya, Tuhan.'
Bella tidak mengerti kemana dia akan dibawa pergi. Stevano hanya diam saat melajukan mobil, tidak bersuara barang sedikit saja untuk memecah keheningan yang melanda. Dan Bella tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada pria itu."Kita akan ke mana?" tanya Bella. Matanya melirik sekilas pada pria itu."Kau akan tahu nanti," balas pria itu singkat. Matanya lurus menatap jalanan kota Los Angeles yang mulai padat di malam hari.Sekitar satu jam berlalu, mobil yang mereka tumpangi melambat, kemudian berhenti tepat pada mansion besar yang berdiri di depan mata.Gelap.Itu adalah kalimat pertama yang Bella ucapkan dalam hati. Meski terlihat megah dari luar, mansion itu mempunyai aura hitam tersendiri. Seperti pria di sampingnya itu.Stevano menatap Bella yang tidak bergerak dan malah tercenung oleh bangunan besar yang merupakan mansionnya."Turun," ucap pria itu.Dan Bella turun mengikuti Stevano. Ia mengekor pada pria itu seperti anak kucing pada induknya.Pria itu membuka pelan p
Bella menguap sebentar. Merasa setengah jiwanya masih tertinggal dalam mimpi. Gadis itu menggerutu pada sosok Stevano yang hilang di balik pintu. Pria itu mengganggu sekali, padahal Bella masih ingin bergelung membagi kehangatan dengan kasur. Tidak ada yang dapat Bella lakukan selain menuruti sang tuan rumah. Dia hanyalah seekor kucing kecil yang beruntung dipungut oleh Stevano. Tidak ada alasan bagi Bella untuk membantah pada pria yang sudah memberinya kenyamanan tidur dalam kamar yang besar, mewah, juga indah.Bella menyibak selimut lembut yang menemaninya tidur. Lalu melipat selimut itu agar terlihat rapi sebelum turun dari ranjang. Dan masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan rutinitasnya setiap hari.Bella sungguh terkesiap dengan kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Dia kira kamar mandi ini kecil, karena memang begitu jika dilihat dari luar. Ternyata tidak, ini terlalu luas jika hanya digunakan untuk seorang diri.Terdapat shower berbahan bagus di kamar mandi itu. Tidak l
"Ijinkan aku keluar Stev. Aku tidak akan kabur."Pria itu mendesis pelan mendengar apa yang baru saja Bella ucapkan. Dia tidak bisa cepat percaya pada gadis itu. Di mata Stev, Bella hanyalah kucing kecil pemberontak yang ingin melepaskan diri."Tidak," ucap pria itu sekali lagi. Bella tidak dapat berkata-kata lagi. Bibirnya kelu dan terkunci rapat. Dia hanya dapat menatap Stev dengan pandangan penuh permohonan."Aku mohon Stev. Kau dapat membunuhku jika aku kabur." Bella meringis, tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya.Stev tersenyum miring. "Jadi, aku harus susah payah mencari dirimu dulu sebelum aku membunuhmu? Kau mau mati? Aku akan mengabulkannya sekarang." Pria kejam itu menyeringai senang saat tubuh Bella tiba-tiba bergetar. Bella takut dengan ancaman pria itu tentu saja."Kucing kecil yang malang. Kau seharusnya menuruti perintah majikanmu jika ingin terus hidup," ucap Stev. Dia melirik pada dress yang Bella kenakan. Bella terlihat lebih cantik dengan dr
Stev terkekeh pelan melihat isi dari galeri ponsel milik Bella yang penuh dengan foto gadis itu. Terdapat beberapa teman-temannya yang juga ikut terpotret di sana. Dan Stev juga dapat melihat lelaki berambut hitam yang masuk rumah sakit karena anak buahnya semalam.Sean.Entah mengapa Stev tidak suka melihat wajah Sean yang terlihat sedikit tampan itu. Ia mendengkus, lalu memutar bola matanya bosan dan menggeser pada foto berikutnya. Terdapat satu album di sana. Bella menamainya album kenangan. Dan Stev yang tidak dapat menahan rasa penasarannya lantas membuka album tersebut.Di dalamnya, terdapat potret wanita muda yang berumur sekitar dua puluh tahunan mengenakan dress putih di dasar pantai. Wanita itu tersenyum pada kamera yang sedang mengabadikan gambar untuknya. Salah satu tangannya menggenggam pergelangan tangan anak kecil yang Stev tebak tak lebih dari sepuluh tahun.Anak kecil itu tak lain adalah Bella. Stev dapat melihat banyak kesamaan antara Bella dengan anak kecil yang be
"Kau yakin?" Stev memastikan.Bella menatap pria itu dengan tenang. "Ya, aku tidak akan berani melarikan diri darimu," ucap wanita itu.Stev dapat melihat kesungguhan di mata Bella. Gadis itu tidak sedang berbohong saat ini. Dan pada akhirnya, Stev memberi ijin pada gadis itu. "Baiklah, tapi kau tidak boleh pulang lebih dari jam satu. Jika kau melanggar itu, kau akan tahu apa akibatnya," ucap Stev penuh penekanan.Bella mengangguk cepat. Gadis itu terlihat sangat senang saat Stev memberi ijin padanya untuk bertemu dengan Sean. Wanita itu kemudian berbalik. Ingin segera mandi dan berganti baju. Namun, langkahnya terhenti saat dia mengingat sesuatu. Ia kembali membalikkan badan. Menghadap pada Stev yang kini menatap Bella dengan salah satu alis yang terangkat naik."Kenapa?" tanya pria itu heran. "Aku harus ke rumah sakit yang mana? Kau tidak memberi tahu aku di mana rumah sakit tempat Sean dirawat." "Golden Suite." Stev menjawab singkat."Terima kasih, Tampan," ucapnya sembari ter
"Kau pulang tepat waktu rupanya, gadis pintar," ucap Stev saat melihat Bella baru saja selesai menutup pintu mansion.Pria itu menggenggam gelas berisi vodka. Menggoyang-goyangkan isi yang berada dalam gelas itu sebentar sebelum meminumnya. Namun, tiba-tiba saja Bella berdecak kesal. "Dasar! Anjing gilamu itu benar-benar menyebalkan. Aku dikejar oleh mereka saat masuk gerbang tadi, untung saja aku bisa melarikan diri." Wanita itu tampak bersungut sebal. Yang membuat Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas.Bella kemudian berjalan ke arah Stev. Dan duduk di sofa sebelah pria itu. Lantas mencopot jaket milik Stev yang ia gunakan untuk menutupi tubuh seksinya. "Ini, aku kembalikan." Ia menyodorkan jaket itu pada Stev yang kini memandangnya aneh. "Kau tidak ingin berterima kasih padaku?" "Aku sebenarnya tidak ingin memakainya." Bella memalingkan wajah dari Stev dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau mulai berani, ya? Apa perlu aku memberimu hukuman agar kau menjadi penu
Sebuah suara yang terdengar membuat mereka berdua mengalihkan pandangan pada pintu. Dan melihat seorang wanita berperawakan tinggi berjalan masuk dengan pakaian sama dengan mereka. "Apa aku terlambat?" tanya wanita itu sembari melepas topi yang ia pakai. Matanya menerawang masuk pada kedua pria itu yang juga menatapnya. "Tidak, Ellen. Kau tepat waktu seperti biasa." Lucy mengangkat jempol dan memberikannya pada Ellen. Wanita itu tersenyum, sorot mata cantiknya terlihat mematikan. Gesekan sepatu boot hitam wanita itu terdengar jelas saat beradu dengan lantai di mansion Stev. "Halo, Stev. Lama tidak bertemu, aku merindukanmu." Ellen mendekat pada Stev. Memeluk lengan pria itu dengan erat seakan tidak mau melepaskannya barang sedetik saja. Terlalu banyak hal yang dia lakukan akhir-akhir ini sehingga tidak dapat bertemu dengan Stev. Membuat rindunya pada pria itu tak tertahankan."Halo, Ellen." Stev mengecup sebelah pipi Ellen dengan cepat. Membuat hati wanita itu melambung tinggi hin
"Waktunya bergerak," ucap Stev kala melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Lucy dan Ellen mengangguk. Kemudian mengikuti langkah kaki Stev yang membawa mereka keluar. Di depan mansion sudah terparkir dengan apik SUV hitam yang akan menjadi kendaraan mereka malam ini."Kau yang menyetir," Stev melempar kunci mobil pada Lucy. Dan pria berambut jabrik itu menangkap dengan gesit.Mereka bertiga masuk ke dalam mobil dengan Ellen yang berada di kursi belakang. Gadis itu membuka laptop yang menjadi salah satu benda penting dalam menjalankan aksi mereka bertiga. Ellen sangat pintar dalam urusan meretas keamanan dan CCTV. Karena itulah, Stev merekrut Ellen menjadi bagian dari organisasinya.Jari-jemari gadis itu dengan lincah memainkan keyboard di atas laptop. Mencari data guna meretas keamanan perusahaan yang saat ini menjadi tujuan mereka."Perusahaan Xixi, perusahaan yang saat ini tengah naik daun dengan pendapatan terbesar di Los Angeles d
Bella dengan cepat menjauhkan dirinya dari Stev. Wanita itu memandang pria itu dengan waspada. Kalau-kalau pria ini berani berbuat macam-macam padanya. "Apa-apaan kau," ucap Bella dengan sebal. Wanita itu mengambil gelas yang tadi di hidangkan oleh salah satu pelayan di sini."Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Stev. Membuat Bella yang sedang minum itu menatap Stev dengan tatapan bertanya. "Apa?" tanya wanita itu. Dan Stev hanya mendesah pelan. Ia terlalu malas untuk mengulang perkataannya. Namun kali ini sepertinya ia harus kembali mengatakannya pada Bella. Pikiran wanita itu berjalan seperti siput, lambat sekali. "Kau tidak ingin bertanya mengapa aku membawamu kemari?" tanya Stev. Dan Bella yang menyadari jika Stev tadi juga berkata seperti itu hanya mendesah pelan. "Apakah aku harus bertanya seperti itu?" Wanita itu tidak membalas ucapan Stev dan malah balik bertanya.Stev tidak percaya jika Bella akan berkata seperti itu. Padahal wanita itu selalu ingin ikut campur urusan
..."Wow! Ini menakjubkan, kurasa mansion ini lebih indah dari yang saat ini kau tinggali Stev," ucap Bella. Wanita itu menatap bangunan besar yang ada di hadapannya. Di setiap sisi mansion itu terlihat beberapa pohon besar tumbuh dengan taman di depan mansion tersebut, terlihat rindang dan menyejukkan mata.Tampak lebih hidup daripada mansion yang juga digunakan sebagai tempat tinggalnya. "Kau suka?" tanya pria itu masih dengan wajah datarnya yang membuat Bella mendengus pelan. "Tentu saja aku suka. Siapa yang tidak akan suka tinggal di tempat cantik seperti ini? Ini seperti sebuah cerita dalam novel. Hanya saja ini nyata dan bukan fiksi," balas Bella. "Kalau begitu ayo masuk," ucap Stev sembari berjalan. Membiarkan Bella mengikutinya dari belakang. "Apa di sini ada orang?" tanya Bella pada pria yang berjalan di sebelahnya itu. Akhirnya Bella berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Stev. "Ada." Pria itu membalas singkat. "Apa mereka keluargamu?" tanya Bella lagi. Dan pria it
Stev mendesah pelan saat pria itu melihat Bella masih terbaring di atas ranjang dengan nyamannya. Tanpa tahu jika dirinya sudah memandang penuh ke arah wanita itu lebih dari sepuluh menit. Ia melihat jam yang ada pada pergelangan tangan besarnya. Padahal waktu yang tertera masih setengah lima pagi, dan Stev sudah siap dengan pakaiannya yang rapi. Ia melesak masuk ke dalam kamar Bella tanpa permisi, dan dengan gerakan cepat tangannya menyingkap selimut yang Bella kenakan hingga membuat gadis itu menggigil kedinginan. "Bangun," ucap Stev pada wanita itu. Dan bukannya bangun, Bella malah berbalik memunggungi Stev dengan tangan yang terus menggapai-gapai di mana selimutnya berada. "Bangun atau aku akan memakanmu saat ini juga," ucap Stev sekali lagi. Dan anehnya, Bella langsung membuka kedua matanya. Gadis itu seperti mendengar suara Stev di kamarnya. Bella berpikir jika itu pasti mimpi. Dia tidak mempedulikan hal ini dan kembali menutup mata, tubuhnya begitu lelah karena ia tidur te
"Lucy akan kembali besok. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali. Menggunakan helikopter," balas Stev. Membiarkan Bella membulatkan bibirnya tak percaya. "Apa? Jangan bilang kau belum pernah naik helikopter," ucap Stev yang ternyata tepat. Gadis itu memang belum pernah menaiki helikopter, namun ia pernah melihat benda terbang itu. "Aku memang belum pernah," ucap Bella sembari terkekeh pelan. Dan Stev hanya mendecih mendengar perkataan wanita itu. "Dasar miskin.""Ck! Kau tidak boleh bicara seperti itu meski pun kau orang kaya, Stev! Akan ada saatnya kau di bawah nanti. Lihat saja," balas Bella."Kau sedang mengancamku atau mendoakan aku?" "Terserah kau mau menganggapnya apa," balas Bella. Wanita itu kini lebih memfokuskan diri untuk memasak daripada berbicara dengan Stev yang tidak terlalu penting itu. "Kau membuat apa?" tanya Stev. Pria itu berdiri tepat di belakang Bella, membuat wanita itu menghela napas pelan. "Jauhkan wajahmu dari sana, sebelum aku menyiram wajahmu denga air
Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas saat ia melihat Bella menghentikan langkahnya. Wanita itu seperti ragu untuk untuk melangkah masuk ke kamar Ellen. Jadi, yang dilakukannya saat ini hanyalah diam di tempat berdirinya. "Kau tidak mau masuk?" tanya Stev. Pria itu mendekat ke arah Bella dengan langkah kakinya yang lebar-lebar."Apakah dia akan memperbolehkan masuk ke sana?" tanya Bella. Ia tidak yakin jika Ellen akan baik-baik saja dan menerima dirinya. Wanita itu pasti akan langsung mengusir Bella saat Bella hanya baru satu kali melangkah ke dalam kamar wanita itu. Sementara Stev hanya mengendikkan bahunya acuh. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Bukankah kau sendiri yang bilang jika ingin ke kamarnya?" tanya Stev. Dan tidak ada yang Bella lakukan selain hanya menghela napas pelan sembari mengangguk."Baiklah," balas wanita itu dengan yakin. Ya, setidaknya ia harus mencoba terlebih dahulu. Dan jika Ellen mengusirnya Bella hanya bisa menuruti permintaan wanita itu.
Bella mengerutkan dahi saat dirinya hanya mendapati Lucy yang sendirian."Di mana dua sahabatmu itu?" tanya Bella sembari berjalan masuk ke dalam. Sementara Lucy hanya mendengus pelan mendengar pertanyaan Bella. "Yang kau maksud itu mereka berdua atau hanya Stev saja?" tanya Lucy. Pria itu sedikit tidak yakin jika Bella benar-benar bertanya di mana Ellen berada. Dan Bella hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aku tidak peduli dengan pria arogan itu," balas Bella. Tampaknya wanita itu langsung berubah mood menjadi buruk saat mendengar nama Stev yang Lucy ucapkan."Siapa yang kau sebut pria arogan?" ucap suara baritone di belakang Bella. Membuat Bella melotot seketika. Ia menoleh ke belakang, dan menemukan Stev sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Pria itu menaikkan sedikit dagunya dengan angkuh. Membuat Bella yang melihat itu mendengus. "Kau tidak perlu tahu siapa pria itu," balas Bella dengan nada suara yang sedikit ketus. Memb
"Hati-hati di jalan, Bella!" ucap Freya. Wanita itu melambai ke arah Bella dengan senyum manis yang tersemat di bibir.Sementara Bella hanya mengangguk singkat pada wanita itu. Ia lalu keluar dari Jenjay dengan langit yang sudah mulai berganti warna.Saat dirinya berjalan hendak pulang, tiba-tiba saja seorang anak kecil berwajah manis menghampirinya dengan keranjang bunga yang menggantung di lengan anak kecil itu. "Kakak. Belilah bunga ini, ini sangat cocok dengan kakak yang cantik," ucap gadis kecil itu sembari menyodorkan setangkai bunga lily pada Bella disertai senyum yang menggemaskan.Bella terpaku di tempat. Ia tidak menyangka jika gadis kecil itu menjual bunga sendirian di sini. Tanpa seseorang yang mendampinginya. Apa anak kecil itu tidak takut tersesat? "Bunga yang cantik, aku akan membelinya beberapa tangkai," balas Bella. Ia pun berjongkok, menyetarakan tinggi badannya dengan tinggi badan gadis kecil tersebut. Sementara gadis kecil itu tiba-tiba mengerjap senang. "Benar
"Dia benar-benar hebat, Bos. Kemampuannya dalam meretas keamanan dan membuat strategi tidak main-main. Aku pernah sekali menghadapinya. Saat itu aku yakin jika aku bisa mengalahkan wanita itu karena dia yang terdesak sendirian tanpa Stev dan Lucy di sana. Namun, dia berhasil membalikkan keadaan dan balas menyerangku dengan beberapa orang yang aku bawa. Aku beruntung, aku tidak mati saat itu juga karena dia yang membiarkanku pergi," ucap pria itu. Sementara bosnya itu hanya mengangguk-angukkan kepala sembari mendesis pelan. "Wanita itu ... aku ingin mendapatkannya," ucapnya dingin.Membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu membelalakkan mata. "Tapi, Bos. Itu sepertinya tidak mungkin, dia adalah musuh kita." Satu-satunya wanita yang ada di sana menolak keras keinginan bosnya itu. "Apa kau takut jika dia akan mengalahkanmu, Vivie?" tanya pria itu sembari menatap datar pada wanita di hadapannya. Ia tahu dengan persis apa yang sedang di pikirkan wanita itu. Vivie menggeleng pe
"Terima kasih, Stev."Stev tidak menjawab. Melainkan hanya mengangguk pelan pada gadis itu tanpa berniat membuka mulut untuk mengeluarkan suara. Sementara Bella yang sudah hafal dengan persis kebiasaan Stev itu hanya bisa tersenyum masam. Ia maklum dengan pria yang menurutnya sangat irit bicara itu. Namun, jika sekali saja Stev berucap. Suara pria itu akan terdengar sangat seksi hingga membuat orang yang mendengarnya merasa tergoda untuk mendekat.Mobil pria itu kembali berjalan. Meninggalkan Bella di depan gedung tempat kerja gadis itu. Bella hanya mendesah pelan sembari menatap kepergian mobil Stev yang semakin lama semakin menjauh. Gadis itu kemudian membalikkan badannya dan memasuki tempat kerjanya dengan langkah senang. Tanpa tahu, jika orang yang sedari tadi berdiri di dalam Jenjay mengamati Bella yang sedang berbicara dengan Stev. Ia dapat melihat Bella yang tersenyum dengan manis pada seseorang yang ada di dalam mobil tersebut. "Ada apa, Ketua?" tanya seseorang yang kini