"Kau yakin?" Stev memastikan.Bella menatap pria itu dengan tenang. "Ya, aku tidak akan berani melarikan diri darimu," ucap wanita itu.Stev dapat melihat kesungguhan di mata Bella. Gadis itu tidak sedang berbohong saat ini. Dan pada akhirnya, Stev memberi ijin pada gadis itu. "Baiklah, tapi kau tidak boleh pulang lebih dari jam satu. Jika kau melanggar itu, kau akan tahu apa akibatnya," ucap Stev penuh penekanan.Bella mengangguk cepat. Gadis itu terlihat sangat senang saat Stev memberi ijin padanya untuk bertemu dengan Sean. Wanita itu kemudian berbalik. Ingin segera mandi dan berganti baju. Namun, langkahnya terhenti saat dia mengingat sesuatu. Ia kembali membalikkan badan. Menghadap pada Stev yang kini menatap Bella dengan salah satu alis yang terangkat naik."Kenapa?" tanya pria itu heran. "Aku harus ke rumah sakit yang mana? Kau tidak memberi tahu aku di mana rumah sakit tempat Sean dirawat." "Golden Suite." Stev menjawab singkat."Terima kasih, Tampan," ucapnya sembari ter
"Kau pulang tepat waktu rupanya, gadis pintar," ucap Stev saat melihat Bella baru saja selesai menutup pintu mansion.Pria itu menggenggam gelas berisi vodka. Menggoyang-goyangkan isi yang berada dalam gelas itu sebentar sebelum meminumnya. Namun, tiba-tiba saja Bella berdecak kesal. "Dasar! Anjing gilamu itu benar-benar menyebalkan. Aku dikejar oleh mereka saat masuk gerbang tadi, untung saja aku bisa melarikan diri." Wanita itu tampak bersungut sebal. Yang membuat Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas.Bella kemudian berjalan ke arah Stev. Dan duduk di sofa sebelah pria itu. Lantas mencopot jaket milik Stev yang ia gunakan untuk menutupi tubuh seksinya. "Ini, aku kembalikan." Ia menyodorkan jaket itu pada Stev yang kini memandangnya aneh. "Kau tidak ingin berterima kasih padaku?" "Aku sebenarnya tidak ingin memakainya." Bella memalingkan wajah dari Stev dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau mulai berani, ya? Apa perlu aku memberimu hukuman agar kau menjadi penu
Sebuah suara yang terdengar membuat mereka berdua mengalihkan pandangan pada pintu. Dan melihat seorang wanita berperawakan tinggi berjalan masuk dengan pakaian sama dengan mereka. "Apa aku terlambat?" tanya wanita itu sembari melepas topi yang ia pakai. Matanya menerawang masuk pada kedua pria itu yang juga menatapnya. "Tidak, Ellen. Kau tepat waktu seperti biasa." Lucy mengangkat jempol dan memberikannya pada Ellen. Wanita itu tersenyum, sorot mata cantiknya terlihat mematikan. Gesekan sepatu boot hitam wanita itu terdengar jelas saat beradu dengan lantai di mansion Stev. "Halo, Stev. Lama tidak bertemu, aku merindukanmu." Ellen mendekat pada Stev. Memeluk lengan pria itu dengan erat seakan tidak mau melepaskannya barang sedetik saja. Terlalu banyak hal yang dia lakukan akhir-akhir ini sehingga tidak dapat bertemu dengan Stev. Membuat rindunya pada pria itu tak tertahankan."Halo, Ellen." Stev mengecup sebelah pipi Ellen dengan cepat. Membuat hati wanita itu melambung tinggi hin
"Waktunya bergerak," ucap Stev kala melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sepuluh malam. Lucy dan Ellen mengangguk. Kemudian mengikuti langkah kaki Stev yang membawa mereka keluar. Di depan mansion sudah terparkir dengan apik SUV hitam yang akan menjadi kendaraan mereka malam ini."Kau yang menyetir," Stev melempar kunci mobil pada Lucy. Dan pria berambut jabrik itu menangkap dengan gesit.Mereka bertiga masuk ke dalam mobil dengan Ellen yang berada di kursi belakang. Gadis itu membuka laptop yang menjadi salah satu benda penting dalam menjalankan aksi mereka bertiga. Ellen sangat pintar dalam urusan meretas keamanan dan CCTV. Karena itulah, Stev merekrut Ellen menjadi bagian dari organisasinya.Jari-jemari gadis itu dengan lincah memainkan keyboard di atas laptop. Mencari data guna meretas keamanan perusahaan yang saat ini menjadi tujuan mereka."Perusahaan Xixi, perusahaan yang saat ini tengah naik daun dengan pendapatan terbesar di Los Angeles d
Stev mengetuk tiga kali pintu ruangan Presiden Direktur di hadapannya. Ia menyeringai seram saat pria di dalam ruangan tersebut mempersilahkannya masuk. "Selamat malam. Tuan Robert Sand," sapa Stev setelah ia membuka pintu dan membuyarkan perhatian Robert dari dokumen yang sedang dia tandatangani. Pria yang duduk di atas kursi kebesarannya itu menoleh. Dan menemukan Stev berdiri di pintu masuk ruangannya dengan sorot wajah yang menyeringai seram. "Siapa kau?" ujar Robert. Dia dapat merasakan suasana tidak baik saat Stev mulai berjalan menuju tempatnya.Dan saat Stev membuka masker hitam yang menutupi wajah tampannya dengan pelan. Wajah Robert berubah memucat. Detik itu juga."S-Stev ..." ujar Robert dengan suara bergetar. Tidak percaya jika ia akan berhadapan dengan Stev di sini. "Kau mengenalku?" tanya Stev sembari menipiskan bibir.Tiba-tiba Robert bersimpuh di depan Stev. Pria berumur lima puluhan itu tahu dengan jelas apa tujuan Stev datang kemari tanpa undangannya.Stev pas
Bella membuka mata pagi harinya. Menemukan cahaya matahari yang menerobos masuk melewati celah ventilasi udara. Menyapanya ramah, seakan menyuruhnya agar terbangun karena hari sudah beranjak siang. Tapi, seperti ada yang aneh. Gadis itu merasakan perutnya terlilit oleh benda keras. Pandangannya turun dan seketika terkejut saat sebuah tangan kekar melingkar pada perutnya. "Pagi, Bella." Leher gadis itu merinding saat mendengar suara serak khas orang bangun tidur. Napas Stev terasa hangat di lehernya. "Pagi, Stev. Kau bisa singkirkan tanganmu? Aku mau bangun." Bella menyingkirkan tangan Stev dengan pelan. Namun pria itu menolak. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Bella. "Ini masih terlalu pagi. Biarkan aku tidur sebentar," ujar Stev. Pria itu lelah karena tadi malam pulang dini hari.Dan Bella hanya memutar bola matanya malas. Kemudian dengan paksa menyingkirkan lengan Stev yang mulai merambat ke mana-mana. "Ini sudah hampir siang. Cih, lihat siapa yang pernah menegur
Sebuah perpustakaan kecil. Terdapat banyak buku di dalamnya yang tertata dengan rapi di rak. Perpustakaan kecil yang bersih. Dan Bella menyukainya. Sudah lama dia tidak membaca buku lantaran sibuk bekerja setiap hari.Bella mengangkat tangan menggapai salah satu novel yang rilis beberapa tahun lalu. Love in SunsetSeketika mata Bella melebar dan bibirnya terbuka untuk tersenyum senang. Ini novel yang selama ini dicarinya!Setelah sekian lama dia putus asa karena tidak menemukan novel yang telah lama di nanti-nanti karena kehabisan stok. Akhirnya ada di salah satu dari sekian banyak novel di sini. Hatinya benar-benar bahagia. Namun, ada yang aneh dari perpustakaan ini. Apakah Stev gemar membaca novel? Jika dilihat dari wajah seramnya itu rasanya tidak mungkin. Namun, dia juga tidak tahu. Mungkin saja pria berwajah kejam itu senang membaca novel romantis. Semua orang tidak lepas dari membaca. Entahlah, Bella tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan Stev dengan wajah datarnya
"Apa?!" Sementara Stev tersenyum mesum, "Aku. Ingin. Memilikimu. Sekarang." Pria itu menekankan setiap kata-katanya. Terdapat seringai kejam yang terpatri di wajah tampan pria itu.Belum sempat Bella mencerna ucapan Stev, pria itu telah membawa bibirnya untuk menempel pada bibir Bella. Gadis itu terkejut tentu saja. "Stev, lepaskan," ujar Bella di sela-sela perbuatan pria itu. Ia sangat kaget dengan perlakuan Stev yang tiba-tiba. Dengan sekuat tenaga Bella mendorong dada Stev agar menjauh. Namun, rupanya tenaga Stev lebih besar dan tidak setara dengannya. Membuat Bella tidak bisa berbuat apa-apa.Dan hal itu hanya bisa membuat Bella meringis dalam hati.Pria itu tidak peduli seberapa besar usaha Bella untuk mendorongnya menjauh. Bella seperti kucing kecil yang tengah melepaskan diri dari jeratan serigala. Dan Stev terus memaksakan lidahnya agar bisa masuk pada Bella yang tidak mau membuka mulut. Karena kesal, pria itu menggigit keras bibir bawah Bella hingga gadis itu mengerang
"Memangnya kenapa?" tanya Stev sembari menoleh pada orang yang baru saja berbicara dengannya. Sementara orang di sebelah Stev itu hanya menghela napas pelan."Aku tahu membunuh adalah hobi mu, Stev. Tapi, dia tidak bersalah apa-apa," ucap pria itu. Ia berusaha untuk menghentikan Stev sehingga pria itu tidak membuat kekacauan di pesta yang tengah dibuatnya. "Berisik.""Ini pesta ulang tahun anakku, Stev. Jangan mengacaukannya," ucap pria itu lagi. Ia mendesah pelan. Ia tahu jika Stev tidak akan berhenti sampai di sini. Pria itu terlalu keras kepala.Stev menipiskan bibirnya dengan perlahan."Benarkah? Ku rasa anakmu nanti akan berterima kasih kepadaku," balas pria tampan itu. Dan tidak lagi menunggu waktu yang lama untuk Stev menarik pelatuk pada pistolnya. DORR!! Satu peluru dengan cepat menembus kaki kanan dari gadis itu. Membuatnya langsung jatuh dari tempat duduknya dan mengaduh kala dirinya menimpa lantai yang keras. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Banyak orang terdiam dar
Bella keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang menutupi bagian tubuhnya hingga ke lutut. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian besar yang ada di kamarnya. Kemudian membukanya dan memilih baju yang sekiranya cocok untuk ia gunakan malam ini. Akhirnya, setelah beberapa saat memilih, gadis itu mengambil sebuah sweater berwarna biru muda dengan celana kain hitam yang panjang. Kemudian tanpa berlama-lama lagi, gadis itu segera melepas jubah mandinya dan berganti dengan pakaian yang baru saja ia pilih. Setelah berganti pakaian, Bella kemudian mengambil sisir yang tergeletak di atas meja di kamarnya. Gadis itu dengan pelan menyisir rambut hitam panjangnya di depan cermin. "Kurasa rambutku sudah terlalu panjang, apa aku harus memotongnya?" gumam Bella pada diri sendiri. Wanita itu terkekeh kecil sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu menolehkan kepalanya pada jam dinding yang berada di kamarnya, dan waktu di sana sudah menunjukkan pukul delapan l
Bella menuruni mobil yang ditumpanginya dengan raut wajah masam. Ia menutup pintu mobil berwarna hitam pekat tersebut dengan sedikit bantingan keras. Membuat seorang pria yang menjadi supir dalam mobil tersebut menatap gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang salah darinya? Dia hanya menjalankan perintah bosnya untuk membawa Bella pulang. Gadis itu bahkan kembali dengan selamat tanpa terluka seujung jari pun.Sementara Bella yang kini memasuki mansion Stev itu mendengus pelan. Gadis itu tahu siapa yang melaporkan dirinya pada Stev. Siapa lagi kalau bukan pengawal pria itu yang tadi sudah berada di depan kafe saat gadis itu baru saja melangkah keluar?"Dasar menyebalkan!" gerutu Bella dengan pelan. Gadis itu tentu saja tidak berani memarahi pengawal Stev yang ada di luar mansion itu. Bisa-bisa dirinya nanti dibuang oleh orang-orang yang menjadi anak buah Stev ke tengah hutan. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Bella merinding dibuatnya. Ia tidak akan m
Bella melirik pada kedua sahabatnya yang kini sedang menatap ke arahnya dengan raut wajah yang penasaran. Tampaknya mereka berdua tidak mendengar suara orang di balik telepon Bella. "Ada apa, Bella?" tanya Kylie dengan nada setengah berbisik. Wanita itu tidak ingin orang yang ada di balik telepon Bella mendengar suaranya. Sementara Sean, pria itu juga memandang Bella dengan sorot mata yang menyiratkan kekhawatiran. Tampaknya Sean tahu apa yang sedang terjadi pada Bella. Perlakuan gadis itu yang mengedarkan pandangan pada seisi kafe ini sudah menjadi jawaban. Jika kedatangan Bella ke kafe ini sepertinya sudah diketahui dengan tuannya. Sementara Bella hanya bisa menghela napas pendek setelah gadis itu menutup panggilan telepon. "Maaf, Sean, Kylie. Sepertinya aku akan pulang dulu," ucap Bella dengan nada yang sedikit tidak terima. Wanita itu tersenyum pada keduanya, ia kembali memasukkan ponselnya pada tas dan merogoh sesuatu yang lain di sana. "Kali ini aku yang bayar," ucap Bella
"Benarkah? Wow, selamat Bella!" ucap Kylie tidak percaya. Wanita itu tentu saja senang saat Bella mendapatkan pekerjaannya lagi, meskipun ia tahu. Jika Bella mencari pekerjaan bukan karena benar-benar ingin bekerja. Namun wanita itu pasti bosan berada di dalam mansion yang megah itu seorang diri. Sementara semua penghuni mansion itu pasti akan pergi jika mereka sedang melakukan pekerjaannya. Dan tidak ada yang Bella lakukan lagi kecuali hanya tersenyum membalas ucapan selamat dari Kylie."Terima kasih, Kylie. Aku sekarang berada di Jenjay, bersama dengan Jennie yang menjadi atasanku di sana," ucap Bella kemudian. Gadis itu dapat melihat jika kedua mata Kylie melebar saat ia mengatakan itu. Tampaknya wanita itu lebih kaget dari yang sebelumnya."Jenjay?! Jenjay yang itu?!" Kylie memekik, dan Sean yang berada di samping gadis itu menaikkan salah satu alisnya dengan heran. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh dua gadis yang berada di meja yang sama dengannya itu. Apa katanya
"Stev ... kita akan sampai sebentar lagi," ucap Lucy tanpa melirik pada seseorang yang diajak bicara. Pria itu sedari tadi hanya fokus pada game yang terdapat dalam ponselnya itu. Semetara Stev yang ada di kursi belakang hanya diam tak menjawab. Tanpa diberi tahu pun dirinya sudah tahu jika mereka akan segera sampai. Lucy menggeram rendah saat game yang ia mainkan berakhir dengan kekalahannya. "Sial," umpat pria itu sembari mematikan layar ponselnya dan kemudian melempar benda tidak bersalah itu pada dash board mobil.Lucy memandang ke arah depan, di mana jalanan sudah hampir menggelap karena matahari yang akan segera tenggelam. Beristirahat untuk kembali memulai aktivitasnya kembali besok pagi, menyinari alam semesta."Apa kau merasa tidak ada yang aneh, Stev?" tanya Lucy, pria itu melirik Stev dari spion dalam mobil. Pria berambut jabrik itu dapat melihat dengan matanya yang berwarna biru secerah langit itu, Ellen kini sedang bersandar di bahu Stev dengan mata yang terpejam.Wani
Pria itu berhenti tepat di tempat Bella. Membuat Bella yang kini masih diam di tempat duduknya menahan napas. Ia tidak menyangka jika akan ada manusia yang sesempurna ini di dunia. "Freya, apakah Jennie ada di sini?" tanya pria itu. "Ketua? Dia ada di atas, Tuan," balas Freya sembari menunjuk ruangan Jennie yang berada di lantai atas.Pria yang menurut Bella sangat tampan itu mengangguk, "Oh, dia sedang tidak pergi?"Freya menggeleng sembari tersenyum ramah. "Hari ini tidak ada jadwal perjalanan." "Baiklah, terima kasih Freya," ucap pria itu sembari mengukir senyum pada bibirnya yang tipis."Apa Anda tidak memberi tahu ketua jika Anda akan datang?" tanya Freya dengan tatapan bingung.Pria itu menggeleng pelan, "Tidak. Aku ingin memberikan kejutan padanya," ucap pria tampan itu sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Bella yang mematung di dekat Freya.Freya menghela napas pelan saat bayangan pria tampan itu sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya."Bukankah setidaknya jika d
"Apa kita perlu bergerak, Bos?" tanya seorang pria pada lelaki yang duduk di atas kursi kebesarannya dalam ruangan itu. Sementara orang yang tadi dipanggil bos itu menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Jangan terburu-buru," ucap pria itu sembari menyeringai seram. Wajahnya yang tampan namun mengerikan itu menatap datar pada foto berukuran besar yang terpajang di dinding. Saat melihat foto tersebut, raut wajah pria itu berubah sendu tidak dapat di sembunyikan lagi. Terlihat dari matanya yang berwarna biru itu, ada banyak masalah dan masa lalu mengerikan yang tersimpan dengan kelam di sana. Tanpa seseorang pun yang mengetahui. Hanya ia seorang diri, menahan beban dan rasa yang tak pernah dirasakan oleh orang lain di sekitarnya.Pria itu menghela napas pelan, diikuti dengan gerakan tangannya yang menghidupkan korek api untuk membakar sebuah rokok yang terselip di antara bibir tipisnya yang seksi."Kita tidak akan menyerangnya hari ini. Aku akan membuat kematiannya menjadi menges
"Jangan terburu-buru, selesaikan dulu urusan Anda," ucap Bella dengan sopan. Dan ia dapat melihat jika Jennie terkekeh sebentar sebelum akhirnya menutup laptopnya dengan pelan. Ketua desainer Jenjay itu mencari-cari sesuatu yang berada di dalam salah satu lacinya. "Bella. Ini hari pertama kau masuk bukan?" Wanita itu duduk di hadapan Bella, sementara gadis yang ada di depan Jennie itu mengangguk. "Iya Miss," balas Bella."Oh, kau tidak perlu memanggilku Miss, Bella. Mulai sekarang biasakan dirimu untuk memanggilku dengan sebutan ketua, seperti yang lain." Bella terpaku sejenak, namun setelah itu Bella mengangguk sembari tersenyum, "Baik, Ketua.""Itu lebih baik," sahut Jennie. Ia menyodorkan sebuah buku besar sedikit tebal itu pada Bella."Ini adalah buku di mana semua rancanganmu akan tertuang di sini. Aku memberikan buku ini pada semua karyawanku. Dan setiap satu bulan sekali, aku akan memeriksa perkembangan gambaranmu. Dan jika ada yang menurutku bagus, aku akan mengangkatnya me