"Katakan, apa yang kamu inginkan? Jangan pernah kau melukai adikku!" ucap Eliza menatap tajam pada Erlan yang tengah menatapnya dengan senyum angkuhnya."Turuti apa pun yang kukatakan maka adikmu akan baik-baik saja. Sekali kau melawan, sepuluh cambukan akan melayang di tubuhnya," ucap Erlan menyeringai.Eliza mengepalkan tangannya, giginya saling bergesekan kuat menahan rasa geramnya. Pria di depannya yang merupakan musuh dari keluarganya dan telah membantai habis seluruh keluarga besarnya, hingga hanya menyisakan dirinya dan adiknya Sean."Kakak jangan pedulikan aku. Bunuh saja dia, dia sudah membunuh Daddy!" teriak Sean berusaha memberontak dari jeratan bawahan Erlan.Erlan terkekeh, mendengar penuturan polos Sean. Erlan bergerak mendekati Sean."Jangan menyakiti adikku Erlan Rodriguez!" bentak Eliza.Erlan benar-benar berhenti, lalu berbalik menatap Eliza dengan seringaian jahat terukir di wajahnya.Perlahan ia mengeluarkan pisau kecil lalu mengulurkannya ke leher Sean."Erlan, ak
Tangan Eliza bergetar, perlahan menyentuh kancing baju Erlan, membuat pria itu memejamkan matanya.Entah kenapa sentuhan Eliza membuatnya terlena. Erlan membuka matanya, dan melihat wajah Eliza yang sudah cukup pucat membuatnya menyinggung senyumnya."Kenapa harus Aiden Martinez yang memiliki anak selucu dan semanis ini," batin Erlan merasa gemas dengan tingkah Eliza.Erlan menggelengkan kepalanya, "Ingat dia anak musuhmu. Kamu harus menyiksanya Erlan," batin Erlan, kemudian menarik kasar tangan Eliza dan menghempaskan tubuh kecil gadis itu ke kasur.Tidak membiarkan Eliza sekedar terpekik. Erlan meraup kasar bibir ranum Eliza yang sudah sejak awal menggoda baginya."Eem," lenguh Eliza berusaha memberontak. Air mata Eliza jatuh, selain karena sakit, tapi juga merasa tidak terima saat tubuhnya disentuh oleh musuhnya."Daddy," batin Eliza berharap ada sebuah keajaiban. Pahlawannya, cinta pertamanya datang menyelamatkannya.Eliza hanya bisa diam, menahan rasa sakit yang diberikan Erlan
Eliza menyeret langkahnya memasuki lift dan turun ke lantai satu. Ia baru bangun setelah pukul 10, dan yang pertama ingin dicarinya adalah adiknya."Ah, kenapa sakit sekali?" batin Eliza menyentuh perutnya yang terasa perih."Oh, kau sudah bangun. Sepertinya kau cukup kesakitan, apa Erlan menyetubuhimu secara kasar?" Dante datang mendekati Eliza yang duduk di lantai karena tidak mampu untuk berdiri."Aku dengar kau juga masih perawan. Erlan benar-benar beruntung bisa merasakannya dari gadis manis sepertimu," lanjut Dante tersenyum menyeringai menatap Eliza yang kesakitan tanpa niat ingin membantu.Eliza menahan rasa sakitnya, berusaha untuk berdiri. Ia menatap Dante dengan tajam."Kau masih bertanya bajingan itu memperlakukanku baik atau buruk. Padahal sudah jelas, keluarga Rodriguez adalah penjahat bagi para gadis. Dulu Daddy-nya yang merudapaksa kakakku yang masih kecil hingga meninggal, sekarang anaknya yang melakukan padaku, memang keluarga bajingan!" ucap Eliza dengan tatapan taj
Selesai makan Eliza dan Sean kembali dipisahkan. Sean yang dikurung, Eliza dibebaskan. Dibebaskan bergerak dalam artian, dia harus menjadi pelayan. "Akan kubunuh singa itu!" Ancam Eliza saat melihat dua ekor singa dewasa dalam kandang."Kau berani membunuhnya, kau akan melihat adikmu mati dengan cara lebih mengenaskan," ucap Erlan sembari menikmati secangkir kopi dan terus menatap tajam Eliza yang kini memakai pakaian pelayan.Eliza menghentakkan kakinya. Ia kembali mengayunkan tangannya, membersihkan halaman belakang yang terdapat beberapa kandang hewan buas, dan lapangan yang diperuntukkan olahraga bola."Bagaimana aku membersihkan halaman belakangmu yang luas ini? Kau ini bisa memanusiakan orang tidak sih?" sergah Eliza.Erlan terkekeh, meneguk kopi hitam miliknya dengan nikmatnya."Aku bisa memanusiakan orang. Tapi, tidak dengan anak keturunan keluarga Martinez," jawab Erlan dengan santainya.Eliza menghela nafas, ia kemudian mendekati Erlan, dengan santainya duduk di kursi berh
Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun."Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.Erlan menyeringai, lalu bertepuk tanga
Eliza mengusap lembut rambut adiknya yang kini wajahnya terbakar akibat cairan alkohol.Air mata wanita itu jatuh berlinang, merasakan sakit luar biasa melihat adiknya seperti sekarang ini."Sean, kenapa kamu terus memberontak sih. Sekarang Daddy sudah tidak ada, melindungi kita," ucap Eliza terisak-isak kecil."Tolong, jangan buat pengorbanan kakak sia-sia," lanjut Eliza mencium kening Sean yang bagian terbakar. Ia sama sekali tidak merasa jijik dengan luka adiknya itu.Pintu kamar tiba-tiba terbuka, tanpa ada ketukan sama sekali. Membuat Eliza menoleh dengan perasaan kesal. Terlihat di sana ada Evan yang menatapnya tajam."Apa kau tidak punya sopan santun! Kenapa di tempat ini, semua orang tidak punya sopan santun dan rasa peduli sama sekali. Kalian semua bajingan!" ucap Eliza kesal.Evan bersedekap dada, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Eliza."Nona Martinez, Tuan kami memanggilmu," ucap Evan."Mau apa lagi dia?" sentak Eliza kesal, namun tetap bangkit untuk mengikuti
Di meja makan, tanpa peduli ocehan Clara yang mengusir Eliza, yang tengah makan dan menyuapi adiknya dengan sarapan yang disiapkan untuk Tuan mereka."Nona Martinez, kau di sini hanya pelayan yang jauh lebih rendah dari pelayan. Jadi, menyingkir dari kursi Tuan kami!" ucap Clara dengan tegas dan tajam."Pria jelek itu adalah Tuan kalian, bukan Tuan-ku. Aku tidak takut dengannya, terlebih dia sudah melukai adikku. Lagipula apa yang ku makan ini, tidak seberapa dari harta keluargaku yang dia curi," ucap Eliza begitu santai menikmati makannya.Clara menggeram, tidak terima Tuan-nya dihina. Ia menatap tajam Eliza dan mulai menekan setiap katanya memperingati wanita itu. "Eliza Martinez. Harusnya kau ingat, kau berada di mana!" Eliza diam, perlahan menatap tajam pada Clara. Saat melihat Clara, ia juga melihat Erlan dan Evan yang berjalan ke arah mereka."Sejak orang tuaku mati di tangannya, sejak saat itu aku tidak takut mati. Aku sudah mempersiapkan diri, menghadapi hari ini, jauh dari h
Erlan menumpu wajahnya dengan telapak tangannya.Wajah Eliza terus terbayang dalam benaknya. Dan itu semuanya semakin membuatnya takut. Takut akan jatuh dalam pesona Eliza, dan dijebak oleh gadis itu."Jangan sampai kau terjebak dalam pesonanya. Bisa saja dia memiliki niat menjatuhkanmu nanti. Dilihat-lihat dia sangat pandai bersandiwara. Pikirannya tidak mudah ditebak," ucap Dante beberapa menit lalu memperingatinya."Aku juga merasa seperti itu. Tadi aku mengatakan, dia sengaja melakukan itu agar kau menyukainya. Bukannya mengelak dia malah mengiyakan, tapi wajahnya malah kayak ngeledek, orang seperti itu, sulit kita tebak, apa yang akan dilakukannya. Orang sepertinya sangat mengerikan," timpal Evan membuat Erlan semakin pusing mengingat hal itu."Ah, shit!" Erlan mengacak rambutnya frustasi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Erlan, "Masuk!" seru Erlan dengan intonasi suaranya yang tegas.Seorang wanita dengan pakaian atas berwarna putih ketat dan tipis dengan dua kancing atasny