Kedatangan Erlan membuat suasana di tempat itu semakin mencekam. Aura kemarahan luar biasa membuat semua orang terdiam, menunduk, dan gemetar. Tapi, pancaran kemarahan Erlan tidak membuat Sean takut. Pria kecil itu tidak memindahkan ujung pistolnya sama sekali.Erlan mengeraskan rahangnya, ia memasukkan peluru pada pistolnya, dengan cepat mengarahkan pada Eliza."Apa kau ingin kakakmu mati?" ucapnya dengan dingin.Sean sama sekali tidak gentar, "Aku memang berencana membawa kakak dalam kematian. Lebih baik kami mati, mengakhiri keturunan keluarga Martinez daripada harus hidup menderita akibat penyiksaanmu Erlan Rodriguez!"Sean kemudian menyeringai, tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya. "Tapi, sebelum aku mati, tentu aku ingin membuatmu merasakan kehilangan lebih dulu.""Bajingan!" hardik Erlan mencengkram kuat leher Eliza."Akan ku bunuh kakakmu!" Eliza diam, dadanya membusung, kesulitan bernafas. Sean segera bertindak. "Kakak maafkan aku, semoga di kehidupan selanjutnya kit
"Di mana adikku Erlan!" sergah Eliza yang berada di tangga, menatap tajam Erlan yang baru pulang setelah seharian pergi, setelah kejadian Talon dan Sean meninggal.Erlan yang baru pulang dengan wajah kusut, lelah, menatap dingin Eliza. Kondisi Erlan dan Eliza tidak jauh beda. Kantung mata yang besar dan wajah yang sembab. Keduanya sama-sama merasa kehilangan. Tapi, terlihat kondisi Erlan jauh lebih parah. Pakaian yang tidak diganti, bau amis darah yang menyeruak, tapi terlihat pria itu baik-baik saja. Serta seluruh pakaiannya terlihat setengah basah."Jangan menampakkan wajahmu seolah kaulah korban! Kau yang mulai ini semua! Adikku masih kecil, kau menyiksanya tentu dia melawan. Sekarang, di mana jasad adikku, Erlan Rodriguez!" teriak Eliza menciptakan gema suara dalam ruangan."Berhenti, berteriak di tempatku, sialan!" balas Erlan dengan suara menggelegar, menciptakan pantulan suara setiap ruangan.Eliza terdiam beberapa saat, bukan takut, tapi ia benar-benar melihat perasaan Erla
Tepat dua jam tidak sadarnya Eliza. Gadis itu kini menggeliat, saat ia menarik tubuhnya ia merasakan dirinya terikat.Eliza sontak membulatkan matanya, "Apa ini." Eliza mencoba memberontak menarik-narik tangannya."Akh, Erlan! Di mana kau!" teriak Eliza menatap sekitar, melihat beberapa benda tajam, senjata dan cambuk di sebuah meja. Tapi, itu tidak membuat Eliza gentar. Eliza terus memanggil nama Erlan."Erlan, dasar bajingan. Kau licik, dengan perempuan kau berbuat curang. Kau tidak mampu melawanku, makanya menyuntikkan sesuatu, hingga membuatku tidak sadar. Dasar lemah! Lemah!" teriak Eliza. Setelah mengatakan itu, tidak lama Erlan datang dengan tatapan dinginnya."Lepaskan aku!" bentak Eliza memberontak kecil.Erlan menyeringai, "Akhirnya kau sadar juga," ucapnya kemudian melangkah mendekat."CK, setelah menggunakan cara licik, kau bangga begitu? Caramu tadi, menjelaskan kamu tidak mampu menghadapiku!" sergah Eliza menatap tajam."Oh ya? Padahal aku melakukannya, karena malas me
Mentari pagi yang bersinar dengan panasnya yang menyentuh kulit dengan lembut. Di meja makan Erlan tengah memotong daging salmon lalu memasukkan ke mulutnya. Sesekali melirik ke arah luar, seolah menunggu kedatangan seseorang."Menunggu Eliza?" ucap Evan terkesan mengejek sikap Erlan yang selalu berubah-ubah pada Eliza.Erlan tidak mengatakan apa-apa, dia tetap memasukkan suapan demi suapan daging salmon panggang ke mulutnya.Selesai makan Erlan menuju ruang tengah, barulah saat itu dia melihat Eliza keluar dari lift, hanya dengan menggunakan bathrobe menutupi tubuhnya.Erlan menatap tajam Eliza yang berjalan tertatih. Terlihat wajah Eliza masih tampak lelah, berusaha terlihat baik-baik saja, melewati Erlan dengan tatapan dingin dan tanpa mengatakan apa pun.Erlan geram, tidak suka dengan sikap tidak acuh wanita itu. Ia berbalik, langkahnya yang panjang menarik kasar tubuh Eliza hingga menabraknya."Kau mau apalagi?" ucap Eliza tenang dengan wajahnya yang tanpa ekspresi."Kenapa kau
Semenjak mengetahui adiknya dibuang ke laut dan menjadi santapan hiu. Eliza menjadi pemberontak dengan sikap anggunnya yang tidak takut dengan apa pun.Aturan yang dibuat Erlan semuanya dilanggar. Apa yang tidak disukai Erlan dilakukan oleh Eliza."Berhenti membuatku marah Eliza Martinez!" teriak Erlan yang selalu berhasil dibuat marah Eliza.Eliza bersedekap dada, "Ups, maaf ya. Tapi, foto-foto ini terlalu jelek di mataku. Aku pusing melihatnya," ucap Eliza kemudian menginjak foto keluarga Rodriguez."Eliza Martinez, sebaiknya jaga sikapmu!" geram Clara ikut merasa kesal dengan kelakuan aneh Eliza akhir-akhir ini.Eliza bersedekap dada. Wajahnya terlihat santai, tanpa emosi sama sekali."Aku sudah tinggal di sini. Meski bukan sebagai tamu, bawahan tapi foto ini sangat jelek bagiku. Jadi, buang sayalah," ucap Eliza semakin, menginjak kini berdiri di atas foto yang sudah pecah hanya dengan beralaskan sandal rumah. Erlan memejamkan matanya, hembusan nafas kasarnya terdengar berat berusa
Pagi ini, untuk pertama kalinya Eliza bangun lebih dulu. Tangannya masih terborgol dengan kuat. Eliza menendang pelan tubuh Erlan yang menimpa tubuhnya."Bajingan," gerutu Eliza. Mata Eliza bergerak hingga menemukan celana selutut Erlan. Ia meraih celana itu, lalu meraba-raba sakunya hingga menemukan sebuah kunci di sana. Dengan senyum sumringah Eliza melepaskan borgolnya."Akhirnya," ucap Eliza memijat pergelangan tangannya. Diliriknya Erlan yang masih terdengar mendengkur halus. Kejahilannya yang muncul membuatnya menarik tangan pria itu dan mengganti tangan pria itu di borgol."Rasakan itu!" ucapnya kemudian meraih ponsel Erlan dan meletakkannya cukup jauh dari jangkauan."Kita lihat, bagaimana kau minta tolong," ucap Eliza menyinggung senyumnya.Saat akan berjalan, Eliza kembali merasakan nyeri di panggulnya. Membuatnya harus berjalan berhati-hati hingga harus menopang tubuhnya pada tembok, untuk masuk ke kamar mandi. Eliza mengisi air hangat pada bathup. Setelah dirasa penuh,
"Erlan, darah!" Perkataan Eliza sempat membuat Erlan terdiam, tapi ucapan Evan membuatnya, perlahan melepaskan cekikannya. Ia menunduk melihat bagian bawah Eliza yang terlihat darah keluar tidak sedikit."Kau!" Erlan menatap tajam, tangannya mengepal dengan kuat.Eliza terkekeh, dan sedikit terbatuk, menormalkan nafasnya kembali."Kenapa berhenti? Ayo bunuh aku ... aku ingin lihat, bagaimana satu-satunya keturunan Rodriguez, membunuh penerus pertamanya," ucap Eliza terkekeh, sembari menyentuh perutnya, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di dalam tubuhnya.Air matanya tumpah saat merasakan sakit itu, tapi ia tetap tersenyum."Yang pasti ini akan sangat menyenangkan. Leluhurku pasti bangga, melihat aku berhasil membuatmu membunuh keturunanmu sendiri."Eliza membaringkan tubuhnya bernafas lega, seolah memperlihatkan dia begitu menikmatinya sakitnya, dan sudah tidak ada keinginan hidup.Tidak ingin peduli, tapi ucapan Eliza sangat mempengaruhinya. Leluhurnya akan bangga? Erlan yang be
Setelah beberapa hari di rumah sakit. Hari ini Eliza diizinkan telah pulang. Selama berada di rumah sakit Erlan selalu menemaninya. Menemaninya meributkan hal-hal kecil. Selama di sana juga Erlan terlihat cukup sibuk mengurus dan membantu mengarahkan Evan yang sedang di Medan pertempuran.Sesampai di mansion. Sembari menelepon serius. Tangan Erlan menggenggam erat jemari Eliza."Kau langsung istirahat, aku masih banyak urusan," ucap Erlan tanpa menunggu Eliza protes. Ia memasukkan Eliza ke kamar tidak lupa menguncinya."Erlan, akh!" teriak Eliza menendang pintu kokoh yang tertutup rapat itu."Dikunci lagi, dikunci lagi. Sialan!" gerutu Eliza melangkah ke arah kasur, mendudukkan tubuhnya secara perlahan."Aku benar-benar lelah berada di sini. Apa ada cara aku pergi?" batin Eliza melihat-lihat sekitar yang justru membuatnya melihat sebuah CCTV yang berada di setiap sudut ruangan itu.Eliza menunjuk CCTV itu dan mulai mengumpat, "Erlan, iblis gila! Semoga kau cepat mati!" teriak Eliza.