"Erlan, darah!" Perkataan Eliza sempat membuat Erlan terdiam, tapi ucapan Evan membuatnya, perlahan melepaskan cekikannya. Ia menunduk melihat bagian bawah Eliza yang terlihat darah keluar tidak sedikit."Kau!" Erlan menatap tajam, tangannya mengepal dengan kuat.Eliza terkekeh, dan sedikit terbatuk, menormalkan nafasnya kembali."Kenapa berhenti? Ayo bunuh aku ... aku ingin lihat, bagaimana satu-satunya keturunan Rodriguez, membunuh penerus pertamanya," ucap Eliza terkekeh, sembari menyentuh perutnya, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di dalam tubuhnya.Air matanya tumpah saat merasakan sakit itu, tapi ia tetap tersenyum."Yang pasti ini akan sangat menyenangkan. Leluhurku pasti bangga, melihat aku berhasil membuatmu membunuh keturunanmu sendiri."Eliza membaringkan tubuhnya bernafas lega, seolah memperlihatkan dia begitu menikmatinya sakitnya, dan sudah tidak ada keinginan hidup.Tidak ingin peduli, tapi ucapan Eliza sangat mempengaruhinya. Leluhurnya akan bangga? Erlan yang be
Setelah beberapa hari di rumah sakit. Hari ini Eliza diizinkan telah pulang. Selama berada di rumah sakit Erlan selalu menemaninya. Menemaninya meributkan hal-hal kecil. Selama di sana juga Erlan terlihat cukup sibuk mengurus dan membantu mengarahkan Evan yang sedang di Medan pertempuran.Sesampai di mansion. Sembari menelepon serius. Tangan Erlan menggenggam erat jemari Eliza."Kau langsung istirahat, aku masih banyak urusan," ucap Erlan tanpa menunggu Eliza protes. Ia memasukkan Eliza ke kamar tidak lupa menguncinya."Erlan, akh!" teriak Eliza menendang pintu kokoh yang tertutup rapat itu."Dikunci lagi, dikunci lagi. Sialan!" gerutu Eliza melangkah ke arah kasur, mendudukkan tubuhnya secara perlahan."Aku benar-benar lelah berada di sini. Apa ada cara aku pergi?" batin Eliza melihat-lihat sekitar yang justru membuatnya melihat sebuah CCTV yang berada di setiap sudut ruangan itu.Eliza menunjuk CCTV itu dan mulai mengumpat, "Erlan, iblis gila! Semoga kau cepat mati!" teriak Eliza.
Erlan mengeratkan rahangnya. Ucapan Eliza sangatlah mengundang amarahnya. Tapi, menghukum Eliza hanyalah membuang waktu, karena wanita itu tidak pernah jera.Eliza tersenyum santai mengibaskan rambutnya ke belakang."Aku berhasil membuatmu membunuh hewan peliharaanmu sendiri. Selanjutnya, mungkin aku akan membuatmu membunuh orang kepercayaanmu sendiri," ucap Eliza menyeringai."Kau!" Erlan menatap tajam.Eliza terkekeh, meremehkan pria itu, "Bodoh," ucapnya kemudian meninggalkan Erlan yang tengah menahan amarahnya.Erlan mengepalkan tangannya, menatap punggung Eliza dengan tajam. Sial, dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain meminta para bawahannya bergantian menjaga Eliza.**Sejak kejadian itu, Erlan memantau Eliza melalui bawahannya, tanpa meninggalkan puluhan pekerjaannya. Mencari satu demi satu mata-mata yang menjadi penghianatnya.Di tempat lain, seorang pria menjadi tahanan Evan dan Dante. Keduanya mengintrogasi tangan kanan Antonio yang mereka biarkan hidup."Katakan, siapa mat
Erlan menghempaskan tubuh Eliza ke kasur. Ia lalu menarik kuat rambut wanita itu hingga mendongak menatapnya."Berapa kali harus kukatakan, berhenti membuat ulah, yang bisa mencelakai kandunganmu, sialan!" hardik Erlan.Bola matanya yang merah dan penuh amarah, mendorong kasar tubuh Eliza, mengukung tubuh tanpa menindih. Tangan Erlan menahan kedua tangan Eliza dengan kuat di atas kepala.Tapi, sepertinya Erlan bukan ingin melakukan hubungan paksa lagi. Erlan menatapnya dengan tajam dan dingin, "Apa yang kau lakukan? Apa kau yang pernah membuka ponselku, dan menyebar informasi penting bisnisku?" Eliza meringis kecil, membalas tatapan dingin Erlan."Ya itu aku? Kenapa? Kau ingin membunuhku? Silahkan saja," ucap Eliza tersenyum menyeringai, mengabaikan cengkraman kuat Erlan yang membuat rasa sakit di tangannya."Kau!" Rahang Erlan mengeras. Amarah pria itu seolah berada di ubun-ubun dan siap diledakkan. "Kenapa kau melakukan itu, hah!" teriak Erlan membentak. Ia melayangkan satu tampa
Brak ....Kamar yang ditempati Eliza hancur setelah dibuka paksa oleh Erlan. "Eliza Martinez, beraninya kau membawa bawahanku masuk kamar!" teriak Erlan membuka pintu lebar, dan membelalakkan matanya saat melihat, seorang pria terkapar tidak bernyawa di lantai, dengan kucuran darah keluar dari lehernya. Parahnya, ia sama sekali tidak menggunakan pakaian apa pun. Mereka kemudian mengangkat pandangannya saat melihat Eliza melemparkan pisau dengan santai, membenturkannya ke lantai."Huh, aku puas sekali. Tapi, aku tau, kau mungkin akan membunuhnya. Makanya aku membunuhnya, lebih dulu," ucap Eliza tersenyum tenang sembari memperbaiki pakaiannya yang sedikit kusut dan berantakan.Erlan menatapnya tajam, rahangnya mengeras dengan perbuatan Eliza. Saat akan mendekati Eliza. Tiba-tiba Evan menghalanginya."Tunggu, Erlan. Sepertinya aku mengenal pria ini," ucap Evan menunduk, menyelidiki lekuk wajah pria tidak bernyawa itu."Dia mata-mata, salah satu penghianat yang baru kuselidiki," ucap Ev
"Sebenarnya apa maumu, Eliza? Kenapa kau selalu saja bertingkah, hal yang tidak bisa ditebak!" ucap Erlan menatap tajam sembari menyerahkan segelas susu ibu hamil untuk Eliza."Aku tidak suka rasa vanila. Baunya aneh, ganti!" ucap Eliza menepis gelas itu menjauh dari wajahnya.Ia kemudian membaringkan tubuhnya dengan sedikit meringkuk.Erlan menghela nafas. Ia meletakkan susunya. Tangannya terulur, menarik lembut kaki Eliza. "Perbaiki posisimu, anakku tidak akan nyaman di dalam sana," ucap Erlan tanpa malu.Eliza menatap sinis, lalu mengedikkan bahunya ngeri. Ia tidak peduli dan tetap dalam posisinya yang hanya membuatnya nyaman."Eliza, apa kamu tau siapa pengkhianat di sini?" tanya Erlan berusaha menggali informasi dari gadis itu."Hm. Bukankah, kau sudah tau itu aku?" ucap Eliza tersenyum sinis."Kalau itu kamu, kamu tidak akan membunuh orang yang sejalan denganmu." Sebaik mungkin Erlan berusaha bertutur lembut, meski setiap serak suaranya yang tegas tidak bisa ia hindari.Eliza t
Dante hendak memberikan tembakan, tapi seruan Evan menghentikan niatnya."Ada apa lagi ini? Eliza apa ini ulahmu lagi!" sentak Evan.Dante bersembunyi, di balik pilar, menatap punggung Evan yang membelakanginya. Lalu mendongak melihat Eliza yang menyinggung senyum padanya."Shit, tidak bisa kubiarkan," ucap Dante segera meninggalkan tempat itu. Mengambil jalan berputar dan kembali dari arah yang berbeda. Eliza terkekeh, "Bajingan ini," batinnya.Evan membungkuk, melihat siapa pria di depannya. Setelah sadar siapa pria itu membuat Evan marah. Pria itu salah satu pengikut setianya."Eliza Martinez! Apa yang kau lakukan! Kau membunuh salah satu anak buahku yang setia!" sentak Evan mendongak, menatap tajam Eliza yang memangku wajahnya dengan senyum sinis di lantai dua.Eliza yang sudah punya akses berupa ponsel, dan macbook pemberian Erlan, bukan hal yang sulit baginya melacak siapa saja penghianat di sana, ataupun sekedar mencari bukti.Erlan datang langkahnya yang panjang mendekat pada
Tepatnya di tengah malam. Saat hampir semua orang tidur, dan hanya beberapa yang menjaga. Eliza saat ini duduk termenung di dapur. Tersirat rasa rindu pada sorot mata wanita itu. Ia merindukan keluarganya. Bercanda tawa dan makan bersama. Ia memilih pergi ke tempat itu, karena tidak ingin melihat Erlan yang tertidur di sebelahnya. Ia tidak ingin kebenciannya membuatnya membunuh pria itu. Ia ingin Erlan mati, tapi tidak semudah itu.Ada banyak rencana yang disiapkan untuk menghukum Erlan. Dan itu semua butuh waktu yang lama.Eliza menghela nafas. Mengaduk kopi hangat yang baru ia seduh. Perlahan ia meneguk minuman hangat itu. Sempat terlintas dalam benaknya. Bagaimana marahnya Erlan jika tau ia minum kopi.Suara langkah yang mendekat, tidak membuat Eliza menoleh, bahkan melirik. Ia tidaklah peduli siapa yang ada di sana."Ikut denganku," suara berat itu sudah cukup membuat Eliza siapa yang berdiri tegak di sebelahnya. Eliza tidak menjawab, ia melanjutkan menikmati kopinya, membuat