Erlan menghempaskan tubuh Eliza ke kasur. Ia lalu menarik kuat rambut wanita itu hingga mendongak menatapnya."Berapa kali harus kukatakan, berhenti membuat ulah, yang bisa mencelakai kandunganmu, sialan!" hardik Erlan.Bola matanya yang merah dan penuh amarah, mendorong kasar tubuh Eliza, mengukung tubuh tanpa menindih. Tangan Erlan menahan kedua tangan Eliza dengan kuat di atas kepala.Tapi, sepertinya Erlan bukan ingin melakukan hubungan paksa lagi. Erlan menatapnya dengan tajam dan dingin, "Apa yang kau lakukan? Apa kau yang pernah membuka ponselku, dan menyebar informasi penting bisnisku?" Eliza meringis kecil, membalas tatapan dingin Erlan."Ya itu aku? Kenapa? Kau ingin membunuhku? Silahkan saja," ucap Eliza tersenyum menyeringai, mengabaikan cengkraman kuat Erlan yang membuat rasa sakit di tangannya."Kau!" Rahang Erlan mengeras. Amarah pria itu seolah berada di ubun-ubun dan siap diledakkan. "Kenapa kau melakukan itu, hah!" teriak Erlan membentak. Ia melayangkan satu tampa
Brak ....Kamar yang ditempati Eliza hancur setelah dibuka paksa oleh Erlan. "Eliza Martinez, beraninya kau membawa bawahanku masuk kamar!" teriak Erlan membuka pintu lebar, dan membelalakkan matanya saat melihat, seorang pria terkapar tidak bernyawa di lantai, dengan kucuran darah keluar dari lehernya. Parahnya, ia sama sekali tidak menggunakan pakaian apa pun. Mereka kemudian mengangkat pandangannya saat melihat Eliza melemparkan pisau dengan santai, membenturkannya ke lantai."Huh, aku puas sekali. Tapi, aku tau, kau mungkin akan membunuhnya. Makanya aku membunuhnya, lebih dulu," ucap Eliza tersenyum tenang sembari memperbaiki pakaiannya yang sedikit kusut dan berantakan.Erlan menatapnya tajam, rahangnya mengeras dengan perbuatan Eliza. Saat akan mendekati Eliza. Tiba-tiba Evan menghalanginya."Tunggu, Erlan. Sepertinya aku mengenal pria ini," ucap Evan menunduk, menyelidiki lekuk wajah pria tidak bernyawa itu."Dia mata-mata, salah satu penghianat yang baru kuselidiki," ucap Ev
"Sebenarnya apa maumu, Eliza? Kenapa kau selalu saja bertingkah, hal yang tidak bisa ditebak!" ucap Erlan menatap tajam sembari menyerahkan segelas susu ibu hamil untuk Eliza."Aku tidak suka rasa vanila. Baunya aneh, ganti!" ucap Eliza menepis gelas itu menjauh dari wajahnya.Ia kemudian membaringkan tubuhnya dengan sedikit meringkuk.Erlan menghela nafas. Ia meletakkan susunya. Tangannya terulur, menarik lembut kaki Eliza. "Perbaiki posisimu, anakku tidak akan nyaman di dalam sana," ucap Erlan tanpa malu.Eliza menatap sinis, lalu mengedikkan bahunya ngeri. Ia tidak peduli dan tetap dalam posisinya yang hanya membuatnya nyaman."Eliza, apa kamu tau siapa pengkhianat di sini?" tanya Erlan berusaha menggali informasi dari gadis itu."Hm. Bukankah, kau sudah tau itu aku?" ucap Eliza tersenyum sinis."Kalau itu kamu, kamu tidak akan membunuh orang yang sejalan denganmu." Sebaik mungkin Erlan berusaha bertutur lembut, meski setiap serak suaranya yang tegas tidak bisa ia hindari.Eliza t
Dante hendak memberikan tembakan, tapi seruan Evan menghentikan niatnya."Ada apa lagi ini? Eliza apa ini ulahmu lagi!" sentak Evan.Dante bersembunyi, di balik pilar, menatap punggung Evan yang membelakanginya. Lalu mendongak melihat Eliza yang menyinggung senyum padanya."Shit, tidak bisa kubiarkan," ucap Dante segera meninggalkan tempat itu. Mengambil jalan berputar dan kembali dari arah yang berbeda. Eliza terkekeh, "Bajingan ini," batinnya.Evan membungkuk, melihat siapa pria di depannya. Setelah sadar siapa pria itu membuat Evan marah. Pria itu salah satu pengikut setianya."Eliza Martinez! Apa yang kau lakukan! Kau membunuh salah satu anak buahku yang setia!" sentak Evan mendongak, menatap tajam Eliza yang memangku wajahnya dengan senyum sinis di lantai dua.Eliza yang sudah punya akses berupa ponsel, dan macbook pemberian Erlan, bukan hal yang sulit baginya melacak siapa saja penghianat di sana, ataupun sekedar mencari bukti.Erlan datang langkahnya yang panjang mendekat pada
Tepatnya di tengah malam. Saat hampir semua orang tidur, dan hanya beberapa yang menjaga. Eliza saat ini duduk termenung di dapur. Tersirat rasa rindu pada sorot mata wanita itu. Ia merindukan keluarganya. Bercanda tawa dan makan bersama. Ia memilih pergi ke tempat itu, karena tidak ingin melihat Erlan yang tertidur di sebelahnya. Ia tidak ingin kebenciannya membuatnya membunuh pria itu. Ia ingin Erlan mati, tapi tidak semudah itu.Ada banyak rencana yang disiapkan untuk menghukum Erlan. Dan itu semua butuh waktu yang lama.Eliza menghela nafas. Mengaduk kopi hangat yang baru ia seduh. Perlahan ia meneguk minuman hangat itu. Sempat terlintas dalam benaknya. Bagaimana marahnya Erlan jika tau ia minum kopi.Suara langkah yang mendekat, tidak membuat Eliza menoleh, bahkan melirik. Ia tidaklah peduli siapa yang ada di sana."Ikut denganku," suara berat itu sudah cukup membuat Eliza siapa yang berdiri tegak di sebelahnya. Eliza tidak menjawab, ia melanjutkan menikmati kopinya, membuat
Erlan tidak ke kamar, tapi masuk ke sebuah tempat olahraga. Tanpa menggunakan sarung tinju. Ia memukul samsak di hadapannya."Sialan!" teriaknya melayangkan pukulannya. Satu pukulan, dua pukulan, terus keluar makian di mulutnya."Kau wanita jalang, Eliza Martinez!" teriak Erlan.Sorot matanya yang tajam, terus memukuli benda panjang di hadapannya."Ah, sial!" teriak Erlan meremas rambutnya.Tubuh Erlan bergetar karena amarah. "Tunggu saja, tunggu anakku lahir, kau akan kembali merasakan penyiksaanku. Dan beberapa tahun nanti, akan ku buat anakku membunuhmu sialan!" sergah Erlan penuh amarah.***Sejak kejadian itu sikap Erlan berubah cukup dingin. Tapi, Eliza tidak peduli itu dan tetap menjalani kehidupannya dengan penuh misteri.Erlan memasuki mansion. Melonggarkan dasinya yang mencekat lehernya."Erlan, apa kau akan diam saja? Eliza dan Dante semakin dekat," ucap Evan menyamai langkah Erlan, "dan mereka sedang berada di dalam, sedang bersama."Langkah Erlan terhenti dengan apa yang
Erlan membuka pintu kamar Eliza. Melihat wanita itu tengah tertelungkup dan terdengar isak tangisnya.Pria pemilik mansion itu mendekat. Duduk dengan lembut di sisi kasur besar dalam kamar tersebut. "Kau marah?" tanya Erlan dengan lembut.Erlan memejamkan matanya, mengumpati dirinya sendiri. Menyadari, ia merasa bersalah. Tidak bisa dipungkiri, ia juga sudah merasa jatuh cinta. Meski ribuan kali berusaha menepis dengan ucapannya."Kau membunuh Milo," ucap Eliza dengan isakan tangisnya yang terdengar jelas.Erlan memejamkan matanya, "Aku belikan. Tapi, kamu tidak boleh menyentuhnya langsung. Hanya boleh dilihat saja," tawar Erlan.Eliza terdiam. Ia yang membelakangi Erlan perlahan menoleh, dan terlihatlah tatapan tulus pria itu."Tapi, kenapa kau membunuh Milo? Dante—." Ucapan Eliza terpotong karena Erlan bersuara menyentak dan ketus."Jangan menyebut nama pria itu atau pria-pria lainnya!" Eliza terdiam. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia kembali memunggungi Erlan. "Dante bisa bersika
Erlan turun untuk menikmati makan malamnya, sembari mencari keberadaan Eliza yang sejak tadi tidak kembali. Langkahnya yang lebar, menjadi pelan kala melihat Eliza turut membantu menata makanan di atas meja.Sedangkan Dante terlihat duduk manis di salah satu kursi meja makan, sembari matanya terus mengikuti Eliza bergerak.Erlan menarik kursi khusus untuknya. Duduk menatap dingin pada Dante."Kenapa kau masih di sini? Apa kau terlalu bersantai? Haruskan aku memberimu pekerjaan?" ucap Erlan sudah jelas mengusir Dante dari kediamannya.Dante menaikkan sebelah alisnya. Menyinggung senyumnya tanpa rasa takut."Aku ingin makan di sini. Aku ingin mencicipi masakan Eliza," ucap Dante tanpa keraguan sedikitpun.Erlan mengerutkan keningnya, lalu melirik wanita yang tengah mengandung anaknya itu, tengah membawa segelas susu di tangannya.Eliza, hanya melirik Erlan. Lalu duduk di samping pria itu, menikmati susunya."Em, aku suka rasa ini. Beli rasa seperti ini saja," ucap Eliza pada Erlan.Er