Dor ....Di saat frustasi Dante. Erlan dengan gesit menekan pedal pistolnya dan menghancurkan remote bom serta jemari Dante.Tidak ada lagi hal mengancam. Erlan melempar pistolnya. Menggerakkan lehernya hingga terdengar suara keretek. Begitupun pada jemari tangannya.Di tengah tubuhnya yang lemas, sekuat tenaga Dante melawan Erlan yang menghujaninya pukulan dan tendangan tanpa celah.Sedangkan yang lainnya hanya melihat, menunggu perintah dari Erlan.Suara erangan Dante di tengah gelap dan dinginnya malam, tidak membuat Erlan merasa kasihan. Pria itu bahkan terus menyerang, dan tersenyum puas saat darah terpercik ke wajahnya.Saat Dante pingsan pun, Erlan masih menendang kuat perut pria itu."Selesai. Bawa dia ke markas, dan penjarakan dia," perintah Erlan kembali menaiki helikopter yang akan membawanya kembali ke mansion. Pria itu menatap tangannya yang penuh darah, tapi terlihat tidak peduli, bahkan tidak ada niatan untuk membersihkannya lebih dulu.Sementara itu Eliza yang meliha
Hari ini, waktunya Eliza memeriksa kandungannya. Tidak ada raut bahagia sama sekali di wajah wanita itu. Bahkan terkesan dingin menatap layar yang memperlihatkan hasil USG perutnya.Berbeda dengan Erlan yang terlihat serius dan antusias mendengar perkembangan anaknya."Tolong jaga kandungannya. Tetap minum vitaminnya. Kurangi minum-minuman berkafein, apalagi sampai minum alkohol," jelas sang dokter pada Eliza yang justru mengalihkan pandangannya, mengacuhkan, seolah tidak peduli.Erlan menghela nafas, beberapa kali Eliza memang minum anggur jika ia membantah permintaan wanita itu, dan sekarang kandungan Eliza sedikit bermasalah. Dan jika terus mengkonsumsi makanan yang dilarang, bisa-bisa anaknya tidak selamat. Kalaupun selamat akan cacat.Erlan tidak ingin hal itu terjadi. Dengan tekad kuat, ia memilih akan terus mengalah dan menuruti Eliza yang keras itu."Ingin makan sesuatu?" tanya Erlan setelah mereka berada dalam mobil. "Aku ingin makan ayam goreng," jawab Eliza sembari mengusa
"Wah, sangat indah," ucap Eliza penuh kekaguman berjalan-jalan di tengah taman yang dikelilingi bunga, dan terdapat sungai kecil di sisinya.Erlan tersenyum, menyamai langkah Eliza dengan tenang, damai, dan perasaan yang hangat."Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta dengannya," batin Erlan menatap Eliza yang tersenyum manis menatap sekitar.Semakin mereka masuk dalam taman. Dari kejauhan mereka melihat sebuah acara kecil. Di mana ada seorang pria tengah melamar kekasihnya. Pancaran kebahagiaan tersorot jelas di mata wanita itu. Eliza terdiam, senyumnya perlahan memudar, menatap tajam pada pasangan yang tengah berbahagia. Perlahan tangannya mengusap perut buncitnya. Bibirnya diam, namun batinnya sedang beradu. "Aku bahkan hamil anak musuh keluargaku. Aku juga masih muda. Rasanya tidak ada harapan untukku menjalin kasih dan menikah. Terbebas darinya saja rasanya mustahil." Eliza menghela nafas. Melanjutkan langkahnya dengan hati yang berat. Erlan yang melihat itu, seolah bisa mema
"Katakan, apa yang kamu inginkan? Jangan pernah kau melukai adikku!" ucap Eliza menatap tajam pada Erlan yang tengah menatapnya dengan senyum angkuhnya."Turuti apa pun yang kukatakan maka adikmu akan baik-baik saja. Sekali kau melawan, sepuluh cambukan akan melayang di tubuhnya," ucap Erlan menyeringai.Eliza mengepalkan tangannya, giginya saling bergesekan kuat menahan rasa geramnya. Pria di depannya yang merupakan musuh dari keluarganya dan telah membantai habis seluruh keluarga besarnya, hingga hanya menyisakan dirinya dan adiknya Sean."Kakak jangan pedulikan aku. Bunuh saja dia, dia sudah membunuh Daddy!" teriak Sean berusaha memberontak dari jeratan bawahan Erlan.Erlan terkekeh, mendengar penuturan polos Sean. Erlan bergerak mendekati Sean."Jangan menyakiti adikku Erlan Rodriguez!" bentak Eliza.Erlan benar-benar berhenti, lalu berbalik menatap Eliza dengan seringaian jahat terukir di wajahnya.Perlahan ia mengeluarkan pisau kecil lalu mengulurkannya ke leher Sean."Erlan, ak
Tangan Eliza bergetar, perlahan menyentuh kancing baju Erlan, membuat pria itu memejamkan matanya.Entah kenapa sentuhan Eliza membuatnya terlena. Erlan membuka matanya, dan melihat wajah Eliza yang sudah cukup pucat membuatnya menyinggung senyumnya."Kenapa harus Aiden Martinez yang memiliki anak selucu dan semanis ini," batin Erlan merasa gemas dengan tingkah Eliza.Erlan menggelengkan kepalanya, "Ingat dia anak musuhmu. Kamu harus menyiksanya Erlan," batin Erlan, kemudian menarik kasar tangan Eliza dan menghempaskan tubuh kecil gadis itu ke kasur.Tidak membiarkan Eliza sekedar terpekik. Erlan meraup kasar bibir ranum Eliza yang sudah sejak awal menggoda baginya."Eem," lenguh Eliza berusaha memberontak. Air mata Eliza jatuh, selain karena sakit, tapi juga merasa tidak terima saat tubuhnya disentuh oleh musuhnya."Daddy," batin Eliza berharap ada sebuah keajaiban. Pahlawannya, cinta pertamanya datang menyelamatkannya.Eliza hanya bisa diam, menahan rasa sakit yang diberikan Erlan
Eliza menyeret langkahnya memasuki lift dan turun ke lantai satu. Ia baru bangun setelah pukul 10, dan yang pertama ingin dicarinya adalah adiknya."Ah, kenapa sakit sekali?" batin Eliza menyentuh perutnya yang terasa perih."Oh, kau sudah bangun. Sepertinya kau cukup kesakitan, apa Erlan menyetubuhimu secara kasar?" Dante datang mendekati Eliza yang duduk di lantai karena tidak mampu untuk berdiri."Aku dengar kau juga masih perawan. Erlan benar-benar beruntung bisa merasakannya dari gadis manis sepertimu," lanjut Dante tersenyum menyeringai menatap Eliza yang kesakitan tanpa niat ingin membantu.Eliza menahan rasa sakitnya, berusaha untuk berdiri. Ia menatap Dante dengan tajam."Kau masih bertanya bajingan itu memperlakukanku baik atau buruk. Padahal sudah jelas, keluarga Rodriguez adalah penjahat bagi para gadis. Dulu Daddy-nya yang merudapaksa kakakku yang masih kecil hingga meninggal, sekarang anaknya yang melakukan padaku, memang keluarga bajingan!" ucap Eliza dengan tatapan taj
Selesai makan Eliza dan Sean kembali dipisahkan. Sean yang dikurung, Eliza dibebaskan. Dibebaskan bergerak dalam artian, dia harus menjadi pelayan. "Akan kubunuh singa itu!" Ancam Eliza saat melihat dua ekor singa dewasa dalam kandang."Kau berani membunuhnya, kau akan melihat adikmu mati dengan cara lebih mengenaskan," ucap Erlan sembari menikmati secangkir kopi dan terus menatap tajam Eliza yang kini memakai pakaian pelayan.Eliza menghentakkan kakinya. Ia kembali mengayunkan tangannya, membersihkan halaman belakang yang terdapat beberapa kandang hewan buas, dan lapangan yang diperuntukkan olahraga bola."Bagaimana aku membersihkan halaman belakangmu yang luas ini? Kau ini bisa memanusiakan orang tidak sih?" sergah Eliza.Erlan terkekeh, meneguk kopi hitam miliknya dengan nikmatnya."Aku bisa memanusiakan orang. Tapi, tidak dengan anak keturunan keluarga Martinez," jawab Erlan dengan santainya.Eliza menghela nafas, ia kemudian mendekati Erlan, dengan santainya duduk di kursi berh
Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun."Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.Erlan menyeringai, lalu bertepuk tanga