Selesai makan Eliza dan Sean kembali dipisahkan.
Sean yang dikurung, Eliza dibebaskan. Dibebaskan bergerak dalam artian, dia harus menjadi pelayan."Akan kubunuh singa itu!" Ancam Eliza saat melihat dua ekor singa dewasa dalam kandang."Kau berani membunuhnya, kau akan melihat adikmu mati dengan cara lebih mengenaskan," ucap Erlan sembari menikmati secangkir kopi dan terus menatap tajam Eliza yang kini memakai pakaian pelayan.Eliza menghentakkan kakinya. Ia kembali mengayunkan tangannya, membersihkan halaman belakang yang terdapat beberapa kandang hewan buas, dan lapangan yang diperuntukkan olahraga bola."Bagaimana aku membersihkan halaman belakangmu yang luas ini? Kau ini bisa memanusiakan orang tidak sih?" sergah Eliza.Erlan terkekeh, meneguk kopi hitam miliknya dengan nikmatnya."Aku bisa memanusiakan orang. Tapi, tidak dengan anak keturunan keluarga Martinez," jawab Erlan dengan santainya.Eliza menghela nafas, ia kemudian mendekati Erlan, dengan santainya duduk di kursi berhadapan.Erlan menatapnya tajam. Sungguh, ia tidak pernah mendapat perlakuan tidak sopan begitu. Tapi, Erlan tidak protes. Ia menatap waspada pada Eliza yang terkadang menyerang tanpa ia ketahui."Aku memilih balas dendam. Kenapa kau tidak melepaskan kami saja? Ayo berdamai, permusuhan kita hanya berawal dari orang tua kita, kenapa kita harus melanjutkannya," ucap Eliza mencoba menawarkan untuk keselamatannya.Erlan menyinggungkan senyumnya, "Kau lupa adikmu melayangkan tembakannya sebanyak dua kali padaku kemarin?"Eliza mengatup mulutnya. Menatap Erlan dengan kesal."Milikku bengkak karenamu, setidaknya biarkan aku istirahat lebih dulu!" sergah Eliza.Ucapan Eliza sederhana. Namun, caranya bicara membuat Erlan tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa."CK, tidak usah tertawa. Kau kira ada yang lucu!" sergah Eliza.Erlan berhenti tertawa, wajahnya berubah drastis menjadi datar. Membuat Eliza menyinggung senyumnya sinis.Tiba-tiba Evan datang, berpapasan dengan Eliza. Keduanya sama-sama tidak tersenyum atau sekedar melirik.Evan membungkuk, membisikkan sesuatu pada Erlan, membuat pria itu membulatkan matanya.Ia melirik Eliza yang sudah kembali membersihkan lapangan luas yang sengaja ia kotori dengan sampah-sampah plastik."CK, kenapa anak kecil itu lebih sulit diatur," gerutu Erlan bangkit dari duduknya.Pergi dari tempat itu bersama Evan. Eliza meliriknya, lalu melempar kembali sampah-sampah yang berada di tangannya."Akhirnya pergi juga," ucap Eliza berjalan ke arah kolam renang dan mencuci tangannya.Eliza menoleh menatap luasnya halaman yang juga terdapat hewan-hewan liar di sana."Jika aku melepaskan mereka, apa mereka akan menyerang semua orang di sini?" batin Eliza.Berkacak pinggang menatap lurus dengan senyumnya yang seolah merencanakan sesuatu."Hewan mana yang paling dia sayang, aku akan membunuhnya," batin Eliza merasa semangat. Sementara itu di bawah tanah. Melihat beberapa anak buahnya tergeletak di tanah dalam keadaan bersimbah darah dan tidak lagi bernyawa membuat Erlan mengeratkan rahangnya menatap tajam pada Sean.Anak buahnya dibunuh, mungkin ia bisa toleransi, tapi dua tawanannya berhasil dilepaskan Sean, dan ketiganya bekerja sama melumpuhkan bawahannya.Sean membalas tatapan Erlan dengan seringaian tipis."CK, harusnya aku tidak mendengar kakakmu, untuk tidak mengikatmu!" ucap Erlan dingin.Sean menyeringai. Memang ia tidak diikat. Ia hanya dimasukkan dalam sel, dengan satu orang menjaga.Dan hal itu membuat Sean mencari cela, hingga berhasil menumbangkan para penjaga dan melepaskan tawanan lain, dengan syarat mereka bersedia bekerja sama untuk bebas."Kenapa kau mendengarkan kakakku? Apa kau terlarut dalam pesonanya? Kakakku memang cantik, tapi tidak cocok dengan pria jelek sepertimu," hina Sean.Erlan tidak menanggapi, tapi tatapannya yang tajam dan dingin membuat aura membunuh dalam diri pria itu semakin melekat."Evan, Dante, kalian turun tangan. Jangan membunuhnya, tapi patahkan tangannya. Setelah itu bawa dia ke atas," perintah Erlan."Baik," ucap keduanya melangkahkan kakinya menuju Sean.Sean dan dua orang yang bersamanya mengambil posisi untuk bertahan. Seberapa kuat Sean menahan serangan. Evan dan Dante bukan lawannya. Setelah beberapa saat Sean dan kedua temannya tumbang.Erlan meraih sebuah botol berisi cairan alkohol. Lalu melangkah dengan angkuhnya, dan tersenyum menyeringai melihat Sean yang terkapar di lantai.Sean berusaha untuk kembali bangkit. Tapi, dadanya segera ditahan Erlan, dan ditekan dengan kuat."Akh!" Sean meringis kesakitan. Matanya terpejam erat merasakan sakit di dadanya."Kau masih terlalu muda. Saat keluargaku dibantai Daddy-mu, aku seusiamu. Tapi, aku tidak seceroboh dirimu yang berani menghadapi musuh dengan kemampuanmu yang masih rendah. Kau memiliki kemampuan yang baik, jauh lebih baik dariku dulu. Sayangnya kau ceroboh dalam bertindak. Dan terimalah kecerobohanmu yang juga membahayakan kakakmu!"Erlan semakin menekan kuat dada Sean, membuat Sean semakin sulit bernafas."Patahkan kedua tangannya!" perintah Erlan.Dante dan Sean masing-masing menginjak satu lengan. Dengan kuat menekan lengan Sean. Hingga terdengar suara retakan. Sean yang lemas, seketika menjerit merasakan rasa sakit dan nyeri yang luar biasa.Belum puas. Sebelum pingsan, Erlan menumpahkan cairan alkohol di tangannya, tepat di wajah Sean.Sean semakin memberontak rasa perih di wajahnya membuatnya semakin menjerit."Mengataiku buruk rupa. Akan ku perlihatkan bagaimana namanya buruk rupa," ucap Erlan tersenyum kecil menyaksikan Sean yang terus meringis kesakitan. Namun, tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan wajahnya telah rusak dalam hitungan menit.Erlan berbalik, "Bawa dia nanti ke atas, bisa saja itu akhir hidupnya. Aku ingin melihat, bagaimana marahnya wanita itu melihat adiknya sekarat."Setelah mengatakan itu Erlan melangkah kakinya dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa."Kau serius?" tanya Evan membuat langkah Erlan berhenti."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" Erlan menanggapi dengan dingin, tanpa menatap lawan bicaranya."Ya, pertama. Dia hanya menurut padamu demi keselamatan adiknya. Kedua, jujur saja. Aku mengagumi kelihaiannya dalam bertarung. Kemarin saja saat kami bertarung, hasilnya seimbang. Kalau bukan karena adiknya, mungkin akulah yang tumbang," ucap Evan.Erlan tersenyum sinis, "Kau pikir, aku takut menghadapinya? Dia hanyalah seorang wanita.""Em, baiklah. Kita lihat saja nanti," ucap Evan mengedikkan bahunya tidak peduli.Erlan tidak menggubris. Melanjutkan langkahnya untuk kembali ke lantai dasar."Aku lihat-lihat, kau begitu yakin Erlan akan tunduk pada wanita itu," sahut Dante bersedekap dada."Ya, aku melihat, sejak pertama kali Erlan seolah memperlihatkan ketertarikan pada wanita itu," jawab Evan santai."CK, seolah kau sudah berpengalaman saja," cibir Dante membuat Evan meliriknya sinis, tanpa niat menjawab.Keduanya begitu santai, tanpa peduli Sean yang mengerang kesakitan.Sementara itu, Erlan yang telah kembali ke lantai dasar mansion. Indera pendengarannya langsung mendengarkan suara Eliza."Sudah ku bilang aku tidak mau! Jika kau tidak ingin baju-baju Tuan sialanmu itu rusak, jangan memintaku mencucinya dengan tangan!" hardik Eliza kemudian menendang jas hitam yang berada di lantai."Apa yang kau lakukan? Ini jas edisi terbatas. Tuan Erlan akan membunuhmu jika tau jasnya kau tendang seperti ini!" sentak Clara memungut jas Erlan."Kalau begitu cuci sendiri!""Aku adalah pengawal Tuan Erlan, dan kau adalah pelayannya. Ini sudah menjadi tugasmu, Nona Martinez!" ucap Clara penuh penekanan, saat mengatakan marga Eliza."Ingatlah, adikmu berada dalam genggaman Tuan kami. Jika kau melawan, adikmu akan mati," ucap Clara memperingati.Eliza menggeram. Tangannya mengepal kuat, tidak bisa berkutik. Ia kemudian mengambil jas hitam di tangan Clara.Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia pergi meninggalkan Clara."Jangan salahkan aku melukai adikmu. Dia memberontak, maka aku tidak akan segan membunuhnya," batin Erlan berekspresi datar menatap punggung Eliza yang semakin jauh dan menghilang dari pandangan.Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun."Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.Erlan menyeringai, lalu bertepuk tanga
Eliza mengusap lembut rambut adiknya yang kini wajahnya terbakar akibat cairan alkohol.Air mata wanita itu jatuh berlinang, merasakan sakit luar biasa melihat adiknya seperti sekarang ini."Sean, kenapa kamu terus memberontak sih. Sekarang Daddy sudah tidak ada, melindungi kita," ucap Eliza terisak-isak kecil."Tolong, jangan buat pengorbanan kakak sia-sia," lanjut Eliza mencium kening Sean yang bagian terbakar. Ia sama sekali tidak merasa jijik dengan luka adiknya itu.Pintu kamar tiba-tiba terbuka, tanpa ada ketukan sama sekali. Membuat Eliza menoleh dengan perasaan kesal. Terlihat di sana ada Evan yang menatapnya tajam."Apa kau tidak punya sopan santun! Kenapa di tempat ini, semua orang tidak punya sopan santun dan rasa peduli sama sekali. Kalian semua bajingan!" ucap Eliza kesal.Evan bersedekap dada, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Eliza."Nona Martinez, Tuan kami memanggilmu," ucap Evan."Mau apa lagi dia?" sentak Eliza kesal, namun tetap bangkit untuk mengikuti
Di meja makan, tanpa peduli ocehan Clara yang mengusir Eliza, yang tengah makan dan menyuapi adiknya dengan sarapan yang disiapkan untuk Tuan mereka."Nona Martinez, kau di sini hanya pelayan yang jauh lebih rendah dari pelayan. Jadi, menyingkir dari kursi Tuan kami!" ucap Clara dengan tegas dan tajam."Pria jelek itu adalah Tuan kalian, bukan Tuan-ku. Aku tidak takut dengannya, terlebih dia sudah melukai adikku. Lagipula apa yang ku makan ini, tidak seberapa dari harta keluargaku yang dia curi," ucap Eliza begitu santai menikmati makannya.Clara menggeram, tidak terima Tuan-nya dihina. Ia menatap tajam Eliza dan mulai menekan setiap katanya memperingati wanita itu. "Eliza Martinez. Harusnya kau ingat, kau berada di mana!" Eliza diam, perlahan menatap tajam pada Clara. Saat melihat Clara, ia juga melihat Erlan dan Evan yang berjalan ke arah mereka."Sejak orang tuaku mati di tangannya, sejak saat itu aku tidak takut mati. Aku sudah mempersiapkan diri, menghadapi hari ini, jauh dari h
Erlan menumpu wajahnya dengan telapak tangannya.Wajah Eliza terus terbayang dalam benaknya. Dan itu semuanya semakin membuatnya takut. Takut akan jatuh dalam pesona Eliza, dan dijebak oleh gadis itu."Jangan sampai kau terjebak dalam pesonanya. Bisa saja dia memiliki niat menjatuhkanmu nanti. Dilihat-lihat dia sangat pandai bersandiwara. Pikirannya tidak mudah ditebak," ucap Dante beberapa menit lalu memperingatinya."Aku juga merasa seperti itu. Tadi aku mengatakan, dia sengaja melakukan itu agar kau menyukainya. Bukannya mengelak dia malah mengiyakan, tapi wajahnya malah kayak ngeledek, orang seperti itu, sulit kita tebak, apa yang akan dilakukannya. Orang sepertinya sangat mengerikan," timpal Evan membuat Erlan semakin pusing mengingat hal itu."Ah, shit!" Erlan mengacak rambutnya frustasi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Erlan, "Masuk!" seru Erlan dengan intonasi suaranya yang tegas.Seorang wanita dengan pakaian atas berwarna putih ketat dan tipis dengan dua kancing atasny
Kedatangan Erlan membuat suasana di tempat itu semakin mencekam. Aura kemarahan luar biasa membuat semua orang terdiam, menunduk, dan gemetar. Tapi, pancaran kemarahan Erlan tidak membuat Sean takut. Pria kecil itu tidak memindahkan ujung pistolnya sama sekali.Erlan mengeraskan rahangnya, ia memasukkan peluru pada pistolnya, dengan cepat mengarahkan pada Eliza."Apa kau ingin kakakmu mati?" ucapnya dengan dingin.Sean sama sekali tidak gentar, "Aku memang berencana membawa kakak dalam kematian. Lebih baik kami mati, mengakhiri keturunan keluarga Martinez daripada harus hidup menderita akibat penyiksaanmu Erlan Rodriguez!"Sean kemudian menyeringai, tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya. "Tapi, sebelum aku mati, tentu aku ingin membuatmu merasakan kehilangan lebih dulu.""Bajingan!" hardik Erlan mencengkram kuat leher Eliza."Akan ku bunuh kakakmu!" Eliza diam, dadanya membusung, kesulitan bernafas. Sean segera bertindak. "Kakak maafkan aku, semoga di kehidupan selanjutnya kit
"Di mana adikku Erlan!" sergah Eliza yang berada di tangga, menatap tajam Erlan yang baru pulang setelah seharian pergi, setelah kejadian Talon dan Sean meninggal.Erlan yang baru pulang dengan wajah kusut, lelah, menatap dingin Eliza. Kondisi Erlan dan Eliza tidak jauh beda. Kantung mata yang besar dan wajah yang sembab. Keduanya sama-sama merasa kehilangan. Tapi, terlihat kondisi Erlan jauh lebih parah. Pakaian yang tidak diganti, bau amis darah yang menyeruak, tapi terlihat pria itu baik-baik saja. Serta seluruh pakaiannya terlihat setengah basah."Jangan menampakkan wajahmu seolah kaulah korban! Kau yang mulai ini semua! Adikku masih kecil, kau menyiksanya tentu dia melawan. Sekarang, di mana jasad adikku, Erlan Rodriguez!" teriak Eliza menciptakan gema suara dalam ruangan."Berhenti, berteriak di tempatku, sialan!" balas Erlan dengan suara menggelegar, menciptakan pantulan suara setiap ruangan.Eliza terdiam beberapa saat, bukan takut, tapi ia benar-benar melihat perasaan Erla
Tepat dua jam tidak sadarnya Eliza. Gadis itu kini menggeliat, saat ia menarik tubuhnya ia merasakan dirinya terikat.Eliza sontak membulatkan matanya, "Apa ini." Eliza mencoba memberontak menarik-narik tangannya."Akh, Erlan! Di mana kau!" teriak Eliza menatap sekitar, melihat beberapa benda tajam, senjata dan cambuk di sebuah meja. Tapi, itu tidak membuat Eliza gentar. Eliza terus memanggil nama Erlan."Erlan, dasar bajingan. Kau licik, dengan perempuan kau berbuat curang. Kau tidak mampu melawanku, makanya menyuntikkan sesuatu, hingga membuatku tidak sadar. Dasar lemah! Lemah!" teriak Eliza. Setelah mengatakan itu, tidak lama Erlan datang dengan tatapan dinginnya."Lepaskan aku!" bentak Eliza memberontak kecil.Erlan menyeringai, "Akhirnya kau sadar juga," ucapnya kemudian melangkah mendekat."CK, setelah menggunakan cara licik, kau bangga begitu? Caramu tadi, menjelaskan kamu tidak mampu menghadapiku!" sergah Eliza menatap tajam."Oh ya? Padahal aku melakukannya, karena malas me
Mentari pagi yang bersinar dengan panasnya yang menyentuh kulit dengan lembut. Di meja makan Erlan tengah memotong daging salmon lalu memasukkan ke mulutnya. Sesekali melirik ke arah luar, seolah menunggu kedatangan seseorang."Menunggu Eliza?" ucap Evan terkesan mengejek sikap Erlan yang selalu berubah-ubah pada Eliza.Erlan tidak mengatakan apa-apa, dia tetap memasukkan suapan demi suapan daging salmon panggang ke mulutnya.Selesai makan Erlan menuju ruang tengah, barulah saat itu dia melihat Eliza keluar dari lift, hanya dengan menggunakan bathrobe menutupi tubuhnya.Erlan menatap tajam Eliza yang berjalan tertatih. Terlihat wajah Eliza masih tampak lelah, berusaha terlihat baik-baik saja, melewati Erlan dengan tatapan dingin dan tanpa mengatakan apa pun.Erlan geram, tidak suka dengan sikap tidak acuh wanita itu. Ia berbalik, langkahnya yang panjang menarik kasar tubuh Eliza hingga menabraknya."Kau mau apalagi?" ucap Eliza tenang dengan wajahnya yang tanpa ekspresi."Kenapa kau