Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.
Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah.Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun."Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.Erlan menyeringai, lalu bertepuk tangan, hingga sebuah layar muncul memperlihatkan kejadian yang berada di bawah tanah. Di mana Sean menghabisi beberapa anak buahnya.Eliza memejamkan matanya, "Sean. Berapa kali Kakak bilang, jangan berulah dulu," batinnya menatap adiknya.Eliza berjalan mendekat, menatap sedih pada adiknya yang diperlakukan lebih rendah dari seekor binatang. Langkah Eliza berhenti tepat di sebelah Sean.Erlan menyeringai, menunggu apa yang akan dilakukan Eliza. "Jangan melawannya Eliza. Ini belum saatnya. Adikmu harus diberi pertolongan," batin Eliza kemudian menjatuhkan tubuhnya, di samping Sean."Aku mohon, panggil dokter," ucap Eliza memohon.Eliza yang akan memohon tanpa meledakkan amarahnya, tentu diluar perkiraan Erlan. Ia sempat terkejut, tapi sesaat kemudian ekspresinya kembali normal.Erlan terdiam, tangannya yang berada di dagu sama sekali tidak berpindah. Matanya terus menyorot pada Eliza.Terpikirkan sesuatu, Erlan kembali menyeringai. Ia duduk dengan angkuhnya di sofa, ditemani para bawahannya yang berdiri di sisi dan bagian belakangnya."Evan panggil dokter," perintah Erlan.Evan melirik Erlan, matanya memicing, seolah ingin membaca isi pikiran Erlan. Sudah pasti akan ada suatu hal seru, jika Erlan dengan mudah menuruti permintaan musuhnya."Apa yang kau tunggu. Cepat telepon dokter!" perintah Erlan menatap tajam."Em, iya, baik," ucap Evan tidak ingin ambil pusing.Ia segera menjauh dan melakukan panggilan pada dokter yang sudah sangat dikenalnya.Setelah beberapa menit menunggu dalam keheningan. Dokter yang ditunggu telah datang."Kau kemari, duduk di pangkuanku!" perintah Erlan menepuk pahanya.Eliza mengangkat pandangannya menatap tajam Erlan. Enggan membantah yang mempersulit adiknya mendapat penanganan, Eliza menurut.Perlahan ia duduk di pangkuan Erlan. Tangan Erlan pun segera melingkar di pinggang ramping wanita itu."Dokter lakukan tugasmu," perintah Erlan, dengan tangannya yang mengusap lembut perut Eliza.Eliza memejamkan matanya, bukan karena menikmati apa yang dilakukan Erlan. Tapi, ia merasa jijik dan malu saat tubuhnya disentuh seperti itu, di hadapan banyak pria.Dokter yang melakukan pekerjaannya, dibantu beberapa bawahan. Sedangkan Erlan, semakin nakal, menyentuh setiap inci tubuh Eliza.Eliza menghentikan gerakan tangan Erlan, ia menatap tajam pria itu, dan Erlan membalasnya dengan tenang."Kau tidak ingin adikmu kenapa-napa kan?" bisik Erlan dengan lembut.Tubuh Eliza meremang, nafas hangat Erlan menyentuh kulitnya.Eliza memejamkan matanya, air matanya menetes, melepaskan tangan Erlan, membuat Erlan menyeringai, dan melanjutkan aksinya, tanpa peduli sekitarnya."Shit, Erlan tidak tau malu. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada gadis polos di depan mata kita," umpat Dante menyaksikan setiap perlakuan Erlan pada Eliza yang terlihat menahan malu.Bohong jika ia tidak berhasrat melihat itu. Tangisan dan lenguhan lembut Eliza sangat memancing dirinya. Jika dilihat tentu bukan hanya dirinya yang terlihat panas. Beberapa bawahannya juga terlihat berbisik, bahkan ada yang sudah melakukan dengan tangannya sendiri.Evan terkekeh, "Bukankah sudah biasa, kita melihat Erlan melakukan itu. Hanya saja kali ini pada gadis polos. Kau mau coba saja tawarkan diri. Biasanya Erlan juga berbagi wanita kan."Dante terdiam beberapa saat. Akankah Erlan membiarkannya bergabung? Sedangkan tadi pagi Erlan sudah menyatakan tidak akan berbagi."Apa salahnya mencoba," ucap Dante merasa tertantang.Dante bangkit dari duduknya menepuk punggung Erlan yang tengah menikmati dada Eliza.Erlan menghentikan aksinya, lalu menoleh, menatap dingin pada Dante. Sedangkan Eliza langsung menyembunyikan wajahnya di balik dada Erlan."Bolehkah aku bergabung, sepertinya ini sangat seru," pinta Dante.Erlan menaikkan sebelah alisnya, lalu menyeringai."Tentu boleh," ucap Erlan membuat Eliza membulatkan matanya. Ia langsung memberikan hantaman keras menggunakan lutut pada bagian bawah Erlan."Akh!" pekik Erlan menyentuh bagian bawahnya.Pria itu bahkan sampai terduduk di lantai karena rasa sakit yang menjalar. Eliza kemudian melompat ke belakang sofa, merapikan pakaiannya."Apa maksudmu membiarkannya menyentuhku? Aku tidak sudi, tidak akan pernah sudi disentuh dua pria sekaligus! Kau yang sudah menyentuhku, maka hanya kau yang boleh menyentuhku! Jangan membuatku seperti wanita hina, menawarkan tubuhku pada teman-temanmu, bajingan!" teriak Eliza penuh emosi. Ia mengambil sebuah guci dan melemparkannya pada Erlan, beruntung Dante berhasil menangkapnya, sehingga tidak mengenai Erlan yang tampak menahan rasa sakit di pangkal pahanya."Sekali lagi kau menawarkan ku pada teman-temanmu, kau akan melihat mayatku. Dengan begini, kau tidak akan bisa membuatku tersiksa lebih lama!" ucap Eliza dengan tatapan tajamnya memperingati Erlan yang juga menatapnya lembut dan terlihat menahan sakit."Kematian setidaknya jauh lebih baik, daripada melihatmu tertawa puas menyiksaku!" ucap Eliza kemudian berbalik meninggalkan tempat itu."Dia hanya ingin aku menyentuhnya," batin Erlan. Entah kenapa merasa tersanjung dengan kalimat sederhana itu."Akh!" Erlan kembali meringis kesakitan saat berusaha bergerak."Wah, apakah milikmu akan lumpuh setelah ini?" ledek Evan tertawa kecil melihat Erlan kesulitan berdiri."Bajingan berani kau menertawaiku!" bentak Erlan tidak terima."Hehe, sudah kukatakan, gadis itu mungkin polos dalam hal hubungan intim, tapi bukan untuk hal mustahil gadis itu yang membunuhmu nanti. Dia cukup kuat untuk melawanmu. Kau yang terlalu meremehkannya," ledek Evan sama sekali tidak merasa bersalah, ataupun takut.Erlan berdecak, tidak menanggapi Evan, ia melirik dokter yang memeriksa Sean."Apa yang kau lihat! Obati aku dulu!" sungut Erlan kesal.Menahan rasa sakit yang ada, Erlan menumpu tangannya, hingga ia bisa duduk dengan sendirinya di sofa."Ah, shit! Milikku tidak pecah, kan? Hanya benda ini yang tersisa untuk meneruskan keturunanku," batin Erlan harap-harap cemas pada batang miliknya.Erlan memejamkan matanya, berusaha tetap tenang, menetralisir rasa sakit yang ada. Hentakkan lutut Eliza, sungguh membuat seluruh tubuhnya bergetar seperti merasakan sengatan listrik yang luar biasa.Dokter benar-benar beralih memeriksa kepemilikan Erlan. Saat dibuka, lagi-lagi Evan tertawa keras melihat milik Erlan yang memerah."Jika itu patah, kau tidak akan bisa memiliki anak. Hehe, kau harusnya mendengarku. Sudah tau dia anak Aiden Martinez, malah macam-macam dengannya," ucap Evan tiada hentinya meledek Erlan."Jika milikku patah, lehermu yang akan kupatahkan!" sergah Erlan tajam.Eliza mengusap lembut rambut adiknya yang kini wajahnya terbakar akibat cairan alkohol.Air mata wanita itu jatuh berlinang, merasakan sakit luar biasa melihat adiknya seperti sekarang ini."Sean, kenapa kamu terus memberontak sih. Sekarang Daddy sudah tidak ada, melindungi kita," ucap Eliza terisak-isak kecil."Tolong, jangan buat pengorbanan kakak sia-sia," lanjut Eliza mencium kening Sean yang bagian terbakar. Ia sama sekali tidak merasa jijik dengan luka adiknya itu.Pintu kamar tiba-tiba terbuka, tanpa ada ketukan sama sekali. Membuat Eliza menoleh dengan perasaan kesal. Terlihat di sana ada Evan yang menatapnya tajam."Apa kau tidak punya sopan santun! Kenapa di tempat ini, semua orang tidak punya sopan santun dan rasa peduli sama sekali. Kalian semua bajingan!" ucap Eliza kesal.Evan bersedekap dada, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Eliza."Nona Martinez, Tuan kami memanggilmu," ucap Evan."Mau apa lagi dia?" sentak Eliza kesal, namun tetap bangkit untuk mengikuti
Di meja makan, tanpa peduli ocehan Clara yang mengusir Eliza, yang tengah makan dan menyuapi adiknya dengan sarapan yang disiapkan untuk Tuan mereka."Nona Martinez, kau di sini hanya pelayan yang jauh lebih rendah dari pelayan. Jadi, menyingkir dari kursi Tuan kami!" ucap Clara dengan tegas dan tajam."Pria jelek itu adalah Tuan kalian, bukan Tuan-ku. Aku tidak takut dengannya, terlebih dia sudah melukai adikku. Lagipula apa yang ku makan ini, tidak seberapa dari harta keluargaku yang dia curi," ucap Eliza begitu santai menikmati makannya.Clara menggeram, tidak terima Tuan-nya dihina. Ia menatap tajam Eliza dan mulai menekan setiap katanya memperingati wanita itu. "Eliza Martinez. Harusnya kau ingat, kau berada di mana!" Eliza diam, perlahan menatap tajam pada Clara. Saat melihat Clara, ia juga melihat Erlan dan Evan yang berjalan ke arah mereka."Sejak orang tuaku mati di tangannya, sejak saat itu aku tidak takut mati. Aku sudah mempersiapkan diri, menghadapi hari ini, jauh dari h
Erlan menumpu wajahnya dengan telapak tangannya.Wajah Eliza terus terbayang dalam benaknya. Dan itu semuanya semakin membuatnya takut. Takut akan jatuh dalam pesona Eliza, dan dijebak oleh gadis itu."Jangan sampai kau terjebak dalam pesonanya. Bisa saja dia memiliki niat menjatuhkanmu nanti. Dilihat-lihat dia sangat pandai bersandiwara. Pikirannya tidak mudah ditebak," ucap Dante beberapa menit lalu memperingatinya."Aku juga merasa seperti itu. Tadi aku mengatakan, dia sengaja melakukan itu agar kau menyukainya. Bukannya mengelak dia malah mengiyakan, tapi wajahnya malah kayak ngeledek, orang seperti itu, sulit kita tebak, apa yang akan dilakukannya. Orang sepertinya sangat mengerikan," timpal Evan membuat Erlan semakin pusing mengingat hal itu."Ah, shit!" Erlan mengacak rambutnya frustasi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Erlan, "Masuk!" seru Erlan dengan intonasi suaranya yang tegas.Seorang wanita dengan pakaian atas berwarna putih ketat dan tipis dengan dua kancing atasny
Kedatangan Erlan membuat suasana di tempat itu semakin mencekam. Aura kemarahan luar biasa membuat semua orang terdiam, menunduk, dan gemetar. Tapi, pancaran kemarahan Erlan tidak membuat Sean takut. Pria kecil itu tidak memindahkan ujung pistolnya sama sekali.Erlan mengeraskan rahangnya, ia memasukkan peluru pada pistolnya, dengan cepat mengarahkan pada Eliza."Apa kau ingin kakakmu mati?" ucapnya dengan dingin.Sean sama sekali tidak gentar, "Aku memang berencana membawa kakak dalam kematian. Lebih baik kami mati, mengakhiri keturunan keluarga Martinez daripada harus hidup menderita akibat penyiksaanmu Erlan Rodriguez!"Sean kemudian menyeringai, tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya. "Tapi, sebelum aku mati, tentu aku ingin membuatmu merasakan kehilangan lebih dulu.""Bajingan!" hardik Erlan mencengkram kuat leher Eliza."Akan ku bunuh kakakmu!" Eliza diam, dadanya membusung, kesulitan bernafas. Sean segera bertindak. "Kakak maafkan aku, semoga di kehidupan selanjutnya kit
"Di mana adikku Erlan!" sergah Eliza yang berada di tangga, menatap tajam Erlan yang baru pulang setelah seharian pergi, setelah kejadian Talon dan Sean meninggal.Erlan yang baru pulang dengan wajah kusut, lelah, menatap dingin Eliza. Kondisi Erlan dan Eliza tidak jauh beda. Kantung mata yang besar dan wajah yang sembab. Keduanya sama-sama merasa kehilangan. Tapi, terlihat kondisi Erlan jauh lebih parah. Pakaian yang tidak diganti, bau amis darah yang menyeruak, tapi terlihat pria itu baik-baik saja. Serta seluruh pakaiannya terlihat setengah basah."Jangan menampakkan wajahmu seolah kaulah korban! Kau yang mulai ini semua! Adikku masih kecil, kau menyiksanya tentu dia melawan. Sekarang, di mana jasad adikku, Erlan Rodriguez!" teriak Eliza menciptakan gema suara dalam ruangan."Berhenti, berteriak di tempatku, sialan!" balas Erlan dengan suara menggelegar, menciptakan pantulan suara setiap ruangan.Eliza terdiam beberapa saat, bukan takut, tapi ia benar-benar melihat perasaan Erla
Tepat dua jam tidak sadarnya Eliza. Gadis itu kini menggeliat, saat ia menarik tubuhnya ia merasakan dirinya terikat.Eliza sontak membulatkan matanya, "Apa ini." Eliza mencoba memberontak menarik-narik tangannya."Akh, Erlan! Di mana kau!" teriak Eliza menatap sekitar, melihat beberapa benda tajam, senjata dan cambuk di sebuah meja. Tapi, itu tidak membuat Eliza gentar. Eliza terus memanggil nama Erlan."Erlan, dasar bajingan. Kau licik, dengan perempuan kau berbuat curang. Kau tidak mampu melawanku, makanya menyuntikkan sesuatu, hingga membuatku tidak sadar. Dasar lemah! Lemah!" teriak Eliza. Setelah mengatakan itu, tidak lama Erlan datang dengan tatapan dinginnya."Lepaskan aku!" bentak Eliza memberontak kecil.Erlan menyeringai, "Akhirnya kau sadar juga," ucapnya kemudian melangkah mendekat."CK, setelah menggunakan cara licik, kau bangga begitu? Caramu tadi, menjelaskan kamu tidak mampu menghadapiku!" sergah Eliza menatap tajam."Oh ya? Padahal aku melakukannya, karena malas me
Mentari pagi yang bersinar dengan panasnya yang menyentuh kulit dengan lembut. Di meja makan Erlan tengah memotong daging salmon lalu memasukkan ke mulutnya. Sesekali melirik ke arah luar, seolah menunggu kedatangan seseorang."Menunggu Eliza?" ucap Evan terkesan mengejek sikap Erlan yang selalu berubah-ubah pada Eliza.Erlan tidak mengatakan apa-apa, dia tetap memasukkan suapan demi suapan daging salmon panggang ke mulutnya.Selesai makan Erlan menuju ruang tengah, barulah saat itu dia melihat Eliza keluar dari lift, hanya dengan menggunakan bathrobe menutupi tubuhnya.Erlan menatap tajam Eliza yang berjalan tertatih. Terlihat wajah Eliza masih tampak lelah, berusaha terlihat baik-baik saja, melewati Erlan dengan tatapan dingin dan tanpa mengatakan apa pun.Erlan geram, tidak suka dengan sikap tidak acuh wanita itu. Ia berbalik, langkahnya yang panjang menarik kasar tubuh Eliza hingga menabraknya."Kau mau apalagi?" ucap Eliza tenang dengan wajahnya yang tanpa ekspresi."Kenapa kau
Semenjak mengetahui adiknya dibuang ke laut dan menjadi santapan hiu. Eliza menjadi pemberontak dengan sikap anggunnya yang tidak takut dengan apa pun.Aturan yang dibuat Erlan semuanya dilanggar. Apa yang tidak disukai Erlan dilakukan oleh Eliza."Berhenti membuatku marah Eliza Martinez!" teriak Erlan yang selalu berhasil dibuat marah Eliza.Eliza bersedekap dada, "Ups, maaf ya. Tapi, foto-foto ini terlalu jelek di mataku. Aku pusing melihatnya," ucap Eliza kemudian menginjak foto keluarga Rodriguez."Eliza Martinez, sebaiknya jaga sikapmu!" geram Clara ikut merasa kesal dengan kelakuan aneh Eliza akhir-akhir ini.Eliza bersedekap dada. Wajahnya terlihat santai, tanpa emosi sama sekali."Aku sudah tinggal di sini. Meski bukan sebagai tamu, bawahan tapi foto ini sangat jelek bagiku. Jadi, buang sayalah," ucap Eliza semakin, menginjak kini berdiri di atas foto yang sudah pecah hanya dengan beralaskan sandal rumah. Erlan memejamkan matanya, hembusan nafas kasarnya terdengar berat berusa
"Wah, sangat indah," ucap Eliza penuh kekaguman berjalan-jalan di tengah taman yang dikelilingi bunga, dan terdapat sungai kecil di sisinya.Erlan tersenyum, menyamai langkah Eliza dengan tenang, damai, dan perasaan yang hangat."Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta dengannya," batin Erlan menatap Eliza yang tersenyum manis menatap sekitar.Semakin mereka masuk dalam taman. Dari kejauhan mereka melihat sebuah acara kecil. Di mana ada seorang pria tengah melamar kekasihnya. Pancaran kebahagiaan tersorot jelas di mata wanita itu. Eliza terdiam, senyumnya perlahan memudar, menatap tajam pada pasangan yang tengah berbahagia. Perlahan tangannya mengusap perut buncitnya. Bibirnya diam, namun batinnya sedang beradu. "Aku bahkan hamil anak musuh keluargaku. Aku juga masih muda. Rasanya tidak ada harapan untukku menjalin kasih dan menikah. Terbebas darinya saja rasanya mustahil." Eliza menghela nafas. Melanjutkan langkahnya dengan hati yang berat. Erlan yang melihat itu, seolah bisa mema
Hari ini, waktunya Eliza memeriksa kandungannya. Tidak ada raut bahagia sama sekali di wajah wanita itu. Bahkan terkesan dingin menatap layar yang memperlihatkan hasil USG perutnya.Berbeda dengan Erlan yang terlihat serius dan antusias mendengar perkembangan anaknya."Tolong jaga kandungannya. Tetap minum vitaminnya. Kurangi minum-minuman berkafein, apalagi sampai minum alkohol," jelas sang dokter pada Eliza yang justru mengalihkan pandangannya, mengacuhkan, seolah tidak peduli.Erlan menghela nafas, beberapa kali Eliza memang minum anggur jika ia membantah permintaan wanita itu, dan sekarang kandungan Eliza sedikit bermasalah. Dan jika terus mengkonsumsi makanan yang dilarang, bisa-bisa anaknya tidak selamat. Kalaupun selamat akan cacat.Erlan tidak ingin hal itu terjadi. Dengan tekad kuat, ia memilih akan terus mengalah dan menuruti Eliza yang keras itu."Ingin makan sesuatu?" tanya Erlan setelah mereka berada dalam mobil. "Aku ingin makan ayam goreng," jawab Eliza sembari mengusa
Dor ....Di saat frustasi Dante. Erlan dengan gesit menekan pedal pistolnya dan menghancurkan remote bom serta jemari Dante.Tidak ada lagi hal mengancam. Erlan melempar pistolnya. Menggerakkan lehernya hingga terdengar suara keretek. Begitupun pada jemari tangannya.Di tengah tubuhnya yang lemas, sekuat tenaga Dante melawan Erlan yang menghujaninya pukulan dan tendangan tanpa celah.Sedangkan yang lainnya hanya melihat, menunggu perintah dari Erlan.Suara erangan Dante di tengah gelap dan dinginnya malam, tidak membuat Erlan merasa kasihan. Pria itu bahkan terus menyerang, dan tersenyum puas saat darah terpercik ke wajahnya.Saat Dante pingsan pun, Erlan masih menendang kuat perut pria itu."Selesai. Bawa dia ke markas, dan penjarakan dia," perintah Erlan kembali menaiki helikopter yang akan membawanya kembali ke mansion. Pria itu menatap tangannya yang penuh darah, tapi terlihat tidak peduli, bahkan tidak ada niatan untuk membersihkannya lebih dulu.Sementara itu Eliza yang meliha
Erlan masih terpojok. Ia mempertimbangkan saran Eliza untuk langsung membunuh. Ada rasa tidak rela, tapi ia lebih tidak rela jika Eliza dan mansion yang telah ia bangun kembali susah payah hancur begitu saja.Erlan yang bersembunyi di balik para bawahannya saat bicara, melangkah maju. Menatap dingin Dante yang berusaha bertahan dengan ancamannya."Erlan Rodriguez, meski kau sudah menghubungi orang di mansionmu untuk keluar, itu belum melepaskan kekhawatiranmu kan? Aku tau, Erlan, bagaimana usahamu membangun kembali mansion tempat keluargamu dibakar hidup-hidup," ucap Dante terkekeh puas melihat Erlan yang tidak bisa berkutik.Rahang Erlan mengeras, tangannya mengepal. "Aku sudah mempercayaimu. Namun, kau mengkhianatiku! Apa yang kulakukan selama ini untukmu apa kurang!" teriak Erlan penuh emosi.Dante terkekeh, "Kau pasti sudah tau. Aku bukan bawahanmu, tapi mata-mata yang akan mengirim informasi penting Erdez Black. Kau harusnya berterima kasih, karena aku tidak memberi informasi pad
"Shit, bagaimana bisa dia menemukanku?" Dante melompat keluar, dengan cara menggulung tubuhnya. Beruntung ia menggunakan pakaian anti peluru, hingga dirinya hanya mengalami luka kecil.Yang ia tau, Erlan akan membiarkannya hidup untuk menyiksanya, dan dia sudah menyiapkan langkahnya jika menghadapi hal ini.Lima buah helikopter mendarat dari berbagai sisi, menghalangi Dante yang berdiri seorang diri di tengah-tengah.Erlan melompat dari helikopter, menatap dingin pada sosok pria yang telah mengkhianatinya."Bersiaplah, hidup di neraka pengkhianat!" ucap Erlan dengan lantang.Dante membalas tatapan tajam Erlan tanpa rasa takut. Ia menyeringai, paham dengan kondisinya yang pasti terdesak. Ia langsung memperlihatkan sebuah remote di tangannya.Erlan membulatkan matanya, menatap tajam.Dante terkekeh, "Sekali ku tekan, seluruh penghuni mansion-mu akan meledak, booom!" ucapnya menyeringai.Erlan mengeratkan rahangnya, pikirannya langsung tertuju pada Eliza."Meski aku menyukai Eliza tapi
Erlan memasukkan beberapa buah peluru pada pistolnya. Tatapan dinginnya menatap bangunan megah yang merupakan kediaman Dante."Pengkhianat sialan. Hari ini, adalah hari pertama kau akan hidup di neraka," batin Erlan menurunkan kakinya saat pintu mobilnya di buka."Aku benar-benar tidak menyangka. Eliza bisa menemukan detail pengkhianatan Dante, hingga hal terkecil pun. Bahkan Dante sudah menjual informasi kita sejak delapan tahun lalu," ucap Evan setelah selesai membaca hasil awal pengkhianatan Dante. Entah bagaimana cara Eliza hingga menemukan sedetail itu, serta bukti yang lengkap. Hal itu sangat mengesankan."Ya, kemampuannya dalam mencari informasi dunia IT sangat luar biasa. Dan jika kau berani melakukan hal sama, apa yang akan kulakukan pada Dante, jauh lebih mengetikkan untukmu," ucap Erlan menatap dingin punggung Evan. Dante masih bisa membuatnya tidak meledak. Tapi, Evan, pria yang sudah lebih dari bawahannya dan seorang sahabat. Mereka tumbuh bersama, dalam didikan yang sam
Dante menggebrak meja, lalu pergi dari sana, tanpa menyelesaikan makannya. Garis senyum timbul di wajah Eliza memandang kepergian Dante. Ia menyampirkan anak rambutnya dengan bangga telah membuat Dante kesal.Erlan meliriknya. Menatap tajam wanita itu, mencari tau, sebenarnya apa yang ada dipikiran wanita itu."Kenapa?" tanya Eliza merubah ekspresi wajahnya dalam sekejap. Alisnya terangkat sebelah.Erlan menggelengkan kepalanya. Tak ingin pusing, memilih diam. Karena ia tau, tidak akan bisa menebak isi pikiran wanita itu.**Erlan menatap lembut pada wanita yang tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang lelap tertidur, begitu menyenangkan untuk dipandang. Terlebih terlihat Eliza seperti wanita lembut yang penurut. Sayangnya setelah bangun, Eliza akan berubah dingin dan membantah.Tangan Erlan terulur, menyentuh wajah Eliza. Wanita itu menggeliat, sedikit melenguh, menepis tangan Erlan dengan pelan dan kembali tertidur."Sial sekali. Kenapa aku bisa mencintaimu Eliza Martinez? Kenap
Erlan turun untuk menikmati makan malamnya, sembari mencari keberadaan Eliza yang sejak tadi tidak kembali. Langkahnya yang lebar, menjadi pelan kala melihat Eliza turut membantu menata makanan di atas meja.Sedangkan Dante terlihat duduk manis di salah satu kursi meja makan, sembari matanya terus mengikuti Eliza bergerak.Erlan menarik kursi khusus untuknya. Duduk menatap dingin pada Dante."Kenapa kau masih di sini? Apa kau terlalu bersantai? Haruskan aku memberimu pekerjaan?" ucap Erlan sudah jelas mengusir Dante dari kediamannya.Dante menaikkan sebelah alisnya. Menyinggung senyumnya tanpa rasa takut."Aku ingin makan di sini. Aku ingin mencicipi masakan Eliza," ucap Dante tanpa keraguan sedikitpun.Erlan mengerutkan keningnya, lalu melirik wanita yang tengah mengandung anaknya itu, tengah membawa segelas susu di tangannya.Eliza, hanya melirik Erlan. Lalu duduk di samping pria itu, menikmati susunya."Em, aku suka rasa ini. Beli rasa seperti ini saja," ucap Eliza pada Erlan.Er
Erlan membuka pintu kamar Eliza. Melihat wanita itu tengah tertelungkup dan terdengar isak tangisnya.Pria pemilik mansion itu mendekat. Duduk dengan lembut di sisi kasur besar dalam kamar tersebut. "Kau marah?" tanya Erlan dengan lembut.Erlan memejamkan matanya, mengumpati dirinya sendiri. Menyadari, ia merasa bersalah. Tidak bisa dipungkiri, ia juga sudah merasa jatuh cinta. Meski ribuan kali berusaha menepis dengan ucapannya."Kau membunuh Milo," ucap Eliza dengan isakan tangisnya yang terdengar jelas.Erlan memejamkan matanya, "Aku belikan. Tapi, kamu tidak boleh menyentuhnya langsung. Hanya boleh dilihat saja," tawar Erlan.Eliza terdiam. Ia yang membelakangi Erlan perlahan menoleh, dan terlihatlah tatapan tulus pria itu."Tapi, kenapa kau membunuh Milo? Dante—." Ucapan Eliza terpotong karena Erlan bersuara menyentak dan ketus."Jangan menyebut nama pria itu atau pria-pria lainnya!" Eliza terdiam. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia kembali memunggungi Erlan. "Dante bisa bersika