"Katakan, apa yang kamu inginkan? Jangan pernah kau melukai adikku!" ucap Eliza menatap tajam pada Erlan yang tengah menatapnya dengan senyum angkuhnya.
"Turuti apa pun yang kukatakan maka adikmu akan baik-baik saja. Sekali kau melawan, sepuluh cambukan akan melayang di tubuhnya," ucap Erlan menyeringai.Eliza mengepalkan tangannya, giginya saling bergesekan kuat menahan rasa geramnya. Pria di depannya yang merupakan musuh dari keluarganya dan telah membantai habis seluruh keluarga besarnya, hingga hanya menyisakan dirinya dan adiknya Sean."Kakak jangan pedulikan aku. Bunuh saja dia, dia sudah membunuh Daddy!" teriak Sean berusaha memberontak dari jeratan bawahan Erlan.Erlan terkekeh, mendengar penuturan polos Sean. Erlan bergerak mendekati Sean."Jangan menyakiti adikku Erlan Rodriguez!" bentak Eliza.Erlan benar-benar berhenti, lalu berbalik menatap Eliza dengan seringaian jahat terukir di wajahnya.Perlahan ia mengeluarkan pisau kecil lalu mengulurkannya ke leher Sean."Erlan, aku bilang jangan melukai adikku, bajingan!" teriak Eliza memberontak. Hingga bawahan Erlan semakin mengeratkan jeratannya."Kau cukup manis, aku suka gadis-gadis kecil sepertimu. Masuk ke kamar, dan layani aku, maka akan kulepaskan adikmu. Tapi, jika kau menolak, kau akan melihat dia mati dihadapanmu," ucap Erlan dengan seringaian nakal di wajahnya, juga tatapannya yang seolah tertarik dengan Eliza.Eliza membulatkan matanya, merasa jijik, atas apa yang diucapkan Erlan. Tapi, jika ia menolak, bagaimana dengan adiknya? Eliza tau, ancaman Erlan yang akan membunuh Sean di depannya bukanlah ancaman sekedar menggertak."Kakak jangan mau!" ucap Sean.Kau bajingan, jika kau berani menyentuh kakakku, aku akan membunuhmu!" teriak Sean berusaha melawan, sembari menatap tajam pada Erlan yang tampak begitu tenang.Erlan tenang, tapi detik berikutnya, tamparan keras mendarat di pipi Sean."Sean!" pekik Eliza terkejut, ia berusaha memberontak, tapi tenaga tetap tidak bisa mengalahkan empat pria pria yang menahan pergerakannya."Lepaskan aku sialan!" sentak Eliza."Erlan, sudah kubilang jangan menyakiti adikku!"Eliza menarik tangannya, mengabaikan rasa perih akibat terus melawan."Lepaskan dia!" perintah Erlan, membuat Eliza sontak tersungkur karena berusaha melawan dan malah dilepaskan tiba-tiba.Saat akan bangkit menyerang Erlan. Pria itu kembali meletakkan pisau kecilnya di leher Sean."Semakin lama kau berpikir, semakin kuat aku memukul adikmu. Aku beri kau waktu lima detik untuk berpikir," ucap Erlan dingin.Eliza melotot, nafasnya memburu, menatap tajam pada Erlan. Rasanya tidak sudi dia disentuh oleh orang yang telah membunuh keluarganya. Tapi, satu-satunya keluarganya sekarang sedang menjadi tawanan untuk mengancam dirinya."Kakak jangan—," Sean dengan nafas tersengal berusaha untuk bicara, menahan rasa sakit di pipinya."Dian kamu Sean! Ini semua gara-gara kamu. Andai saja kamu tidak bertindak ceroboh, kita tidak akan ada di sini!" bentak Eliza dengan air mata di pelupuk mata, membuat Sean mengatup mulutnya.Air mata Eliza jatuh, menatap tajam Erlan yang sama sekali tidak tergerak untuk melepaskan mereka."Oke, aku harus ke kamar mana?" tanya Eliza dengan suara yang sedikit merendah, dan hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi.Erlan tersenyum puas. Ia kemudian melirik bawahan wanitanya, untuk mengantar Eliza ke kamarnya."Kau sudah tau apa yang harus dilakukan?""Ya Tuan."Wanita berpakaian serba hitam itu membungkuk, lalu mendekati Eliza. "Ayo ikut saja Nona," ucapnya.Eliza menghela nafas. Melirik Sean yang menggelengkan kepalanya, berharap Eliza tidak pergi.Eliza membalikkan tubuhnya, mengikuti langkah wanita tadi yang memasuki lift dan naik ke lantai atas."Bajingan, lepaskan kakakku! Jangan pernah kau menyentuhnya!" ucap Sean penuh penekanan.Erlan bersedekap dadanya menatapnya sinis, "Kau masih kecil. Benar kata kakakmu, kau ceroboh! Jadi, terimalah konsekuensinya."Erlan mencengkram dagu Sean dengan kuat, "Kakakmu cukup manis, akan kubuat dia meminta ampun di bawah kukunganku."Cuih!Sean yang geram, meludahi wajah Erlan. Erlan geram, mengusap kasar wajahnya."Berani sekali kau!" geram Erlan melayangkan tamparannya lebih kuat untuk kedua kalinya."Kurung dia di bawah tanah, dan jangan memberinya makan tanpa perintah dariku!"Dua tamparan di wajah Sean, membuat pria itu juga kehilangan kesadarannya. Tubuhnya diseret tanpa perlawanan.Wajah kesal Erlan berubah menyeringai, "Tidak ada ampunan bagi kalian keluarga Martinez," ucap Erlan menyisir rambutnya ke belakang."Erlan, apa kau serius ingin menyentuh wanita itu?" tanya Evan mendudukkan tubuhnya dengan santai di sofa."Tentu. Ini akan menjadi hukuman paling indah untuk keluarga Martinez," ucap Erlan dengan tatapan dinginnya, meraih sebotol anggur di atas meja dan meneguknya langsung dari botol.Setelah menghabiskan lebih dari satu botol anggur. Suhu tubuh Erlan sudah meningkat, tapi ia masih cukup sadar. Pria itu melonggarkan kemejanya. Kembali meneguk anggur ke mulutnya untuk terakhir kalinya. Ia tidak ingin sampai mabuk, ia ingin menyiksa Eliza secara sadar.Erlan melangkah menuju lift, menekan tombol yang akan membawanya ke lantai paling atas.Sesampainya di lantai atas, ia melangkahkan kakinya dengan tenang, "Di mana dia?" tanya Erlan pada wanita bersama Eliza tadi."Dia ada di dalam Tuan. Kami sudah mendandaninya," ucap wanita itu menunduk hormat.Erlan berdehem, ia membuka pintu kamar dan langsung menutupnya. Wanita berpakaian serba hitam bernama Clara menghela nafas, menatap nanar pada pintu kokoh yang tertutup rapat."Aku yang sudah bersamanya sudah bertahun-tahun tidak pernah diajak tidur bersama. Kenapa, gadis kecil musuhnya, ia langsung tertarik," batinnya merasakan cemburu.Clara sudah lama menyimpan rasa pada Tuan-nya. Berbagai bentuk perhatian manis pun diungkapkan, tapi Erlan tidak pernah menganggapnya.Di dalam sana. Eliza yang hanya memakai lingerie tipis duduk di atas kasur, terdiam dengan nafas memburu takut setelah melihat Erlan yang menatapnya dengan tatapan buas."Berjanjilah kau akan melepaskan aku dan adikku setelah ini," ucap Eliza dengan suara bergetar takut. Untuk pertama kalinya ia merasakan ketakutan.Erlan memiringkan kepalanya, dengan senyumnya yang menyeringai. Ia kemudian terkekeh merasa ia akan memiliki mainan baru."Aku tidak pernah berjanji seperti itu Nona. Kau akan menjadi wanita pemuasku hingga mati," ucap Erlan menyeringai membuat Eliza membulatkan matanya."Ka-kalau begitu cukup adikku. Cukup adikku yang kau lepaskan!" Eliza mulai bangkit dari kasur, merasa kesepakatannya tidak sesuai yang diinginkan."Oh, adikmu akan terus menjadi tawananku untuk mengancammu," ucap Erlan mendudukkan tubuhnya pada kasur, Eliza semakin berjalan menjauh."Kemari, duduk dipangkuan ku jika kau ingin adikmu selamat," ucap Erlan menepuk pangkuannya.Eliza memejamkan matanya, tidak berani mendekat."Aku tidak suka menunggu. Cepat ke sini!" sentak Erlan memberikan tatapan tajamnya yang juga mengancam Eliza.Tidak ada pilihan, selain Eliza menurut. Gadis itu berjalan mendekat dengan langkah yang pelan dan gemetar, membuat Erlan menyeringai."Dari rasa takutmu, sepertinya kau masih perawan, apa kau bahkan belum pernah berciuman?"Nafas Erlan semakin memburu semangat. Melihat Eliza berjalan takut padanya, justru berhasil meningkatkan hasratnya."Te-tentu saja tidak. A-aku sudah beberapa kali melakukannya dengan pacarku," kelit Eliza gugup dan berbohong, namun sama sekali tidak bisa menyembunyikan kebohongannya dari wajahnya.Erlan terkekeh, "Oh ya kalau gitu, aku lihat saja dan nilai, sudah seberapa luas lubangmu."Eliza memejamkan matanya, kini ia sudah duduk dipangkuan Erlan. Tangannya mengepal dengan kuat, bayangan adiknya membuatnya menahan untuk tidak memukul Erlan.Erlan melingkarkan tangannya di pinggang Eliza, "Ingat untuk patuh setiap perintahku, atau ...."Erlan tidak melanjutkan ucapannya, ia menekan sebuah tombol. Dari langit-langit kamar turun sebuah layar lebar yang tergantung. Saat tv itu menyala terlihat adiknya yang tangan dan kakinya diikat menggantung."Itu, kau!" pekik Eliza hendak beranjak dari pangkuan Erlan, namun ditahannya.Eliza menatap tajam pada Erlan."Kenapa kau mengikat adikku!" geram Eliza."Shhuttt!" Erlan meletakkan telunjuknya di bibir Eliza."Sudah ku bilang jangan membantahku, atau adikmu ...." Erlan tidak melanjutkan ucapannya, dia tersenyum, dan cukup membuat Eliza paham.Nafas, Eliza memburu menahan kekesalannya."Ayo buka bajuku," ucap Erlan.Tangan Eliza bergetar, perlahan menyentuh kancing baju Erlan, membuat pria itu memejamkan matanya.Entah kenapa sentuhan Eliza membuatnya terlena. Erlan membuka matanya, dan melihat wajah Eliza yang sudah cukup pucat membuatnya menyinggung senyumnya."Kenapa harus Aiden Martinez yang memiliki anak selucu dan semanis ini," batin Erlan merasa gemas dengan tingkah Eliza.Erlan menggelengkan kepalanya, "Ingat dia anak musuhmu. Kamu harus menyiksanya Erlan," batin Erlan, kemudian menarik kasar tangan Eliza dan menghempaskan tubuh kecil gadis itu ke kasur.Tidak membiarkan Eliza sekedar terpekik. Erlan meraup kasar bibir ranum Eliza yang sudah sejak awal menggoda baginya."Eem," lenguh Eliza berusaha memberontak. Air mata Eliza jatuh, selain karena sakit, tapi juga merasa tidak terima saat tubuhnya disentuh oleh musuhnya."Daddy," batin Eliza berharap ada sebuah keajaiban. Pahlawannya, cinta pertamanya datang menyelamatkannya.Eliza hanya bisa diam, menahan rasa sakit yang diberikan Erlan
Eliza menyeret langkahnya memasuki lift dan turun ke lantai satu. Ia baru bangun setelah pukul 10, dan yang pertama ingin dicarinya adalah adiknya."Ah, kenapa sakit sekali?" batin Eliza menyentuh perutnya yang terasa perih."Oh, kau sudah bangun. Sepertinya kau cukup kesakitan, apa Erlan menyetubuhimu secara kasar?" Dante datang mendekati Eliza yang duduk di lantai karena tidak mampu untuk berdiri."Aku dengar kau juga masih perawan. Erlan benar-benar beruntung bisa merasakannya dari gadis manis sepertimu," lanjut Dante tersenyum menyeringai menatap Eliza yang kesakitan tanpa niat ingin membantu.Eliza menahan rasa sakitnya, berusaha untuk berdiri. Ia menatap Dante dengan tajam."Kau masih bertanya bajingan itu memperlakukanku baik atau buruk. Padahal sudah jelas, keluarga Rodriguez adalah penjahat bagi para gadis. Dulu Daddy-nya yang merudapaksa kakakku yang masih kecil hingga meninggal, sekarang anaknya yang melakukan padaku, memang keluarga bajingan!" ucap Eliza dengan tatapan taj
Selesai makan Eliza dan Sean kembali dipisahkan. Sean yang dikurung, Eliza dibebaskan. Dibebaskan bergerak dalam artian, dia harus menjadi pelayan. "Akan kubunuh singa itu!" Ancam Eliza saat melihat dua ekor singa dewasa dalam kandang."Kau berani membunuhnya, kau akan melihat adikmu mati dengan cara lebih mengenaskan," ucap Erlan sembari menikmati secangkir kopi dan terus menatap tajam Eliza yang kini memakai pakaian pelayan.Eliza menghentakkan kakinya. Ia kembali mengayunkan tangannya, membersihkan halaman belakang yang terdapat beberapa kandang hewan buas, dan lapangan yang diperuntukkan olahraga bola."Bagaimana aku membersihkan halaman belakangmu yang luas ini? Kau ini bisa memanusiakan orang tidak sih?" sergah Eliza.Erlan terkekeh, meneguk kopi hitam miliknya dengan nikmatnya."Aku bisa memanusiakan orang. Tapi, tidak dengan anak keturunan keluarga Martinez," jawab Erlan dengan santainya.Eliza menghela nafas, ia kemudian mendekati Erlan, dengan santainya duduk di kursi berh
Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun."Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.Erlan menyeringai, lalu bertepuk tanga
Eliza mengusap lembut rambut adiknya yang kini wajahnya terbakar akibat cairan alkohol.Air mata wanita itu jatuh berlinang, merasakan sakit luar biasa melihat adiknya seperti sekarang ini."Sean, kenapa kamu terus memberontak sih. Sekarang Daddy sudah tidak ada, melindungi kita," ucap Eliza terisak-isak kecil."Tolong, jangan buat pengorbanan kakak sia-sia," lanjut Eliza mencium kening Sean yang bagian terbakar. Ia sama sekali tidak merasa jijik dengan luka adiknya itu.Pintu kamar tiba-tiba terbuka, tanpa ada ketukan sama sekali. Membuat Eliza menoleh dengan perasaan kesal. Terlihat di sana ada Evan yang menatapnya tajam."Apa kau tidak punya sopan santun! Kenapa di tempat ini, semua orang tidak punya sopan santun dan rasa peduli sama sekali. Kalian semua bajingan!" ucap Eliza kesal.Evan bersedekap dada, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Eliza."Nona Martinez, Tuan kami memanggilmu," ucap Evan."Mau apa lagi dia?" sentak Eliza kesal, namun tetap bangkit untuk mengikuti
Di meja makan, tanpa peduli ocehan Clara yang mengusir Eliza, yang tengah makan dan menyuapi adiknya dengan sarapan yang disiapkan untuk Tuan mereka."Nona Martinez, kau di sini hanya pelayan yang jauh lebih rendah dari pelayan. Jadi, menyingkir dari kursi Tuan kami!" ucap Clara dengan tegas dan tajam."Pria jelek itu adalah Tuan kalian, bukan Tuan-ku. Aku tidak takut dengannya, terlebih dia sudah melukai adikku. Lagipula apa yang ku makan ini, tidak seberapa dari harta keluargaku yang dia curi," ucap Eliza begitu santai menikmati makannya.Clara menggeram, tidak terima Tuan-nya dihina. Ia menatap tajam Eliza dan mulai menekan setiap katanya memperingati wanita itu. "Eliza Martinez. Harusnya kau ingat, kau berada di mana!" Eliza diam, perlahan menatap tajam pada Clara. Saat melihat Clara, ia juga melihat Erlan dan Evan yang berjalan ke arah mereka."Sejak orang tuaku mati di tangannya, sejak saat itu aku tidak takut mati. Aku sudah mempersiapkan diri, menghadapi hari ini, jauh dari h
Erlan menumpu wajahnya dengan telapak tangannya.Wajah Eliza terus terbayang dalam benaknya. Dan itu semuanya semakin membuatnya takut. Takut akan jatuh dalam pesona Eliza, dan dijebak oleh gadis itu."Jangan sampai kau terjebak dalam pesonanya. Bisa saja dia memiliki niat menjatuhkanmu nanti. Dilihat-lihat dia sangat pandai bersandiwara. Pikirannya tidak mudah ditebak," ucap Dante beberapa menit lalu memperingatinya."Aku juga merasa seperti itu. Tadi aku mengatakan, dia sengaja melakukan itu agar kau menyukainya. Bukannya mengelak dia malah mengiyakan, tapi wajahnya malah kayak ngeledek, orang seperti itu, sulit kita tebak, apa yang akan dilakukannya. Orang sepertinya sangat mengerikan," timpal Evan membuat Erlan semakin pusing mengingat hal itu."Ah, shit!" Erlan mengacak rambutnya frustasi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Erlan, "Masuk!" seru Erlan dengan intonasi suaranya yang tegas.Seorang wanita dengan pakaian atas berwarna putih ketat dan tipis dengan dua kancing atasny
Kedatangan Erlan membuat suasana di tempat itu semakin mencekam. Aura kemarahan luar biasa membuat semua orang terdiam, menunduk, dan gemetar. Tapi, pancaran kemarahan Erlan tidak membuat Sean takut. Pria kecil itu tidak memindahkan ujung pistolnya sama sekali.Erlan mengeraskan rahangnya, ia memasukkan peluru pada pistolnya, dengan cepat mengarahkan pada Eliza."Apa kau ingin kakakmu mati?" ucapnya dengan dingin.Sean sama sekali tidak gentar, "Aku memang berencana membawa kakak dalam kematian. Lebih baik kami mati, mengakhiri keturunan keluarga Martinez daripada harus hidup menderita akibat penyiksaanmu Erlan Rodriguez!"Sean kemudian menyeringai, tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya. "Tapi, sebelum aku mati, tentu aku ingin membuatmu merasakan kehilangan lebih dulu.""Bajingan!" hardik Erlan mencengkram kuat leher Eliza."Akan ku bunuh kakakmu!" Eliza diam, dadanya membusung, kesulitan bernafas. Sean segera bertindak. "Kakak maafkan aku, semoga di kehidupan selanjutnya kit
"Wah, sangat indah," ucap Eliza penuh kekaguman berjalan-jalan di tengah taman yang dikelilingi bunga, dan terdapat sungai kecil di sisinya.Erlan tersenyum, menyamai langkah Eliza dengan tenang, damai, dan perasaan yang hangat."Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta dengannya," batin Erlan menatap Eliza yang tersenyum manis menatap sekitar.Semakin mereka masuk dalam taman. Dari kejauhan mereka melihat sebuah acara kecil. Di mana ada seorang pria tengah melamar kekasihnya. Pancaran kebahagiaan tersorot jelas di mata wanita itu. Eliza terdiam, senyumnya perlahan memudar, menatap tajam pada pasangan yang tengah berbahagia. Perlahan tangannya mengusap perut buncitnya. Bibirnya diam, namun batinnya sedang beradu. "Aku bahkan hamil anak musuh keluargaku. Aku juga masih muda. Rasanya tidak ada harapan untukku menjalin kasih dan menikah. Terbebas darinya saja rasanya mustahil." Eliza menghela nafas. Melanjutkan langkahnya dengan hati yang berat. Erlan yang melihat itu, seolah bisa mema
Hari ini, waktunya Eliza memeriksa kandungannya. Tidak ada raut bahagia sama sekali di wajah wanita itu. Bahkan terkesan dingin menatap layar yang memperlihatkan hasil USG perutnya.Berbeda dengan Erlan yang terlihat serius dan antusias mendengar perkembangan anaknya."Tolong jaga kandungannya. Tetap minum vitaminnya. Kurangi minum-minuman berkafein, apalagi sampai minum alkohol," jelas sang dokter pada Eliza yang justru mengalihkan pandangannya, mengacuhkan, seolah tidak peduli.Erlan menghela nafas, beberapa kali Eliza memang minum anggur jika ia membantah permintaan wanita itu, dan sekarang kandungan Eliza sedikit bermasalah. Dan jika terus mengkonsumsi makanan yang dilarang, bisa-bisa anaknya tidak selamat. Kalaupun selamat akan cacat.Erlan tidak ingin hal itu terjadi. Dengan tekad kuat, ia memilih akan terus mengalah dan menuruti Eliza yang keras itu."Ingin makan sesuatu?" tanya Erlan setelah mereka berada dalam mobil. "Aku ingin makan ayam goreng," jawab Eliza sembari mengusa
Dor ....Di saat frustasi Dante. Erlan dengan gesit menekan pedal pistolnya dan menghancurkan remote bom serta jemari Dante.Tidak ada lagi hal mengancam. Erlan melempar pistolnya. Menggerakkan lehernya hingga terdengar suara keretek. Begitupun pada jemari tangannya.Di tengah tubuhnya yang lemas, sekuat tenaga Dante melawan Erlan yang menghujaninya pukulan dan tendangan tanpa celah.Sedangkan yang lainnya hanya melihat, menunggu perintah dari Erlan.Suara erangan Dante di tengah gelap dan dinginnya malam, tidak membuat Erlan merasa kasihan. Pria itu bahkan terus menyerang, dan tersenyum puas saat darah terpercik ke wajahnya.Saat Dante pingsan pun, Erlan masih menendang kuat perut pria itu."Selesai. Bawa dia ke markas, dan penjarakan dia," perintah Erlan kembali menaiki helikopter yang akan membawanya kembali ke mansion. Pria itu menatap tangannya yang penuh darah, tapi terlihat tidak peduli, bahkan tidak ada niatan untuk membersihkannya lebih dulu.Sementara itu Eliza yang meliha
Erlan masih terpojok. Ia mempertimbangkan saran Eliza untuk langsung membunuh. Ada rasa tidak rela, tapi ia lebih tidak rela jika Eliza dan mansion yang telah ia bangun kembali susah payah hancur begitu saja.Erlan yang bersembunyi di balik para bawahannya saat bicara, melangkah maju. Menatap dingin Dante yang berusaha bertahan dengan ancamannya."Erlan Rodriguez, meski kau sudah menghubungi orang di mansionmu untuk keluar, itu belum melepaskan kekhawatiranmu kan? Aku tau, Erlan, bagaimana usahamu membangun kembali mansion tempat keluargamu dibakar hidup-hidup," ucap Dante terkekeh puas melihat Erlan yang tidak bisa berkutik.Rahang Erlan mengeras, tangannya mengepal. "Aku sudah mempercayaimu. Namun, kau mengkhianatiku! Apa yang kulakukan selama ini untukmu apa kurang!" teriak Erlan penuh emosi.Dante terkekeh, "Kau pasti sudah tau. Aku bukan bawahanmu, tapi mata-mata yang akan mengirim informasi penting Erdez Black. Kau harusnya berterima kasih, karena aku tidak memberi informasi pad
"Shit, bagaimana bisa dia menemukanku?" Dante melompat keluar, dengan cara menggulung tubuhnya. Beruntung ia menggunakan pakaian anti peluru, hingga dirinya hanya mengalami luka kecil.Yang ia tau, Erlan akan membiarkannya hidup untuk menyiksanya, dan dia sudah menyiapkan langkahnya jika menghadapi hal ini.Lima buah helikopter mendarat dari berbagai sisi, menghalangi Dante yang berdiri seorang diri di tengah-tengah.Erlan melompat dari helikopter, menatap dingin pada sosok pria yang telah mengkhianatinya."Bersiaplah, hidup di neraka pengkhianat!" ucap Erlan dengan lantang.Dante membalas tatapan tajam Erlan tanpa rasa takut. Ia menyeringai, paham dengan kondisinya yang pasti terdesak. Ia langsung memperlihatkan sebuah remote di tangannya.Erlan membulatkan matanya, menatap tajam.Dante terkekeh, "Sekali ku tekan, seluruh penghuni mansion-mu akan meledak, booom!" ucapnya menyeringai.Erlan mengeratkan rahangnya, pikirannya langsung tertuju pada Eliza."Meski aku menyukai Eliza tapi
Erlan memasukkan beberapa buah peluru pada pistolnya. Tatapan dinginnya menatap bangunan megah yang merupakan kediaman Dante."Pengkhianat sialan. Hari ini, adalah hari pertama kau akan hidup di neraka," batin Erlan menurunkan kakinya saat pintu mobilnya di buka."Aku benar-benar tidak menyangka. Eliza bisa menemukan detail pengkhianatan Dante, hingga hal terkecil pun. Bahkan Dante sudah menjual informasi kita sejak delapan tahun lalu," ucap Evan setelah selesai membaca hasil awal pengkhianatan Dante. Entah bagaimana cara Eliza hingga menemukan sedetail itu, serta bukti yang lengkap. Hal itu sangat mengesankan."Ya, kemampuannya dalam mencari informasi dunia IT sangat luar biasa. Dan jika kau berani melakukan hal sama, apa yang akan kulakukan pada Dante, jauh lebih mengetikkan untukmu," ucap Erlan menatap dingin punggung Evan. Dante masih bisa membuatnya tidak meledak. Tapi, Evan, pria yang sudah lebih dari bawahannya dan seorang sahabat. Mereka tumbuh bersama, dalam didikan yang sam
Dante menggebrak meja, lalu pergi dari sana, tanpa menyelesaikan makannya. Garis senyum timbul di wajah Eliza memandang kepergian Dante. Ia menyampirkan anak rambutnya dengan bangga telah membuat Dante kesal.Erlan meliriknya. Menatap tajam wanita itu, mencari tau, sebenarnya apa yang ada dipikiran wanita itu."Kenapa?" tanya Eliza merubah ekspresi wajahnya dalam sekejap. Alisnya terangkat sebelah.Erlan menggelengkan kepalanya. Tak ingin pusing, memilih diam. Karena ia tau, tidak akan bisa menebak isi pikiran wanita itu.**Erlan menatap lembut pada wanita yang tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang lelap tertidur, begitu menyenangkan untuk dipandang. Terlebih terlihat Eliza seperti wanita lembut yang penurut. Sayangnya setelah bangun, Eliza akan berubah dingin dan membantah.Tangan Erlan terulur, menyentuh wajah Eliza. Wanita itu menggeliat, sedikit melenguh, menepis tangan Erlan dengan pelan dan kembali tertidur."Sial sekali. Kenapa aku bisa mencintaimu Eliza Martinez? Kenap
Erlan turun untuk menikmati makan malamnya, sembari mencari keberadaan Eliza yang sejak tadi tidak kembali. Langkahnya yang lebar, menjadi pelan kala melihat Eliza turut membantu menata makanan di atas meja.Sedangkan Dante terlihat duduk manis di salah satu kursi meja makan, sembari matanya terus mengikuti Eliza bergerak.Erlan menarik kursi khusus untuknya. Duduk menatap dingin pada Dante."Kenapa kau masih di sini? Apa kau terlalu bersantai? Haruskan aku memberimu pekerjaan?" ucap Erlan sudah jelas mengusir Dante dari kediamannya.Dante menaikkan sebelah alisnya. Menyinggung senyumnya tanpa rasa takut."Aku ingin makan di sini. Aku ingin mencicipi masakan Eliza," ucap Dante tanpa keraguan sedikitpun.Erlan mengerutkan keningnya, lalu melirik wanita yang tengah mengandung anaknya itu, tengah membawa segelas susu di tangannya.Eliza, hanya melirik Erlan. Lalu duduk di samping pria itu, menikmati susunya."Em, aku suka rasa ini. Beli rasa seperti ini saja," ucap Eliza pada Erlan.Er
Erlan membuka pintu kamar Eliza. Melihat wanita itu tengah tertelungkup dan terdengar isak tangisnya.Pria pemilik mansion itu mendekat. Duduk dengan lembut di sisi kasur besar dalam kamar tersebut. "Kau marah?" tanya Erlan dengan lembut.Erlan memejamkan matanya, mengumpati dirinya sendiri. Menyadari, ia merasa bersalah. Tidak bisa dipungkiri, ia juga sudah merasa jatuh cinta. Meski ribuan kali berusaha menepis dengan ucapannya."Kau membunuh Milo," ucap Eliza dengan isakan tangisnya yang terdengar jelas.Erlan memejamkan matanya, "Aku belikan. Tapi, kamu tidak boleh menyentuhnya langsung. Hanya boleh dilihat saja," tawar Erlan.Eliza terdiam. Ia yang membelakangi Erlan perlahan menoleh, dan terlihatlah tatapan tulus pria itu."Tapi, kenapa kau membunuh Milo? Dante—." Ucapan Eliza terpotong karena Erlan bersuara menyentak dan ketus."Jangan menyebut nama pria itu atau pria-pria lainnya!" Eliza terdiam. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia kembali memunggungi Erlan. "Dante bisa bersika