Perlahan Amara membuka matanya, rasa pusing mendominasi hingga membuatnya meringis sakit, “Ssshh, kepalaku sakit sekali…”
Amara menatap langit-langit yang nampak mewah. Beberapa lampu ornamen menghiasi setiap sudut atap, memberikan kesan elegan. Kening Amara mengernyit heran, sebelumnya dia belum pernah menjumpai tempat ini.
“Di mana aku?” gumam gadis pemilik rambut coklat itu. Tiba-tiba Amara terkesiap ketika mengingat dirinya kemarin dibawa paksa oleh pria, setelah dituduh menjadi pelaku pembunuhan. Tak lama seorang pria masuk ke dalam ruangan itu dengan wajah yang wibawa dan angkuh. Pakaian serba hitam membalut tubuh pria itu, rahangnya tegas. Mata elangnya menatap Amara dengan tajam. Keduanya bersitatap dalam beberapa saat. “Tuan, di mana saya sekarang?” tanya Amara pada Michael, “Kenapa anda membawa saya ke sini?” “Seorang pembunuh sepertimu, sudah sepantasnya menerima hukuman!” nada bicara dingin itu terdengar menakutkan di telinga Amara.Michael mendengarkan dengan kedua tangan yang melipat di depan dada.
Sebaliknya, Amara justru semakin tidak mengerti mengapa Michael malah mencari tahu tentang dirinya.
“Oh, jadi kau dibayar untuk membunuh Ansel agar bisa membayar hutangmu.” selidik Michael dengan tatapan yang begitu rendah. “Tidak! Itu tidak benar! Saya memang memiliki hutang, tapi sedikitpun tidak pernah terlintas di benak saya untuk membunuh seseorang, apa lagi hanya karena uang!” ucap Amara dengan nada bicara gemetar. “Ada saksi yang mengatakan bahwa Tuan Ansel digoda oleh gadis bar. Dan wanita ini ditolak oleh Ansel hingga membuatnya memutuskan untuk memilih menerima bayaran untuk membunuh Ansel.” Dirga kembali melanjutkan membaca data diri Amara Amara segera menggelengkan kepalanya mendengar hal itu. Hatinya menolak dengan cepat. Tuduhan itu terdengar semakin mengerikan, “Tidak! Aku tidak pernah menjual tubuhku pada siapapun! Ini informasi palsu!” sahut Amara dengan cepat. Michael tersenyum menyeringai mendengar apa yang dikatakan oleh Amara. Lalu dia menjentikkan jarinya pada Dirga, lantas asistennya itu segera pergi tanpa mengatakan apapun. Di ruangan itu, Amara semakin takut karena Michael menatapnya dengan mengintimidasi dari bawah hingga atas.Michael melangkah, semakin mengikis jarak antar keduanya. Sebaliknya, Amara justru mundur ke belakang hingga akhirnya tubuhnya menciut di dinding.
Kedua tangan Michael, mengunci tubuh Amara pada setiap sisinya. Seketika keduanya bersitatap. Michael tersenyum sinis. “Layani aku malam ini!”Sebuah jendela kaca yang sudah pecah dan hanya dilapisi beberapa kayu, membuat Amara memfokuskan diri untuk menatap benda itu.Wanita itu berjalan pelan dengan kepala yang mendongak, menatap jalan satu-satunya yang bisa saja membuatnya keluar dari ruangan ini.Langit malam yang gelap dengan penuh bintang, meyakini Amara bahwa keadaan sudah sangat gelap. Dan bisa saja semua penjaga telah tertidur dengan lelap.Seonggok besi panjang terdapat di ruangan kumuh itu, dengan segera Amara mengambil besi itu dan memukulnya hingga berkali-kali ke arah kayu yang rupanya sudah rapuh itu.Ruangan itu memang tidak terawat, jadi apapun yang berada di sana akan dengan cepat rusak.Berkali-kali Amara mencoba mematahkan kayu berbentuk pipih itu, akhirnya Gadis pemilik netra indah itu tersenyum kala melihat kayu itu benar-benar patah.“Aku harus cepat-cepat pergi!” Amara tidak punya banyak waktu. Dia menggeser sebuah meja untuk menjadi tempat injakan. Tubuh mungil Amara masuk ke dalam lubang jendela ya
Pukul 02.00 waktu setempat.Michael tidak bisa tidur karena hasrat yang terpendam. Dia bangkit dari tidurnya dan duduk dengan menatap adiknya yang tengah meninggi.Beberapa saat setelahnya Michael beranjak dari tempatnya, lelaki itu menyusuri ruangan.Amara yang tengah tertidur pulas setelah dia berjuang melawan rasa takut, tiba-tiba saja terkejut ketika seseorang membuka pintu dengan sangat kasar.Amara sontak membuka matanya, dia terkejut melihat Michael yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.“Kau!” Tubuh Amara bringsut dari tempat.Tidak ada kata yang terlontar dari bibir Michael, lelaki itu dengan cepat menarik tangan Amara.“Tidak! Kau mau bawa aku ke mana lagi?!” teriak Amara histeris.“Aku akan menyiksamu, jika kau tidak mau menurut perkataanku!” desis Michael.Amara menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau!” tolak Amara.Tidak ingin membuang waktu lagi, akhirnya Michael membopong tubuh Amara dan membawa gadis itu.“Lepaskan aku! Aku mohon! Kau mau bawa aku ke mana?” Ama
Sepanjang malam Amara terus menangis. Bahkan Michael melakukannya hingga berkali-kali dan membuat Amara benar-benar sangat lelah.Pagi itu Amara bangun lebih awal, tubuhnya bringsut dari tempat pergelutan semalam. Gadis itu memeluk tubuhnya saat itu pula.“Ssshh, Ya Tuhan kenapa sesakit ini?” batin Amara dan mengusap kedua lengannya.Amara menoleh ke arah samping kiri. Terlihat seorang pria tampan yang masih tertidur dengan begitu lelap.Sebenarnya ingin sekali Amara mencabik wajah pria itu, mencakar atau yang lebih baik adalah membunuhnya saat ini juga.Namun semuanya percuma saja, hal yang Amara sayangkan tidak akan bisa kembali lagi. Malah Amara yang justru akan terkena hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.Seusai membersihkan diri di dalam kamar mandi, Amara melihat bahwa Michael sudah tidak ada di ruangan itu lagi. Namun Amara merasa jauh lebih baik saat laki-laki itu tidak ada di dekatnya.Di sebuah ruangan, Michael dan Dirga tengah berbincang bersama. Kedua pria itu me
"Ngh..!" Amara terbangun dengan napas terengah. Dia mendudukkan diri dan merasakan sakit di bagian inti bawahnya. Perlahan, wanita itu menoleh ke sampingnya, hanya untuk punggung pria yang telah menghabiskan malam dengannya. Tubuh Amara langsung membeku, begitu ia kembali teringat mengapa dirinya bisa berada di situasi ini. Dua hari yang lalu Amara seperti biasa pulang bekerja, saat itu sudah larut malam. Namun, di tengah jalan ia mendengar suara rintihan seseorang di rumah terbengkalai sehingga ia akhirnya memutuskan untuk menghampiri suara itu. Siapa sangka, Amara menemukan seorang pria yang terbaring dengan darah yang sudah berceceran. “To..tol..ong” rintihan itu terdengar begitu lemah. Amara segera mendekati pria itu. Melihat wajahnya yang pucat, Amara semakin menjadi cemas. “Bertahanlah Tuan, saya akan segera menghubungi ambulance secepatnya.” Tangan Amara bergetar, namun dia segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menekan tombol. Pria itu perlahan