Hana adalah putri semata wayang Ustaz Hasan yang kini kupanggil Abah. Istriku itu adalah lulusan perguruan tinggi negeri di Bandung jurusan ilmu pendidikan. Empat tahun lebih dia belajar dan menetap di sana dengan mengontrak sebuah rumah bersama teman-temannya.
Enam bulan lalu Hana diwisuda dan kini sudah bekerja sebagai seorang guru bantu salah satu SMP Negeri di Setu Bekasi sebagai guru honorer. Aku mengenal Abah Hasan sedari dua tahun lalu ketika kuliahku sudah memasuki masa-masa menjelang semester akhir. Pertama kali aku melihat mertuaku itu di rumah sakit, saat tersadar dari pingsan yang cukup lama akibat pengeroyokan orang tak dikenal, yang kemudian kuketahui sebagai orang bayaran pak Hendrik, suami Tante Silvi. Sampai saat ini, Abah belum tahu latar belakangku selama ini. Dia hanya mengetahui jika aku menjadi korban begal, sebagaimana pengakuanku ketika pertama kali tersadar dan mendapatkan pertanyaan beliau tentang kejadian yang menimpaku itu. "Pak, boleh nggak saya setelah sembuh ikut ke rumah Bapak?" pintaku kala itu. "Loh, memangnya Mas Robby nggak pulang ke rumahnya?"Aku berkilah dengan berbagai alasan. Setelah kuyakinkan, akhirnya Abah kala itu menyetujui keinginanku. "Kalau memang begitu kondisinya, dengan senang hati, Mas Robby bisa tinggal di rumah Bapak dulu beberapa hari." jawab Abah Hasan antusias. "Terimakasih, Pak."Aku pun tinggal di rumah Abah Hasan selama satu pekan. Suasana hangat kudapatkan di sana, apalagi dengan sambutan Umi Nisa, ibu mertuaku, sejak pertama datang ke rumah itu, beliau selalu memanjakanku dengan kudapan hasil olahan tangannya sendiri yang tiada duanya. ***"Pak, insya Allah mulai nanti sore, saya tinggal di kontrakan Haji Sholeh yang dekat jalan raya itu, Pak!""Memangnya Mas Robby sudah siap untuk ngontrak?""Iya, Pak. Masih ada sisa uang tabungan saya. Insya Allah besok saya mau wawancara di perusahaan Jepang di kawasan MM 2100.""Alhamdulillah kalau begitu.Sejak mengenal Abah, aku bertekad untuk berusaha menjauhi dunia gelap yang selama satu tahun kujalani dengan segala pernak perniknya itu. Aku hijrah ke Bekasi meninggalkan semuanya dan benar-benar mulai dari nol. Kuliahku terbengkalai dan akhirnya aku tak lulus, serta mengubur impianku meraih gelar sarjana tersebut. Di sebuah kontrakan yang tak jauh dari rumah Abah, aku memulai semuanya. Sesekali aku berkunjung ke rumah beliau untuk sekedar sharing dan tentunya menimba ilmu dan pengalamannya. Aku mulai mengenal ajaran agama islam dari beliau. Memperbaiki bacaan Alqur'an hingga memperdalam ilmu-ilmu dasar sebagai seorang muslim kulakukan dengan perjuangan yang tak mudah.Dalam perjalanan hijrahku, kebiasaan sebelumnya yang begitu dekat dengan kemaksiatan dan dunia malam, terkadang menyeret batinku untuk tak istikamah dalam jalan tobat tersebut. Namun alhamdulillah, perlahan aku mulai hidup normal dan rasa ingin kembali ke dunia nista itu benar-benar hilang dari benakku. Alhamdulillah. Kedekatanku dengan Abah sebagai guru spiritual tempatku menimba ilmu dan mencurahkan isi hati, membuat ustaz kampung itu berani menjodohkanku dengan Hana, anak satu-satunya itu. Aku yang sudah menaruh hati kepada Hana sejak pertama kali dikenalkan ketika ia libur kuliah, sangat bahagia dengan penawaran tersebut. Oleh karena Hana pun tampak tertarik padaku, akhirnya pernikahan sederhana itu pun terjadi. ***"Sayang! Minggu depan jadi kan kita bulan madu?" "Insya Allah," jawabku ketika Hana menanyakan hal itu usai sarapan. Di kamar pengantin yang tertata rapi dan tentunya wangi itu, kupeluk Hana sambil mengobrol santai. Teringat keganjilanku di malam pertama, membuat rasa cemburuku kembali menggelayut di dada. Namun sebisa mungkin aku menatanya agar tak salah langkah sebelum aku benar-benar mendapat informasi akurat perihal keyakinanku akan ketidakperawanan Hana itu. Seminggu kemudian, bulan madu sederhana pun terjadi. Kami melewati hari dengan canda ria mengunjungi beberapa tempat wisata. Sore hari pun tiba. Kami menyewa kamar hotel di daerah Puncak Bogor untuk beristirahat. Esok harinya kami akan melanjutkan kebersamaan ke beberapa tempat wisata yang tak perlu mahal namun seru untuk kami kunjungi. Di Hotel Balairung Moon inilah mungkin kesempatanku untuk bertanya dari hati ke hati tentang masa lalu Hana, semoga bisa terlaksana tanpa hambatan. Setelah sholat isya, aku bersiap untuk memberikan kebahagiaan plus kepada Hana. Selama seminggu di rumah abah, istriku tampak sangat menikmati hubungan kami. Raut wajah mencurigakan saat sarapan pagi sepekan lalu itu sudah tak tampak lagi. Kini ia benar-benar menikmati kebersamaan denganku dalam masa bulan madu kami yang sederhana namun penuh keindahan ini. Rencanaku setelah membuat Hana terbang bahagia, aku akan bertanya dengan hati-hati tentang hal yang masih mengganjal di benakku. Selesai sudah, Hana tampak sangat bahagia dalam aktivitas khas malam ini. Namun ketika selesai menunaikan hajat, Hana langsung terpejam dan sedikit mendengkur. Aku kesal sendiri dengan situasi seperti ini. "Aduh, kalau begini terus, bisa-bisa tidak kesampaian nih!" gumamku. Pukul 22:30 aku keluar kamar hotel dan berniat mencari udara segar dan smoking area adalah tujuan utamaku untuk menghilangkan stress yang menyerangku. Baru tiga hisapan rokok mild yang barusan kunyalakan, mataku membola ketika suara seseoang dari kamar yang ada di dekat meja lobby hotel memanggil namaku. "Robby ... kok kamu ada di sini, By?""Tante Silvi!" seketika wajahku terasa panas dan memerah. Bercampur antar terkejut dengan rasa was-was.Kini wanita itu sudah berdiri di hadapanku, dengan cepat wanita itu menarik tanganku dan membawaku ke dalam kamarnya yang berjarak dari tempat dudukku hanya tiga meteran. "Robby, tolongin tante, By. Tante sudah cari kamu kemana-mana, ternyata kamu ada di sini.""Maaf, Tan. Aku enggak bisa kayak dulu lagi, aku sudah punya istri, Tan."Wajah tante Silvi memerah mendengar penjelasanku. Tampak kecemburuannya begitu besar. Secara, dahulu wanita yang selalu cantik dan berwibawa itu adalah 'kekasihku', seperti yang ia ungkapkan bahwa, ketika bersamaku ia merasa sangat nyaman. Hal itulah yang membuat suaminya marah besar dan berniat menghabisiku suatu ketika. Tante Silvi memang wanita yang sempat hadir di hatiku karena seringnya kami bertemu, baik saat berhubungan dengan pekerjaan sehari-hariku, maupun di kesempatan berhubungan terlarang itu. Namun, walau bagaimana pun, dialah sosok yang menjerumuskanku dalam status sebagai pejant*n tangguh. Tante Silvi lah yang mengenalkanku dengan teman-temannya sesama pecinta brond*ng. Mulai wanita seusianya yang rata-rata bersuami, sampai temannya yang masih single dan masih virg*n yang takut jika menjalin hubungan serius dengan lelaki dalam ikatan pernikahan. "Maaf, tante. Aku harus pergi!""Robby, tolongin Tante lah, By!""Maaf, tante ...." Sekonyong-konyong tante Silvi mendorong tubuhku ke pojok ruangan dan mengunci kamar itu dengan gerakan cepat.Bersambung.Tante Silvi mulai memainkan hal nekat seperti dahulu. Aku sempat terperangah. Memoriku akan tante Silvi dalam peraduan tiba-tiba muncul. Hasratku pun menyeruak. Namun, malaikat pembisik kebaikan mendengungkan suaranya lebih kencang. Hatiku tersentak, kupalingkan wajah serta berusaha memberikan tante Silvi pakaiannya yang sudah terlepas agar ia kenakan kembali. Tak lupa tanganku bergerak cepat mengambil kunci di bajunya tersebut tanpa ia ketahui. "Maafin aku, Tan!""Robby!" Wanita itu masih memburuku.Aku tak punya pilihan selain menghindar. Kudorong tubuh wanita sintal itu ke atas kasur yang ada di belakangnya. Aku berlari menuju pintu keluar dan segera pergi meninggalkan tante Silvi.Setengah berlari aku menuju kamar hotel yang kusewa bersama Hana. Bergegas aku berkemas dan membangunkan Hana serta meminta istriku itu untuk mengemas juga pakaiannya. Malam itu juga kami harus cek out dan kembali pulang ke Bekasi. "Ada apa sih, Mas?!" ucap Hana yang terlihat sangat kebingungan. "Ja
Di dalam sebuah mobil box, terdapat empat orang tanpa kata tanpa suara. Dua orang penjahat yang diborgol serta dua orang polisi yang memakai jas. Tanpa disadari oleh polisi itu, salah seorang penjahat diam-diam melepaskan borgol yang membelenggu tangannya dengan kunci rahasia yang ia siapkan di lengan baju.Segera setelah borgol terlepas penjahat berbadan tegap, berkulit hitam dan berkepala botak itu menyerang salah satu polisi di depannya. Ia memukul dan menendang polisi itu.Melihat temannya tersungkur, polisi yang satu lagi mengambil pistol di dalam jasnya, namun penjahat tersebut berusaha mengambilnya dan terjadilah perebutan.Kedua tangan mereka saling menahan pistol tersebut. Polisi menodongkan ke arah penjahat, namun penjahat tersebut menahannya dan membelokkan ke arah lain. Pelatuk pistol itu pun tertarik dan meletus ke arah begian depan mobil.Mobil oleng ke kiri dan ke kanan sampai kemudian terguling berkali-kali. Rupanya peluru pistol tersebut mengenai polisi di depan yang
Hana! Dimana Hana?!Kutengok kiri kanan tak ada sosok yang kucintai itu.Maafkan aku, Han. Seharusnya aku jujur padamu, dan tak perlu panik menghindari tante Silvi. Karena kebodohanku, kini kamu menderita. Kecelakaan itu pasti menyiksamu, Sayang! Tapi, kamu sekarang ada di mana istriku?!Aku berlari menyusuri lorong Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bogor itu dan segera masuk ke ruang ICU, mungkin Hana ada di sana.Kini aku berdiri di sebuah ruangan penuh dengan selang dan perangkat komputer yang mengeluarkan bunyi khas, monitor dengan angka-angka yang berubah naik turun, lampu ruangan yang terang dengan sekelilingnya berwarna serba putih. Kulihat seorang wanita berjilbab tengah duduk dan kedua tangannya menggenggam tangan seseorang yang tak sadarkan diri di atas kasur ruang ICU. Tubuh lelaki itu dipenuhi dengan selang dan kabel penghubung ke perangkat komputer pengontrol kondisi kesehatan jantung dan organ penting lainnya. Astaga, itu Hana! Sedang apa dia di sana. Apakah dia baik
Hana tampak panik. Kegusarannya sangat kentara. Siapa sebenarnya lelaki yang ia panggil Bowo itu? "Aku turut prihatin dengan kecelakaan yang kalian alami, Han!" ucap cowok brewok tipis itu. Hana tak menjawab dan berusaha memalingkan mukanya. "Maafkan aku, Han!" Bowo menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. Hana bergeser dan membelakangi ketiga orang itu. Kemudian istriku mendekati Indah dan berbisik. "Hidupku sudah tenang, Ndah ... aku mohon ... jangan tambah bebanku dengan kehadiran Bowo dalam kehidupanku. Tolong ya, Ndah!"Tanpa menunggu jawaban Indah, Hana meninggalkan ketiga orang yang dikenalnya itu. Ia masuk kembali ke ruang ICU dengan wajah tertekuk. "Gua kata juga apa, lu nggak usah datang, Wo!" ujar Indah penuh kekesalan. "Kamu juga, Sayang, pake hubungi si Bowo segala!" Kini cowok yang berdiri di sebelah Indah mendapat semprotan dari teman Hana yang berhijab mini itu."Sorry, Cinta! Aku pikir Hana akan senang dengan kehadiran Bowo di sini, secara, kan mereka perna
Dengan wajah penuh kesedihan, Hana berjalan cepat setengah berlari menuju lift. Lantai tiga menjadi tujuannya di mana jasadku terbujur di sana. Aku mengikuti langkah cepat Hana tepat di belakangnya. Setelah berada di ruang ICU, kembali ia menemui tubuhku dengan ritual menciumi punggung tanganku, kemudian tenggelam dalam kedukaan melihat kondisiku yang sangat memprihatinkan itu. "Mas, kamu harus sembuh, Mas! Jangan tinggalkan aku sendiri!"Ya Allah, istriku sangat mengkhawatirkan keadaanku. Apakah ia memang benar-benar mencintaiku? "Hana, kamu tenang ya, Sayang. Aku akan baik-baik saja. Aku akan mendengarkan kisahmu tanpa amarah sedikit pun, aku janji!" ucapku di hadapannya. "Aku bisa merasakan, bahwa kamu pernah mengalami hal buruk di masa lalumu, sama sepertiku yang jauh lebih hina ... sekarang aku tak akan mempermasalahkan tentang status ketidakperawananmu, Han. Mungkin sekedar kamu bercerita kejadian sesungguhnya, aku akan maklum." Aku berkata dengan sungguh-sungguh di depannya
Dua menit kemudian, istriku kembali dengan wajah yang tak tenang. "Siapa, Han?" tanyaku. "I ... itu, Mas, tante kamu datang!""Apa! Tante Silvi datang ke sini?" Refleks mulutku sedikit berteriak mendengar penjelasan Hana. Tentunya Hana terlihat heran dengan reaksiku itu. Perlahan kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, dadaku mendadak berdegup. "Mau apa tante Silvi ke sini? ... Ya Allah, tolonglah aku, jauhkan tante Silvi dari kehidupanku. Aku ingin bahagia bersama Hana, ya Allah." Kembali, batinku melangitkan pinta. Hana dan aku sesekali bersitatap sebelum sampai di ruang tamu itu. Kuhela napas panjang. Hana mengernyitkan dahi, sepertinya dia bertanya-tanya dengan kepanikan yang sulit kusembunyikan ini. Sebelum wajahku tampak di hadapan tante Silvi, dari ruang tengah sayup-sayup kudengar wanita itu berbincang dengan seseorang di telepon. Bismillah ..., akhirnya aku sudah berdiri di hadapan tante Silvi yang seketika menutup teleponnya. Tak bisa kutampakkan wajah penuh manja sepert
"Nggak ngomongin yang lain 'kan, Mas?""Maksud, kamu?" tampak Hana bingung menjawabnya. Apakah sekarang waktu yang tepat ya mengintrogasi Hana tentang Bowo? "Hana ....""Eh ..., iya, Mas ....""Kok, malah bengong, sih!""Mhh ... maaf, ya, Mas ... a ... aku lagi kepikiran abah dan umi," ucapnya gugup. Pastinya Hana khawatir sekali aku mengintrogasinya terkait perkataan tante Silvi tentang, Bowo.Ah, lebih baik tak kuteruskan, deh, daripada nanti Hana bertanya lebih jauh tentang tante Silvi, bisa repot urusan. Masalah Si Bowo, nanti saja, menunggu waktu yang tepat."Mas ..., aku boleh bertanya sesuatu tidak?" Aduh, Hana mau bertanya tentang apa ya? "Mau tanya apa, Han?""Maaf, Mas ..., tadi aku sekilas mendengar percakapan kamu dengan tante Silvi ..., sebenarnya, tante Silvi itu siapa sih, Mas?"Tiba-tiba dadaku berdegup, apakah Hana sempat melihat aksi nekat tante Silvi yang menggodakku tadi? "Ta ... tante Silvi, ya, tanteku, lah, Han!""Tadi dia mengatakan ingin menagih janji kep
"Kiri, Pak!" suara beberapa orang berteriak sembari mengetuk langit-langit bus. Driver pun melambatkan laju mobilnya dengan menginjak pedal di samping kiri pedal gas hingga benda kotak panjang dan tinggi itu berhenti tepat di sebuah halte. Terlihat di seberang halte bus tersebut adalah kampus UKI. Rupanya si Bowo pun ikut turun. Satu, dua, tiga orang sudah turun, kini giliran pemuda itu yang melangkah keluar. "Tunggu, Pak supir!" tetiba saja aku bergerak ikut turun juga dari mobil. Pertarungan batin sedari tadi dimenangkan oleh rasa penasaran yang tinggi akan sosok Bowo dengan masa lalunya. "Tahan ... tahan, di belakang ada yang turun juga ...!" teriak kondektur. Kubuka pintu belakang, dan bergegas melangkah keluar setelah kuperiksa bawaanku tak ada yang tertinggal di mobil. Beberapa penumpang yang ingin naik sudah berada di depan pintu yang kubuka. Mereka sedikit menghalangi jalanku menuju tempat si Bowo berdiri yang keluar melalui pintu depan. Setelah berhasil tubuh para penum