Tante Silvi mulai memainkan hal nekat seperti dahulu. Aku sempat terperangah. Memoriku akan tante Silvi dalam peraduan tiba-tiba muncul. Hasratku pun menyeruak.
Namun, malaikat pembisik kebaikan mendengungkan suaranya lebih kencang. Hatiku tersentak, kupalingkan wajah serta berusaha memberikan tante Silvi pakaiannya yang sudah terlepas agar ia kenakan kembali. Tak lupa tanganku bergerak cepat mengambil kunci di bajunya tersebut tanpa ia ketahui. "Maafin aku, Tan!""Robby!" Wanita itu masih memburuku.Aku tak punya pilihan selain menghindar. Kudorong tubuh wanita sintal itu ke atas kasur yang ada di belakangnya. Aku berlari menuju pintu keluar dan segera pergi meninggalkan tante Silvi.Setengah berlari aku menuju kamar hotel yang kusewa bersama Hana. Bergegas aku berkemas dan membangunkan Hana serta meminta istriku itu untuk mengemas juga pakaiannya. Malam itu juga kami harus cek out dan kembali pulang ke Bekasi. "Ada apa sih, Mas?!" ucap Hana yang terlihat sangat kebingungan. "Jangan banyak tanya dulu ya, Han, segera bereskan pakaian kamu, kita harus segera pulang ke Bekasi!" Hana pun menuruti perintahku. Setelah selesai berkemas, kami berlari kecil menuju bagian receptionis. Tampak penjaga hotel kebingungan ketika aku dan Hana menyerahkan kunci kamar untuk cek out tengah malam itu. "Ayo, segera, Han!" Hana mengangguk dan mengikuti langkahku yang tergesa itu, walaupun ia terlihat sangat bingung dengan yang kulakukan. Sesampainya di parkiran hotel, berjarak sepuluh meteran kunyalakan remot pembuka pintu mobil sewaan yang tak terlalu bagus itu. Kami pun segera masuk ke dalam mobil dan memakai safety belt masing-masing. Dalam kondisi panik kucoba stater mobil tersebut, namun hingga lima kali percobaan, mobil belum juga dalam posisi siap jalan, mesinnya masih tak bergerak. "Aduh, di saat genting kayak ini, kenapa mobilnya ngadat sih!""Robby, tunggu!" teriak seseorang "Astaga, itu tante Silvi. Aku harus segera pergi dari sini. Hana tak boleh tahu hubunganku dengan wanita itu. Semoga Hana tak mendengar teriakannya," bisik hatiku. Kucoba kembali starter Avanza hitam tahun jebot itu. Alhamdulillah kali ini mobil sudah siap jalan. Bismillah, segera kutancap gas menuju pintu gerbang hotel. Namun ketika mobilku berhasil kupundurkan dan kemudian memutar arah menuju pintu keluar, tiba-tiba tante Silvi menghadangku dari depan dan berteriak memintaku turun."Siapa itu, Mas!" pertanyaan Hana menjadikan dadaku sesak seketika karena pacuan jantung semakin kencang."Nanti kujelaskan, Han!" tampak istriku itu tak puas dengan jawabanku, matanya ia picingkan ke arah tante Silvi, sepertinya jantungnya mulai berdegup kencang.Aku segera keluar dari mobil dan menghampiri tante Silvi yang masih menghalangi jalan. "Tante, tolonglah, jangan ganggu aku lagi, aku sudah berkeluarga, Tan!" "Kamu tega sama tante, By!"Kutelungkupkan kedua tangan di depan dada agar ia mau melepaskanku, apalagi Hana sudah melihatnya dan pasti hatinya bertanya-tanya penuh curiga. Satu menit aku bernegosiasi dengan tante Silvi, dan alhamdulillah kesepakatan pun terjadi sebelum Hana keluar dari mobil dan bertanya dengan nada meninggi tentunya. "Siapa wanita ini, Mas?" tanya Hana curiga ketika ia menyusulku keluar dari mobil. "Ini, Han ... kenalkan, ini tante Silvi. Dia tanteku yang tinggal di Jalarta, kebetulan tadi dia melihatku di lobby hotel!" Kugaruk kepala yang tak gatal, berharap Hana memaklumi alasanku itu. "Tapi, apa tante Silvi ini ada hubungannya dengan kepulangan kita yang tiba-tiba ini, Mas?" Hana mengintrogasiku. "Maaf, ya, Dek. Tadi tante minta tolong ke Robby untuk membantu menyelesaikan masalah tante dengan pamannya. Maaf, tante enggak tahu kalau kalian sedang bulan madu. Ya sudah, nanti saja kalau begitu minta bantuan Robby nya." Kubulatkan mata ke arah tante Silvi, alhamdulillah ucapannya menyelamatkanku di depan Hana. "Oh, begitu ... tapi kenapa harus pulang malam-malam seperti ini sih, Mas!" ucap Hana masih belum puas dengan penjelasan Tante Silvi. "Tadi, bosku di PT menelepon ... besok pagi-pagi sekali aku harus ada di perusahaan, Han. Jadi malam ini juga kita harus pulang supaya nggak terlambat nantinya," jelasku kepada Hana, terpaksa aku berbohong. Hana hanya manyun mendengar penjelasanku.Setelah berpamitan kepada Tante Silvi, aku dan Hana pun pergi dari hotel di tengah malam yang dingin dan sepi itu. Kami tinggalkan tante Silvi yang masih mematung dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada memperhatikan kepergian mobil yang kukendarai.***Menyusuri jalur puncak yang cukup ramai meski malam sudah sangat larut, bahkan sudah menjelang pergantian hari, terasa berbeda di hatiku yang sedang kalut ini. Apalagi Hana sedari tadi membuang muka ke luar jendela dan tak bicara sepatah kata pun. Dihiasi keindahan lampu-lampu di kejauhan yang terlihat sangat indah dari ketinggian ini, aku mencoba menenangkan diri, dan juga mengkondisikan istriku yang pasti masih menyimpan seribu tanya tentang kejadian di hotel tadi. "Hana, maafin aku ya, malam-malam harus merepotkan kamu!" Istriku tak menjawab. Mulutnya masih terkunci rapat. "Sayang, kamu marah, ya?""Mas, kenapa kamu tadi sangat panik seolah melihat hantu, sih?" tanya Hana dengan nada sedikit tinggi. "Maafin aku, Han. Nanti kuceritakan lebih lengkapnya ya. Sekarang kita berhenti dulu di pinggir sana, biar enak ngobrolnya sambil melihat dan menikmati suasana malam ini." Setelah kubujuk, Hana mengangguk dan mau untuk turun dari mobil. "Pak, jagung bakarnya ya!" Bapak penjual jagung bakar segera menyiapkan pesananku.Di malam yang dingin ini bulan maduku bersama Hana terasa berbeda. Tidak sesuai rencana memang, karena mau tidak mau aku harus menghindar dari tante Silvi. Hidangan penghangat tubuh pun sudah tersedia. Jagung bakar dan bandrek pesananku serta teh manis hangat pesanan Hana sudah berjajar di meja warung kecil itu. Lokasi ini berada di antara berjajarnya jajanan malam di pinggir jalur puncak dekat masjid At Ta'awun tersebut.Kuseruput bandrek untuk mengendurkan sisa ketegangan tadi. Begitu pun dengan Hana, setelah mencicipi jagung bakar, ia pun meminum perlahan teh manisnya yang terasa masih agak panas. "Mas, sebenarnya ada apa antara kamu dengan tante Silvi sampai-sampai kamu harus menghindar darinya, Mas?" Pertanyaan Hana membuatku sempat tersedak. Rupanya istriku itu masih menaruh curiga dengan sikapku yang aneh malam ini. "Bagaimana ini?" aku membatin. Bersambung.Di dalam sebuah mobil box, terdapat empat orang tanpa kata tanpa suara. Dua orang penjahat yang diborgol serta dua orang polisi yang memakai jas. Tanpa disadari oleh polisi itu, salah seorang penjahat diam-diam melepaskan borgol yang membelenggu tangannya dengan kunci rahasia yang ia siapkan di lengan baju.Segera setelah borgol terlepas penjahat berbadan tegap, berkulit hitam dan berkepala botak itu menyerang salah satu polisi di depannya. Ia memukul dan menendang polisi itu.Melihat temannya tersungkur, polisi yang satu lagi mengambil pistol di dalam jasnya, namun penjahat tersebut berusaha mengambilnya dan terjadilah perebutan.Kedua tangan mereka saling menahan pistol tersebut. Polisi menodongkan ke arah penjahat, namun penjahat tersebut menahannya dan membelokkan ke arah lain. Pelatuk pistol itu pun tertarik dan meletus ke arah begian depan mobil.Mobil oleng ke kiri dan ke kanan sampai kemudian terguling berkali-kali. Rupanya peluru pistol tersebut mengenai polisi di depan yang
Hana! Dimana Hana?!Kutengok kiri kanan tak ada sosok yang kucintai itu.Maafkan aku, Han. Seharusnya aku jujur padamu, dan tak perlu panik menghindari tante Silvi. Karena kebodohanku, kini kamu menderita. Kecelakaan itu pasti menyiksamu, Sayang! Tapi, kamu sekarang ada di mana istriku?!Aku berlari menyusuri lorong Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bogor itu dan segera masuk ke ruang ICU, mungkin Hana ada di sana.Kini aku berdiri di sebuah ruangan penuh dengan selang dan perangkat komputer yang mengeluarkan bunyi khas, monitor dengan angka-angka yang berubah naik turun, lampu ruangan yang terang dengan sekelilingnya berwarna serba putih. Kulihat seorang wanita berjilbab tengah duduk dan kedua tangannya menggenggam tangan seseorang yang tak sadarkan diri di atas kasur ruang ICU. Tubuh lelaki itu dipenuhi dengan selang dan kabel penghubung ke perangkat komputer pengontrol kondisi kesehatan jantung dan organ penting lainnya. Astaga, itu Hana! Sedang apa dia di sana. Apakah dia baik
Hana tampak panik. Kegusarannya sangat kentara. Siapa sebenarnya lelaki yang ia panggil Bowo itu? "Aku turut prihatin dengan kecelakaan yang kalian alami, Han!" ucap cowok brewok tipis itu. Hana tak menjawab dan berusaha memalingkan mukanya. "Maafkan aku, Han!" Bowo menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. Hana bergeser dan membelakangi ketiga orang itu. Kemudian istriku mendekati Indah dan berbisik. "Hidupku sudah tenang, Ndah ... aku mohon ... jangan tambah bebanku dengan kehadiran Bowo dalam kehidupanku. Tolong ya, Ndah!"Tanpa menunggu jawaban Indah, Hana meninggalkan ketiga orang yang dikenalnya itu. Ia masuk kembali ke ruang ICU dengan wajah tertekuk. "Gua kata juga apa, lu nggak usah datang, Wo!" ujar Indah penuh kekesalan. "Kamu juga, Sayang, pake hubungi si Bowo segala!" Kini cowok yang berdiri di sebelah Indah mendapat semprotan dari teman Hana yang berhijab mini itu."Sorry, Cinta! Aku pikir Hana akan senang dengan kehadiran Bowo di sini, secara, kan mereka perna
Dengan wajah penuh kesedihan, Hana berjalan cepat setengah berlari menuju lift. Lantai tiga menjadi tujuannya di mana jasadku terbujur di sana. Aku mengikuti langkah cepat Hana tepat di belakangnya. Setelah berada di ruang ICU, kembali ia menemui tubuhku dengan ritual menciumi punggung tanganku, kemudian tenggelam dalam kedukaan melihat kondisiku yang sangat memprihatinkan itu. "Mas, kamu harus sembuh, Mas! Jangan tinggalkan aku sendiri!"Ya Allah, istriku sangat mengkhawatirkan keadaanku. Apakah ia memang benar-benar mencintaiku? "Hana, kamu tenang ya, Sayang. Aku akan baik-baik saja. Aku akan mendengarkan kisahmu tanpa amarah sedikit pun, aku janji!" ucapku di hadapannya. "Aku bisa merasakan, bahwa kamu pernah mengalami hal buruk di masa lalumu, sama sepertiku yang jauh lebih hina ... sekarang aku tak akan mempermasalahkan tentang status ketidakperawananmu, Han. Mungkin sekedar kamu bercerita kejadian sesungguhnya, aku akan maklum." Aku berkata dengan sungguh-sungguh di depannya
Dua menit kemudian, istriku kembali dengan wajah yang tak tenang. "Siapa, Han?" tanyaku. "I ... itu, Mas, tante kamu datang!""Apa! Tante Silvi datang ke sini?" Refleks mulutku sedikit berteriak mendengar penjelasan Hana. Tentunya Hana terlihat heran dengan reaksiku itu. Perlahan kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, dadaku mendadak berdegup. "Mau apa tante Silvi ke sini? ... Ya Allah, tolonglah aku, jauhkan tante Silvi dari kehidupanku. Aku ingin bahagia bersama Hana, ya Allah." Kembali, batinku melangitkan pinta. Hana dan aku sesekali bersitatap sebelum sampai di ruang tamu itu. Kuhela napas panjang. Hana mengernyitkan dahi, sepertinya dia bertanya-tanya dengan kepanikan yang sulit kusembunyikan ini. Sebelum wajahku tampak di hadapan tante Silvi, dari ruang tengah sayup-sayup kudengar wanita itu berbincang dengan seseorang di telepon. Bismillah ..., akhirnya aku sudah berdiri di hadapan tante Silvi yang seketika menutup teleponnya. Tak bisa kutampakkan wajah penuh manja sepert
"Nggak ngomongin yang lain 'kan, Mas?""Maksud, kamu?" tampak Hana bingung menjawabnya. Apakah sekarang waktu yang tepat ya mengintrogasi Hana tentang Bowo? "Hana ....""Eh ..., iya, Mas ....""Kok, malah bengong, sih!""Mhh ... maaf, ya, Mas ... a ... aku lagi kepikiran abah dan umi," ucapnya gugup. Pastinya Hana khawatir sekali aku mengintrogasinya terkait perkataan tante Silvi tentang, Bowo.Ah, lebih baik tak kuteruskan, deh, daripada nanti Hana bertanya lebih jauh tentang tante Silvi, bisa repot urusan. Masalah Si Bowo, nanti saja, menunggu waktu yang tepat."Mas ..., aku boleh bertanya sesuatu tidak?" Aduh, Hana mau bertanya tentang apa ya? "Mau tanya apa, Han?""Maaf, Mas ..., tadi aku sekilas mendengar percakapan kamu dengan tante Silvi ..., sebenarnya, tante Silvi itu siapa sih, Mas?"Tiba-tiba dadaku berdegup, apakah Hana sempat melihat aksi nekat tante Silvi yang menggodakku tadi? "Ta ... tante Silvi, ya, tanteku, lah, Han!""Tadi dia mengatakan ingin menagih janji kep
"Kiri, Pak!" suara beberapa orang berteriak sembari mengetuk langit-langit bus. Driver pun melambatkan laju mobilnya dengan menginjak pedal di samping kiri pedal gas hingga benda kotak panjang dan tinggi itu berhenti tepat di sebuah halte. Terlihat di seberang halte bus tersebut adalah kampus UKI. Rupanya si Bowo pun ikut turun. Satu, dua, tiga orang sudah turun, kini giliran pemuda itu yang melangkah keluar. "Tunggu, Pak supir!" tetiba saja aku bergerak ikut turun juga dari mobil. Pertarungan batin sedari tadi dimenangkan oleh rasa penasaran yang tinggi akan sosok Bowo dengan masa lalunya. "Tahan ... tahan, di belakang ada yang turun juga ...!" teriak kondektur. Kubuka pintu belakang, dan bergegas melangkah keluar setelah kuperiksa bawaanku tak ada yang tertinggal di mobil. Beberapa penumpang yang ingin naik sudah berada di depan pintu yang kubuka. Mereka sedikit menghalangi jalanku menuju tempat si Bowo berdiri yang keluar melalui pintu depan. Setelah berhasil tubuh para penum
"Bagus ... bagus! Kalian memang pasangan yang sangat serasi!" ledek Om Hendrik. "Papah! Lepaskan Robby, Pah!" teriak Tante Silvi. "Maah, Mamah ..., kamu itu orang yang tak pernah berterimakasih, ya. Padahal aku sudah memberikan segalanya untuk kesenangan kamu, Mah ...!""Papah salah, selama ini aku tak pernah bahagia, Pah. Apalagi setelah Papah menikahi wanita jalang itu, sakit hatiku, Pah, sakit!""Lalu kenapa kamu justru selingkuh sama sopir kamu sendiri, Hah?!" bentak Om Hendrik tepat di depan wajah tante Silvi setelah sebelumnya tangannya menjambak ramput istrinya yang tangannya sudah di pegangi oleh kedua lelaki kekar tadi. Dalam kondisi terbelenggu dan tak berkutik, Tante Silvi seolah tak takut dengan perlakuan suaminya yang kasar itu."Ceraikan saja aku, Pah!""Hahaha ..., enak saja kamu minta cerai, Mah. Seribu kali kamu minta itu, tak akan pernah aku kabulkan satu kali pun. Kamu itu milikku, Mah!" teriak Om Hendrik. "Om! Hentikan, Om!" teriakku. "Semua ini salah, Om, sen