Share

Mantan Pacar Istriku

Hana tampak panik. Kegusarannya sangat kentara. Siapa sebenarnya lelaki yang ia panggil Bowo itu? 

"Aku turut prihatin dengan kecelakaan yang kalian alami, Han!" ucap cowok brewok tipis itu. 

Hana tak menjawab dan berusaha memalingkan mukanya. 

"Maafkan aku, Han!" Bowo menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. 

Hana bergeser dan membelakangi ketiga orang itu. Kemudian istriku mendekati Indah dan berbisik. 

"Hidupku sudah tenang, Ndah ... aku mohon ... jangan tambah bebanku dengan kehadiran Bowo dalam kehidupanku. Tolong ya, Ndah!"

Tanpa menunggu jawaban Indah, Hana meninggalkan ketiga orang yang dikenalnya itu. Ia masuk kembali ke ruang ICU dengan wajah tertekuk. 

"Gua kata juga apa, lu nggak usah datang, Wo!" ujar Indah penuh kekesalan. 

"Kamu juga, Sayang, pake hubungi si Bowo segala!" Kini cowok yang berdiri di sebelah Indah mendapat semprotan dari teman Hana yang berhijab mini itu.

"Sorry, Cinta! Aku pikir Hana akan senang dengan kehadiran Bowo di sini, secara, kan mereka pernah saling sayang, Ndah!" ujar suami atau pacar Indah itu.

Mendengar kalimatnya, hatiku terasa teriris. Rupanya lelaki itu benar-benar mantan pacar Hana. Pastinya dialah orang yang telah merenggut kehormatannya sebelumku. Lak*nat kamu, Bowo. 

"Sorry ya, Bro. Kayaknya, Hana belum bisa move on deh!" 

"Nggak apa-apa, Bay. Thanks, Lo, udah kasih gua kabar tentang Hana ..., kalo gitu gua pamit dulu ya, salam buat Hana!"  

"Ya udah, sorry banget ya, Bro!" Lelaki bernama Bowo itu tersenyum dan seketika balik kanan. Dada gaibku sesak seketika.

Kutinggalkan Indah dan Bayu yang belakangan kuketahui mereka adalah suami istri. Pasangan itu tampak saling bersitegang setelah kepergian si Bowo.

Lebih baik kupastikan Hana dalam keadaan baik-baik saja. Bergegas aku berlari, tepatnya melayang, kembali ke tempat terbujurnya jasadku. 

Setelah ada di hadapan diriku sendiri,  kuperhatikan Hana menatap lekat wajah kaku dengan mulut menganga yang sangat memprihatinkan itu.

Hana menangis rapat, sedunya begitu perih menyayat. Sesekali mencium keningku dan selanjutnya seperti semula, ia menggenggam tanganku dan meletakkannya diantara bibir dan hidungnya.  

"Hana, walaupun kamu menyimpan rahasia itu, bagiku tak mengapa. Asal jangan sampai kamu kembali kepada lelaki itu, Han. Setia 'lah kepadaku hingga maut memisahkan kita, Sayang!" ucapku bergetar, setidaknya arwahku merasakan perih dan getir menyaksikan Hana dirundung kesedihan. 

 

Kudekatkan telingaku ke arah wajah Hana. Sepertinya dia berkata lirih.

"Mas, maafkan aku... Maafkan aku, Mas ...!" Kembali ia tersedu sedan tanpa mampu menyelesaikan kata yang sepertinya ingin ia utarakan. 

Degupan di dada 'arwahku' belum berakhir. Rasa penasaran tentang apa yang akan dikatakan Hana kepada jasadku tetiba membuncah. Namun sayang, hingga seorang suster menghampirinya, ia tak jua mengatakan sesuatu yang dia rasakan atau ingin ungkapkan itu. 

"Maaf, Bu! Teman ibu sudah pulang, tadi dia titip salam dan menitipkan amplop ini untuk ibu!" ucap suster berkacamata itu. 

Hana berdiri dan mengambil amplop putih yang cukup tebal. 

"Terimakasih, Suster!" Wanita dengan pakaian serba putih itu mengangguk dan berlalu keluar ruangan. 

Apa isi amplop itu ya? Rasa penasaranku semakin menjadi setelah kulihat tulisan di luar amplop tersebut jelas terbaca olehku. 

[Maafkan aku, hanya ini yang bisa kuberikan sebagai permohonan maaf. Semoga kamu mau menerimanya. Dari Perbowo.]

Perlahan Hana membuka amplop tersebut. Rupanya isinya uang dengan pecahan seratus ribuan yang jumlahnya sangat banyak dan masih ada segel bank dengan tulisan sepuluh juta rupiah.

Setelah membuka amplop itu, Hana berlari keluar ruangan. Sepertinya ia mencari Indah dan bermaksud ingin mengejarnya. Apa mungkin ia akan mengembalikan uang tersebut atau apakah ia akan berterimakasih?  Entahlah! 

Melihat ruang tunggu sudah tak berpenghuni, Hana berlari menuju lift. Tergopoh ia berlari dengan membawa amplop tersebut. Aku mengikutinya dengan gerakan tak kalah cepat. Sekilas sebelum itu, kulihat tubuhku yang sangat memprihatinkan itu dan batinku menangis dan berteriak ... "Ayo, Robby... kamu harus sembuh, By ... segera lindungi istrimu dari cinta lamanya!"

Di dalam lift, Hana tampak terlihat gusar. Berkali-kali ia berjalan bolak-balik sambil menatap ke atap lift dan sesekali menghela nafas berat. 

"Ada apa sebenarnya, Han!" ucapku sekeras mungkin. Namun tak ada respon apapun dari istriku itu. 

Setelah sampai di lantai dasar dan keluar dari lift, mata Hana seperti Elang, menyisir setiap inchi ruangan yang dipenuhi pasien dan keluarganya.

Di antara mereka ada yang mengantri di loket pendaftaran, ada yang berjajar di kursi ruang tunggu yang diiringi suara televisi yang keras memberitakan warta perpolitikan Indonesia, dan ada juga yang tampak tegang menunggu giliran dipanggil menuju ruang pemeriksaan.  

Tak dijumpainya Indah di sana, Hana berlari menuju pintu keluar. Sepertinya kakinya mengarahkan ke parkiran. Kuikuti langkahnya, tepat di samping Hana, aku sangat mengkhawatirkan keadaan istriku itu. 

Di subuh yang dingin tersebut, parkiran terasa lengang sekali. Meski berjajar mobil di sana, namun aula yang cukup luas itu serasa tak ada kehidupan. Kemudian fokus kami tertuju pada sebuah mobil yang memancarkan sorot lampu depan, cahaya silaunya mengarah ke tempat Hana berdiri.  

Hana langsung berlari ke arah mobil tersebut. Sepertinya ia yakin bahwa itu adalah mobil Indah dan suaminya, mungkin. 

Tergopoh Hana mendekati mobil itu dan aku tak tega melihatnya karena langkahnya seperti berat agak terpincang, tentu itu akibat kecelakaan beberapa saat lalu. 

Jarak yang cukup jauh, memaksa Hana berlari lebih kencang, namun tanpa ia sadari kakinya tersandung batu dan terjatuh. 

"Aduh!"

Kucoba meraih tangan istriku dan berusaha membangunkannya.

"Ah, sial ...!" Aku gagal meraihnya. Aku sangat kesal dengan keadaanku saat ini. 

Mobil yang sudah siap jalan tadi, kulihat pintunya terbuka. Pasti orang yang ada di dalamnya melihat Hana terjatuh karena sorot lampu mobilnya tepat ke arah posisi Hana. 

Seseorang berbadan tegap keluar. Tak tampak wajahnya karena sorot cahaya lampu mobilnya menghalangi pandangan kami dari sini. Sepertinya bukan Bayu, suaminya Indah, karena tak ada istrinya, Indah, di sana. 

Lelaki itu menghampiri Hana dengan berlari. Hana masih meringis, matanya terpejam menahan sakit. Tangan kanannya memegangi kaki yang terkilir, sementara itu tangan kirinya menggenggam amplop.

Kini lelaki itu sudah di depan Hana. Ia segera meraih tangan istriku dan membantunya untuk berdiri. 

"Bowo!" teriakku kencang namun tak ada respon apapun dari dua orang di hadapanku. Segera aku berusaha melerai Bowo agar jangan sembarangan memegangi tangan istri orang. Lagi-lagi, aku kesal dengan ketidakmampuanku melindungi Hana. 

Mata Hana membulat, begitupun dengan netraku yang sangat ingin mendorong lelaki itu agar menjauh dari Hana.

"Tolong jangan ganggu kehidupanku lagi, Mas!" ucap Hana tegas sembari mengembalikan amplop kepada Bowo kemudian berlalu meninggalkan lelaki itu terpekur di pagi buta nan sepi itu. 

Hana berjalan terpincang, tampak ia menahan sakit di kakinya demi menjauh dari Bowo. 

"Sayang ... ternyata kamu setia kepadaku, terimakasih, ya, Cinta!" Aku berjalan mundur sambil menatap wajah Hana yang meringis itu, aku merasa bangga padanya. Seandainya dia bisa melihatku, pasti dia sangat bahagia. 

Bersambung. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status