Dua menit kemudian, istriku kembali dengan wajah yang tak tenang.
"Siapa, Han?" tanyaku. "I ... itu, Mas, tante kamu datang!""Apa! Tante Silvi datang ke sini?" Refleks mulutku sedikit berteriak mendengar penjelasan Hana. Tentunya Hana terlihat heran dengan reaksiku itu. Perlahan kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, dadaku mendadak berdegup. "Mau apa tante Silvi ke sini? ... Ya Allah, tolonglah aku, jauhkan tante Silvi dari kehidupanku. Aku ingin bahagia bersama Hana, ya Allah." Kembali, batinku melangitkan pinta. Hana dan aku sesekali bersitatap sebelum sampai di ruang tamu itu. Kuhela napas panjang. Hana mengernyitkan dahi, sepertinya dia bertanya-tanya dengan kepanikan yang sulit kusembunyikan ini. Sebelum wajahku tampak di hadapan tante Silvi, dari ruang tengah sayup-sayup kudengar wanita itu berbincang dengan seseorang di telepon. Bismillah ..., akhirnya aku sudah berdiri di hadapan tante Silvi yang seketika menutup teleponnya. Tak bisa kutampakkan wajah penuh manja seperti dulu. Justru air mukaku keruh tak bersahabat. Ingin rasanya mengomel kepada wanita berumur tapi tetap jelita itu. Tapi kehadiran Hana, membuatku kelu tak mampu mengutarakannya."Robby, apa kabar kamu, By? Aku dengar bulan lalu, kamu kecelakaan ya?" tanya tante Silvi dengan wajah sendu dan agak khawatir. "Iya, Tan ...." jawabku berjeda tiga detik. "Terus, kamu enggak kenapa-kenapa 'kan, By?" Tante Silvi bergerak ke arahku dan dengan cepat ia memeriksa bagian-bagian tubuhku. Matanya cermat memperhatikan wajah, tangan dan bagian badanku yang lain, apakah masih ada bekas luka kecelakaan itu atau tidak. Tentu saja ulahnya membuatku gugup, dan Hana memperhatikan itu di sampingku dengan mata curiga. "Aduh, bagaimana ini. Kenapa sih tante Silvi datang ke sini segala. Ya Allah, tolonglah!" gumamku dalam dada."A ... aku enggak kenapa-kenapa, Tan, sudah pulih kok!""Oh, sukurlah, By, Tante khawatir sekali pas dengar kamu kecelakaan.""Emangnya tante dapat informasi dari siapa?" Kukernyitkan alis dengan maksimal. "Dari seseorang ... katanya dia kenal juga sama kamu dan istrimu.""Siapa, Tan?""Bowo...! Kamu kenal 'kan?"Astaga, Bowo! Apakah dia lelaki yang waktu itu datang ke rumah sakit? Bowo mantan pacar Hana itu? Ya Allah, apa lagi ini?!Kulihat wajah Hana tetiba pucat. Jelas saja, istriku terkejut nama Bowo disebut tante Silvi, ia pasti takut masa lalunya terbongkar. "Bowo? Aku enggak kenal nama itu, Tan!" Aku harus berpura-pura tidak tahu kepada Hana. "Ah, masa sih. Katanya dia kenal kalian, terutama istrimu ..., beberapa hari lalu dia datang ke rumah Tante dan terlihat galau, pas Tante tanya, dia cerita tentang kamu dan istrimu yang bulan lalu kecelakaan ... Tante sempat lihat foto pernikahan kalian berdua dari gawainya. Makanya tante kaget juga."Kuarahkan pandangan ke Hana lagi, kali ini ia terlihat sangat gusar. "Oh, mungkin dia temen Hana. Mungkin pernah jenguk aku di rumah sakit pas aku lagi belum sadarkan diri barangkali, Tan!""Oh, mungkin begitu, By.""Ta ... tante mau minum apa, Tan?" Hana tiba-tiba menawarkan tante Silvi minuman. Hemmh, Hana pasti sedang mengalihkan pembicaraan."Apa saja boleh," jawab tante Silvi sambil mengulas senyumHana bergegas menuju dapur menyiapkan minuman."Silakan duduk, Tan!" ucapku sedikit gugup. Wanita sintal itu pun duduk, namun ia mendekatkan diri sangat dekat dengan tempat aku duduk. Aku begeser agak menjauh, namun tante Silvi mendekat lagi, sepertinya ia sengaja membuatku panik. "Tante! Ngapain tante ke sini?" tanyaku dengan suara nyaris tak terdengar."Kamu kaget ya, By?" Kutengokkan kepala ke arah pintu tengah, khawatir Hana melihat kedekatan tempat dudukku dengan tante Silvi. Aku kembali bergeser hampir duduk di ujung kursi panjang itu. "Tenang saja, By, Tante nggak gigit kok!""Tan, dari mana tante kenal leleki yang bernama, Bowo itu, Tan?" tanyaku penasaran. "Tante sudah tahu semua dari dia, By!""Maksud, Tante?""Haha ..., kepo!" ledeknya. Astaga, apa yang diceritakan Bowo kepada tante Silvi, pasti dia cerita masa lalunya dengan Hana. Lalu, dari mana mereka saling kenal? jangan-jangan, Bowo adalah lelaki simpanan tante Silvi! Berarti benar, Bowo lah yang sudah merenggut keperawanan istriku. Kurang aj*r!"Aku mau menagih janji kamu di hotel itu, By!" Aduh, bagaimana ini? tante Silvi masih ingat saja dengan kejadian bulan lalu di hotel daerah Puncak itu. "Tapi, nggak ke sini juga kali, Tan!""Kenapa? kamu takut ya istrimu tahu masa lalumu," ledeknya. "Sstt... Jangan kenceng-kenceng dong, Tan!" kepanikanku muncul dan wajahku semakin terasa panas, khawatir Hana mendengar percakapan kami. "Ingat, By, janji adalah hutang, sampai kapanpun, Tante akan menagih janjimu!"Dadaku makin berdegup kencang ketika mendengar suara Hana memecah kegugupanku. "Siapa yang punya hutang, Tan?" tanya Hana sembari menaruh gelas berisi minuman segar. "Oh ..., ini... tante mau minta tolong Robby untuk bantu nagih hutang ke sepupunya, soalnya dia susah banget ditagihnya," jawab tante Silvi. Sekilas ia mengerlingkan matanya kepadaku. Kegugupanku sedikit terobati dengan jawaban Tante Silvi itu. Kulihat mulut Hana ber-O ria. Tante Silvi meneguk sedikit es sirup buatan Hana. "Makasih ya, maaf tante jadi merepotkan!""Eng ... enggak merepotkan kok, Tan!"Kulihat Hana masih gugup, pasti dia khawatir tadi tante Silvi cerita-cerita tentang Bowo. "Oke, deh, Tante pamit ya, By, Hana! Tante masih ada urusan!""Iya, Tan. Hati-hati," jawabku datar. "Jangan lupa ya, By!" Aku hanya mengangguk. Hana tampak lega tante Silvi sudah pergi. Pasti dia takut jika rahasianya itu bocor kepadaku. Sebenarnya aku pun sama, kepergian tante Silvi secepat itu, melegakanku juga. Hampir saja aku tak bisa berkutik dengan tingkah manja tante Silvi jika terciduk oleh Hana. Setelah melambaikan tangan, tante Silvi melaju mobilnya meninggalkan rumah mertuaku ini. "Mas, tadi tante kamu ngomong apa aja?" tanya Hana penasaran. Tampak jelas wajahnya sedikit pucat. "Nggak kok, Han, cuma nanya kabar aja. Dan itu ... ngomongin sepupuku yang tadi dibilang tante Silvi punya hutang itu ...." Terpaksa aku berbohong juga. "Nggak ngomongin yang lain 'kan, Mas?""Maksud kamu?" tampak Hana bingung menjawabnya. Apakah sekarang waktu yang tepat ya mengintrogasi Hana tentang Bowo? .... Ah, padahal aku sudah berjanji tak akan cemburu atau mengungkit-ungkit masa lalu Hana, tapi, rasa tak nyaman itu selalu hadir jika dalam kondisi seperti ini. Baiklah, akan aku buat Hana mengaku sendiri, semoga saja. "Hana ....""Eh ..., iya, Mas.""Kok, malah bengong, sih!""Mhh ... maaf, ya, Mas. A ... aku lagi kepikiran Abah dan Umi, Mas," ucapnya gugup. Pastinya Hana khawatir sekali aku mengintrogasinya terkait perkataan tante Silvi tentang, Bowo.Ah, lebih baik tak kuteruskan, deh, daripada nanti Hana bertanya lebih jauh tentang tante Silvi, bisa repot urusan. Masalah Si Bowo, nanti saja, menunggu waktu yang tepat."Mas ..., aku boleh bertanya sesuatu, nggak?" "Mau tanya apa, Han?""Maaf, Mas ..., tadi aku sekilas mendengar percakapan kamu dengan tante Silvi ..., sebenarnya, tante Silvi itu siapa sih, Mas?"Tiba-tiba dadaku berdegup, apakah Hana sempat melihat aksi nekat tante Silvi yang menggodakku tadi? "Ta ... tante Silvi, ya ..., tanteku, lah, Han!""Tadi dia mengatakan ingin menagih janji kepadamu, Mas, maksudnya apa, Mas?"Bersambung."Nggak ngomongin yang lain 'kan, Mas?""Maksud, kamu?" tampak Hana bingung menjawabnya. Apakah sekarang waktu yang tepat ya mengintrogasi Hana tentang Bowo? "Hana ....""Eh ..., iya, Mas ....""Kok, malah bengong, sih!""Mhh ... maaf, ya, Mas ... a ... aku lagi kepikiran abah dan umi," ucapnya gugup. Pastinya Hana khawatir sekali aku mengintrogasinya terkait perkataan tante Silvi tentang, Bowo.Ah, lebih baik tak kuteruskan, deh, daripada nanti Hana bertanya lebih jauh tentang tante Silvi, bisa repot urusan. Masalah Si Bowo, nanti saja, menunggu waktu yang tepat."Mas ..., aku boleh bertanya sesuatu tidak?" Aduh, Hana mau bertanya tentang apa ya? "Mau tanya apa, Han?""Maaf, Mas ..., tadi aku sekilas mendengar percakapan kamu dengan tante Silvi ..., sebenarnya, tante Silvi itu siapa sih, Mas?"Tiba-tiba dadaku berdegup, apakah Hana sempat melihat aksi nekat tante Silvi yang menggodakku tadi? "Ta ... tante Silvi, ya, tanteku, lah, Han!""Tadi dia mengatakan ingin menagih janji kep
"Kiri, Pak!" suara beberapa orang berteriak sembari mengetuk langit-langit bus. Driver pun melambatkan laju mobilnya dengan menginjak pedal di samping kiri pedal gas hingga benda kotak panjang dan tinggi itu berhenti tepat di sebuah halte. Terlihat di seberang halte bus tersebut adalah kampus UKI. Rupanya si Bowo pun ikut turun. Satu, dua, tiga orang sudah turun, kini giliran pemuda itu yang melangkah keluar. "Tunggu, Pak supir!" tetiba saja aku bergerak ikut turun juga dari mobil. Pertarungan batin sedari tadi dimenangkan oleh rasa penasaran yang tinggi akan sosok Bowo dengan masa lalunya. "Tahan ... tahan, di belakang ada yang turun juga ...!" teriak kondektur. Kubuka pintu belakang, dan bergegas melangkah keluar setelah kuperiksa bawaanku tak ada yang tertinggal di mobil. Beberapa penumpang yang ingin naik sudah berada di depan pintu yang kubuka. Mereka sedikit menghalangi jalanku menuju tempat si Bowo berdiri yang keluar melalui pintu depan. Setelah berhasil tubuh para penum
"Bagus ... bagus! Kalian memang pasangan yang sangat serasi!" ledek Om Hendrik. "Papah! Lepaskan Robby, Pah!" teriak Tante Silvi. "Maah, Mamah ..., kamu itu orang yang tak pernah berterimakasih, ya. Padahal aku sudah memberikan segalanya untuk kesenangan kamu, Mah ...!""Papah salah, selama ini aku tak pernah bahagia, Pah. Apalagi setelah Papah menikahi wanita jalang itu, sakit hatiku, Pah, sakit!""Lalu kenapa kamu justru selingkuh sama sopir kamu sendiri, Hah?!" bentak Om Hendrik tepat di depan wajah tante Silvi setelah sebelumnya tangannya menjambak ramput istrinya yang tangannya sudah di pegangi oleh kedua lelaki kekar tadi. Dalam kondisi terbelenggu dan tak berkutik, Tante Silvi seolah tak takut dengan perlakuan suaminya yang kasar itu."Ceraikan saja aku, Pah!""Hahaha ..., enak saja kamu minta cerai, Mah. Seribu kali kamu minta itu, tak akan pernah aku kabulkan satu kali pun. Kamu itu milikku, Mah!" teriak Om Hendrik. "Om! Hentikan, Om!" teriakku. "Semua ini salah, Om, sen
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Hana penuh kecemasan mendapatkan wajahku nyaris tak berbentuk. Aku hanya diam. "Mas, siapa yang menghajar kamu seperti ini, Mas?!" Hana terus memburuku dengan pertanyaan yang sebenarnya membuatku sedikit kesal. "Sudah lah, Han ... nanti kuceritakan, lebih baik kamu buatkan aku teh manis dan air hangat, aku ingin mandi."Hana tak melanjutkan kecemasannya dengan mengintrogasiku lebih lanjut, mungkin ia sadar, seharusnya memang segera membersihkan lukaku dan melayani kebutuhanku, termasuk untuk tidak banyak bertanya di saat seperti ini. Aku rebahkan tubuh yang terasa remuk. Sakit yang sedari pertama masuk taksi, masih sangat menggangguku. Hanya dalam posisi miring ke kanan, tubuhku tak merasakan sakit. Tak berapa lama kemudian Hana membawakan aku minuman hangat dan baskom yang berisi air panas serta sehelai waslap. Setelah kuseruput teh manis hangat, Hana membersihkan luka di wajahku dan di beberapa bagian tubuh lain. "Mas, kamu nggak usah mandi ya, cukup d
"Apa kabar, Paman, Bibi, Hana?""Alhamdulillah kami sehat semua, Mal." ucap Abah mewakili aku dan Umi. "Maaf, Paman ... saya baru sempat main, maklum pengantin baru, Paman. Selain itu, bos saya kadang-kadang menelepon minta saya nemenin dia, Paman," ucap Jamal, sepepuku yang pagi ini silaturahim ke rumah Abah bersama istrinya. "Nggak apa-apa, Mal. Yang penting, kalian sehat semua ... ayo di minum tehnya!"Kami pun menikmati kudapan yang tersedia. Suasana hangat sangat terasa dalam perbincangan kami. Apalagi Jamal dan Ayu masih dalam masa-masa penuh bunga cinta setelah empat hari lalu melangsungkan pernikahan. Terpaut jarak dua bulan dengan pernikahanku."Hana, maafin aku ya, pas kamu nikahan, aku nggak bisa hadir," ucap Jamal yang berbadan kekar, berkulit gelap dengan tato yang menyembul di balik lengan kemejanya. "Nggak apa-apa, Mas Jamal, aku dan suamiku juga nggak bisa datang pas sampean nikahan. Maaf ya, waktu itu suamiku habis kecelakaan.""Iya, Han, Paman sudah cerita waktu i
"Hana, apa betul apa yang dikatakan Robby?" tanya Abah penasaran. "Abah...." Kupeluk lelaki paruh baya yang sangat kucintai dan mencintaiku itu. Tak kuasa aku menjawab langsung pertanyaannya. Hanya tangis sesegukan yang bisa kuberikan bersama pelukan erat tubuh ringkihnya. Rahasia yang selama ini aku dan Umi simpan rapat-rapat, akhirnya harus diketahui Abah. "Ada apa lagi, Hana?" Suara khawatir Umi memecah kebekuan."Umiii...." Kini wanita yang setia menemani Abah itu kupeluk erat. "Kamu kenapa, Han? Mana Robby?"Lagi-lagi, aku tercekat, tak kuasa menjelaskan kejadian terakhir yang baru saja terjadi. "Sudah, sekarang kita duduk dulu, kamu tenangkan diri dulu, Hana," ajak Abah bergetar. Setelah aku berhenti menangis, Abah kembali ke topik pembicaraan. Kulihat wajahnya sangat serius dan muram."Katakan sama Abah, apa sebenarnya yang terjadi, kenapa Robby bilang kalau kamu sudah tidak peraw*n sebelum menikah dengannya?!" tanya Abah tegas. "Ya Allah ...." Umi tampak terkejut, telapak
Mengenalnya membuatku terbuka akan idealisme seorang lelaki sejati. Wawasan luas, perangai santun dan kesetiaannya, membuatku semakin jatuh cinta. Perbowo memang berbeda dengan lelaki yang pernah kukenal. Sejak ia menyatakan perasaannya setelah mengenal aku kurang lebih satu bulan, kami selalu saling support. Walau tak seperti pasangan teman-teman satu kosan yang rutin datang setiap malam minggu, bahkan bisa dihitung dengan jari ia berkunjung ke sana, Bowo selalu spesial di mataku. "Jangan lupa sholat ya, Han!""Kamu sudah makan belum?""Jangan diforsir, ya, belajarnya, meski ujian di kampus sedang banyak, kamu harus jaga kesehatan, istirahat yang cukup, Han."Perhatian seperti itu bukan hanya sebagai pemanis hubungan saja, atau hanya main-main dalam rangka menarik perhatianku, bukan, bukan seperti itu tipe pacarku itu. Aku tahu betul kebiasaannya dan sifatnya, dia benar-benar tulus. Pria yang tak ingin menghabiskan waktu percuma itu, selalu punya waktu untuk menjaga kebugarannya.
Beberapa bulan lagi aku akan diwisuda, itu menjadi pertimbangan utama aku dan Indah harus menutup rapat aib ini, selain menghindari mudhorot yang jauh lebih besar tentunya. Tugas akhir sudah hampir rampung, tapi entahlah, dengan fisik dan psikisku yang jatuh terjun bebas seperti ini, aku tak yakin bisa meraih cita-citaku juga Abah dan Umi yakni menjadi Sarjana Pendidikan. Dua hari aku tak berangkat ke kampus. Selain beristirahat untuk recovery, aku pun malu jika harus bertemu Bowo di sana. Sengaja gawaiku pun aku matikan agar dia tak bisa meneleponku. Aku belum mau bicara apapun padanya saat ini. Satu pekan kulalui dengan status calon ibu. Siang malam aku dan jabang bayi selalu bersama kemanapun aku pergi. Stress begitu mudah datang tanpa jadwal yang menentu, namun Indah yang selalu menemaniku selalu menenangkan dan mengajakku meniti jalan yang seharusnya. Sekarang semua kembali normal seperti biasa. Aku berusaha keras agar kegiatanku sebagai mahasiswa tak ada yang berubah. Begitup