Beberapa bulan lagi aku akan diwisuda, itu menjadi pertimbangan utama aku dan Indah harus menutup rapat aib ini, selain menghindari mudhorot yang jauh lebih besar tentunya. Tugas akhir sudah hampir rampung, tapi entahlah, dengan fisik dan psikisku yang jatuh terjun bebas seperti ini, aku tak yakin bisa meraih cita-citaku juga Abah dan Umi yakni menjadi Sarjana Pendidikan. Dua hari aku tak berangkat ke kampus. Selain beristirahat untuk recovery, aku pun malu jika harus bertemu Bowo di sana. Sengaja gawaiku pun aku matikan agar dia tak bisa meneleponku. Aku belum mau bicara apapun padanya saat ini. Satu pekan kulalui dengan status calon ibu. Siang malam aku dan jabang bayi selalu bersama kemanapun aku pergi. Stress begitu mudah datang tanpa jadwal yang menentu, namun Indah yang selalu menemaniku selalu menenangkan dan mengajakku meniti jalan yang seharusnya. Sekarang semua kembali normal seperti biasa. Aku berusaha keras agar kegiatanku sebagai mahasiswa tak ada yang berubah. Begitup
"Baiklah, Mas, aku akan mengaku dan mengatakan yang sebenarnya ....""Berarti benar, kamu hamil, Han?!" tanyanya dengan sorot mata yang menakutkan. Aku hanya mengangguk dan bersiap menjelaskan sedetailnya hal yang menderaku. "Terlalu kamu, Hana! ... tega kamu khianati cinta tulusku ini.""Mas, dengarkan dulu penjelasanku....""Mulai saat ini, jangan anggap lagi aku ini pacarmu, Han! ... Aku tak sudi punya pacar yang mengobral kehormatannya untuk orang lain. Kita putus!" Bowo bergegas meninggalkanku dan hendak masuk ke dalam mobilnya. Terlihat dia sangat terpukul menerima kenyataan ini. Aku harus mengejarnya dan menjelaskan semua. Aku tak ingin kehilangan calon imamku itu. "Mas, dengarkan dulu penjelasanku!" Kuraih bahunya agar ia mau berhenti dan berbalik badan serta mau mendengarkan fakta yang sebenarnya. Namun, Bowo bertahan dengan pendiriannya. Dihalaunya tanganku, dan segera ia tutup pintu mobilnya kemudian menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas dengan tak pelan, bahkan su
"Astagfirullah, kenapa Hana sudah tak perawan?!" teriak hatiku.Aku sudah sering merasakan indahnya bersama wanita dalam peraduan. Berbagai jenis status mereka kuarumi. Tidak hanya satu dua, lusinan sudah kudekap. Ya, aku adalah seorang pejant*n tangguh.Kulakukan semua kegilaan itu bukan hanya sebagai pemuas diri. Lebih dari itu, aktifivitas kebinatangan itu kujadikan sebagai pekerjaan yang menghasilkan cuan. Sejak kuliah semester lima, aku mulai berkelana. Media sosial sangat membantu menghubungkanku dengan 'pasien' yang membutuhkan. Cuan bayaran dari para clien-ku yang kebanyakan adalah wanita sosialita, sangat besar. Hal itulah yang membuatku ketagihan bukan kepalang. Kugunakan penghasilanku itu untuk biaya kuliah dan sebagian kubelikan aset. Tapi itu dulu, kawan. Tiga tahun lalu.Selama satu tahun penuh aku berkubang dalam dunia hitam penuh 'kenikmatan' yang ternyata menyiksaku belakangan waktu kemudian.Akhirnya pertobatan itu terjadi. Berkat jasa seorang Ustaz kampung yang m
Namaku Robby Putra Pratama, anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak lulus SMA aku sudah merantau ke Jakarta tepatnya daerah Cawang Jakarta Timur. Mengadu nasib di tanah orang kulakukan sebagaimana kebanyakan teman-teman sekampungku pasca lulus sekolah atas. Lima bulan bekerja sebagai pelayan cafe ternama yang selalu ramai oleh pengunjung, membuat pergaulanku cukup luas. Mulai dari kalangan anak muda, bapak-bapak hingga wanita sosialita yang hobinya menghamburkan uang dan bersenang-senang bersama teman-temannya menghabiskan malam ditemani nyanyian romantis di Cafe Cinta tersebut. Mengisi kesibukan, kuputuskan untuk kuliah di siang hari. Aku ingin suatu saat kelak bisa berkarir di tempat yang lebih baik. Setelah kuliah, aku semakin sibuk dan harus pandai membagi waktu antara belajar, bekerja dan beristirahat. Sesekali kulakukan refresing untuk menghilangkan penat. Selama hampir tiga tahun bekerja di cafe itu, rasa bosan mulai muncul, hingga akhirnya aku mengobrol dengan seorang wa
Hana adalah putri semata wayang Ustaz Hasan yang kini kupanggil Abah. Istriku itu adalah lulusan perguruan tinggi negeri di Bandung jurusan ilmu pendidikan. Empat tahun lebih dia belajar dan menetap di sana dengan mengontrak sebuah rumah bersama teman-temannya. Enam bulan lalu Hana diwisuda dan kini sudah bekerja sebagai seorang guru bantu salah satu SMP Negeri di Setu Bekasi sebagai guru honorer. Aku mengenal Abah Hasan sedari dua tahun lalu ketika kuliahku sudah memasuki masa-masa menjelang semester akhir. Pertama kali aku melihat mertuaku itu di rumah sakit, saat tersadar dari pingsan yang cukup lama akibat pengeroyokan orang tak dikenal, yang kemudian kuketahui sebagai orang bayaran pak Hendrik, suami Tante Silvi. Sampai saat ini, Abah belum tahu latar belakangku selama ini. Dia hanya mengetahui jika aku menjadi korban begal, sebagaimana pengakuanku ketika pertama kali tersadar dan mendapatkan pertanyaan beliau tentang kejadian yang menimpaku itu. "Pak, boleh nggak saya setela
Tante Silvi mulai memainkan hal nekat seperti dahulu. Aku sempat terperangah. Memoriku akan tante Silvi dalam peraduan tiba-tiba muncul. Hasratku pun menyeruak. Namun, malaikat pembisik kebaikan mendengungkan suaranya lebih kencang. Hatiku tersentak, kupalingkan wajah serta berusaha memberikan tante Silvi pakaiannya yang sudah terlepas agar ia kenakan kembali. Tak lupa tanganku bergerak cepat mengambil kunci di bajunya tersebut tanpa ia ketahui. "Maafin aku, Tan!""Robby!" Wanita itu masih memburuku.Aku tak punya pilihan selain menghindar. Kudorong tubuh wanita sintal itu ke atas kasur yang ada di belakangnya. Aku berlari menuju pintu keluar dan segera pergi meninggalkan tante Silvi.Setengah berlari aku menuju kamar hotel yang kusewa bersama Hana. Bergegas aku berkemas dan membangunkan Hana serta meminta istriku itu untuk mengemas juga pakaiannya. Malam itu juga kami harus cek out dan kembali pulang ke Bekasi. "Ada apa sih, Mas?!" ucap Hana yang terlihat sangat kebingungan. "Ja
Di dalam sebuah mobil box, terdapat empat orang tanpa kata tanpa suara. Dua orang penjahat yang diborgol serta dua orang polisi yang memakai jas. Tanpa disadari oleh polisi itu, salah seorang penjahat diam-diam melepaskan borgol yang membelenggu tangannya dengan kunci rahasia yang ia siapkan di lengan baju.Segera setelah borgol terlepas penjahat berbadan tegap, berkulit hitam dan berkepala botak itu menyerang salah satu polisi di depannya. Ia memukul dan menendang polisi itu.Melihat temannya tersungkur, polisi yang satu lagi mengambil pistol di dalam jasnya, namun penjahat tersebut berusaha mengambilnya dan terjadilah perebutan.Kedua tangan mereka saling menahan pistol tersebut. Polisi menodongkan ke arah penjahat, namun penjahat tersebut menahannya dan membelokkan ke arah lain. Pelatuk pistol itu pun tertarik dan meletus ke arah begian depan mobil.Mobil oleng ke kiri dan ke kanan sampai kemudian terguling berkali-kali. Rupanya peluru pistol tersebut mengenai polisi di depan yang
Hana! Dimana Hana?!Kutengok kiri kanan tak ada sosok yang kucintai itu.Maafkan aku, Han. Seharusnya aku jujur padamu, dan tak perlu panik menghindari tante Silvi. Karena kebodohanku, kini kamu menderita. Kecelakaan itu pasti menyiksamu, Sayang! Tapi, kamu sekarang ada di mana istriku?!Aku berlari menyusuri lorong Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bogor itu dan segera masuk ke ruang ICU, mungkin Hana ada di sana.Kini aku berdiri di sebuah ruangan penuh dengan selang dan perangkat komputer yang mengeluarkan bunyi khas, monitor dengan angka-angka yang berubah naik turun, lampu ruangan yang terang dengan sekelilingnya berwarna serba putih. Kulihat seorang wanita berjilbab tengah duduk dan kedua tangannya menggenggam tangan seseorang yang tak sadarkan diri di atas kasur ruang ICU. Tubuh lelaki itu dipenuhi dengan selang dan kabel penghubung ke perangkat komputer pengontrol kondisi kesehatan jantung dan organ penting lainnya. Astaga, itu Hana! Sedang apa dia di sana. Apakah dia baik