Dengan wajah penuh kesedihan, Hana berjalan cepat setengah berlari menuju lift. Lantai tiga menjadi tujuannya di mana jasadku terbujur di sana. Aku mengikuti langkah cepat Hana tepat di belakangnya. Setelah berada di ruang ICU, kembali ia menemui tubuhku dengan ritual menciumi punggung tanganku, kemudian tenggelam dalam kedukaan melihat kondisiku yang sangat memprihatinkan itu.
"Mas, kamu harus sembuh, Mas! Jangan tinggalkan aku sendiri!"
Ya Allah, istriku sangat mengkhawatirkan keadaanku. Apakah ia memang benar-benar mencintaiku?
"Hana, kamu tenang ya, Sayang. Aku akan baik-baik saja. Aku akan mendengarkan kisahmu tanpa amarah sedikit pun, aku janji!" ucapku di hadapannya.
"Aku bisa merasakan, bahwa kamu pernah mengalami hal buruk di masa lalumu, sama sepertiku yang jauh lebih hina ... sekarang aku tak akan mempermasalahkan tentang status ketidakperawananmu, Han. Mungkin sekedar kamu bercerita kejadian sesungguhnya, aku akan maklum." Aku berkata dengan sungguh-sungguh di depannya seolah Hana bisa mendengar perkataanku. Tak kupedulikan meski ia tak merespon sedikit pun.
Tetiba mataku membola sempurna ketika melihat tubuhku kejang-kejang kembali.
"Ya Allah, jangan dulu ya Allah ... jangan sekarang Kau panggil aku. Ijinkan aku sembuh. Beri aku kesempatan menebus dosa-dosaku, ya Rabb!" pintaku berdesir.
"Dokter ... Suster ... Tolong Dokter!" Hana berteriak histeris meminta pertolongan tim medis.
Istriku memperhatikan monitor indikator detak jantungku, begitupun dengan mataku, terlihat jelas garis yang biasanya bergerak seperti grafik, kini mulai bergerak lurus.
"Ya Allah, bukankah itu tanda seseorang yang meninggal dunia! Oh, tidak, jangan dulu ya Allah!" teriakku melangit.
Segera dokter dan pasukannya bergerak cepat. Alat pacu jantung beberapa kali diletakkan di dadaku dan beberapa kali pula tubuhku berguncang hebat. Ketika alat pacu pertama diletakkan, tak ada respon apapun dari garis lurus di monitor tadi kecuali sedikit. Kemudian kesempatan yang kedua, mulai ada respon walau grafiknya tidak seperti keadaan normal.
"Suster, tolong naikkan daya kejutnya!"
"Baik, Dok!"
Kesempatan ketiga, setelah kedua alat itu ditautkan beberapa saat, kemudian diletakkan di dadaku, tubuhku bergetar lebih hebat, dan alhamdulillah grafik di monitor kembali mulai kembali menuju normal seperti terakhir aku melihatnya sebelum Hana mengejar Bowo.
"Terimakasih ya Allah, sehatkanlah kembali aku!" pintaku tulus setulus tulusnya.
***
Di kamar ICU itu, beberapa hari Hana setia menemaniku tanpa melihat gerak tubuhku sedikit pun. Aku benar-benar laksana mayat hidup. Alhamdulillah di hari ke tiga, kondisiku tampak membaik, setidaknya gerakan kecil jemariku membuat Hana tersenyum lebar dan segera mengabarkan kepada tenaga medis akan perkembangan tersebut.
"Mudah-mudahan, suami ibu segera sadar ya, Bu. Insya Allah, ini pertanda baik," ucap dokter setelah memeriksa keadaanku.
"Alhamdulillah, terimakasih, Dokter!"
"Sama-sama, Bu." Perangkat rumah sakit itu meninggalkan Hana yang tampak ceria yang di temani Abah Hasan dan Umi Nisa sejak kemarin sudah pararel menjagaiku.
Benar saja, dua jam kemudian aku tersadar dari masa kritis tersebut. Perlahan kubuka mataku, terasa sangat silau cahaya lampu di ruangan itu. Kini ‘arwah penasaranku’ sudah kembali bersatu dengan tuannya.
Kusapu pandangan ke arah Hana yang sangat antusias dengan kesadaranku, begitu pula dengan Abah dan Umi yang bergantian menyapaku tipis-tipis.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar, By!" ucap Abah Hasan dengan mata berkaca-kaca.
Aku hanya mengulum senyum yang berat kusunggingkan karena mulutku masih terasa kaku.
"Alhamdulillah kamu sudah melewati masa kritismu, Mas!" Hana menangis dan mengecup keningku.
Lagi-lagi, aku tak mampu berbicara apapun untuk meresponnya kecuali embun yang mulai mengumpul dan menghangat di sudut mataku sebagai jawaban. Hana kemudian menyeka air bening yang tak bisa terbendung keluar membasahi pipiku itu.
"Kamu istirahat saja ya, By. Semoga lekas membaik!" nasihat dan doa dari Umi menentramkan jiwaku.
"Ya Allah, terimakasih, Engkau karuniakan aku keluarga yang baik dan sholeh, ijinkan aku membalas kebaikan mereka semua, ya Rabb!" pintaku melangit tinggi.
Beberapa saat kemudian, aku dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Tampak kesibukan di sana kuamati dengan seksama.
Setelah aku berada di ruang perawatan, aku tertidur pulas pasca menyantap makan siang yang kesemuanya berbentuk makanan lembut itu.
Tak terasa sudah dua jam mataku terpejam, perlahan kubuka netraku. Tak kujumpai Hana dan mertuaku di samping tempat tidur seperti sebelumnya. Kusapu pandangan ke arah kanan, aku melihat ketiga orang yang menyayangiku itu kini terlihat duduk di lantai beralaskan tikar dekat tempat tidurku. Kuamati dengan seksama, terlihat mereka sedikit murung. Apakah mereka pesimis akan kesembuhanku? Atau apakah mereka bingung dengan biaya perawatanku? Bisa jadi.
Aku masih memicingkan mataku seolah masih tertidur. Melihat gestur keluargaku itu aku sedikit heran, sepertinya ada yang tak bisa kubantah, bahwa mereka menyembunyikan sesuatu, terutama Hana dan Umi.
Benar saja, tak berapa lama kemudian, Hana dan Umi tampak berbincang serius di depan pintu kamar rawatanku dan sesekali mereka mengarahkan pandangan kepadaku. Atau jangan-jangan Hana sudah memberitahukan Umi akan kedatangan Bowo tempo hari.
***
Sebulan kemudian, kondisiku mulai pulih. Aku sudah bisa berjalan normal dan beraktivitas lebih banyak. Dua pekan lalu aku sudah pulang dari rumah sakit. Namun demikian, aku masih diberi waktu untuk beristirahat oleh perusahaan tempatku bekerja dan tidak ke kantor dulu selama seminggu kemudian agar kepulihanku bisa lebih maksimal.
Selama dirawat di rumah, aku tak ingin membahas tentang apapun yang berkaitan dengan masa lalu istriku.
"Hana!"
"Iya, Mas."
"Terimakasih ya kamu sudah susah payah merawatku."
"Mas, jangan berkata seperti itu, ini kan kewajibanku sebagai istri, Sayang!"
Kutatap wajah cantik jelita itu. Ada ketulusan cinta kurasakan darinya. Ya Allah, aku tak tega untuk mengorek masa lalu istriku.
Biarkanlah jika ia memang sudah tak perawan setelah kunikahi, yang terpenting ia mencintaiku dan menjadi istri yang baik.
Ditengah kehangatan bincang pagi itu, terdengar suara pintu yang diketuk.
"Assalamu'alaikum...!"
"Wa'alaikumussalam!" jawabku dan Hana bersamaan.
Di rumah ini hanya ada kami berdua. Abah dan Umi sedang pergi ke tempat resepsi pernikahan sepupu Hana yang bernama Jamal di daerah Jakarta Utara.
Hana keluar dari kamar untuk membukakan pintu dan mengecek siapa yang memberi salam tadi. Dua menit kemudian, istriku kembali dengan wajah yang tak tenang.
"Siapa, Han?" tanyaku.
"I ... itu, Mas, Tante Silvi datang!"
"Apa! Tante Silvi datang ke sini?"
Ya Allah, darimana Tante Silvi tahu tempat ini, dan mau apa dia datang ke rumah ini. Astaga, jangan sampai dia mengacaukan keharmonisan aku dan Hana.
"Mas!" tegur Hana yang terlihat heran dengan reaksiku setelah mendengar nama Tante Silvi disebutnya.
"Iya, Han ... ayo kita temui Tante Silvi!"
Ya Allah, tolonglah.
Bersambung.
Dua menit kemudian, istriku kembali dengan wajah yang tak tenang. "Siapa, Han?" tanyaku. "I ... itu, Mas, tante kamu datang!""Apa! Tante Silvi datang ke sini?" Refleks mulutku sedikit berteriak mendengar penjelasan Hana. Tentunya Hana terlihat heran dengan reaksiku itu. Perlahan kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, dadaku mendadak berdegup. "Mau apa tante Silvi ke sini? ... Ya Allah, tolonglah aku, jauhkan tante Silvi dari kehidupanku. Aku ingin bahagia bersama Hana, ya Allah." Kembali, batinku melangitkan pinta. Hana dan aku sesekali bersitatap sebelum sampai di ruang tamu itu. Kuhela napas panjang. Hana mengernyitkan dahi, sepertinya dia bertanya-tanya dengan kepanikan yang sulit kusembunyikan ini. Sebelum wajahku tampak di hadapan tante Silvi, dari ruang tengah sayup-sayup kudengar wanita itu berbincang dengan seseorang di telepon. Bismillah ..., akhirnya aku sudah berdiri di hadapan tante Silvi yang seketika menutup teleponnya. Tak bisa kutampakkan wajah penuh manja sepert
"Nggak ngomongin yang lain 'kan, Mas?""Maksud, kamu?" tampak Hana bingung menjawabnya. Apakah sekarang waktu yang tepat ya mengintrogasi Hana tentang Bowo? "Hana ....""Eh ..., iya, Mas ....""Kok, malah bengong, sih!""Mhh ... maaf, ya, Mas ... a ... aku lagi kepikiran abah dan umi," ucapnya gugup. Pastinya Hana khawatir sekali aku mengintrogasinya terkait perkataan tante Silvi tentang, Bowo.Ah, lebih baik tak kuteruskan, deh, daripada nanti Hana bertanya lebih jauh tentang tante Silvi, bisa repot urusan. Masalah Si Bowo, nanti saja, menunggu waktu yang tepat."Mas ..., aku boleh bertanya sesuatu tidak?" Aduh, Hana mau bertanya tentang apa ya? "Mau tanya apa, Han?""Maaf, Mas ..., tadi aku sekilas mendengar percakapan kamu dengan tante Silvi ..., sebenarnya, tante Silvi itu siapa sih, Mas?"Tiba-tiba dadaku berdegup, apakah Hana sempat melihat aksi nekat tante Silvi yang menggodakku tadi? "Ta ... tante Silvi, ya, tanteku, lah, Han!""Tadi dia mengatakan ingin menagih janji kep
"Kiri, Pak!" suara beberapa orang berteriak sembari mengetuk langit-langit bus. Driver pun melambatkan laju mobilnya dengan menginjak pedal di samping kiri pedal gas hingga benda kotak panjang dan tinggi itu berhenti tepat di sebuah halte. Terlihat di seberang halte bus tersebut adalah kampus UKI. Rupanya si Bowo pun ikut turun. Satu, dua, tiga orang sudah turun, kini giliran pemuda itu yang melangkah keluar. "Tunggu, Pak supir!" tetiba saja aku bergerak ikut turun juga dari mobil. Pertarungan batin sedari tadi dimenangkan oleh rasa penasaran yang tinggi akan sosok Bowo dengan masa lalunya. "Tahan ... tahan, di belakang ada yang turun juga ...!" teriak kondektur. Kubuka pintu belakang, dan bergegas melangkah keluar setelah kuperiksa bawaanku tak ada yang tertinggal di mobil. Beberapa penumpang yang ingin naik sudah berada di depan pintu yang kubuka. Mereka sedikit menghalangi jalanku menuju tempat si Bowo berdiri yang keluar melalui pintu depan. Setelah berhasil tubuh para penum
"Bagus ... bagus! Kalian memang pasangan yang sangat serasi!" ledek Om Hendrik. "Papah! Lepaskan Robby, Pah!" teriak Tante Silvi. "Maah, Mamah ..., kamu itu orang yang tak pernah berterimakasih, ya. Padahal aku sudah memberikan segalanya untuk kesenangan kamu, Mah ...!""Papah salah, selama ini aku tak pernah bahagia, Pah. Apalagi setelah Papah menikahi wanita jalang itu, sakit hatiku, Pah, sakit!""Lalu kenapa kamu justru selingkuh sama sopir kamu sendiri, Hah?!" bentak Om Hendrik tepat di depan wajah tante Silvi setelah sebelumnya tangannya menjambak ramput istrinya yang tangannya sudah di pegangi oleh kedua lelaki kekar tadi. Dalam kondisi terbelenggu dan tak berkutik, Tante Silvi seolah tak takut dengan perlakuan suaminya yang kasar itu."Ceraikan saja aku, Pah!""Hahaha ..., enak saja kamu minta cerai, Mah. Seribu kali kamu minta itu, tak akan pernah aku kabulkan satu kali pun. Kamu itu milikku, Mah!" teriak Om Hendrik. "Om! Hentikan, Om!" teriakku. "Semua ini salah, Om, sen
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Hana penuh kecemasan mendapatkan wajahku nyaris tak berbentuk. Aku hanya diam. "Mas, siapa yang menghajar kamu seperti ini, Mas?!" Hana terus memburuku dengan pertanyaan yang sebenarnya membuatku sedikit kesal. "Sudah lah, Han ... nanti kuceritakan, lebih baik kamu buatkan aku teh manis dan air hangat, aku ingin mandi."Hana tak melanjutkan kecemasannya dengan mengintrogasiku lebih lanjut, mungkin ia sadar, seharusnya memang segera membersihkan lukaku dan melayani kebutuhanku, termasuk untuk tidak banyak bertanya di saat seperti ini. Aku rebahkan tubuh yang terasa remuk. Sakit yang sedari pertama masuk taksi, masih sangat menggangguku. Hanya dalam posisi miring ke kanan, tubuhku tak merasakan sakit. Tak berapa lama kemudian Hana membawakan aku minuman hangat dan baskom yang berisi air panas serta sehelai waslap. Setelah kuseruput teh manis hangat, Hana membersihkan luka di wajahku dan di beberapa bagian tubuh lain. "Mas, kamu nggak usah mandi ya, cukup d
"Apa kabar, Paman, Bibi, Hana?""Alhamdulillah kami sehat semua, Mal." ucap Abah mewakili aku dan Umi. "Maaf, Paman ... saya baru sempat main, maklum pengantin baru, Paman. Selain itu, bos saya kadang-kadang menelepon minta saya nemenin dia, Paman," ucap Jamal, sepepuku yang pagi ini silaturahim ke rumah Abah bersama istrinya. "Nggak apa-apa, Mal. Yang penting, kalian sehat semua ... ayo di minum tehnya!"Kami pun menikmati kudapan yang tersedia. Suasana hangat sangat terasa dalam perbincangan kami. Apalagi Jamal dan Ayu masih dalam masa-masa penuh bunga cinta setelah empat hari lalu melangsungkan pernikahan. Terpaut jarak dua bulan dengan pernikahanku."Hana, maafin aku ya, pas kamu nikahan, aku nggak bisa hadir," ucap Jamal yang berbadan kekar, berkulit gelap dengan tato yang menyembul di balik lengan kemejanya. "Nggak apa-apa, Mas Jamal, aku dan suamiku juga nggak bisa datang pas sampean nikahan. Maaf ya, waktu itu suamiku habis kecelakaan.""Iya, Han, Paman sudah cerita waktu i
"Hana, apa betul apa yang dikatakan Robby?" tanya Abah penasaran. "Abah...." Kupeluk lelaki paruh baya yang sangat kucintai dan mencintaiku itu. Tak kuasa aku menjawab langsung pertanyaannya. Hanya tangis sesegukan yang bisa kuberikan bersama pelukan erat tubuh ringkihnya. Rahasia yang selama ini aku dan Umi simpan rapat-rapat, akhirnya harus diketahui Abah. "Ada apa lagi, Hana?" Suara khawatir Umi memecah kebekuan."Umiii...." Kini wanita yang setia menemani Abah itu kupeluk erat. "Kamu kenapa, Han? Mana Robby?"Lagi-lagi, aku tercekat, tak kuasa menjelaskan kejadian terakhir yang baru saja terjadi. "Sudah, sekarang kita duduk dulu, kamu tenangkan diri dulu, Hana," ajak Abah bergetar. Setelah aku berhenti menangis, Abah kembali ke topik pembicaraan. Kulihat wajahnya sangat serius dan muram."Katakan sama Abah, apa sebenarnya yang terjadi, kenapa Robby bilang kalau kamu sudah tidak peraw*n sebelum menikah dengannya?!" tanya Abah tegas. "Ya Allah ...." Umi tampak terkejut, telapak
Mengenalnya membuatku terbuka akan idealisme seorang lelaki sejati. Wawasan luas, perangai santun dan kesetiaannya, membuatku semakin jatuh cinta. Perbowo memang berbeda dengan lelaki yang pernah kukenal. Sejak ia menyatakan perasaannya setelah mengenal aku kurang lebih satu bulan, kami selalu saling support. Walau tak seperti pasangan teman-teman satu kosan yang rutin datang setiap malam minggu, bahkan bisa dihitung dengan jari ia berkunjung ke sana, Bowo selalu spesial di mataku. "Jangan lupa sholat ya, Han!""Kamu sudah makan belum?""Jangan diforsir, ya, belajarnya, meski ujian di kampus sedang banyak, kamu harus jaga kesehatan, istirahat yang cukup, Han."Perhatian seperti itu bukan hanya sebagai pemanis hubungan saja, atau hanya main-main dalam rangka menarik perhatianku, bukan, bukan seperti itu tipe pacarku itu. Aku tahu betul kebiasaannya dan sifatnya, dia benar-benar tulus. Pria yang tak ingin menghabiskan waktu percuma itu, selalu punya waktu untuk menjaga kebugarannya.