Bagian 14 Persiapan Pernikahan “Paksa dia sampai buka mulut. Kalau tak mau siksa terus sampai mati!” perintah Isnani pada dua adik seperguruannya. Gadis keras kepala itu berhasil meringkus salah satu lelaki yang tadinya berniat melecehkannya. Tak berdaya melawan, lelaki tersebut menurut saja saat di bawa ke sebuah rumah kosong. Berkali-kali kepalanya dibenamkan dalam air yang sangat dingin sampai napasnya hampir habis. “Kuliti saja dia. Lalu lempar ke laut beri makan ikan-ikan kepalaran.” Isnani tak sabaran melihat lelaki itu tak juga mau berkata sepatah kata pun. “Be-benar, aku tak tahu apa-apa tentang mereka. Kau tahu sendiri di pasar itu banyak simbol-simbol yang bertebaran. Sudah, jangan siksa aku lagi.” Lelaki itu memohon belas kasihan pada para gadis berselendang putih. “Bohong. Kau tahu aku tak pernah main-main menyiksa orang, kau rasakan pisauku ini melepas kukumu satu demi satu.” Putri sulung Hasan itu memegang telunjuk lelaki yang ia tangkap. Kemudian ujung belatinya me
Bagian 15 Mengejar Pencuri Pangeran Antanagra mengatur pergerakan pencurian yang kali ini jumlahnya harus lebih besar. semuanya harus sudah selesai sebelum hari pernikahannya bersama dengan Isnani. Putra bungsu sultan itu sudah memesan sebuah racun yang sangat mematikan. Pangeran Antanagra tak peduli pada banyaknya nyawa yang harus ia tumbangkan demi berdirinya sebuah kerajaan baru. “Saat sudah berhasil kalian curi. Lekas bawa ke Hutan Lembah Hitam terlebih dahulu. Tempat itu berada di dekat wilayah Kerajaan Hambu Aer dan kudengar tak pernah ada orang yang berani memasukinya. Maka di sanalah tempat kalian bersembunyi sampai kapal dilabuhkan di dekat sungai. Mengerti?” tanya Antanagra memastikan pada beberapa bawahannya. Semakin lama pengikutnya semakin bertambah. Bahkan mereka berencana membawa serta keluarga mereka untuk menyingkir dari wilayah Kesultanan Samudra Pasai. “Persiapkan semua kereta dan beberapa kuda untuk mengangkut peti hasil jarahan. Tunggu aba-aba dariku, maka kal
Bagian 16 Pertengkaran Isnani memapah tubuh Gayatri yang tiba-tiba saja jatuh lemas usai memuntahkan darah. Penyihir itu tak tahan berada di dekat Maulana lama-lama. Namun, keadaan di luar yang sedang angin ribut membuat Maulana dan Isnani tak bisa meninggalkan gubug milik Gayatri. “Ah, menyusahkan saja semuanya. Pekerjaanku mengejar perampok jadi terhambat.” Isnani menggerutu ketika ia harus mengurus Gayatri yang keringatnya terus menetes di dahi. “Jangan begitu. Anggap saja menolong orang. Setelah dia sadar kita tanyai saja dia,” sahut Maulana. Pemuda berlesung pipi itu memandang kamar Gayatri yang banyak sekali sesajen di dalamnya. “Bukti sebanyak ini sudah jelas terpampang di matamu. Tuan masih ingin bertanya lagi apa dia penyihir atau tidak. Kalau di kerajaanku sudah lama habis nyawanya. Mereka ini penyumbang kejahatan terbesar. Suami dan istri terpisah, orang-orang mati dengan kejam akibat guna-guna yang dikirim.” “Aku tahu. Tapi setidaknya kita tanyai dia dulu, supaya leb
Bagian 17 Kapal Impian “Diam! Dari tadi kalian berdebat tak selesai-selesai. Maaf. Aku harus meninggikan suaraku. Tapi sebaiknya kita menenangkan diri sejenak. Hari sudah malam, sebaiknya kita istirahat.” Maulana membuat dua orang gadis yang tadinya ingin saling membunuh diam sejenak. “Setelah istirahat?” tanya balik Isnani. “Nyai, apa kau tak keberatan kalau kami bermalam di sini malam ini saja. Besok pagi kami akan pergi ke tujuan kami masing-masing.” “Tentu saja, Tuan. Tapi kau bisa beristirahat di luar, tak mungkin kita ....” “Iya, iya, aku paham, terima kasih atas kebaikan hatimu. Semoga Allah membalasmu.” Maulana ke luar tak ingin lagi satu kamar di tempat yang penuh sesajen dan patung besar itu. “Cih, baik sekali kau jadi orang. Pasti karena kau menyukainya,” gerutu Isnani tanpa didengar siapa pun. “Kau tidur di sini saja. Aku bisa mencari tempat lain,” ujar Gayatri. Ia tak mau satu tempat bersama orang yang tak bisa menjaga mulutnya. Bagi penyihir itu Isnani terlalu te
Bagian 18 Teman Lama Panglima Hasan dan Pangeran Antanagra beristirahat ketika sudah memasuki wilayah Hambu Aer. Mereka harus sesegera mungkin menemukan Isnani dan para perampok itu, sebab pernikahan besar akan digelar hanya dalam kurun waktu tak sampai sepekan. Putra bungsu sultan Samudra Pasai tersebut tak ingin semua yang ia rencanakan gagal begitu saja. Ia harus menggenggam keduanya, cinta Isnani dan juga kerajaan baru yang akan ia bangun. Lelaki berwajah rupawan itu pergi mencuci mukanya di sungai. Ia berkaca di aliran air yang jernih. Mustahil rasanya jika Isnani tak jatuh cinta padanya, sebab wajahnya juga tak kalah tampan dibandingkan dua abangnya. Pangeran Antanagra mendongak ketika ia mendengar pekik suara elang yang terbang rendah ke arahnya. Burung pemangsa itu kemudian bertengger di sebuah dahan di mana sang pangeran duduk di dekatnya. Melihat sebuah surat diikat di bagian kaki, gegas lelaki itu mengambilnya, kemudian elang itu terbang menjauh usai tugasnya ditunaikan.
Bagian 19 Tuan Guru Syarif Hidayatullah Pagi buta sekali Ratu Prameswari telah ke luar dari istananya. Ia akan mengunjungi sebuah makam yang tak sama sekali ia duga akan datangi. Penyebab utamanya karena ia dihantui dalam mimpi jika Danur Seta dan Gandari telah hidup bahagia di alam lain. Padahal Gandari saat mengembuskan napas terakhir masih bersuamikan Syarif Hidayatullah. Ratu Prameswari hanya dihantui ketakutannya sendiri saja yang tak beralasan. Wanita itu berjalan ketika orang-orang sedang menunaikan ibadah Shubuh di masjid yang berdindingkan papan dan beralaskan tanah. Ia tak mengizinkan pengawalnya ikut. Ratu Prameswari hanya ingin berbicara berdua dengan batu nisan yang bertuliskan nama Gandari saja. “Apa hebatnya dirimu sampai dicintai Kanda Danur Seta sebegitu mendalamnya. Bahkan saat ia mengembuskan napas terakhirnya masih namamu yang disebutnya.” Ratu Prameswari menatap gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan. Makam itu begitu sederhana tak seperti milik keluar
Bagian 20 Tewasnya Sang Guru Tanpa rasa curiga sama sekali, usai membaca bismillah, Syari meminum air dari cawan yang disodorkan Danur Atmaja. Ia tak makan, sebab sedang tak enak hati memasukkan makanan ke dalam perutnya. Syarif mengutarakan pendapatnya. Meminta agar sang prabu tak memasukkan unsur kemusyrikkan dalam beragama. Tak bisa dua hal yang bertentangan dicampur adukkan, dengan alasan apa pun. Tak ingin berdebat, Danur Atmaja mengiyakan saja apa perkataan Tuan Guru di depannya. Lagi pula ia tak ingin Syarif mati di dalam istana, sebab tak lama lagi racun itu akan bekerja menghentikan semua organ dalam yang amat penting. “Kuberi waktu satu bulan, Gusti Prabu. Jika tidak aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menggempur istana ini jika kesesatan masih terus dibina.” Syarif tak takut dengan anak muda bergelar raja di depannya.“Engkau mengancam seorang raja, Tuan Guru.” Danur Atmaja berdiri dan memandang Syarif dengan penuh ancaman. “Ya, hal yang sama pernah kulakukan
Bagian 21 Menyelamatkan Gadis Yang Dicintai Pangeran Antanagra bersama sepuluh punggawa pilih tanding menaiki sampan yang disewa dari penduduk desa setempat. Mereka mempertarukan keselamatan diri sendiri demi menyelamatkan Isnani dan mencari harta Samudra Pasai yang mungkin dibawa para perampok ke tempat menyeramkan itu. “Pangeran. Bagaimana kalau kita harus memilih salah satu yang harus diselamatkan dulu, mengingat tempat ini bukanlah dalam kekuasan kita,” tanya salah satu punggawa yang memimpin perjalanan. “Selamatkan Isnani dulu. Masalah harta bisa dicari, tapi calon istri sepertinya hanya ada satu di dunia ini. Pertanggung jawaban dengan Sultan, aku yang akan mengurusnya. Kalian turuti saja apa perintahku. Mengerti? Bunuh siapa pun yang menghalangi atau menyakiti calon istriku.” Lantang Pangeran Antanagra mengucapkan perintahnya. Rombongan itu menambatkan sampannya. Mereka orang-orang terpilih tak hanya dari segi bela diri saja. Namun, ilmu agama pun tak luput mereka kuasai.