Malam pertama mereka di desa tersebut, tercipta suasana damai dan tenang. Mereka diberi tempat tinggal yang sederhana, dengan tikar pandan sebagai alas tidur dan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh. "Sepi sekali desa ini. Padahal di luar sedang terang bulan, mengapa anak-anak tidak ada yang bermain-main di halaman?" tanya Mardawa kepada Dewi Rimbu dan Semboja. Mereka duduk di luar karena ingin melihat bulan. Padahal tadi sudah diwanti-wanti penduduk agar mereka segera masuk."Iya, padahal ini indah." Dewi Rimbu menimpali. Teringat masa kanak-kanaknya.Semboja diam saja, dirinya tidak turut bicara. Dia merasa canggung duduk di antara mereka. Namun, dirinya harus pandai-pandai menjaga perasaan. Dia tidak boleh cemburu melihat kedekatan mereka."Siapa tahu memang sangat berbahaya. Mereka lebih tahu keadaan kampung ini." Akhirnya Semboja turut berbicara. Lama-lama anginnya terasa lain. Ada hawa dingin setelah sebelumnya hawa dirasakan cukup hangat."Ya, mereka bilang setiap malam bulan
Semboja mendengar teriakan Dewi Rimbu dan segera melompat ke samping, menghindari serangan Pimpinan Serigala. Gadis itu melihat cakarnya yang tajam seperti pisau bercahaya di bawah sinar rembulan. Pikirannya berkecamuk, bagaimana bisa dia bertahan menghadapi musuh yang begitu kuat."Kau tidak akan lolos, Semboja!" Pimpinan Serigala mencibir, ujung cakarnya menggoreskan luka di wajah Semboja. Gadis itu menahan napas, mengumpulkan keberanian untuk melawan.Sementara itu, Dewi Rimbu dan Mardawa berada di satu sisi medan pertempuran, terhalang oleh sejumlah serigala buas. Mereka mengeluarkan suara menggeram dengan tatapan matanya yang liar. Mardawa berusaha membantu Semboja, tapi harus melawan ancaman serigala-serigala tersebut terlebih dahulu.Semboja mundur beberapa langkah, merasakan sakit yang menjalar dari luka di pipinya. "Aku tidak akan menyerah begitu saja," gumamnya sambil menggenggam erat pedang pemberian Dewi Rimbu.Dengan langkah pasti, dirinya mulai meliuk-liukkan tangan, me
Mardawa, Semboja dan Dewi Rimbu hampir tersedak saat mendengar kata-kata ketua kampung. Mereka saling pandang, rasanya ingin tertawa tapi mereka tahan.Mereka hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa. Mereka tahu alasan di balik permintaan kepala kampung itu. Selama beberapa bulan terakhir, penduduk desa telah hidup dalam teror akibat serangan makhluk misterius yang menculik ternak penduduk. Setelah melalui perjuangan tadi, para pendekar itu berhasil menaklukkan serigala penebar teror.Dihadapkan pada permintaan itu, mereka merasa canggung. Meski mereka telah memperoleh kemenangan besar, tidak seharusnya kepala kampung meminta mereka tinggal."Kepala kampung," ucap Mardawa sambil menggaruk kepalanya. "Kami merasa terhormat atas tawaran ini, tapi mungkin lebih baik jika kami minta waktu untuk memikirkannya sebelum memutuskan.""Aku setuju," Semboja menimpali, gadis itu mengepalkan tangannya dengan gugup. "Kami semua punya kehidupan sendiri-sendiri sebelum datang ke sini."Dewi
Kusuma terbangun sambil memandang sekeliling. Dia tidak berada di hutan seperti sebelumnya. Di sampingnya ada Eyang Chou yang sedang berkomat-kamit. Entah mantra apa yang sedang dibacanya.Kusuma merasa bingung dan sedikit ketakutan. Dia mencoba mengenali tempat di sekitarnya, tetapi semua terasa begitu asing. Eyang Chou tampaknya sangat fokus dengan mantra yang sedang dibacakannya dan tidak memperhatikan Kusuma yang menunjukkan kecemasan di wajahnya.Eyang Chou akhirnya menghentikan bacaan mantranya, melirik Kusuma lalu tersenyum. "Jangan khawatir, Nak," ujarnya lembut. "Kamu sudah berada di pondok lagi. Semua yang kamu alami adalah halusinasi."Kusuma mencoba menenangkan diri dan menerima penjelasan Eyang Chou. "Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya penasaran. Rasanya dirinya mampu mengingat apa yang baru saja dialaminya.Masih terlihat olehnya hutan yang penuh daya magis. Tiba-tiba ada sebuah pondok, tiba-tiba muncul sebuah jembatan. Burung-burung dan hewan lainnya bis
Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja melanjutkan perjalanan. Mereka bertekad untuk mencari pembunuh Intan. Sebenarnya Mardawa lebih suka jika dirinya sendirian, tapi keselamatan kedua gadis itu menjadi tanggung jawabnya kini. Dia tidak mau mereka malah menjadi korban lagi."Yakin kamu gak tertarik dengan putri kepala kampung, Mardawa?" tanya Dewi Rimbu. Sepanjang jalan mereka tertawa dan bercanda. Belum ada tujuan pasti yang mereka tuju. "Ah, dia bukan tipeku," jawab Mardawa sambil tersenyum tipis. "Kapan pun aku menyelamatkan seseorang, mereka sering kali berpikir aku jatuh cinta. Padahal, aku hanya ingin menjadi penolong saja." Mardawa berkata tegas sambil melihat-lihat ke atas pohon. Ada beberapa burung yang menarik perhatiannya."Iya, Kakang. Tidak jarang mereka salah paham." Semboja ikut-ikutan berbicara. Dalam hatinya dia merasa tersindir dengan kata-kata Mardawa. Dia juga teringat Kusuma yang menyukai Mardawa karena pernah ditolongnya.Perjalanan mereka semakin jauh, melewati pepoh
Semboja memperhatikan Kusuma, dia belum percaya jika gadis itu tidak mengenalnya. "Apakah seseorang sudah mengambil memorinya?" tanya Semboja dalam hatinya. Sementara Mardawa reflek melompat ke depan Kusuma mendengar teriakan gadis itu. Dia harus melindungi gadis tersebut dari makhluk yang baru datang. "Jangan mendekat!" teriak Kusuma. Dewi Rimbu dan Semboja turut melindungi Kusuma. Walau Kusuma bukan teman yang baik, tapi mereka tidak membiarkan dirinya diserang orang tak dikenal.Makhluk aneh itu berhenti dan memperhatikan keempat orang yang terlihat bersatu menghadapinya. Pandangan tajamnya menembus ke dalam jiwa, seolah mencari sesuatu yang ada di dalam diri mereka."Itu siapa, sih?" tanya Dewi Rimbu. Wanita itu rupanya sedikit gentar menghadapi makhluk itu. Entah manusia atau bukan, tidak jelas bentuk mukanya."Aku juga tidak tahu," jawab Mardawa. "Tapi kita harus hati-hati, sepertinya dia bukan makhluk yang biasa." Mardawa curiga dengan kehadiran lelaki tersebut. Mungkin saja
Mardawa tidak menyadari perasaan kedua gadis itu. Dirinya fokus pada pertarungannya dengan Saga. Jika tiba-tiba tangannya dan Kusuma saling bertautan itu di luar kehendaknya.Mereka semua berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak menyangka akan berjuang bersama dalam perjalanan yang penuh dengan rintangan dan misteri. Mardawa dan Kusuma ditugaskan sebagai pembasmi dunia kegelapan ciptaan Saga. Kusuma sebagai pendekar baru tentu saja belum mengerti sepenuhnya tentang dunia persilatan.Dewi Rimbu dan Semboja menyingkir. Mereka tidak ikut ambil bagian kali ini. Gadis-gadis itu tahu, Kusuma mendapatkan wangsit untuk menumpas Saga bersama Mardawa. Kusuma melompat ke tengah medan pertempuran. Dia bersama dengan energi yang baru saja didapatkan. "Ayo, Mardawa! Kita harus menghancurkan apa yang sudah dibangun Saga!"Mardawa mengangguk setuju, "Kita harus bisa melawan Saga. Harus bisa mengembalikan keseimbangan hutan yang telah hilang." Mardawa melompat mendampingi Kusuma.Batu Ujian mem
Dewi Rimbu tampak canggung di hadapan mereka. Terbuka sudah rahasianya kini, jika dirinya mengenal Saga. Apa yang harus dikatakannya sekarang, mereka sudah tidak percaya lagi kepadanya. Semboja tentu akan mendakwa dirinya sebagai pembunuh, jika dirinya berterus-terang."Aku memang mengayominya sebagai serigala yang baik, tapi ternyata dia sudah banyak memakan korban." Ingin sekali Dewi Rimbu berkata seperti itu. Namun, rasanya lidahnya kelu. Tidak sanggup rasanya jika mereka mencurigainya bersekongkol dengan penebar teror di kampung."Ya, aku memang mengenal Saga. Aku tidak pernah berkhianat pada siapa pun. Raja Rimbu sudah banyak membunuh penduduk." Akhirnya Dewi Rimbu menjelaskan. "Maksudnya apa?" tanya Mardawa. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Dewi Rimbu. "Kematian ronggeng," jawab Dewi Rimbu singkat.Jawaban singkat tapi membuat Mardawa dan Semboja tercekat. Mereka tidak menyangka sama sekali jika Dewi Rimbu tahu kematian ronggeng itu."Jadi … pembunuh … pembunuh Intan