Semboja memperhatikan Kusuma, dia belum percaya jika gadis itu tidak mengenalnya. "Apakah seseorang sudah mengambil memorinya?" tanya Semboja dalam hatinya. Sementara Mardawa reflek melompat ke depan Kusuma mendengar teriakan gadis itu. Dia harus melindungi gadis tersebut dari makhluk yang baru datang. "Jangan mendekat!" teriak Kusuma. Dewi Rimbu dan Semboja turut melindungi Kusuma. Walau Kusuma bukan teman yang baik, tapi mereka tidak membiarkan dirinya diserang orang tak dikenal.Makhluk aneh itu berhenti dan memperhatikan keempat orang yang terlihat bersatu menghadapinya. Pandangan tajamnya menembus ke dalam jiwa, seolah mencari sesuatu yang ada di dalam diri mereka."Itu siapa, sih?" tanya Dewi Rimbu. Wanita itu rupanya sedikit gentar menghadapi makhluk itu. Entah manusia atau bukan, tidak jelas bentuk mukanya."Aku juga tidak tahu," jawab Mardawa. "Tapi kita harus hati-hati, sepertinya dia bukan makhluk yang biasa." Mardawa curiga dengan kehadiran lelaki tersebut. Mungkin saja
Mardawa tidak menyadari perasaan kedua gadis itu. Dirinya fokus pada pertarungannya dengan Saga. Jika tiba-tiba tangannya dan Kusuma saling bertautan itu di luar kehendaknya.Mereka semua berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak menyangka akan berjuang bersama dalam perjalanan yang penuh dengan rintangan dan misteri. Mardawa dan Kusuma ditugaskan sebagai pembasmi dunia kegelapan ciptaan Saga. Kusuma sebagai pendekar baru tentu saja belum mengerti sepenuhnya tentang dunia persilatan.Dewi Rimbu dan Semboja menyingkir. Mereka tidak ikut ambil bagian kali ini. Gadis-gadis itu tahu, Kusuma mendapatkan wangsit untuk menumpas Saga bersama Mardawa. Kusuma melompat ke tengah medan pertempuran. Dia bersama dengan energi yang baru saja didapatkan. "Ayo, Mardawa! Kita harus menghancurkan apa yang sudah dibangun Saga!"Mardawa mengangguk setuju, "Kita harus bisa melawan Saga. Harus bisa mengembalikan keseimbangan hutan yang telah hilang." Mardawa melompat mendampingi Kusuma.Batu Ujian mem
Dewi Rimbu tampak canggung di hadapan mereka. Terbuka sudah rahasianya kini, jika dirinya mengenal Saga. Apa yang harus dikatakannya sekarang, mereka sudah tidak percaya lagi kepadanya. Semboja tentu akan mendakwa dirinya sebagai pembunuh, jika dirinya berterus-terang."Aku memang mengayominya sebagai serigala yang baik, tapi ternyata dia sudah banyak memakan korban." Ingin sekali Dewi Rimbu berkata seperti itu. Namun, rasanya lidahnya kelu. Tidak sanggup rasanya jika mereka mencurigainya bersekongkol dengan penebar teror di kampung."Ya, aku memang mengenal Saga. Aku tidak pernah berkhianat pada siapa pun. Raja Rimbu sudah banyak membunuh penduduk." Akhirnya Dewi Rimbu menjelaskan. "Maksudnya apa?" tanya Mardawa. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Dewi Rimbu. "Kematian ronggeng," jawab Dewi Rimbu singkat.Jawaban singkat tapi membuat Mardawa dan Semboja tercekat. Mereka tidak menyangka sama sekali jika Dewi Rimbu tahu kematian ronggeng itu."Jadi … pembunuh … pembunuh Intan
Mardawa cepat-cepat memburu Dewi Rimbu. Serangan Saga berhenti di udara. Tangan Dewi Rimbu cepat ditarik Mardawa, gadis itu terhuyung saat badannya ikut tertarik. "Hup!" seru Mardawa. Tubuh gadis itu jatuh ke dalam pelukannya. Bersandar di dadanya yang bidang."Ehh!" Semboja yang baru saja datang cepat-cepat memalingkan wajahnya. Jengah sekali melihat Dewi Rimbu dipelukan Mardawa. "Apa-apaan mereka!" rutuknya dalam hati."Hihihi hihi." Kusuma yang masih kehilangan ingatan masih sempat cekikikan. Padahal ketegangan sedang di depan mata. Kusuma tidak ada rasa cemburu karena dirinya lupa dengan perasaannya terhadap Mardawa. Jika saja dia ingat, betapa dulu sangat tergila-gila dengan pemuda tersebut.Semboja dengan muka pucat kembali menatap mereka. Dewi Rimbu cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan Mardawa. Menjauh dari dada pemuda itu dengan muka merah."Apa-apaan ini." Dewi Rimbu marah. Dirinya terlanjur malu dengan Semboja dan Kusuma. "Maaf, aku tidak sengaja." Mardawa tertawa keci
Mardawa kaget saat mendengar Kusuma menyebutnya Kakang. Dari sejak bertemu lagi Kusuma selalu menyebutnya nama saja, tidak ada embel-embel kakang. Mardawa menyangka jika masih berpura-pura."Aku di mana?" tanya Kusuma. "Hey … mengapa ada kamu juga?" Kusuma menunjuk Semboja. Dia memasang muka permusuhan dengan gadis tersebut. Rupanya Kusuma ingat dengan musuh utamanya dalam merebut perhatian Mardawa."Kusuma mabuk kecubung apa, ya?" pikir Mardawa. Dia tidak habis pikir dengan semua ulah Kusuma. Saat bertemu, tidak ingat siapa dirinya, setelah pingsan malah memusuhi semua orang."Sadar sih! Dari kemarin mabuk terus!" Mardawa menyindir Kusuma. Sepet matanya melihat tingkah Kusuma yang seperti dulu lagi, sombong dan tak menghargai orang lain. Hilang ingatan tidak membuatnya jera.Semboja hanya bengong melihat tingkah Kusuma. Dia yakin kini ingatan Kusuma sudah kembali. Segala watak dia yang sesungguhnya pun kembali. "Apa yang kau lakukan padaku, Kakang?" tanya Kusuma lagi. Tiba-tiba terl
Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja cepat-cepat pergi sebelum asap dari Sumbu Pencair Balok Es menipis. Mereka secepatnya harus meninggalkan Kusuma yang semakin gak jelas tingkahnya. Dia yang kembali ingatannya, malah lebih gila keinginannya."Ooh, merepotkan sekali membawamu." Dewi Rimbu mengeluh sambil membawa Saga. Pasungan balok es itu sudah dikecilkan agar tidak terlalu repot membawanya."Berikan padaku!" suruh Mardawa. Tanpa menunggu lagi, pemuda itu mengambil alih Saga. Mereka kembali berlari meninggalkan hutan sihir Saga.Semboja mengikuti Dewi Rimbu, dia tidak banyak bicara. Keakraban Dewi Rimbu dan Mardawa akhir-akhir ini mengganggu hatinya.Seiring mereka berlari, angin bertiup semakin kencang menandakan bahwa hujan badai akan datang. Cabang-cabang pohon yang kering semakin bergerak liar, serta yang ada di sekitar mereka bergoyang kencang."Kita harus mencari tempat berlindung sebelum badai mengejar kita," ujar Mardawa, seraya mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Angin kenc
Kusuma yang mencari informasi tentang Mardawa dan kawan-kawannya seperti mendapatkan petunjuk. Dirinya kini hanya perlu mencari air terjun di pegunungan. "Aku harus secepatnya pergi agar mereka tidak terlalu jauh." Kusuma bersiap-siap untuk keluar dari hutan sihir Saga. "Aah, sial!" teriaknya. Dia memandang ke atas langit, pohon-pohon seperti ditarik ke sana-sini. Angin puting beliung rupanya melanda hutan tersebut."Apakah ini juga termasuk sihir?" tanyanya dalam hati. Kusuma cepat-cepat mencari tempat untuk berlindung. "Badai dan hujan," gumamnya sambil melihat ke arah jarum-jarum kecil yang semakin deras.Kusuma berhasil menemukan sebuah gua kecil, tempat yang ideal untuk berlindung sementara badai melanda. Di dalam gua, dia menyalakan api menggunakan batu dan ranting-ranting kering untuk menghangatkan tubuhnya. Ternyata si Biru turut serta."Siapakah mereka, Kusuma?" tanya si Biru, yang datang dari kegelapan gua. Dia adalah teman sekaligus pelindung yang selalu menemani Kusuma ki
Waktu terus berjalan, hari mulai gelap. Rintik hujan mulai turun, menciptakan atmosfer yang semakin menegangkan. Panji dan Asoka saling bertukar pandang sesaat, lalu bersiap-siap menghadapi amukan Mardawa. Mereka tidak pernah kapok mencari masalah dengan pemuda itu."Sudah cukup, Mardawa!" seru Panji dengan nada penuh ancaman. "Kembalikan Semboja! Jika kamu tidak juga mengalah, kami tidak akan segan-segan menghilangkanmu dari muka bumi ini!"Mardawa menggertakkan giginya, menahan amarah yang mulai memuncak. "Kalian berdua tidak akan pernah bisa mengalahkanku! Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk melindungi Semboja!"Di antara suara gemuruh hujan dan angin, mereka bertiga mulai mengumpulkan tenaga dan strategi yang akan dijalankan dalam pertempuran sengit. Panji, yang percaya diri dan tenang, mengarahkan pandangan tajamnya pada Mardawa. Asoka, yang keberaniannya tak tertandingi, bersiap mendampingi Panji menghadapi musuh bebuyutan mereka itu.Secara mendadak, Mardawa melepaskan puku