Mardawa kaget saat mendengar Kusuma menyebutnya Kakang. Dari sejak bertemu lagi Kusuma selalu menyebutnya nama saja, tidak ada embel-embel kakang. Mardawa menyangka jika masih berpura-pura."Aku di mana?" tanya Kusuma. "Hey … mengapa ada kamu juga?" Kusuma menunjuk Semboja. Dia memasang muka permusuhan dengan gadis tersebut. Rupanya Kusuma ingat dengan musuh utamanya dalam merebut perhatian Mardawa."Kusuma mabuk kecubung apa, ya?" pikir Mardawa. Dia tidak habis pikir dengan semua ulah Kusuma. Saat bertemu, tidak ingat siapa dirinya, setelah pingsan malah memusuhi semua orang."Sadar sih! Dari kemarin mabuk terus!" Mardawa menyindir Kusuma. Sepet matanya melihat tingkah Kusuma yang seperti dulu lagi, sombong dan tak menghargai orang lain. Hilang ingatan tidak membuatnya jera.Semboja hanya bengong melihat tingkah Kusuma. Dia yakin kini ingatan Kusuma sudah kembali. Segala watak dia yang sesungguhnya pun kembali. "Apa yang kau lakukan padaku, Kakang?" tanya Kusuma lagi. Tiba-tiba terl
Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja cepat-cepat pergi sebelum asap dari Sumbu Pencair Balok Es menipis. Mereka secepatnya harus meninggalkan Kusuma yang semakin gak jelas tingkahnya. Dia yang kembali ingatannya, malah lebih gila keinginannya."Ooh, merepotkan sekali membawamu." Dewi Rimbu mengeluh sambil membawa Saga. Pasungan balok es itu sudah dikecilkan agar tidak terlalu repot membawanya."Berikan padaku!" suruh Mardawa. Tanpa menunggu lagi, pemuda itu mengambil alih Saga. Mereka kembali berlari meninggalkan hutan sihir Saga.Semboja mengikuti Dewi Rimbu, dia tidak banyak bicara. Keakraban Dewi Rimbu dan Mardawa akhir-akhir ini mengganggu hatinya.Seiring mereka berlari, angin bertiup semakin kencang menandakan bahwa hujan badai akan datang. Cabang-cabang pohon yang kering semakin bergerak liar, serta yang ada di sekitar mereka bergoyang kencang."Kita harus mencari tempat berlindung sebelum badai mengejar kita," ujar Mardawa, seraya mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Angin kenc
Kusuma yang mencari informasi tentang Mardawa dan kawan-kawannya seperti mendapatkan petunjuk. Dirinya kini hanya perlu mencari air terjun di pegunungan. "Aku harus secepatnya pergi agar mereka tidak terlalu jauh." Kusuma bersiap-siap untuk keluar dari hutan sihir Saga. "Aah, sial!" teriaknya. Dia memandang ke atas langit, pohon-pohon seperti ditarik ke sana-sini. Angin puting beliung rupanya melanda hutan tersebut."Apakah ini juga termasuk sihir?" tanyanya dalam hati. Kusuma cepat-cepat mencari tempat untuk berlindung. "Badai dan hujan," gumamnya sambil melihat ke arah jarum-jarum kecil yang semakin deras.Kusuma berhasil menemukan sebuah gua kecil, tempat yang ideal untuk berlindung sementara badai melanda. Di dalam gua, dia menyalakan api menggunakan batu dan ranting-ranting kering untuk menghangatkan tubuhnya. Ternyata si Biru turut serta."Siapakah mereka, Kusuma?" tanya si Biru, yang datang dari kegelapan gua. Dia adalah teman sekaligus pelindung yang selalu menemani Kusuma ki
Waktu terus berjalan, hari mulai gelap. Rintik hujan mulai turun, menciptakan atmosfer yang semakin menegangkan. Panji dan Asoka saling bertukar pandang sesaat, lalu bersiap-siap menghadapi amukan Mardawa. Mereka tidak pernah kapok mencari masalah dengan pemuda itu."Sudah cukup, Mardawa!" seru Panji dengan nada penuh ancaman. "Kembalikan Semboja! Jika kamu tidak juga mengalah, kami tidak akan segan-segan menghilangkanmu dari muka bumi ini!"Mardawa menggertakkan giginya, menahan amarah yang mulai memuncak. "Kalian berdua tidak akan pernah bisa mengalahkanku! Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk melindungi Semboja!"Di antara suara gemuruh hujan dan angin, mereka bertiga mulai mengumpulkan tenaga dan strategi yang akan dijalankan dalam pertempuran sengit. Panji, yang percaya diri dan tenang, mengarahkan pandangan tajamnya pada Mardawa. Asoka, yang keberaniannya tak tertandingi, bersiap mendampingi Panji menghadapi musuh bebuyutan mereka itu.Secara mendadak, Mardawa melepaskan puku
Mardawa menjaga Dewi Rimbu yang mulai lemas. Dirinya hanya bisa menunggu, berdoa semoga Semboja berhasil menemukan daun ajaib itu. Rasanya dia sudah memberikan ramuan yang benar dengan resep dari Eyang Suwita.Setelah berjam-jam mencari, akhirnya Semboja menemukan Daun Mustika di puncak bukit, tersembunyi di antara semak-semak. Gadis itu berlari pulang dengan penuh perasaan cemas akan keadaan Dewi Rimbu. Begitu sampai, Semboja langsung menggiling daun tersebut dan mencampurnya dengan air yang terdapat di hutan itu."Ini, minumlah Dewi," Semboja memberikan ramuan baru itu ke tangan Dewi Rimbu yang lemah. Mardawa membantu gadis itu. Dewi Rimbu mengangguk dan meneguk ramuan itu, walau dengan ragu. Mardawa dan Semboja berdiri tegak menunggu, hati mereka dipenuhi dengan harapan."Ini, minumlah Dewi," Semboja memberikan ramuan baru itu ke tangan Dewi Rimbu yang lemah.Dewi Rimbu mengangguk dan meneguk ramuan itu, walau dengan ragu. Mardawa dan Semboja berdiri tegak menunggu, hati mereka di
Mardawa dan Semboja memperhatikan Dewi Rimbu yang berangsur pulih. Mereka sangat gembira dengan berhasilnya mengobati Dewi Rimbu. Ternyata daun itu sangat manjur mengobati luka dalam."Kalian berdua baik-baik di sini. Aku harus pergi." Tiba-tiba Mardawa berucap demikian, tentu saja itu mengagetkan mereka. "Dewi Rimbu belum pulih betul," ucap Semboja. Mencoba menahan pemuda tersebut. Dirinya merasa ragu jika sendirian menjaga Dewi Rimbu."Kalian aman di sini." Mardawa diam seperti mendengar suara. Dengan cepat dia berkelebat dan keluar dari goa. Semboja menyusul sampai mulut goa. "Masuk!" Mardawa masih sempat berteriak. Dia melesat menuju ke arah selatan. Semboja menurut, kembali masuk ke dalam goa yang menjadi tempat persembunyian mereka. Sementara Mardawa terus berlari kencang melawan angin di antara pepohonan yang menutupi jalanan. Terdengar suara aneh di telinganya yang tajam.Semboja dan Dewi Rimbu merasa kehadiran Mardawa memberikan ketenangan tersendiri dalam hati mereka. Mer
Mardawa kaget mendengar perkataan Eyang Chou. Dia memandang berkeliling dengan jelalatan. Tadi mendengar nama Kusuma disebut seketika rasa marahnya timbul. Ada hubungan apa Eyang Chou dengan Kusuma."Siapa, Kek?" tanya Mardawa. Berharap dirinya salah dengar. Pemuda itu tidak mau melihat tampang gadis itu lagi."Kusuma, dia anak sahabatku dan sudah kuanggap anak sendiri." Kembali Eyang Chou berkata. Dia memandang tempat saat tadi meninggalkan Kusuma. "Kusuma keluarlah!" Di tempat persembunyian, Kusuma merasa hawa panas menyelimuti tubuhnya. Keringat membasahi wajah dan lehernya. Bahkan, terasa udara di sekitarnya menjadi lebih panas dari perapian. Dengan malu-malu Kusuma keluar. Mardawa memperhatikan gadis itu tanpa kedip. Dalam hatinya dia tidak suka dengan tingkah Kusuma."Kusuma, kamu berhutang maaf padaku," ujar Mardawa dengan suara pelan tapi cukup terdengar.Eyang Chou heran, dia memandang Kusuma dengan penuh tanda tanya. Dirinya menyangka jika Kusuma dan Mardawa belum pernah ber
Panji memperhatikan yang tengah terjadi dengan lutut bergetar. Pendekar berjiwa pecundang itu masih menimbang-nimbang untuk turun menolong Semboja.Serigala hitam itu berhenti beberapa langkah sebelum mendekati Semboja. Matanya menatap tajam ke arah gadis itu, napas hangatnya terlihat mengepul dalam udara yang dingin. Namun, Semboja tidak menyadari bahaya yang sebenarnya tengah menghampirinya."Semboja, hati-hati!" teriak Panji, berusaha memperingatkan gadis itu. Suaranya tertelan oleh angin dan derasnya suara arus sungai. Beberapa kali Panji berteriak.Serigala itu perlahan mengendurkan otot-ototnya, bersiap untuk melompat dan menyerang saat Semboja tidak menghiraukan keberadaannya. Panji tak mau menyerah, pemuda itu meraih ranting di sekitarnya, lalu dengan cepat menyulutnya untuk membuat obor dari beberapa dahan kering. Dalam hati, dirinya berharap api itu dapat mengusir serigala tersebut. Panji membawanya dengan hati-hati.Panji kembali mendekati tepi tebing, obor yang dipegangnya
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti