Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja cepat-cepat pergi sebelum asap dari Sumbu Pencair Balok Es menipis. Mereka secepatnya harus meninggalkan Kusuma yang semakin gak jelas tingkahnya. Dia yang kembali ingatannya, malah lebih gila keinginannya."Ooh, merepotkan sekali membawamu." Dewi Rimbu mengeluh sambil membawa Saga. Pasungan balok es itu sudah dikecilkan agar tidak terlalu repot membawanya."Berikan padaku!" suruh Mardawa. Tanpa menunggu lagi, pemuda itu mengambil alih Saga. Mereka kembali berlari meninggalkan hutan sihir Saga.Semboja mengikuti Dewi Rimbu, dia tidak banyak bicara. Keakraban Dewi Rimbu dan Mardawa akhir-akhir ini mengganggu hatinya.Seiring mereka berlari, angin bertiup semakin kencang menandakan bahwa hujan badai akan datang. Cabang-cabang pohon yang kering semakin bergerak liar, serta yang ada di sekitar mereka bergoyang kencang."Kita harus mencari tempat berlindung sebelum badai mengejar kita," ujar Mardawa, seraya mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Angin kenc
Kusuma yang mencari informasi tentang Mardawa dan kawan-kawannya seperti mendapatkan petunjuk. Dirinya kini hanya perlu mencari air terjun di pegunungan. "Aku harus secepatnya pergi agar mereka tidak terlalu jauh." Kusuma bersiap-siap untuk keluar dari hutan sihir Saga. "Aah, sial!" teriaknya. Dia memandang ke atas langit, pohon-pohon seperti ditarik ke sana-sini. Angin puting beliung rupanya melanda hutan tersebut."Apakah ini juga termasuk sihir?" tanyanya dalam hati. Kusuma cepat-cepat mencari tempat untuk berlindung. "Badai dan hujan," gumamnya sambil melihat ke arah jarum-jarum kecil yang semakin deras.Kusuma berhasil menemukan sebuah gua kecil, tempat yang ideal untuk berlindung sementara badai melanda. Di dalam gua, dia menyalakan api menggunakan batu dan ranting-ranting kering untuk menghangatkan tubuhnya. Ternyata si Biru turut serta."Siapakah mereka, Kusuma?" tanya si Biru, yang datang dari kegelapan gua. Dia adalah teman sekaligus pelindung yang selalu menemani Kusuma ki
Waktu terus berjalan, hari mulai gelap. Rintik hujan mulai turun, menciptakan atmosfer yang semakin menegangkan. Panji dan Asoka saling bertukar pandang sesaat, lalu bersiap-siap menghadapi amukan Mardawa. Mereka tidak pernah kapok mencari masalah dengan pemuda itu."Sudah cukup, Mardawa!" seru Panji dengan nada penuh ancaman. "Kembalikan Semboja! Jika kamu tidak juga mengalah, kami tidak akan segan-segan menghilangkanmu dari muka bumi ini!"Mardawa menggertakkan giginya, menahan amarah yang mulai memuncak. "Kalian berdua tidak akan pernah bisa mengalahkanku! Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk melindungi Semboja!"Di antara suara gemuruh hujan dan angin, mereka bertiga mulai mengumpulkan tenaga dan strategi yang akan dijalankan dalam pertempuran sengit. Panji, yang percaya diri dan tenang, mengarahkan pandangan tajamnya pada Mardawa. Asoka, yang keberaniannya tak tertandingi, bersiap mendampingi Panji menghadapi musuh bebuyutan mereka itu.Secara mendadak, Mardawa melepaskan puku
Mardawa menjaga Dewi Rimbu yang mulai lemas. Dirinya hanya bisa menunggu, berdoa semoga Semboja berhasil menemukan daun ajaib itu. Rasanya dia sudah memberikan ramuan yang benar dengan resep dari Eyang Suwita.Setelah berjam-jam mencari, akhirnya Semboja menemukan Daun Mustika di puncak bukit, tersembunyi di antara semak-semak. Gadis itu berlari pulang dengan penuh perasaan cemas akan keadaan Dewi Rimbu. Begitu sampai, Semboja langsung menggiling daun tersebut dan mencampurnya dengan air yang terdapat di hutan itu."Ini, minumlah Dewi," Semboja memberikan ramuan baru itu ke tangan Dewi Rimbu yang lemah. Mardawa membantu gadis itu. Dewi Rimbu mengangguk dan meneguk ramuan itu, walau dengan ragu. Mardawa dan Semboja berdiri tegak menunggu, hati mereka dipenuhi dengan harapan."Ini, minumlah Dewi," Semboja memberikan ramuan baru itu ke tangan Dewi Rimbu yang lemah.Dewi Rimbu mengangguk dan meneguk ramuan itu, walau dengan ragu. Mardawa dan Semboja berdiri tegak menunggu, hati mereka di
Mardawa dan Semboja memperhatikan Dewi Rimbu yang berangsur pulih. Mereka sangat gembira dengan berhasilnya mengobati Dewi Rimbu. Ternyata daun itu sangat manjur mengobati luka dalam."Kalian berdua baik-baik di sini. Aku harus pergi." Tiba-tiba Mardawa berucap demikian, tentu saja itu mengagetkan mereka. "Dewi Rimbu belum pulih betul," ucap Semboja. Mencoba menahan pemuda tersebut. Dirinya merasa ragu jika sendirian menjaga Dewi Rimbu."Kalian aman di sini." Mardawa diam seperti mendengar suara. Dengan cepat dia berkelebat dan keluar dari goa. Semboja menyusul sampai mulut goa. "Masuk!" Mardawa masih sempat berteriak. Dia melesat menuju ke arah selatan. Semboja menurut, kembali masuk ke dalam goa yang menjadi tempat persembunyian mereka. Sementara Mardawa terus berlari kencang melawan angin di antara pepohonan yang menutupi jalanan. Terdengar suara aneh di telinganya yang tajam.Semboja dan Dewi Rimbu merasa kehadiran Mardawa memberikan ketenangan tersendiri dalam hati mereka. Mer
Mardawa kaget mendengar perkataan Eyang Chou. Dia memandang berkeliling dengan jelalatan. Tadi mendengar nama Kusuma disebut seketika rasa marahnya timbul. Ada hubungan apa Eyang Chou dengan Kusuma."Siapa, Kek?" tanya Mardawa. Berharap dirinya salah dengar. Pemuda itu tidak mau melihat tampang gadis itu lagi."Kusuma, dia anak sahabatku dan sudah kuanggap anak sendiri." Kembali Eyang Chou berkata. Dia memandang tempat saat tadi meninggalkan Kusuma. "Kusuma keluarlah!" Di tempat persembunyian, Kusuma merasa hawa panas menyelimuti tubuhnya. Keringat membasahi wajah dan lehernya. Bahkan, terasa udara di sekitarnya menjadi lebih panas dari perapian. Dengan malu-malu Kusuma keluar. Mardawa memperhatikan gadis itu tanpa kedip. Dalam hatinya dia tidak suka dengan tingkah Kusuma."Kusuma, kamu berhutang maaf padaku," ujar Mardawa dengan suara pelan tapi cukup terdengar.Eyang Chou heran, dia memandang Kusuma dengan penuh tanda tanya. Dirinya menyangka jika Kusuma dan Mardawa belum pernah ber
Panji memperhatikan yang tengah terjadi dengan lutut bergetar. Pendekar berjiwa pecundang itu masih menimbang-nimbang untuk turun menolong Semboja.Serigala hitam itu berhenti beberapa langkah sebelum mendekati Semboja. Matanya menatap tajam ke arah gadis itu, napas hangatnya terlihat mengepul dalam udara yang dingin. Namun, Semboja tidak menyadari bahaya yang sebenarnya tengah menghampirinya."Semboja, hati-hati!" teriak Panji, berusaha memperingatkan gadis itu. Suaranya tertelan oleh angin dan derasnya suara arus sungai. Beberapa kali Panji berteriak.Serigala itu perlahan mengendurkan otot-ototnya, bersiap untuk melompat dan menyerang saat Semboja tidak menghiraukan keberadaannya. Panji tak mau menyerah, pemuda itu meraih ranting di sekitarnya, lalu dengan cepat menyulutnya untuk membuat obor dari beberapa dahan kering. Dalam hati, dirinya berharap api itu dapat mengusir serigala tersebut. Panji membawanya dengan hati-hati.Panji kembali mendekati tepi tebing, obor yang dipegangnya
Mardawa melihat wanita yang sedang membicarakan muka itu bukanlah Dewi Rimbu atau Semboja. Mardawa hanya melihat gadis asing yang cantik tapi aneh menurut pandangannya. Matanya terlalu menyala untuk ukuran manusia biasa."Siapakah engkau, Nyai?" Mardawa bertanya hati-hati. Sikapnya penuh kewaspadaan, dia tahu jika yang dihadapinya bukan manusia. "Namaku Halimun," kata perempuan itu. Suaranya sengau, Mardawa tahu dengan siapa dia berhadapan. Seorang siluman harimau."Apakah kamu melihat dua gadis di sekitar sini?" tanya Mardawa sambil memandang Halimun.Halimun tidak menjawab, dia hanya menunjuk ke semak-semak tidak jauh dari tempat itu. Mardawa yang tidak mengerti cepat-cepat melesat menuju semak-semak. Cahaya samar-samar dari bulan separuh menerangi tempat itu. Pemuda itu terdiam saat melihat tempat tersebut seperti bekas pertarungan. "Halimun, siapa yang bertarung di sini?" tanya Mardawa. Dia memandang gadis itu, Halimun diam saja. "Apakah kamu yang bertarung dengan mereka?" tanya