Panji memperhatikan yang tengah terjadi dengan lutut bergetar. Pendekar berjiwa pecundang itu masih menimbang-nimbang untuk turun menolong Semboja.Serigala hitam itu berhenti beberapa langkah sebelum mendekati Semboja. Matanya menatap tajam ke arah gadis itu, napas hangatnya terlihat mengepul dalam udara yang dingin. Namun, Semboja tidak menyadari bahaya yang sebenarnya tengah menghampirinya."Semboja, hati-hati!" teriak Panji, berusaha memperingatkan gadis itu. Suaranya tertelan oleh angin dan derasnya suara arus sungai. Beberapa kali Panji berteriak.Serigala itu perlahan mengendurkan otot-ototnya, bersiap untuk melompat dan menyerang saat Semboja tidak menghiraukan keberadaannya. Panji tak mau menyerah, pemuda itu meraih ranting di sekitarnya, lalu dengan cepat menyulutnya untuk membuat obor dari beberapa dahan kering. Dalam hati, dirinya berharap api itu dapat mengusir serigala tersebut. Panji membawanya dengan hati-hati.Panji kembali mendekati tepi tebing, obor yang dipegangnya
Mardawa melihat wanita yang sedang membicarakan muka itu bukanlah Dewi Rimbu atau Semboja. Mardawa hanya melihat gadis asing yang cantik tapi aneh menurut pandangannya. Matanya terlalu menyala untuk ukuran manusia biasa."Siapakah engkau, Nyai?" Mardawa bertanya hati-hati. Sikapnya penuh kewaspadaan, dia tahu jika yang dihadapinya bukan manusia. "Namaku Halimun," kata perempuan itu. Suaranya sengau, Mardawa tahu dengan siapa dia berhadapan. Seorang siluman harimau."Apakah kamu melihat dua gadis di sekitar sini?" tanya Mardawa sambil memandang Halimun.Halimun tidak menjawab, dia hanya menunjuk ke semak-semak tidak jauh dari tempat itu. Mardawa yang tidak mengerti cepat-cepat melesat menuju semak-semak. Cahaya samar-samar dari bulan separuh menerangi tempat itu. Pemuda itu terdiam saat melihat tempat tersebut seperti bekas pertarungan. "Halimun, siapa yang bertarung di sini?" tanya Mardawa. Dia memandang gadis itu, Halimun diam saja. "Apakah kamu yang bertarung dengan mereka?" tanya
Panji kaget dan menoleh ke arah suara. Anak buahnya tidak jadi memanjat pohon. Mereka berdiri di sekeliling Panji. Sadar bahwa keselamatan mereka terancam. "Kau lagi, Mardawa! Aneh … padahal aku tidak mengusik hidupmu!" bentak Panji kesal. Dia selalu saja bertemu dengan pendekar satu itu. Sudah beberapa kali dirinya mengambil langkah seribu karena kalah bertarung."Aku akan terus menjadi hantu dalam hidupmu selama kamu mengganggu Semboja." Mardawa berkata sambil menggertakkan geraham. Kemarahan jelas sekali terpancar dari sorot matanya. Bergidik Panji melihatnya."Semboja? Apakah kamu melihatnya sedang bersama kami?" tanya Panji turut marah. Kali ini dia merasa tuduhan Panji tanpa alasan. Pemuda itu bertolak pinggang di hadapan Mardawa.Mardawa melirik geram ke arah Panji yang tak menghiraukannya, lalu berkata, "Aku tak peduli apakah Semboja sedang bersama kalian atau tidak, yang jelas aku punya bukti jika kamu mengganggu bahkan sudah menculiknya!" "Bukti apa?" Panji sangat marah de
Kusuma dan Eyang Chou kembali melakukan perjalanan. Kali ini mereka menuju kediaman Eyang Suwita. Ada hal penting yang harus dibicarakan oleh kedua sahabat lama tersebut. Kusuma dan Mardawa harus segera dinikahkan jika tidak ingin malu seumur hidup. Eyang Chou akan memperjuangkan keadilan untuk muridnya."Kusuma!" Eyang Chou memanggil muridnya dengan nada membentak. Keadaan hatinya yang begitu marah, membuatnya tidak bisa mengendalikan bicaranya."I iiya, Eyang." Kusuma menyahut dengan gugup. Tidak biasanya gurunya berkata dengan keras."Kamu diapain saja sama pemuda itu?" tanya Eyang Chou. Dia memandang tajam muridnya. Terlihat Kusuma salah tingkah."Pemuda … pemuda siapa, Eyang?" tanya Kusuma. Kegugupan terlihat dari sikapnya. "Mardawa … siapa lagi" tanya Eyang Chou heran. "Memangnya dihatimu ada pemuda lain?" "Tidak ada, Eyang." Kusuma menunduk. Kusuma diam saja, hatinya lebih banyak bicara. Entah apa yang akan dikatakannya di hadapan guru Mardawa nanti, setelah mereka berhadapan
Kusuma gugup saat ditanya demikian oleh Eyang Suwita. Kusuma tidak langsung menjawab. Dia merasa bersalah dalam hati, karena sudah mempermalukan Mardawa hanya untuk memiliki pemuda itu. Tapi, Kusuma tahu bahwa inilah satu-satunya jalan untuk bisa menikah dengan Mardawa. Gadis itu begitu mencintai Mardawa."Tidak ada apa-apa, Eyang. Aku pamit, sudah ketinggalan jauh dari Eyang Chou." Tanpa menunggu jawaban Eyang Suwita, Kusuma melesat menuju lereng gunung di mana Eyang Chou sedang menunggu."Aneh. Sungguh tidak bisa dipercaya jika Mardawa berbuat tidak senonoh dengan gadis itu. Menurut pandanganku gadis itu tidak terlalu menarik, raut angkuh terlihat dari wajahnya. Aku yakin, dia bukan wanita tipe gadis yang diinginkan Mardawa." Eyang Suwita menggerutu dalam hatinya. "Ke mana aku harus mencari anak durhaka itu?" Eyang Suwita bertolak pinggang memandang kepergian mereka. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan. Antara percaya dan tidak jika Mardawa telah melakukan pelecehan terhadap Kusum
Sabdo terkejut dengan kedatangan seorang pengawal, rasanya tadi sudah aman saat memasuki kamar milik Ratu Duyung. Selama ini tidak ada yang berani memasuki kamar tersebut kecuali Ratu Kali Wingit. Namun, dirinya tidak menyadari bahwa sepasang mata telah mengawasinya sejak dia masuk ke kamar. Mata tersebut milik pengawal setia Ratu Kali Wingit, yang bertugas menjaga kamar Ratu Duyung dari orang yang tidak diinginkan seperti Sabdo. "Apa yang kamu lakukan, Sabdo?" tanya pengawal sambil memandang lelaki itu dengan tajam. Tombaknya telah siap di tangan. Sabdo terkejut bukan alang kepalang. Wajahnya pucat, tangannya berhenti. Disisipkannya benda yang sudah dipegangnya secara tersembunyi."Ah, aku hanya ... aku ... jangan salah paham. Aku tidak berniat jahat." Sabdo menjawab sambil terbata-bata. Dia bingung harus menjawab apa. "Haruskah aku berterus-terang?" pikirnya. Pengawal itu menggeram, "Jangan berbohong padaku! Penyusup seperti kamu tidak akan diampuni! Ayo ikut!"Dibentak begitu ru
Sesaat sebelum kejadian burung-burung raksasa itu menyerang Istana Ratu Kali Wingit. Dewi Rimbu alias Ratu Duyung menanti dengan harap-harap cemas. Wanita itu melihat langit. Hari sudah semakin siang, cermin itu harus sudah digunakan sebelum matahari tenggelam. Dia melihat jalan tempat di mana nanti akan muncul Sabdo, tapi lelaki itu tidak kunjung datang."Pasti Sabdo tertangkap. Sial! Aku harus bagaimana?" gumamnya kesal. Hatinya sudah menduga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi.Dewi Rimbu berjalan mondar-mandir, memikirkan cara untuk mengambil cermin ajaib itu. "Apa yang harus kulakukan?" pikirnya. "Semboja harus cepat diselamatkan."Dewi Rimbu duduk sambil mengetuk-ngetuk ranting kering di tangannya. Matanya memandang ke arah pohon-pohon. Terdengar cericit burung-burung di atas sana."Ah … mengapa tidak terpikirkan sejak tadi! Bukankah aku bisa melakukan sesuatu terhadap burung-burung." Dewi Rimbu tiba-tiba berdiri sambil bertolak-pinggang. Senyum cerah tercipta
Sabdo terdiam beberapa saat. Dia menatap wanita cantik di depannya. Terlihat keraguan sesaat sebelum dirinya bicara."Katakan Sabdo, cepat!" suruh Ratu Duyung dengan gelisah. Dia kembali melihat langit, matahari sudah tidak segarang tadi sinarnya. "Baiklah, Ratu Duyung. Ratu Kali Wingit menginginkan cermin ini dikembalikan kepadanya jika sudah selesai dipergunakan." Dengan hati-hati Sabdo berbicara. Lelaki itu takut jika Ratu Duyung tersinggung.Raut wajah Ratu Duyung berubah. Betapa marahnya dia mendengar Sabdo bicara seperti itu. Cermin ajaib itu adalah miliknya, mengapa Ratu Kali Wingit menginginkannya.Sabdo berdebar-debar hatinya. Dia sudah mengantisipasi hal ini sebelumnya. Lelaki itu bersiap untuk serangan dari Ratu Duyung."Baiklah, cepat berikan padaku cermin itu. Katakan pada Ratu Kali Wingit, aku akan datang jika urusanku sudah selesai!" Ratu Duyung dengan cepat mengambil keputusan. Dia tahu jika Sabdo hanyalah suruhan dari Ratu Kali Wingit.Cepat-cepat Sabdo menyerahkan c