Mardawa cepat-cepat memburu Dewi Rimbu. Serangan Saga berhenti di udara. Tangan Dewi Rimbu cepat ditarik Mardawa, gadis itu terhuyung saat badannya ikut tertarik. "Hup!" seru Mardawa. Tubuh gadis itu jatuh ke dalam pelukannya. Bersandar di dadanya yang bidang."Ehh!" Semboja yang baru saja datang cepat-cepat memalingkan wajahnya. Jengah sekali melihat Dewi Rimbu dipelukan Mardawa. "Apa-apaan mereka!" rutuknya dalam hati."Hihihi hihi." Kusuma yang masih kehilangan ingatan masih sempat cekikikan. Padahal ketegangan sedang di depan mata. Kusuma tidak ada rasa cemburu karena dirinya lupa dengan perasaannya terhadap Mardawa. Jika saja dia ingat, betapa dulu sangat tergila-gila dengan pemuda tersebut.Semboja dengan muka pucat kembali menatap mereka. Dewi Rimbu cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan Mardawa. Menjauh dari dada pemuda itu dengan muka merah."Apa-apaan ini." Dewi Rimbu marah. Dirinya terlanjur malu dengan Semboja dan Kusuma. "Maaf, aku tidak sengaja." Mardawa tertawa keci
Mardawa kaget saat mendengar Kusuma menyebutnya Kakang. Dari sejak bertemu lagi Kusuma selalu menyebutnya nama saja, tidak ada embel-embel kakang. Mardawa menyangka jika masih berpura-pura."Aku di mana?" tanya Kusuma. "Hey … mengapa ada kamu juga?" Kusuma menunjuk Semboja. Dia memasang muka permusuhan dengan gadis tersebut. Rupanya Kusuma ingat dengan musuh utamanya dalam merebut perhatian Mardawa."Kusuma mabuk kecubung apa, ya?" pikir Mardawa. Dia tidak habis pikir dengan semua ulah Kusuma. Saat bertemu, tidak ingat siapa dirinya, setelah pingsan malah memusuhi semua orang."Sadar sih! Dari kemarin mabuk terus!" Mardawa menyindir Kusuma. Sepet matanya melihat tingkah Kusuma yang seperti dulu lagi, sombong dan tak menghargai orang lain. Hilang ingatan tidak membuatnya jera.Semboja hanya bengong melihat tingkah Kusuma. Dia yakin kini ingatan Kusuma sudah kembali. Segala watak dia yang sesungguhnya pun kembali. "Apa yang kau lakukan padaku, Kakang?" tanya Kusuma lagi. Tiba-tiba terl
Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja cepat-cepat pergi sebelum asap dari Sumbu Pencair Balok Es menipis. Mereka secepatnya harus meninggalkan Kusuma yang semakin gak jelas tingkahnya. Dia yang kembali ingatannya, malah lebih gila keinginannya."Ooh, merepotkan sekali membawamu." Dewi Rimbu mengeluh sambil membawa Saga. Pasungan balok es itu sudah dikecilkan agar tidak terlalu repot membawanya."Berikan padaku!" suruh Mardawa. Tanpa menunggu lagi, pemuda itu mengambil alih Saga. Mereka kembali berlari meninggalkan hutan sihir Saga.Semboja mengikuti Dewi Rimbu, dia tidak banyak bicara. Keakraban Dewi Rimbu dan Mardawa akhir-akhir ini mengganggu hatinya.Seiring mereka berlari, angin bertiup semakin kencang menandakan bahwa hujan badai akan datang. Cabang-cabang pohon yang kering semakin bergerak liar, serta yang ada di sekitar mereka bergoyang kencang."Kita harus mencari tempat berlindung sebelum badai mengejar kita," ujar Mardawa, seraya mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Angin kenc
Kusuma yang mencari informasi tentang Mardawa dan kawan-kawannya seperti mendapatkan petunjuk. Dirinya kini hanya perlu mencari air terjun di pegunungan. "Aku harus secepatnya pergi agar mereka tidak terlalu jauh." Kusuma bersiap-siap untuk keluar dari hutan sihir Saga. "Aah, sial!" teriaknya. Dia memandang ke atas langit, pohon-pohon seperti ditarik ke sana-sini. Angin puting beliung rupanya melanda hutan tersebut."Apakah ini juga termasuk sihir?" tanyanya dalam hati. Kusuma cepat-cepat mencari tempat untuk berlindung. "Badai dan hujan," gumamnya sambil melihat ke arah jarum-jarum kecil yang semakin deras.Kusuma berhasil menemukan sebuah gua kecil, tempat yang ideal untuk berlindung sementara badai melanda. Di dalam gua, dia menyalakan api menggunakan batu dan ranting-ranting kering untuk menghangatkan tubuhnya. Ternyata si Biru turut serta."Siapakah mereka, Kusuma?" tanya si Biru, yang datang dari kegelapan gua. Dia adalah teman sekaligus pelindung yang selalu menemani Kusuma ki
Waktu terus berjalan, hari mulai gelap. Rintik hujan mulai turun, menciptakan atmosfer yang semakin menegangkan. Panji dan Asoka saling bertukar pandang sesaat, lalu bersiap-siap menghadapi amukan Mardawa. Mereka tidak pernah kapok mencari masalah dengan pemuda itu."Sudah cukup, Mardawa!" seru Panji dengan nada penuh ancaman. "Kembalikan Semboja! Jika kamu tidak juga mengalah, kami tidak akan segan-segan menghilangkanmu dari muka bumi ini!"Mardawa menggertakkan giginya, menahan amarah yang mulai memuncak. "Kalian berdua tidak akan pernah bisa mengalahkanku! Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk melindungi Semboja!"Di antara suara gemuruh hujan dan angin, mereka bertiga mulai mengumpulkan tenaga dan strategi yang akan dijalankan dalam pertempuran sengit. Panji, yang percaya diri dan tenang, mengarahkan pandangan tajamnya pada Mardawa. Asoka, yang keberaniannya tak tertandingi, bersiap mendampingi Panji menghadapi musuh bebuyutan mereka itu.Secara mendadak, Mardawa melepaskan puku
Mardawa menjaga Dewi Rimbu yang mulai lemas. Dirinya hanya bisa menunggu, berdoa semoga Semboja berhasil menemukan daun ajaib itu. Rasanya dia sudah memberikan ramuan yang benar dengan resep dari Eyang Suwita.Setelah berjam-jam mencari, akhirnya Semboja menemukan Daun Mustika di puncak bukit, tersembunyi di antara semak-semak. Gadis itu berlari pulang dengan penuh perasaan cemas akan keadaan Dewi Rimbu. Begitu sampai, Semboja langsung menggiling daun tersebut dan mencampurnya dengan air yang terdapat di hutan itu."Ini, minumlah Dewi," Semboja memberikan ramuan baru itu ke tangan Dewi Rimbu yang lemah. Mardawa membantu gadis itu. Dewi Rimbu mengangguk dan meneguk ramuan itu, walau dengan ragu. Mardawa dan Semboja berdiri tegak menunggu, hati mereka dipenuhi dengan harapan."Ini, minumlah Dewi," Semboja memberikan ramuan baru itu ke tangan Dewi Rimbu yang lemah.Dewi Rimbu mengangguk dan meneguk ramuan itu, walau dengan ragu. Mardawa dan Semboja berdiri tegak menunggu, hati mereka di
Mardawa dan Semboja memperhatikan Dewi Rimbu yang berangsur pulih. Mereka sangat gembira dengan berhasilnya mengobati Dewi Rimbu. Ternyata daun itu sangat manjur mengobati luka dalam."Kalian berdua baik-baik di sini. Aku harus pergi." Tiba-tiba Mardawa berucap demikian, tentu saja itu mengagetkan mereka. "Dewi Rimbu belum pulih betul," ucap Semboja. Mencoba menahan pemuda tersebut. Dirinya merasa ragu jika sendirian menjaga Dewi Rimbu."Kalian aman di sini." Mardawa diam seperti mendengar suara. Dengan cepat dia berkelebat dan keluar dari goa. Semboja menyusul sampai mulut goa. "Masuk!" Mardawa masih sempat berteriak. Dia melesat menuju ke arah selatan. Semboja menurut, kembali masuk ke dalam goa yang menjadi tempat persembunyian mereka. Sementara Mardawa terus berlari kencang melawan angin di antara pepohonan yang menutupi jalanan. Terdengar suara aneh di telinganya yang tajam.Semboja dan Dewi Rimbu merasa kehadiran Mardawa memberikan ketenangan tersendiri dalam hati mereka. Mer
Mardawa kaget mendengar perkataan Eyang Chou. Dia memandang berkeliling dengan jelalatan. Tadi mendengar nama Kusuma disebut seketika rasa marahnya timbul. Ada hubungan apa Eyang Chou dengan Kusuma."Siapa, Kek?" tanya Mardawa. Berharap dirinya salah dengar. Pemuda itu tidak mau melihat tampang gadis itu lagi."Kusuma, dia anak sahabatku dan sudah kuanggap anak sendiri." Kembali Eyang Chou berkata. Dia memandang tempat saat tadi meninggalkan Kusuma. "Kusuma keluarlah!" Di tempat persembunyian, Kusuma merasa hawa panas menyelimuti tubuhnya. Keringat membasahi wajah dan lehernya. Bahkan, terasa udara di sekitarnya menjadi lebih panas dari perapian. Dengan malu-malu Kusuma keluar. Mardawa memperhatikan gadis itu tanpa kedip. Dalam hatinya dia tidak suka dengan tingkah Kusuma."Kusuma, kamu berhutang maaf padaku," ujar Mardawa dengan suara pelan tapi cukup terdengar.Eyang Chou heran, dia memandang Kusuma dengan penuh tanda tanya. Dirinya menyangka jika Kusuma dan Mardawa belum pernah ber