Kusuma terbangun sambil memandang sekeliling. Dia tidak berada di hutan seperti sebelumnya. Di sampingnya ada Eyang Chou yang sedang berkomat-kamit. Entah mantra apa yang sedang dibacanya.Kusuma merasa bingung dan sedikit ketakutan. Dia mencoba mengenali tempat di sekitarnya, tetapi semua terasa begitu asing. Eyang Chou tampaknya sangat fokus dengan mantra yang sedang dibacakannya dan tidak memperhatikan Kusuma yang menunjukkan kecemasan di wajahnya.Eyang Chou akhirnya menghentikan bacaan mantranya, melirik Kusuma lalu tersenyum. "Jangan khawatir, Nak," ujarnya lembut. "Kamu sudah berada di pondok lagi. Semua yang kamu alami adalah halusinasi."Kusuma mencoba menenangkan diri dan menerima penjelasan Eyang Chou. "Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya penasaran. Rasanya dirinya mampu mengingat apa yang baru saja dialaminya.Masih terlihat olehnya hutan yang penuh daya magis. Tiba-tiba ada sebuah pondok, tiba-tiba muncul sebuah jembatan. Burung-burung dan hewan lainnya bis
Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja melanjutkan perjalanan. Mereka bertekad untuk mencari pembunuh Intan. Sebenarnya Mardawa lebih suka jika dirinya sendirian, tapi keselamatan kedua gadis itu menjadi tanggung jawabnya kini. Dia tidak mau mereka malah menjadi korban lagi."Yakin kamu gak tertarik dengan putri kepala kampung, Mardawa?" tanya Dewi Rimbu. Sepanjang jalan mereka tertawa dan bercanda. Belum ada tujuan pasti yang mereka tuju. "Ah, dia bukan tipeku," jawab Mardawa sambil tersenyum tipis. "Kapan pun aku menyelamatkan seseorang, mereka sering kali berpikir aku jatuh cinta. Padahal, aku hanya ingin menjadi penolong saja." Mardawa berkata tegas sambil melihat-lihat ke atas pohon. Ada beberapa burung yang menarik perhatiannya."Iya, Kakang. Tidak jarang mereka salah paham." Semboja ikut-ikutan berbicara. Dalam hatinya dia merasa tersindir dengan kata-kata Mardawa. Dia juga teringat Kusuma yang menyukai Mardawa karena pernah ditolongnya.Perjalanan mereka semakin jauh, melewati pepoh
Semboja memperhatikan Kusuma, dia belum percaya jika gadis itu tidak mengenalnya. "Apakah seseorang sudah mengambil memorinya?" tanya Semboja dalam hatinya. Sementara Mardawa reflek melompat ke depan Kusuma mendengar teriakan gadis itu. Dia harus melindungi gadis tersebut dari makhluk yang baru datang. "Jangan mendekat!" teriak Kusuma. Dewi Rimbu dan Semboja turut melindungi Kusuma. Walau Kusuma bukan teman yang baik, tapi mereka tidak membiarkan dirinya diserang orang tak dikenal.Makhluk aneh itu berhenti dan memperhatikan keempat orang yang terlihat bersatu menghadapinya. Pandangan tajamnya menembus ke dalam jiwa, seolah mencari sesuatu yang ada di dalam diri mereka."Itu siapa, sih?" tanya Dewi Rimbu. Wanita itu rupanya sedikit gentar menghadapi makhluk itu. Entah manusia atau bukan, tidak jelas bentuk mukanya."Aku juga tidak tahu," jawab Mardawa. "Tapi kita harus hati-hati, sepertinya dia bukan makhluk yang biasa." Mardawa curiga dengan kehadiran lelaki tersebut. Mungkin saja
Mardawa tidak menyadari perasaan kedua gadis itu. Dirinya fokus pada pertarungannya dengan Saga. Jika tiba-tiba tangannya dan Kusuma saling bertautan itu di luar kehendaknya.Mereka semua berasal dari tempat yang berbeda, tapi tidak menyangka akan berjuang bersama dalam perjalanan yang penuh dengan rintangan dan misteri. Mardawa dan Kusuma ditugaskan sebagai pembasmi dunia kegelapan ciptaan Saga. Kusuma sebagai pendekar baru tentu saja belum mengerti sepenuhnya tentang dunia persilatan.Dewi Rimbu dan Semboja menyingkir. Mereka tidak ikut ambil bagian kali ini. Gadis-gadis itu tahu, Kusuma mendapatkan wangsit untuk menumpas Saga bersama Mardawa. Kusuma melompat ke tengah medan pertempuran. Dia bersama dengan energi yang baru saja didapatkan. "Ayo, Mardawa! Kita harus menghancurkan apa yang sudah dibangun Saga!"Mardawa mengangguk setuju, "Kita harus bisa melawan Saga. Harus bisa mengembalikan keseimbangan hutan yang telah hilang." Mardawa melompat mendampingi Kusuma.Batu Ujian mem
Dewi Rimbu tampak canggung di hadapan mereka. Terbuka sudah rahasianya kini, jika dirinya mengenal Saga. Apa yang harus dikatakannya sekarang, mereka sudah tidak percaya lagi kepadanya. Semboja tentu akan mendakwa dirinya sebagai pembunuh, jika dirinya berterus-terang."Aku memang mengayominya sebagai serigala yang baik, tapi ternyata dia sudah banyak memakan korban." Ingin sekali Dewi Rimbu berkata seperti itu. Namun, rasanya lidahnya kelu. Tidak sanggup rasanya jika mereka mencurigainya bersekongkol dengan penebar teror di kampung."Ya, aku memang mengenal Saga. Aku tidak pernah berkhianat pada siapa pun. Raja Rimbu sudah banyak membunuh penduduk." Akhirnya Dewi Rimbu menjelaskan. "Maksudnya apa?" tanya Mardawa. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Dewi Rimbu. "Kematian ronggeng," jawab Dewi Rimbu singkat.Jawaban singkat tapi membuat Mardawa dan Semboja tercekat. Mereka tidak menyangka sama sekali jika Dewi Rimbu tahu kematian ronggeng itu."Jadi … pembunuh … pembunuh Intan
Mardawa cepat-cepat memburu Dewi Rimbu. Serangan Saga berhenti di udara. Tangan Dewi Rimbu cepat ditarik Mardawa, gadis itu terhuyung saat badannya ikut tertarik. "Hup!" seru Mardawa. Tubuh gadis itu jatuh ke dalam pelukannya. Bersandar di dadanya yang bidang."Ehh!" Semboja yang baru saja datang cepat-cepat memalingkan wajahnya. Jengah sekali melihat Dewi Rimbu dipelukan Mardawa. "Apa-apaan mereka!" rutuknya dalam hati."Hihihi hihi." Kusuma yang masih kehilangan ingatan masih sempat cekikikan. Padahal ketegangan sedang di depan mata. Kusuma tidak ada rasa cemburu karena dirinya lupa dengan perasaannya terhadap Mardawa. Jika saja dia ingat, betapa dulu sangat tergila-gila dengan pemuda tersebut.Semboja dengan muka pucat kembali menatap mereka. Dewi Rimbu cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan Mardawa. Menjauh dari dada pemuda itu dengan muka merah."Apa-apaan ini." Dewi Rimbu marah. Dirinya terlanjur malu dengan Semboja dan Kusuma. "Maaf, aku tidak sengaja." Mardawa tertawa keci
Mardawa kaget saat mendengar Kusuma menyebutnya Kakang. Dari sejak bertemu lagi Kusuma selalu menyebutnya nama saja, tidak ada embel-embel kakang. Mardawa menyangka jika masih berpura-pura."Aku di mana?" tanya Kusuma. "Hey … mengapa ada kamu juga?" Kusuma menunjuk Semboja. Dia memasang muka permusuhan dengan gadis tersebut. Rupanya Kusuma ingat dengan musuh utamanya dalam merebut perhatian Mardawa."Kusuma mabuk kecubung apa, ya?" pikir Mardawa. Dia tidak habis pikir dengan semua ulah Kusuma. Saat bertemu, tidak ingat siapa dirinya, setelah pingsan malah memusuhi semua orang."Sadar sih! Dari kemarin mabuk terus!" Mardawa menyindir Kusuma. Sepet matanya melihat tingkah Kusuma yang seperti dulu lagi, sombong dan tak menghargai orang lain. Hilang ingatan tidak membuatnya jera.Semboja hanya bengong melihat tingkah Kusuma. Dia yakin kini ingatan Kusuma sudah kembali. Segala watak dia yang sesungguhnya pun kembali. "Apa yang kau lakukan padaku, Kakang?" tanya Kusuma lagi. Tiba-tiba terl
Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja cepat-cepat pergi sebelum asap dari Sumbu Pencair Balok Es menipis. Mereka secepatnya harus meninggalkan Kusuma yang semakin gak jelas tingkahnya. Dia yang kembali ingatannya, malah lebih gila keinginannya."Ooh, merepotkan sekali membawamu." Dewi Rimbu mengeluh sambil membawa Saga. Pasungan balok es itu sudah dikecilkan agar tidak terlalu repot membawanya."Berikan padaku!" suruh Mardawa. Tanpa menunggu lagi, pemuda itu mengambil alih Saga. Mereka kembali berlari meninggalkan hutan sihir Saga.Semboja mengikuti Dewi Rimbu, dia tidak banyak bicara. Keakraban Dewi Rimbu dan Mardawa akhir-akhir ini mengganggu hatinya.Seiring mereka berlari, angin bertiup semakin kencang menandakan bahwa hujan badai akan datang. Cabang-cabang pohon yang kering semakin bergerak liar, serta yang ada di sekitar mereka bergoyang kencang."Kita harus mencari tempat berlindung sebelum badai mengejar kita," ujar Mardawa, seraya mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Angin kenc
Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s
Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se
"Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil
Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab
Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi
Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa
Mardawa dan Dewi Rimbu saling pandang, mereka tidak menyangka jika kepergian mereka sudah tujuh hari. Padahal mereka menyangka hanya seharian saja. Sementara Semboja menatap ibunya tidak percaya.“Aku hanya pergi tadi siang sampai malam saja, Mak.” Semboja berusaha memberi tahu ibunya. Rasanya sangat mustahil jika dirinya pergi begitu lama.“Kamu pergi selama tujuh hari, Sari. Emak sampai putus asa mencari, akhirnya Emak anggap kamu sudah meninggal. Memanggil orang untuk membaca doa.” Penjelasan Lastri membuat mereka sadar jika waktu di negeri para peri memang jauh sekali berbeda.Lastri menangis sambil memeluk Semboja. Wanita tua itu sangat takut kehilangan teman hidup satu-satunya itu. Gadis itu balik memeluk ibunya, dia juga takut kehilangan orang yang sudah mengurusnya sejak kecil.Merasa sudah menunaikan kewajiban, Mardawa berpamitan. Dia juga berkewajiban untuk mengantarkan Kusuma dan Dewi Rimbu. Semboja hanya mengangguk sambil menatap kepergian mereka.“Ayo, Dewi Rimbu. Kamu h
Semboja memandang ke arah Mardawa dan Dewi Rimbu. Dia ingin berterus-terang tapi rasanya malu. Dia hanya tertunduk di hadapan mereka. Persahabatan mereka yang baru seumur jagung membuatnya sungkan. Namun, dirinya juga gelisah jika tidak diungkapkan."Aku takut … takut ….""Iih dari tadi takut-takut terus," potong Dewi Rimbu. Kesal juga lama-lama sama gadis itu. "Apa susahnya terus-terang, cantik?" "Aku takut pada nenekku." Akhirnya Semboja menjelaskan juga alasan dia takut pulang. Gadis itu kadang-kadang menyebut ibunya dengan nenek dan emak, bergantian. Entah mengapa dia selalu merasa jika Lastri bukan ibu kandungnya. Perbedaan usia mereka sangat jauh jika ditelisik. Kadang-kadang Lastri juga keceplosan jika dirinya tidak menikah.“Nenek yang mana?” tanya Dewi Rimbu. Seingatnya Semboja tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Dewi Rimbu heran, sejak kapan Semboja punya nenek. Jika demikian, itu pasti seumuran dengan neneknya juga.“Emak.” Semboja menjawab singkat. Dewi Rimbu manggut-
Semboja terperangah melihat bunga yang jatuh ke pangkuannya. Dia hanya mampu memandang bunga tersebut."Mengapa bunga itu jatuh di pangkuanku," pikir Semboja. Dia sama sekali tidak tahu mitos, jika bunga itu didapatkan maka akan segera menikah."Wah ini sebuah keberuntungan, kamu akan segera menikah!" seru Dewi Rimbu sambil mengedipkan matanya. Tentu saja Semboja tidak percaya. Mana ada pernikahan ditentukan oleh bunga. Jika dirinya menikah tentu saja karena sudah waktunya atau jodohnya. Gadis itu tertawa mendengar perkataan Dewi Rimbu."Apaan sih! Mau nikah sama siapa?" tanya Semboja. Dirinya memang belum ada rencana menikah. Mardawa juga belum berniat serius dengannya."Ya, sama Mardawa, lah." Dewi Rimbu berbisik. Matanya melirik pemuda yang lagi sibuk menemani Eyang Suwita. Merasa diperhatikan, pemuda itu melirik juga ke arah mereka. Semboja tersipu, Dewi Rimbu menyikut Kusuma. Tidak ada reaksi dari gadis itu."Ini buat kamu saja!" ujar Semboja sambil mengangsurkan bunga. Dia ti