Makhluk itu berdiri di bawah pohon rindang, gelisah dan melolong panjang. Mungkin ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Kusuma. Matahari yang menghilang di ufuk barat, membiarkan kegelapan bercampur dengan kesedihan menyelimuti hutan. Eyang Chou memandang gadis di pangkuannya."Pergilah, Saga!" Eyang Chou mengibaskan tangannya. Mengusir binatang itu yang enggan menjauh. Matanya memandang Kusuma dengan sendu. Rasa bersalah memenuhi hatinya.. Seandainya bisa rasanya biar dirinya saja yang celaka."Dia terluka dalam." Eyang Chou bergumam. Segera kakek tua itu membawa Kusuma ke pondoknya, merawat Kusuma dengan penuh kasih sayang. Dirinya yang hidup tanpa anak menjadikan Kusuma sebagai anaknya. Apalagi bapak Kusuma sudah menjadi saudara angkatnya.Dalam kegelapan yang menyelimuti pondok, api unggun di dalam perlahan membesar seiring usapan lembut di ubun-ubun gadis itu. Eyang Chou begitu sayang padanya."Hatimu belum bersih, Kusuma. Jika tidak cepat-cepat sadar dengan hal itu, anak
Mardawa dan Ratu Kali Wingit sepakat untuk menyambangi Dewi Rimbu. Pemuda itu ingin bertemu dengan Semboja. Ratu Kali Wingit juga ada maksud untuk mengajak kembali Dewi Rimbu ke Istana Kali Wingit. Ada sesuatu yang harus segera diketahui Dewi Rimbu.Gemuruh suara air terjun menyambut mereka. Mardawa melihat ke atas sambil menyipitkan matanya. Pancaran sinar matahari menyilaukan pandangannya. Tidak terlihat bayangan Dewi Rimbu atau Semboja di atas sana.Mardawa mencari sesuatu di balik sebuah batu. Setelah ketemu dia menekannya sekuat tenaga. Terdengar bunyi kerincingan lonceng di atas sana. Mardawa tertawa lebar mendengarnya. "Hahaha hahaha hahaha.""Bunyi apa itu?" tanya Ratu Kali Wingit. Baru kali ini dia tahu benda semacam itu. Di kerajaannya tidak ada bunyi-bunyian seperti itu."Itu lonceng, pertanda ada yang ingin bertamu." Mardawa menjawab sambil tertawa. Dia melambaikan tangannya saat Dewi Rimbu berdiri di atas air terjun. "Hai, Mardawa!" Dewi Rimbu berteriak senang. "Semboja
Mardawa menggelengkan kepalanya. Dia berharap tidak ada kejadian yang tidak diinginkan. Mereka melanjutkan perjalanan menuju istana, mengabaikan firasat buruk yang beberapa saat lalu sempat mereka rasakan. Sesampainya di istana, para penjaga segera membuka gerbang dan menyambut kedatangan para pendekar yang akan membantu kerajaan. Para prajurit itu membungkuk hormat."Mardawa, Dewi Rimbu dan Semboja. Selamat datang di Istana Kali Wingit," kata Ratu Kali Wingit sambil turun dari kereta. Penampilan yang anggun dan berwibawa membuatnya begitu dihormati rakyatnya.Semboja yang baru sekali ini datang tentu saja sangat mengagumi keindahan istana tersebut. Sementara Dewi Rimbu matanya melihat kiri-kanan, jangan sampai Ciwang Adiwara mendekat padanya. Akan dia bekukan lagi tubuh laki-laki bejat itu."Dia masih menjalani pemulihan selama puluhan tahun lagi. Dia sangat menyesali perbuatannya." Dewi Kali Wingit berkata seolah-olah tahu apa yang dicari Dewi Rimbu. Dewi Rimbu hanya diam, kemarah
Buntal Hitam yang merasa terdesak mulai mengeluarkan jurus yang lain. Dia mengambil napas dalam-dalam. Perutnya semakin membesar dan membesar. Semua orang memperhatikan dengan sikap waspada. Perut itu seperti diisi oleh ribuan liter air. Semakin membesar dan tampak bergerak-gerak.Brak!Terdengar semacam letusan diiringi keluarnya benda-benda hitam dari perut Buntal Hitam.Lelaki itu berteriak sambil menjentikkan jarinya, "Jurus Seribu Angsa Hitam!" Langit yang pekat dengan asap tiba-tiba dipenuhi oleh seribu angsa hitam yang keluar dari tubuh Buntal Hitam. Mereka dengan cepat mengeroyok Dewi Rimbu yang sudah bersiaga dengan Sumbu Pencair Balok Es."Astaga, banyak sekali angsa hitam! Apa yang harus aku lakukan? Aku harus segera melawan mereka agar tidak memakan banyak korban," gumam Dewi Rimbu dengan wajah datar. Tidak tampak sorot ketakutan dalam matanya. Sumbu Pencair Balok Es siap dikebutkan ke arah angsa-angsa itu.Mardawa melihat keadaan semakin sulit, lelaki itu berteriak, "Pa
Semboja diam sambil memandangi mereka yang bersuka cita. Bibirnya tersenyum tapi hatinya menggeliat sakit. Teringat tiba-tiba Mardawa memeluk Dewi Rimbu tadi, artinya apa kalau dia tidak menyukainya. Banyak sekali pertanyaan di benaknya yang tidak mampu dijawab."Bukankah Kakang Mardawa belum pernah bilang apa pun tentang perasaannya padaku? Mengapa aku harus geer sendiri?" Semboja tertawa kecil, mentertawakan kekonyolannya sendiri. Sementara Dewi Rimbu mengerti kegelisahan Semboja. Hatinya memang mulai suka dengan Mardawa. Pendekar slengean tapi tampan dan tinggi ilmunya. Sebagai pendekar wanita tangguh tentu dirinya tidak ingin bersaing dengan muridnya sendiri. Dewi Rimbu tahu jika Mardawa tidak pernah bilang cinta kepada Semboja."Ini harus dirayakan! Ayo kita kembali ke istana!" ajak Ratu Kali Wingit. Senyum cerah tak lepas dari bibirnya. Tidak demikian halnya dengan Dewi Rimbu. Begitu mendengar Ratu Kali Wingit mengajak mereka ke istana, seketika senyum di wajahnya lenyap. Waja
Malam pertama mereka di desa tersebut, tercipta suasana damai dan tenang. Mereka diberi tempat tinggal yang sederhana, dengan tikar pandan sebagai alas tidur dan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh. "Sepi sekali desa ini. Padahal di luar sedang terang bulan, mengapa anak-anak tidak ada yang bermain-main di halaman?" tanya Mardawa kepada Dewi Rimbu dan Semboja. Mereka duduk di luar karena ingin melihat bulan. Padahal tadi sudah diwanti-wanti penduduk agar mereka segera masuk."Iya, padahal ini indah." Dewi Rimbu menimpali. Teringat masa kanak-kanaknya.Semboja diam saja, dirinya tidak turut bicara. Dia merasa canggung duduk di antara mereka. Namun, dirinya harus pandai-pandai menjaga perasaan. Dia tidak boleh cemburu melihat kedekatan mereka."Siapa tahu memang sangat berbahaya. Mereka lebih tahu keadaan kampung ini." Akhirnya Semboja turut berbicara. Lama-lama anginnya terasa lain. Ada hawa dingin setelah sebelumnya hawa dirasakan cukup hangat."Ya, mereka bilang setiap malam bulan
Semboja mendengar teriakan Dewi Rimbu dan segera melompat ke samping, menghindari serangan Pimpinan Serigala. Gadis itu melihat cakarnya yang tajam seperti pisau bercahaya di bawah sinar rembulan. Pikirannya berkecamuk, bagaimana bisa dia bertahan menghadapi musuh yang begitu kuat."Kau tidak akan lolos, Semboja!" Pimpinan Serigala mencibir, ujung cakarnya menggoreskan luka di wajah Semboja. Gadis itu menahan napas, mengumpulkan keberanian untuk melawan.Sementara itu, Dewi Rimbu dan Mardawa berada di satu sisi medan pertempuran, terhalang oleh sejumlah serigala buas. Mereka mengeluarkan suara menggeram dengan tatapan matanya yang liar. Mardawa berusaha membantu Semboja, tapi harus melawan ancaman serigala-serigala tersebut terlebih dahulu.Semboja mundur beberapa langkah, merasakan sakit yang menjalar dari luka di pipinya. "Aku tidak akan menyerah begitu saja," gumamnya sambil menggenggam erat pedang pemberian Dewi Rimbu.Dengan langkah pasti, dirinya mulai meliuk-liukkan tangan, me
Mardawa, Semboja dan Dewi Rimbu hampir tersedak saat mendengar kata-kata ketua kampung. Mereka saling pandang, rasanya ingin tertawa tapi mereka tahan.Mereka hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa. Mereka tahu alasan di balik permintaan kepala kampung itu. Selama beberapa bulan terakhir, penduduk desa telah hidup dalam teror akibat serangan makhluk misterius yang menculik ternak penduduk. Setelah melalui perjuangan tadi, para pendekar itu berhasil menaklukkan serigala penebar teror.Dihadapkan pada permintaan itu, mereka merasa canggung. Meski mereka telah memperoleh kemenangan besar, tidak seharusnya kepala kampung meminta mereka tinggal."Kepala kampung," ucap Mardawa sambil menggaruk kepalanya. "Kami merasa terhormat atas tawaran ini, tapi mungkin lebih baik jika kami minta waktu untuk memikirkannya sebelum memutuskan.""Aku setuju," Semboja menimpali, gadis itu mengepalkan tangannya dengan gugup. "Kami semua punya kehidupan sendiri-sendiri sebelum datang ke sini."Dewi