Share

Tanda Awal

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-04-17 21:41:39

Malam turun pelan-pelan seperti kabut yang menggulung desa. Angin terasa lebih dingin dari biasanya, dan suara jangkrik mendadak lenyap seolah alam sedang menahan napas. Di langit, bulan mengintip setengah malu dari balik awan hitam tebal.

Reza terjaga dari tidurnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski udara begitu menusuk tulang. Mimpi tadi begitu nyata—ia melihat dirinya berjalan di atas air rawa, diiringi bayangan-bayangan tinggi besar yang berjalan di belakangnya. Salah satunya berbisik tepat di telinganya:

"Saat waktumu datang, tak ada pintu yang bisa kau tutup lagi, Reza..."

Reza bangkit dari tikarnya, berjalan ke dapur untuk minum. Saat ia melewati ruang tengah, lampu minyak berkedip pelan. Sesuatu terasa aneh. Dinding kayu rumah seperti berdetak… pelan tapi jelas… duk… duk… duk…

Langkah kakinya terhenti. Ia menajamkan pendengaran.

Duk… duk…

Sumber suara itu berasal dari luar rumah. Dengan hati-hati, ia membuka pintu depan. Tak ada siapa pun. Hanya gelap dan sebatang po
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan Leluhur

    Langit masih kelabu ketika fajar menyapa desa. Embun menggantung di pucuk-pucuk ilalang, dan udara pagi terasa lebih berat dari biasanya. Seolah alam pun merasakan bahwa sesuatu yang besar sedang bergerak pelan dari balik tirai dunia tak kasat mata.Reza duduk termenung di beranda rumah Bu Darmi. Matanya sembab, wajahnya pucat. Tangannya menggenggam segelas teh yang sudah dingin sejak tadi. Pandangannya kosong, menatap rerumputan yang bergoyang pelan tertiup angin.Bu Darmi muncul dari dapur membawa sepiring pisang goreng, tapi Reza hanya menoleh sebentar, lalu kembali terdiam.“Masih kepikiran kejadian semalam?” tanya Bu Darmi, pelan.Reza menelan ludah, kemudian mengangguk.“Bukan cuma itu, Bu. Saya… mimpi.”Bu Darmi menoleh cepat. “Mimpi apa, Za?”Reza menarik napas dalam. “Saya ketemu… kakek-kakek tua. Jenggotnya panjang, pakai blangkon, dan duduk di bawah pohon randu yang besar sekali. Dia bilang, ‘Za, waktumu sudah tiba. Pergilah ke rumahku… ambillah peninggalanku. Itu akan memb

    Huling Na-update : 2025-04-17
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan dari Dalam Tanah

    Pagi itu, kabut masih menggantung rendah di atas permukaan tanah saat Reza dan Ki Harjo melangkah keluar dari rumah Bu Darmi. Langit mendung, seolah tahu bahwa perjalanan mereka bukan perjalanan biasa. Mereka tak banyak bicara. Tongkat warisan leluhur dibawa Ki Harjo dalam balutan kain mori, dan Reza membawa bunga tujuh rupa serta dupa yang sudah disiapkan sejak semalam.Tujuan mereka: makam Kyai Reksonegoro.Letaknya di pojok desa, di dekat sumber air tua yang dikenal warga sebagai “Sendang Wening”. Tak banyak yang berani ke sana, bahkan di siang hari. Namun pagi ini, dua sosok itu berjalan perlahan, menembus pepohonan jati yang mengelilingi area tersebut.---Makam Tua dan Batu PenandaMakam Kyai Reksonegoro terlihat berbeda dari yang lain. Batu nisannya besar, tertutup lumut tebal. Di sekelilingnya terdapat batu-batu kecil dengan ukiran aksara Jawa kuno, nyaris tak terbaca. Ki Harjo berhenti di depan nisan itu, lalu berlutut dan merapalkan doa dalam bahasa Jawa halus yang tak dimen

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Tanpa Cahaya

    Sejak kotak warisan itu dibuka dan kalung batu hitam menyala, hawa desa mulai berubah. Warga merasa sering dihantui mimpi buruk, anjing melolong tak menentu setiap malam, dan burung gagak mulai terlihat di sekitar ladang. Bahkan, pohon beringin tua yang selama ini menjadi pusat tanah larangan, mulai mengeluarkan bau anyir yang menusuk hidung saat malam hari.Namun semua itu belum seberapa.Ki Harjo terus memantau kalender Jawa. Ia menunggu malam istimewa yang disebutnya “Tulung Garing”, malam ketika bulan mati dan langit gelap sepenuhnya. Malam itu diyakini menjadi waktu ketika batas dunia manusia dan dunia lelembut paling tipis.“Kita harus ke bukit itu malam nanti, Za,” ucap Ki Harjo ketika sore mulai menjelang. “Waktu kita tak banyak. Sesuatu sudah bangkit, dan mereka tahu kau sudah membuka kotak warisan.”---Persiapan RitualReza mempersiapkan diri. Di dalam tasnya ia membawa peta kulit kayu, bunga tujuh rupa, dupa, dan kain mori. Kalung batu hitam kini ia kenakan di leher, meski

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Jejak yang Terlupakan

    Sosok pria asing itu kini duduk di ruang tamu rumah Bu Darmi. Penampilannya rapi dan terawat, seperti orang kota. Di meja, ia menaruh sebuah map tebal berwarna coklat dan sebuah tas kecil dari kulit hitam.Bu Darmi menatapnya dalam, sementara Reza dan Ki Harjo berdiri tak jauh dari pintu, memperhatikan dengan penuh rasa curiga.“Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba, Bu,” ujar pria itu. Suaranya tenang, namun ada nada dingin yang tersembunyi. “Nama saya Arman. Saya peneliti budaya dan sejarah kuno. Saya sudah lama mencari seseorang bernama Darmi… dan sebuah tempat yang disebut Tanah Larangan.”Ki Harjo menyipitkan mata. “Peneliti budaya, sampeyan bilang? Sampeyan dari mana asale?”“Dari Jakarta,” jawab Arman. “Tapi saya bukan peneliti biasa. Saya pernah belajar di Leiden dan menelusuri banyak peninggalan masa kolonial di tanah Jawa, termasuk yang berkaitan dengan... hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika modern.”Reza saling pandang dengan Ki Harjo. Perkataan Arman bukan omon

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Gerbang Ketiga

    Pagi belum sepenuhnya datang saat Reza mengetuk pintu kamar Ki Harjo dengan napas memburu. Wajahnya pucat, matanya sembab seperti orang habis menangis atau baru terbangun dari mimpi buruk.Ki Harjo membuka pintu, hanya mengenakan kain lusuh yang dililit di pinggang dan selendang kecil di bahu. “Kenapa, Za?”“Gerbang, Ki… Gerbang terakhir itu akan terbuka. Dalam mimpi saya, kakek bilang harus segera dikunci sebelum malam ketiga. Kalau tidak, sesuatu yang lebih besar akan bangkit.”Ki Harjo menatap dalam ke mata Reza. Sorot matanya berubah, seperti mengerti bahwa waktunya telah datang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil kain hitam dari atas dipan, lalu memanggil Bu Darmi dari dapur.“Bu, siapkan air doa dan segenggam tanah dari bawah pohon beringin itu,” ujar Ki Harjo.Bu Darmi tak bertanya. Ia hanya mengangguk dan berjalan pelan ke luar rumah, meninggalkan aroma dupa yang samar masih menyelimuti seluruh ruangan.---Perjalanan Kembali ke BukitBeberapa saat kemudian, Arman sudah siap de

    Huling Na-update : 2025-04-22
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Malam Ketiga

    Langit sore itu tidak sekadar gelap. Awan bergulung seperti ombak yang murka, menutup sinar mentari dengan lapisan pekat bagai arang. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, membawa aroma logam dan dupa terbakar.Di pelataran rumah Bu Darmi, segala persiapan ritual telah rampung. Sebuah lingkaran besar digambar dengan tepung beras dan garam di tengah halaman. Di dalamnya, terdapat tujuh sesaji: bunga tujuh rupa, ayam cemani yang sudah disembelih, kemenyan, rokok lintingan daun jagung, kue pasar, kendi air dari mata air Gunung Welirang, dan selembar kain putih dari pusaka Ki Harjo.Reza berdiri di tengah lingkaran itu. Tubuhnya gemetar meski ia mencoba terlihat tegar. Di tangannya masih tergenggam surat untuk ibunya, yang baru saja ia titipkan pada Bu Darmi jika nanti ia tak bisa kembali.Di dekatnya, Ki Harjo menyalakan dupa sambil menggumamkan mantra-mantra tua yang hanya dikenal oleh para pemegang ilmu leluhur. Arman berdiri tak jauh di belakang Reza, memegang batu kristal yang k

    Huling Na-update : 2025-04-23
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Warisan yang Terbangun

    Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi udara di Desa Tunggul Arum tetap terasa dingin. Aneh, seperti sisa-sisa kabut ritual semalam masih menempel di setiap sudut desa. Warga tampak beraktivitas seperti biasa, tapi beberapa di antara mereka diam-diam berbisik-bisik soal suara gamelan dan petir yang terdengar sepanjang malam.Di rumah Bu Darmi, suasana masih tegang. Reza duduk di bale bambu dengan segelas teh jahe di tangannya. Wajahnya letih, namun ada ketenangan baru di matanya. Ki Harjo duduk di depannya, memperhatikan pria tua yang baru datang malam tadi—Wirya.Orang itu tak banyak bicara sejak tadi malam. Hanya memperkenalkan diri lalu diam seribu bahasa, seakan menunggu waktu yang tepat untuk membuka rahasia yang ia bawa.Dan pagi ini, waktunya tiba.Ki Harjo membuka percakapan lebih dulu. “Tadi malam kau menunjukkan lambang yang sama dengan yang tertanam di batu segitiga bukit. Kau siapa sebenarnya?”Wirya menghela napas. Ia membuka bungkusan kain lusuh dari dalam tas kulitnya,

    Huling Na-update : 2025-04-23
  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka Leluhur

    Perjalanan menuju makam leluhur Reza dilakukan pagi-pagi buta. Udara masih berkabut tipis, seakan alam pun enggan melepas mereka pergi. Ki Harjo memimpin di depan, membawa kendi kecil berisi air kembang dan seikat daun kelor. Wirya membawa tongkat kayu tua berukir, sementara Reza menggenggam kotak warisan pusaka milik leluhurnya. Bu Darmi ikut di belakang, membawa sesajen kecil dan dupa. Makam itu terletak di pinggir hutan, di sebuah bukit kecil yang jarang dikunjungi warga. Menurut cerita orang-orang tua, tempat itu dulunya merupakan pemakaman para tetua desa, namun lama tak terurus hingga akhirnya tertutup semak dan pohon-pohon liar. Tapi anehnya, satu makam selalu tampak bersih dan tak pernah ditumbuhi rumput: makam Buyut Reksonegoro—kakek buyut Reza. Begitu mereka sampai di depan makam itu, udara terasa lebih berat. Sunyi. Seolah alam menahan napasnya. Ki Harjo menancapkan tongkat kecil di tanah dan mulai membaca doa-doa Jawa Kuno. Wirya menaburkan air bunga tujuh rupa di sekit

    Huling Na-update : 2025-04-24

Pinakabagong kabanata

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kebangkitan Sang Penguasa Rawa”

    Angin malam itu menderu lebih kencang dari biasanya. Awan hitam menutupi rembulan, membuat seluruh desa tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Pepohonan berderak keras seolah tengah berbisik satu sama lain, membawa kabar buruk yang sulit diterjemahkan.Bu Darmi yang menjaga desa malam itu merasakan firasat aneh. Ia memandangi langit gelap dari serambi rumahnya sambil memeluk erat selendang lusuh pemberian gurunya dahulu — satu-satunya benda yang membuatnya merasa sedikit aman.“Kenapa angin seperti ini...?” gumam Bu Darmi, matanya tajam memandang ke arah hutan kecil yang menjadi gerbang ke rawa terlarang.Suara gemuruh mendadak terdengar. Bukan gemuruh petir, melainkan seperti suara ribuan langkah kaki... dan di antaranya, suara genderang serta gemerincing gamelan.Dari kegelapan, kabut tebal mulai merayap perlahan, menyelimuti tanah, menelusup ke sela-sela rumah warga. Suasana desa mendadak berubah: sepi, namun terasa seperti ribuan pasang mata tengah mengintai dari kegelapan.Warga y

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Amarah Sang Putri

    Langit di atas desa semakin gelap. Putaran pusaran awan hitam yang terbentuk akibat ulah Putri Tanjung Biru makin membesar, seakan hendak menelan seluruh tanah di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya berwarna ungu tua sesekali menyambar di dalam pusaran, menggetarkan tanah dan membuat pohon-pohon tua berderak, daunnya luruh ke tanah.Di tengah lapangan desa, Putri Tanjung Biru berdiri dengan angkuh. Rambut panjangnya yang biru keperakan melayang liar tertiup angin badai. Matanya menyala, memancarkan cahaya kehijauan menyeramkan. Di belakangnya, sosok-sosok bangsa lelembut telah mengambil bentuk nyata — ada yang menyerupai manusia dengan tubuh membusuk, ada yang setengah hewan, ada pula yang hanya berupa kabut kelabu mengambang.Bu Darmi menggenggam rajahnya lebih erat, gemetar, namun tetap bertahan di sisi Reza dan Ki Harjo. Sementara itu, Ki Harjo menancapkan tongkat kayu pulosari ke tanah, membentuk lingkaran perlindungan samar yang berpendar lemah di bawah kaki mereka."Ki Harjo... kek

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Sang Putri Tanjung Biru

    Malam itu, langit di atas desa tampak jernih. Bulan purnama menggantung utuh, sinarnya menghamparkan cahaya keperakan di atas tanah, seolah memberkati keberhasilan yang baru saja diraih Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi.Mereka bertiga duduk di serambi rumah Bu Darmi, menikmati malam yang damai, sesekali menyesap teh hangat dan berbincang ringan tentang harapan masa depan desa."Kita berhasil, Bu," ucap Reza sambil menghela napas lega.Ki Harjo mengangguk pelan. "Untuk sementara, Nak. Tapi ingat, tanah ini sudah lama dikunci oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tua dari yang kau bayangkan."Bu Darmi hanya tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada sebersit kekhawatiran yang belum sepenuhnya lenyap.Namun, ketika jarum jam hampir menunjuk ke pukul dua dini hari, angin kencang mendadak berhembus dari arah rawa. Bukan angin biasa — hembusannya dingin menggigit, membawa aroma anyir dan tanah basah.Bersamaan dengan itu, suara gamelan tua terdengar lirih dari kejauhan. Nada-nadanya ganjil, seperti l

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kemenangan Semu

    Tubuh Reza bergetar hebat.Bukan karena takut, melainkan karena kekuatan besar yang mulai bangkit dari dalam dirinya.Saat segel pusaka mencakar tanah, sebuah aura kuno yang selama ini tersegel dalam darahnya terlepas.Udara di sekitarnya bergetar, suara-suara gaib mengerang, seolah makhluk dari zaman purba bangkit bersama amarah Reza.Dari balik kegelapan, sosok samar seorang kakek renta bermantel putih muncul di belakang Reza.Itu adalah roh buyutnya — sang penjaga rahasia kuno keluarga.Wajahnya bijaksana, namun matanya memancarkan ketegasan luar biasa."Cucuku... kini saatnya. Ambil seluruh warisan darah kita. Jadilah perisai baru bagi tanah ini!"Reza mengepalkan tangannya, merasakan darah leluhurnya mendidih bagaikan lava.Tubuhnya perlahan diselimuti cahaya keemasan redup, membentuk pola-pola kuno di kulitnya.Setiap tarikan napasnya kini terasa berat, namun penuh kekuatan.Pemimpin bangsa lelembut itu meringis sinis."Tak peduli siapa leluhurmu, manusia! Semuanya akan berlutut

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun    "Pertempuran di Gerbang Desa"

    Malam itu, langit Desa Waringin Sepuh menggulung dalam warna hitam pekat. Awan bergemuruh seperti amarah dewa yang tak terbendung. Angin bertiup liar, membawa aroma anyir darah dan tanah basah. Di batas desa, di depan gerbang tua yang sudah retak-retak, Bu Darmi berdiri dengan tubuh gemetar. Sisa-sisa kekuatan yang ia gunakan untuk mempertahankan batas pelindung desa nyaris habis. Peluh membanjiri wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, makhluk-makhluk kegelapan sudah berkumpul. Ada sosok-sosok berkulit abu-abu, bertaring panjang, berambut api, bertubuh raksasa, hingga rombongan siluman anjing bertaring hitam. Jumlah mereka tak terhitung, mendesak, meraung, menjerit. Mereka lapar... lapar akan jiwa manusia. Seketika, tanah bergetar keras. Bu Darmi hampir saja jatuh, ketika cahaya putih menyilaukan tiba-tiba meledak dari ujung jalan desa. Semua makhluk itu mendadak berhenti, tubuh mereka gemetar, mulut mereka menggeram ketakutan. Karena di sana, berdiri Re

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pewaris yang Bangkit

    Di sebuah sungai keramat di luar Desa Waringin Sepuh, di tengah kabut tebal yang membeku di atas air, Reza berlutut di atas batu datar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi karena energi aneh yang mengalir dari sungai itu menembus daging dan tulangnya. Ki Harjo berdiri di belakangnya, menggenggam sebuah tongkat kayu tua yang ujungnya bersinar samar. Wajah Ki Harjo serius, lebih serius dari sebelumnya. Suasana begitu hening, bahkan suara serangga pun seolah takut berbunyi. "Dengarkan aku baik-baik, Reza," suara Ki Harjo berat, menggema di antara kabut. "Di sungai ini, semua warisan leluhur, semua kekuatan tanah dan darah desa ini akan menguji dirimu." Reza mengangguk perlahan, walau hatinya penuh kecemasan. "Jika kau layak," lanjut Ki Harjo, "kau akan diberi kekuatan untuk menantang bangsa lelembut itu. Tapi jika kau gagal..." Ki Harjo tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menatap Reza dalam-dalam, sorot matanya berkata lebih keras dari kata-kata: "Kau

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   "Malam Seribu Bayangan"

    Malam itu, Desa Waringin Sepuh benar-benar seperti berada di ambang kiamat.Angin berhenti berhembus, seakan bumi sendiri menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Di langit, tidak ada bintang, tidak ada rembulan. Hanya hitam kelam tak bertepi, seolah dunia telah kehilangan semua cahaya harapan.Bu Darmi duduk bersila di tengah pendopo desa, dikelilingi lingkaran lilin dan dupa.Keringat dingin membasahi tubuh tuanya, tapi ia tetap bertahan.Matanya terpejam, bibirnya tak henti-henti melafalkan doa-doa kuno, mantra pelindung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya.Namun, dari kejauhan, dari batas hutan yang mengelilingi desa, datang suara gemuruh yang semakin lama semakin keras.Suara itu seperti ribuan langkah kaki, teratur dan penuh tekad.Tanah mulai bergetar, genting-genting rumah berderak pelan seolah akan runtuh.Dan akhirnya, mereka muncul.Bangsa lelembut—dalam berbagai wujud mengerikan—menyerbu desa.Dari hutan, rawa, dan kebun karet, mereka datang berbondong-bondo

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga Terakhir

    Sejak kepergian Reza dan Ki Harjo, Desa Waringin Sepuh seolah kehilangan cahaya.Hari-hari berlalu dalam selimut ketakutan. Udara desa yang biasanya hangat berubah menjadi berat dan dingin, membuat bulu kuduk warga berdiri tanpa sebab.Bu Darmi, satu-satunya penjaga yang tersisa, berusaha sekuat tenaga mempertahankan ketenangan. Ia membakar dupa dan kemenyan setiap sore di empat penjuru desa, membacakan doa-doa kuno yang diajarkan nenek moyangnya.Namun, kekuatan Bu Darmi tidak cukup untuk menahan amarah yang sudah bangkit.Malam pertama setelah ritual penyucian Reza, seorang pemuda, Toni, ditemukan pingsan di tepi rawa. Tubuhnya penuh bekas cakaran aneh, seperti dicabik oleh cakar makhluk besar. Ketika ia siuman, Toni hanya bisa berteriak-teriak histeris, matanya kosong tanpa fokus."Mereka... mereka menari di atas air... mereka memanggilku...," gumam Toni sambil terisak.Warga yang ketakutan mulai mengunci diri di rumah masing-masing sebelum senja. Tidak ada yang berani keluar, bahk

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penyucian Jiwa dan Kegelapan yang Mengintai"

    Sinar mentari pagi baru saja mengintip dari balik pegunungan jauh ketika Reza dan Ki Harjo melangkahkan kaki meninggalkan desa. Udara masih basah oleh embun, dan kabut tipis menggantung rendah, seolah-olah menahan langkah mereka untuk pergi.Bu Darmi berdiri di ambang pintu, menatap kepergian mereka dengan mata sendu yang diselimuti kecemasan. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah awal dari perubahan besar—bagi Reza, bagi desa, dan mungkin, bagi seluruh wilayah yang dihuni oleh bangsa lelembut.Dengan membawa bekal secukupnya, serta beberapa kain putih yang telah dirituali, Reza mengikuti Ki Harjo menembus hutan tua yang berada di luar batas desa. Hutan yang bahkan di siang bolong pun terasa gelap dan lembap. Burung-burung pun tampaknya enggan berkicau, seolah mengetahui bahwa hari ini ada sesuatu yang sedang bergerak di antara semak-semak tua itu.Sementara itu, di dalam desa, setelah Reza dan Ki Harjo pergi, sesuatu mulai berubah.Angin yang bertiup teras

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status