Share

2. Isi Chat

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kosong. Tak ada chat dari wanita itu.

Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali?

Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?

Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.

Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba.

"Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.

Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah.

"Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku.

"Alhamdulillah, baik Pak." Mas Gandhy menjawabnya dengan pelan.

"Kalau Ibu libur jualan ya kalau bulan puasa begini?" Giliran Mama yang bertanya.

"Iya, Bu."

Mama dan Papa kemudian mengangguk.

Bapak dan Ibu mertuaku masih bekerja di usia mereka yang bisa dibilang sudah cukup renta. Akan tetapi, Bapak terlihat bugar dan masih bertani. Sedangkan Ibu masih berjualan di pasar. Ibu adalah seorang penjual nasi pecel yang cukup terkenal.

Tak heran jika pecel buatan Ibuertuaku laris manis karena memang pecel yang dibuat Ibu memiliki cita rasa yang unik dan khas dibandingkan buatan penjual lain.

"Bapak Ibu nanti masih kerja lagi habis lebaran?" tanya Mama lagi.

Aku melirik ke arah Mas Gandhy sambil mengambilkan makanan untuknya.

"Masih, Bu. Bapak sama Ibu kalau nggak bekerja nggak enak. Udah terbiasa bekerja," jawab Mas Gandhy.

Aku mengernyit. Untuk hal ini, aku sama sekali tidak setuju dengan Mas Gandhy. Menurutku orang tua yang sudah memasuki usia lanjut ya seharusnya tidak perlu bekerja lagi.

Anak-anaknya yang harus bertanggung jawab merawat mereka. Masa iya tega membiarkan orang tua sendiri harus kesusahan untuk mencari sesuap nasi?

Aku ingat betul perkataan Bapak mertuaku tentang hal itu. Dia pernah bercerita jika dia dari kecil sampai tua sekarang selalu hidup susah dan harus berjuang terus.

Bukankah itu artinya Bapak belum hidup nyaman? Kenapa Mas Gandhy malah tetap membiarkan Bapak Ibunya masih bekerja?

"Tapi Bapak Ibu kamu kan sudah sepuh, Gandhy. Apa nggak kecapekan?" tanya Mama lagi.

"Capek itu sudah biasa, Bu. Kalau bekerja pasti ya capek, Bu."

Aku menatap suamiku dengan tatapan tak percaya. Mamaku yang sepertinya sudah enggan membahas itu akhirnya memilih diam.

Kami akhirnya makan sahur dalam diam.

Setelah kami menunaikan salat Subuh sendiri-sendiri, aku melihat Mas Gandhy sedang asyik dengan ponselnya dan aku pun duduk di sampingnya.

Mumpung anak kami masih tidur dengan nyenyaknya, aku memutuskan untuk berbicara dengannya.

"Mas, Mbak Deva itu udah punya pacar ya?" tanyaku.

Mas Gandhy terdiam sebentar lalu menjawab, "Mana aku tahu, Dik."

"Hah!? Kok nggak tahu, Mas? Kan Mas anak buahnya, masa nggak tahu?" tanyaku lagi.

Mas Gandhy kembali menjawab, "Iya tapi mana mungkin dia cerita tentang hal begitu sama Mas, sih Dik?"

Aku terdiam dan pura-pura melihat ponselku sendiri.

"Eh, Mas. Mas Jaka memangnya sudah meninggal berapa lama sih?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya.

Dia lagi-lagi terdiam sebentar sebelum menjawab, "Satu setengah tahun."

Suami Mbak Deva, Mas Jaka itu bos asli suamiku  yang meninggal karena sakit. Aku tak terlalu paham tentang jenis penyakitnya tapi seingat diriku, Mas Jaka mengalami komplikasi dan mengembuskan napas terakhirnya saat anak kedua mereka masih berusia empat bulan.

Anak kedua mereka ini lahirnya hanya berjarak sekitar enam minggu saja dari kelahiran putriku. Itulah kenapa aku bisa kenal Mbak Deva, istri Mas Jaka itu.

Saat aku hamil, aku dan dia beberapa kali ikut pertemuan di kantor desa yang diadakan oleh perangkat desa khusus untuk ibu hamil.

Selain itu, saat aku berada di rumah barat, aku dan Mbak Deva sering juga berangkat bersama-sama ke posyandu.

"Oh iya masih belum lama ya ternyata," balasku.

"Hm." Dia menjawabnya singkat.

"Ya sudah, Mas. Aku mandi dulu."

Aku pun mandi dan setelah mandi, entah kenapa aku ingin ber-selfie ria. Sudah lama juga aku tak melakukannya.

Aku mengambil beberapa photo dan mengunggahnya sebagai status di salah satu aplikasi chat. Sekitar beberapa menit kemudian aku melihat Mbak Deva membuat sebuah status. Isinya ternyata tentang sebaik-baiknya wanita adalah yang jarang selfie.

"Apa-apaan sih ni orang," gumamku di ruang tamu sendirian.

Aku merasa tersindir lagi. Apa maksudnya coba?

Aku lalu masuk kamar dan berbicara dengan pelan pada suamiku, "Mas, Mbak Deva kayanya nggak suka deh sama aku. Dia kok nyindir-nyindir aku terus sih."

Mas Gandhy meletakkan ponselnya. Dia menjawab, "Cuma perasaan kamu aja kali, Dik."

"Ya nggak mungkin lah, Mas. Ini beberapa kali dia begini kok. Memang aku salah apa sih sama dia?" tanyaku sengaja memancing. Aku ingin tahu reaksi suamiku.

"Sudahlah, Dik. Nggak usah diributin. Cuekin aja," ucapnya.

Dia lalu mengambil tasnya dan mengeluarkan dompetnya. Dia menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan kepadaku. Aku terkejut.

"Kok banyak banget, Mas?"

"Lagi ada banyak," jawabnya.

Ini nggak salah? Jumlah uang mingguan yang diberikan Mas Gandhy hampir dua kali lipat dari pada biasanya.

Oh iya, Mas Gandhy selalu memberi uang belanja setiap seminggu sekali karena dia gajiannya kan tiap minggu, tidak sebulan sekali seperti yang lain.

"Kalau ada sisa jangan lupa ditabung ya?" ucapnya lagi.

Aku mengangguk.

Mas Gandhy lalu mandi dan ganti baju.

"Loh, Mas. Masa mau balik sekarang? Kan Fuchsia baru bangun, ini aja belum mandi." Aku menatap suamiku heran saat dia sudah rapi.

Yang membuatku lebih heran lagi adalah dia mengeluarkan sebuah parfum dan menyemprotkannya cukup banyak di badannya.

Sebentar, sejak kapan dia beli parfum?

Oke, sebelum menikah dan sampai aku hamil, dia memang sangat rapi. Dia tipe laki-laki yang akan selalu terlihat bersih dan benar-benar menjaga penampilannya.

Tetapi setelah aku melahirkan, dia sudah jarang begitu. Dia bahkan tak pernah membeli parfum. Lalu kenapa sekarang dia membelinya lagi? Apalagi dia sampai membawa parfum itu di tasnya juga. Kenapa kemarin aku tidak memeriksanya juga?

"Kok tumben wangi banget, Mas?"

"Ini kan mau ambil roti dulu buat dagangan besok. Malu kalau bau," jawabnya.

Aku menatapnya penuh curiga. Sejak kapan dia peduli jika tubuhnya bau? Selama ini dia cuek tentang itu.

Sungguh aku semakin bingung.

***

Fuchsia cukup susah ditenangkan saat melihat papanya pergi lebih awal. Anakku itu pastilah masih merindukan papanya. Mereka hanya bertemu sekali dalam satu minggu, sudah jelas waktu kebersamaan mereka sedikit.

Tetapi aku beruntung, Mamaku selalu berhasil membantuku untuk membuat Fuchsia tenang. Gadis kecil itu pun tertidur lebih cepat di malam hari.

Aku membuka aplikasi chat lagi dan mencari nomor suamiku. Yah, beginilah. Hubungan pernikahan jarak jauh tentu saja membutuhkan aplikasi ini untuk tetap saling bertukar kabar.

Saat membuka chat dari suamiku yang mengabarkan dia sudah sampai ke rumah itu, aku kembali dibuat kaget lagi.

Foto profil suamiku telah diganti.

Kenapa lagi ini?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ira Cdv
Ribet amat hidup lu mbak, sibuk mantau chatingan suami lu sm bosnya, lu mendadak ke ktrnya baru nanti ketahuan.
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Lelet bgt jadi istri klo merasa tingkah suaminya aneh ya tinggal datengin aja rumah mertuanya...untuk membuktikan kecurigaannya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu banyak bertanya2 sendiri. kenapa g kamu datangi aja rumah mertua mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Talak Aku, Mas!   3. Pertanda Buruk

    Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. Firasat aneh mulai menghampiriku. "Kenapa, Ra?" Mama bertanya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Ah, nggak apa-apa, Ma."Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.Aku memilih untuk mengabaikan ha

  • Talak Aku, Mas!   4. Salah Memanggilku

    Apakah itu sebuah pertanda buruk? Aku tidak memikirkannya. Tetapi Mamaku terlihat sedang berpikir saat aku membersihkan pecahan kaca itu. Foto itu padahal baru saja dipasang di ruang tamu tapi bisa-bisanya malah jatuh."Apa kurang kuat ya talinya, Ma?" tanyaku."Mungkin," jawab Mama singkat.Daripada aku berpikiran yang bukan-bukan, aku memutuskan untuk segera pergi ke percetakan photo. Di tengah perjalanan, aku sudah lupa tentang pigura yang jatuh itu.Aku malah menikmati jalanan kota. Aku sudah jarang sekali keluar sendirian semenjak memiliki anak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah bersama anakku dan kalau pun aku keluar, tidak mungkin aku sendirian. Aku pasti akan mengajak Mamaku dan juga Fuchsia. Kalau saat Mas Gandhy sedang pulang, kami keluar bertiga.Sambil mengemudi motor kesayanganku yang aku beli dari hasil jerih payahku sebagai seorang guru beberapa tahun yang lalu, aku melihat banyak hal yang telah berubah di kota kelahiranku.Saat aku berhenti di pertigaan ka

  • Talak Aku, Mas!   5. Sebuah Petunjuk

    Eros langsung meneleponku. Dengan pelan-pelan aku ke luar dari kamar agar suaraku tak menganggu anakku yang sedang tidur."Gimana? Bisa nggak?" tanyaku dengan gelisah."Buat apa memangnya, Mbak?" tanya Eros terdengar heran.Aku menahan napas sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus cerita tentang kecurigaanku atau tidak. Selama berumah tangga dengan Mas Gandhy, aku sangat tertutup pada siapapun. Tak pernah sekalipun aku cerita tentang masalah-masalah yang menimpaku. Bahkan kepada sahabat baikku yang baru saja menikah beberapa bulan lalu, aku tak pernah berkeluh kesah padanya meskipun terkadang aku tidak betah. Akan tetapi, aku tetap teguh dengan pendirianku, aku tak ingin masalah rumah tanggaku diketahui oleh orang lain karena menurutku memang hal itu sangat pribadi.Namun, saat ini aku sudah sangat pusing sekali, pikiranku sedang berantakan. Aku membutuhkan saran orang lain. Bukankah lebih baik jika aku bercerita pada adikku saja? Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu adikk

  • Talak Aku, Mas!   6. Terbongkar

    Aku melirik suamiku, takut jika dia terbangun karena suaraku. Jantungku benar-benar sudah tidak bisa terkendali. Berdetak dengan sangat cepat hingga mungkin suara detaknya bisa terdengar oleh orang lain.Aku mencoba berdiri dengan tegak meskipun rasanya aku hampir tak mampu. Aku perlahan ke luar dari kamarnya sambil mengantongi ponselnya. Bapak mertuaku melihatku ke luar dan dia langsung berkata, "Belum mau bangun?""Belum, Bapak." Aku masih linglung rasanya, jadi aku masih berdiri di depan kamar suamiku yang pintunya sudah aku tutup seperti orang bodoh. "Ada apa?" tanya Bapak mertua.Aku menggigit bibirku, aneh rasanya. Kenapa aku tak bisa menangis? Harusnya aku meraung-raung kan? Tetapi dadaku rasanya sangat sesak, tak bisa menangis. Aku lalu berjalan menuju Bapak Mertuaku yang sekarang sudah duduk. Dia jelas menungguku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi."Pak, Mas Gandhy selingkuh," ucapku akhirnya.Aku dengan gemetar menunjukkan ponsel Mas Gandhy pada Bapak. Bapak mertua

  • Talak Aku, Mas!   7. Ponsel Mas Mana?

    Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung. "Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu. Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia. "Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur." "Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi. "Iya, Bu." Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku. "Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku. Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku. "Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?" "Nggak. Na

  • Talak Aku, Mas!   8. Kok Bisa, Mbak?

    Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu

  • Talak Aku, Mas!   9. Bermuka Dua

    "Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak

  • Talak Aku, Mas!   10. Curhatan

    Sakit? Tentu saja sangat sakit. Siapa yang tidak merasakan sakit jika pernikahan yang baru saja terjalin seumur jagung harus kandas begitu saja dikarenakan orang ketiga?Yang lebih menyakitkan lagi setelah mencoba memberikan solusi dan menekan ego untuk menyelamatkan rumah tanggaku, dia tetap saja lebih memilih wanita itu. Bahkan dia sudah tidak memikirkan nasib anaknya lagi.Aku tak bisa berkata-kata lagi begitu dia berkata seperti itu. Hal ini tak mudah bagiku. Mengingat meskipun awalnya aku begitu emosi dan langsung ingin bercerai darinya tetapi setelah memikirkan lagi, aku takut. Aku tidak takut sendiri. Aku tidak takut menjadi seorang janda dan harus banting tulang demi anakku. Bukan itu. Aku hanya takut anakku yang tak memiliki sosok ayah untuk selalu ada bersamanya."Ya sudah, yang urus perceraiannya aku atau kamu, Mas?" tanyaku. Hatiku tidak baik-baik saja tetapi aku tak mungkin menunjukkan itu di depannya."Nanti Mas ngomong dulu sama Bapak," jawabnya.Aku mengangguk. Memang

Latest chapter

  • Talak Aku, Mas!   98. Akhir

    "Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la

  • Talak Aku, Mas!   97. Keterbukaan

    Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A

  • Talak Aku, Mas!   96. Rencana Aaron

    "Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.

  • Talak Aku, Mas!   95. Alasan Zara

    "Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i

  • Talak Aku, Mas!   94. Putus Asa

    "Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek

  • Talak Aku, Mas!   93. Keegoisan

    "Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "

  • Talak Aku, Mas!   92. Rencana Masa Depan

    "Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant

  • Talak Aku, Mas!   91. Debat Kusir

    "Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut

  • Talak Aku, Mas!   90. Kekacauan

    "Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin

DMCA.com Protection Status