Home / Pernikahan / Talak Aku, Mas! / 1. Awal Kecurigaan

Share

Talak Aku, Mas!
Talak Aku, Mas!
Author: Zila Aicha

1. Awal Kecurigaan

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Maaf, Mas. Tadi aku di belakang lagi nonton televisi sama Fuchsia," ucapku saat aku sudah membukakan pintu rumah.

Aku mencium tangan suamiku sebelum membiarkan dia masuk ke dalam rumah.

"Nggak apa-apa. Ini bawa ke belakang," ucap Mas Gandhy menyerahkan dua bungkus besar belanjaan yang aku langsung tahu betul berasal dari minimarket.

Aku agak terkejut saat melihat begitu banyak isinya, "Mas, kok banyak banget. Eh, ini ada susu kedelai juga."

Aku senang sekali karena dia membelikanku minuman favoritku semenjak melahirkan.

"Iya, kamu kan suka itu," ucapnya lalu tersenyum.

Suamiku mencubit daguku lembut.

"Aku ke kamar mandi dulu," ucapnya lagi.

Dia berjalan ke kamar mandi dan mencuci tangannya seperti biasanya. Dia sudah hafal kalau dia harus cuci tangan dulu sebelum bertemu dengan putri kami yang masih belum genap berusia dua tahun.

Aku langsung membawa makanan dan minuman yang dibawakan Mas Gandhy dan menaruh sebagian di kulkas. Aku mulai tersenyum saat aku rasa suamiku mulai lebih perhatian.

Dia ternyata tak hanya membelikanku minuman kesukaanku tapi juga roti keju yang juga aku sukai. Tak hanya itu, dia bahkan juga membelikan Fuchsia mainan.

Fuchsia sedang bermain lego di depan televisi saat aku menghampiri gadis kecil itu.

"Fuchsia, lihat! Ini Papa beliin mainan baru untuk Fuchsia. Bagus kan, Sayang?" ucapku pada anakku yang kemudian menoleh.

"Ma, Main." Dia meraih mainan barunya, boneka kucing yang bisa bergerak.

Aku menunggu suamiku yang lama di kamar mandi. Jadi, aku pun menyusulnya. Saat aku melihatnya, dia memasang ekspresi terkejut. Dia ternyata sedang mengetik sesuatu di ponselnya.

"Kok lama banget, Mas?" tanyaku tanpa menaruh curiga.

"Iya, ini Mbak Deva tanya stok barang. Ada barang yang datang," jawabnya.

Aku hanya mengangguk.

Mas Gandhy lalu mendekati Fuchsia dan bermain dengannya.

"Bapak, Ibu ke mana, Dik?"

"Ada acara yasinan, Mas. Mas, sudah buka puasa belum tadi?" tanyaku.

"Udah tadi, Ibu masak oseng-oseng jamur," jawabnya.

Aku kecewa mendengarnya. Padahal aku sudah memasak untuknya tadi. Aku hanya mengembuskan napasku dengan pelan. Aku tahu aku tidak pintar memasak dan bisa dikatakan jarang memasak.

Walaupun begitu, sesekali aku ingin suamiku makan makanan masakanku. Akan tetapi, semakin lama aku merasa susah sekali membuatnya makan masakanku.

"Enak pasti," ucapku yang memang mengakui masakan ibu mertuaku yang tidak mengecewakan.

Bahkan beliau juga sering mengajariku masak saat aku berada di rumah barat. Kami selalu menyebutnya begitu. Rumah mertuaku rumah barat, sedangkan rumah orangtuaku rumah timur.

Aku dan Mas Gandhy sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan kami sudah memiliki putri cantik yang dalam waktu dekat akan segera berusia dua tahun.

Mas Gandhy bekerja sebagai seorang sales snack di usaha kecil milik tetangga kami. Sedangkan aku masih belum kembali bekerja karena masih ingin membesarkan putriku sendiri, setidaknya sampai dia berusia tiga tahun.

Aku dulunya seorang guru di sekolah swasta dan harus resign karena kandunganku saat itu yang lemah.

Aku dan Mas Gandhy tidak tinggal dalam satu rumah. Aku tinggal di rumah timur, Mas Gandhy tinggal di rumah barat. Rumah barat dan timur berjarak sekitar dua puluh lima kilometer dan hal itu yang dijadikan alasan Mas Gandhy untuk tidak mau tinggal serumah denganku dan memilih tinggal di rumah barat. Itu juga karena kebetulan saja tempat kerja Mas Gandhy berada tepat di belakang rumah mertuaku itu.

Mas Gandhy hanya datang menjengukku satu kali dalam satu minggu. Orangtuaku berulang kali menyarankan Mas Gandhy untuk mencari kerja baru di tempat lain, tetapi dia tak pernah mau. Jadi terpaksa, kami tinggal berjauhan sekarang.

Mengingat ulang tahun Fuchsia yang tinggal sepuluh hari lagi itu aku berbicara, "Mas, ulang tahun Fuchsia nanti gimana? Dirayakan nggak?"

Mas Gandhy yang sedang bermain bersama Fuchsia itu menjawab, "Iya dong. Iya kan, Nduk? Anak Papa mau dibelikan apa, Sayang nanti?"

Dia menggendong putrinya itu dan mencium pipinya dengan gemas.

"Pe-men." Gadis kecil itu menjawab dengan bersemangat.

"Hah!? Kok permen, sih. Nanti giginya bolong-bolong lho, Nduk." Mas Gandhy mencium lagi pipi Fuchsia.

"Mau pe-men," ucap Fuchsia sambil menampilkan ekspresi cemberutnya yang lucu sekali.

Aku jadi ikutan gemas dan duduk di samping Mas Gandhy dan ikut mencium pipi putriku itu. Kami pun menggelitik Fuchsia sampai gadisku itu tertawa.

"Mas, nanti dirayakan kaya gimana?" tanyaku lagi.

"Adik aja yang atur, Mas Ikut aja. Nanti uangnya Mas transfer ya," jawabnya.

Aku tertegun. Pasalnya, Mas Gandhy terlihat begitu mudahnya menyetujui itu. Biasanya, dia tidak begitu. Dia pasti akan bertanya ini itu dulu sebelum mengiyakan.

Suamiku itu memang bukan orang yang pelit tapi dia tidak juga terlalu royal. Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk, tetapi untuk sekarang aku lega karena bisa membuat acara syukuran kecil-kecilan untuk Fuchsia.

***

"Dik, kamu nggak makan lagi?" tanya Mas Gandhy setelah aku selesai menidurkan Fuchsia.

"Enggak terlalu lapar. Mas mau makan?" tanyaku. Aku masih berharap dia mau makan masakanku.

"Enggak. Masih kenyang. Eh, Mas ke depan dulu ya? Mau udud sebentar," pamitnya dan dia membawa ponselnya ke luar kamar.

Aku tetap di kamar dan mengambil ponselku sendiri. Aku membuka status orang-orang di salah satu aplikasi chat.

Tak ada yang menarik. Tetapi kemudian aku membuka status dari Mbak Deva, Bos suamiku.

Isinya begini: Ah, pengangguran. Wanita hebat itu wanita yang bisa ngurus anak sekaligus bisa mencari uang.

Dia menambahkan emoticon tersenyum.

Siapa yang dia sindir?

Hatiku tiba-tiba panas. Masalahnya, aku saat ini memang masih menganggur dan hanya mengurus anak.

Aku membuka nomornya dan berniat mengirim pesan kepadanya. Saat melihat dia sedang online, aku langsung mengetik beberapa kata.

"Bentar-bentar, kan belum tentu aku yang disindir. Kenapa aku kesal?" gumamku pelan.

Aku langsung menghapus pesan itu dan tak jadi mengirimkannya.

"Jangan gampang baper, Zara!" Aku berbicara pada diriku sendiri.

Aku lalu dengan iseng membuka nomor suamiku dan agak terkejut saat dia sedang online. Biasanya kalau ke depan sambil merokok itu dia akan bermain game atau nonton video saja.

Aku tersenyum dan langsung mengetik: 'Kok malah online, Mas?'

Aku menunggu beberapa detik, pesanku langsung berubah biru, tanda dia sudah membacanya. Dia menjawab: 'Iya, Dik. Ada masalah dengan barang yang datang tadi. Mbak Deva nanyain.'

Setelah membaca pesan itu, aku memilih untuk mendengarkan musik sambil menunggu Mas Gandhy masuk.

Akan tetapi, setelah setengah jam kemudian, entah kenapa aku malah mulai kepikiran lagi. Aku kembali membuka aplikasi chat itu dan membuka nomor Mas Gandhy dan dia masih online. Lalu aku membuka nomor Mbak Deva dan ternyata juga sedang online.

Oke, aku tahu mereka memang anak buah dan bos. Masalah barang datang itu pasti juga didiskusikan bersama. Tetapi masa iya diskusi hampir setengah jam lamanya.

Aku berpikir sebentar sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan berjalan menuju teras.

"Mas, kok lama banget ngerokoknya?" tanyaku.

Dia yang sedang tersenyum sambil mengetik sesuatu yang entah apa dan kepada siapa itu kaget luar biasa dan hampir menjatuhkan ponselnya.

Aku juga jadi ikut terkejut saat melihat wajah Mas Gandhy yang kaget itu.

"I-iya, ini dah habis."

Dia kemudian berdiri dari kursi dan menggandengku masuk ke kamar.

"Udah beres, Mas?" tanyaku setelah kami sudah berada di dalam kamar.

"Apanya?" tanyanya bingung.

"Tadi barang yang baru datang."

"Oh, itu. Udah. Ayo tidur," ajaknya.

Dia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya yang dia gantung di dekat lemari.

Firasatku mulai tak enak. Dia tak pernah begitu. Ponselnya harus ada di sampingnya saat dia tidur. Ini pertama kalinya dia tak menaruh ponselnya di dekatnya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Nggak apa-apa," jawabku pelan.

Aku membiarkan dia tidur sambil memelukku di kasur bagian bawah. Kasur kami ada dua di kamar, sebuah spring bed dan sebuah kasur busa biasa. Spring bed untuk Fuchsia, busa untuk Mas Gandhy dan aku.

Aku tidak bisa tidur dan saat aku lihat Mas Gandhy sudah tertidur pulas, secara perlahan aku menggeser tubuhku dan berdiri. Dengan pelan-pelan aku berjalan agar tidak ketahuan. Aku lalu membuka tas selempang hitam Mas Gandhy dan mengambil ponselnya.

Tidak dikunci, aku lega. Dia memang tidak pernah mengunci ponselnya.

Aku dengan cepat membuka aplikasi chat itu dan langsung mencari nomor Mbak Deva. Aku agak terkejut saat nomor itu di pinned. Padahal setahuku hanya nomorku saja yang di pinned.

Aku menggigit bibirku mulai takut. Aku memejamkan mataku sebelum membuka isi chat dari bos suamiku itu.

Tetapi kemudian aku hanya bisa terdiam saat membacanya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Istrinya tinggal di rumah ibunya dan si suami tinggal di rumah ibunya juga...ketemu hanya seminggu sekali fix suaminya selingkuh
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jarak dari tempat kerja cuman 25 km tapi ketemu sekali seminggu. kamu sebagai seorang istri merasa wajar g?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Talak Aku, Mas!   2. Isi Chat

    Kosong. Tak ada chat dari wanita itu. Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali? Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba."Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah."Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku."Alhamdul

  • Talak Aku, Mas!   3. Pertanda Buruk

    Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. Firasat aneh mulai menghampiriku. "Kenapa, Ra?" Mama bertanya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Ah, nggak apa-apa, Ma."Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.Aku memilih untuk mengabaikan ha

  • Talak Aku, Mas!   4. Salah Memanggilku

    Apakah itu sebuah pertanda buruk? Aku tidak memikirkannya. Tetapi Mamaku terlihat sedang berpikir saat aku membersihkan pecahan kaca itu. Foto itu padahal baru saja dipasang di ruang tamu tapi bisa-bisanya malah jatuh."Apa kurang kuat ya talinya, Ma?" tanyaku."Mungkin," jawab Mama singkat.Daripada aku berpikiran yang bukan-bukan, aku memutuskan untuk segera pergi ke percetakan photo. Di tengah perjalanan, aku sudah lupa tentang pigura yang jatuh itu.Aku malah menikmati jalanan kota. Aku sudah jarang sekali keluar sendirian semenjak memiliki anak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah bersama anakku dan kalau pun aku keluar, tidak mungkin aku sendirian. Aku pasti akan mengajak Mamaku dan juga Fuchsia. Kalau saat Mas Gandhy sedang pulang, kami keluar bertiga.Sambil mengemudi motor kesayanganku yang aku beli dari hasil jerih payahku sebagai seorang guru beberapa tahun yang lalu, aku melihat banyak hal yang telah berubah di kota kelahiranku.Saat aku berhenti di pertigaan ka

  • Talak Aku, Mas!   5. Sebuah Petunjuk

    Eros langsung meneleponku. Dengan pelan-pelan aku ke luar dari kamar agar suaraku tak menganggu anakku yang sedang tidur."Gimana? Bisa nggak?" tanyaku dengan gelisah."Buat apa memangnya, Mbak?" tanya Eros terdengar heran.Aku menahan napas sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus cerita tentang kecurigaanku atau tidak. Selama berumah tangga dengan Mas Gandhy, aku sangat tertutup pada siapapun. Tak pernah sekalipun aku cerita tentang masalah-masalah yang menimpaku. Bahkan kepada sahabat baikku yang baru saja menikah beberapa bulan lalu, aku tak pernah berkeluh kesah padanya meskipun terkadang aku tidak betah. Akan tetapi, aku tetap teguh dengan pendirianku, aku tak ingin masalah rumah tanggaku diketahui oleh orang lain karena menurutku memang hal itu sangat pribadi.Namun, saat ini aku sudah sangat pusing sekali, pikiranku sedang berantakan. Aku membutuhkan saran orang lain. Bukankah lebih baik jika aku bercerita pada adikku saja? Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu adikk

  • Talak Aku, Mas!   6. Terbongkar

    Aku melirik suamiku, takut jika dia terbangun karena suaraku. Jantungku benar-benar sudah tidak bisa terkendali. Berdetak dengan sangat cepat hingga mungkin suara detaknya bisa terdengar oleh orang lain.Aku mencoba berdiri dengan tegak meskipun rasanya aku hampir tak mampu. Aku perlahan ke luar dari kamarnya sambil mengantongi ponselnya. Bapak mertuaku melihatku ke luar dan dia langsung berkata, "Belum mau bangun?""Belum, Bapak." Aku masih linglung rasanya, jadi aku masih berdiri di depan kamar suamiku yang pintunya sudah aku tutup seperti orang bodoh. "Ada apa?" tanya Bapak mertua.Aku menggigit bibirku, aneh rasanya. Kenapa aku tak bisa menangis? Harusnya aku meraung-raung kan? Tetapi dadaku rasanya sangat sesak, tak bisa menangis. Aku lalu berjalan menuju Bapak Mertuaku yang sekarang sudah duduk. Dia jelas menungguku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi."Pak, Mas Gandhy selingkuh," ucapku akhirnya.Aku dengan gemetar menunjukkan ponsel Mas Gandhy pada Bapak. Bapak mertua

  • Talak Aku, Mas!   7. Ponsel Mas Mana?

    Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung. "Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu. Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia. "Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur." "Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi. "Iya, Bu." Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku. "Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku. Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku. "Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?" "Nggak. Na

  • Talak Aku, Mas!   8. Kok Bisa, Mbak?

    Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu

  • Talak Aku, Mas!   9. Bermuka Dua

    "Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak

Latest chapter

  • Talak Aku, Mas!   98. Akhir

    "Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la

  • Talak Aku, Mas!   97. Keterbukaan

    Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A

  • Talak Aku, Mas!   96. Rencana Aaron

    "Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.

  • Talak Aku, Mas!   95. Alasan Zara

    "Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i

  • Talak Aku, Mas!   94. Putus Asa

    "Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek

  • Talak Aku, Mas!   93. Keegoisan

    "Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "

  • Talak Aku, Mas!   92. Rencana Masa Depan

    "Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant

  • Talak Aku, Mas!   91. Debat Kusir

    "Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut

  • Talak Aku, Mas!   90. Kekacauan

    "Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin

DMCA.com Protection Status