Aku melirik suamiku, takut jika dia terbangun karena suaraku. Jantungku benar-benar sudah tidak bisa terkendali. Berdetak dengan sangat cepat hingga mungkin suara detaknya bisa terdengar oleh orang lain.
Aku mencoba berdiri dengan tegak meskipun rasanya aku hampir tak mampu. Aku perlahan ke luar dari kamarnya sambil mengantongi ponselnya.Bapak mertuaku melihatku ke luar dan dia langsung berkata, "Belum mau bangun?""Belum, Bapak."Aku masih linglung rasanya, jadi aku masih berdiri di depan kamar suamiku yang pintunya sudah aku tutup seperti orang bodoh."Ada apa?" tanya Bapak mertua.Aku menggigit bibirku, aneh rasanya. Kenapa aku tak bisa menangis? Harusnya aku meraung-raung kan?Tetapi dadaku rasanya sangat sesak, tak bisa menangis. Aku lalu berjalan menuju Bapak Mertuaku yang sekarang sudah duduk. Dia jelas menungguku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
"Pak, Mas Gandhy selingkuh," ucapku akhirnya.Aku dengan gemetar menunjukkan ponsel Mas Gandhy pada Bapak. Bapak mertuaku bisa membaca dengan sangat baik karena pendidikannya cukup tinggi dibandingkan dengan orang-orang seusianya.Dia membaca sekilas dan kemudian terdiam."Mas Gandhy selingkuh sama Mbak Deva dan pagi ini janjian akan ketemu sebelum dia berangkat kerja. Mereka mau.. Mereka mau..." Aku tak sanggup mengatakannya.Bapak masih diam saja tetapi kepalanya tertunduk. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan."Pak, Zara mau cerai sama Mas Gandhy," ucapku.Bapak langsung menoleh, terlihat sangat kaget saat aku mengucapkan hal itu. Wajahnya tampak kecewa. Aku tak tahu dia kecewa atas anaknya yang sudah selingkuh atau kecewa terhadapku yang langsung memutuskan ingin bercerai dari anaknya.Dia terdiam selama beberapa detik tetapi kemudian aku mendengarnya berkata, "Kalau begitu, bicara baik-baik sama Gandhy."Aku mengangguk dan kemudian berdiri."Pak, Zara ke depan sebentar."Aku melangkah ke luar rumah. Tanganku rupanya sudah berkeringat. Dengan berusaha menguatkan hatiku, aku membuka chat antara suamiku dan Deva lagi. Tadi aku hanya sempat melihat bagian bawah saja, belum sampai yang paling atas.Aku scroll chat itu hingga ke atas. Aku begitu terkejut karena chat paling atas itu dimulai pukul lima sore kemarin. Aku tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang. Dia benar-benar sangat mengenalku.Rupanya dia tahu jika setelah kejadian dia salah panggil aku pagi kemarin, mungkin dia menebak aku langsung datang ke sana sore hari jadi dia sengaja menghapus chat itu terlebih dahulu.Aku harus memuji kepekaannya. Dia bisa tahu aku akan mendatanginya, hanya saja dia salah menebak waktunya. Mungkin dia tidak pernah menyangka jika aku akan datang di pagi harinya jadi dia tak menghapus isi chat itu.Aku mulai membaca pesan itu dan darahku rasanya mendidih. Ada beberapa hal yang membuatku lebih ingin marah daripada bersedih.Gandhy: 'Aku tak bisa pernah puas dengan istriku.'Deva: 'Kenapa? Mungkin hanya perasaanmu saja.'Gandhy: 'Tidak. Aku memang tidak pernah bisa puas. Sama kamu mungkin aku bisa puas. Mau ya besok? Aku masih kangen.'Deva: 'Tadi kan udah ketemu, udah dipeluk juga.'Gandhy: 'Kan masih kurang. Tadi cuma sebentar.'Aku memejamkan mataku. Sakit sekali rasanya tapi tetap saja aku tak bisa menangis. Tiba-tiba saja aku teringat untuk mengambil bukti. Aku mengeluarkan ponselku dan kemudian memotret hampir semua isi chat itu.Pikiranku semakin kacau setiap aku membaca chat itu. Apalagi semakin lama chat itu semakin gila saja.Gandhy: 'Photo dong, Yank.'Deva: 'Nggak. Aku malu, Yank.'Gandhy: 'Nggak apa-apa. Aku tunggu.'Dan kemudian aku lihat Deva benar-benar mengirimkan foto itu dengan pose tersenyum. Ingin kubanting rasanya ponsel itu. Kukira itu sudah cukup, nyatanya masih berlanjut.Gandhy: 'Photo lagi dong, Yank. Yang kelihatan dadanya dan...'Aku ingin mengumpat rasanya tetapi aku tahan, aku masih ingat saat ini bulan puasa.Aku hampir tak kuat rasanya tapi aku harus tahu lebih banyak jadi aku memaksakan diriku lagi untuk membaca isi chat yang semakin membuatku ingin muntah.Gandhy: 'Nanti di meja hijau itu ya Yank. Jangan lupa, celananya dilepas, sisakan celana dalamnya saja.'Mas Gandhy memberikan emoticon cium, peluk dan cinta.Ya Tuhan, mereka sudah benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa mereka janjian akan melakukannya di bulan puasa? Apakah mereka sudah tak takut hukuman Allah?Aku lemas sampai terduduk dengan masih memegang ponsel Mas Gandhy. Aku melirik lagi ponsel itu. Di aplikasi chat itu, dia menggunakan foto Fuchsia sebagai wallpaper-nya.Apakah dia sudah sinting? Dia bermesraan dengan wanita lain menggunakan aplikasi chat dengan wallpaper Fuchsia? Tidakkah dia ingat anaknya?
"Ya Allah. Kenapa harus begini?" ucapku pelan."Nggak. Nggak bisa. Aku nggak boleh lemah."Aku mematikan ponsel Mas Gandy. Dengan agak lemas aku berdiri lalu membuka jok motorku. Aku menaruh ponsel Mas Gandhy di dalam sana."Zara, Bapak ke sawah dulu. Ibumu masih belum bangun," ucap Bapak yang baru keluar dari rumah sambil membawa cangkul.Bapak kemudian berjalan tanpa alas kaki menuju sawah setelah aku mengangguk.Aku membuka ponselku dan mencari recorder. Aku menekannya saat masuk ke dalam rumah dan menaruhnya ke dalam tasku.Aku membuka kamar Mas Gandhy dengan kasar dan bisa dibilang aku sengaja membuat suara berisik agar dia terbangun. Sayangnya, dia tak semudah itu terbangun. Dengan penuh amarah, aku menepuk punggungnya."Bangun!" ucapku."Bangun, Mas!" ucapku keras sambil memukul punggungnya.Dia menggeliat dan langsung duduk. Aku berdiri dan mundur menjauh darinya.Dia kaget melihatku di sana dan langsung celingukan mencari ponselnya."Ponsel Mas mana, Dik?" tanyanya.Aku tak menjawab. Dia mencari-cari ponselnya ke mana-mana dan aku hanya melihatnya dengan getir. Aku memalingkan mukaku dan hanya berdiri bersandar pada pintu. Aku masih diam."Ponsel Mas mana? Mas mau order," ucapnya.Aku menatapnya sedih. Dia bahkan tidak bertanya apa yang aku lakukan di sana di pagi-pagi buta. Dia malah sibuk mencari ponselnya."Kamu yang ambil ya? Tolong kembalikan, Dik!" ucapnya."Mau hubungi dia?" tanyaku.Dia terdiam."Kok bisa sih, Mas? Kenapa harus dia? Dia itu istrinya Mas Jaka, Bos kamu."Dia belum merespon dan tetap diam. Dia sepertinya sudah paham dia ketahuan."Jadi ini alasanmu yang sebenarnya. Iya Mas? Mas nggak mau tinggal di rumah timur dan nyari kerja di sana, karena dia kan?""Nggak. Bukan kaya gitu. Mas Jaka udah pesan untuk Mas nerusin usahanya jika dia nggak ada," kilahnya.Aku tersenyum sinis. Aku heran sendiri dengan diriku yang masih bisa tenang."Dia minta Mas buat jaga usahanya, bukan untuk menjaga istrinya," tukasku.Dia menatapku sebentar lalu menunduk."Meja hijau. Nggak usah pakai celana. Sana temui dia!" ucapku setengah berteriak.Dia semakin menunduk."Udah berapa lama, Mas?" tanyaku."Baru. Satu minggu," jawabnya."Baru satu minggu dan sudah mau melakukan itu? Mas, Kamu kok bisa-bisanya...""Belum. Belum sampai melakukan itu," balasnya."Sudah ciuman?" tanyaku lagi.Dia kembali terdiam. Dia memainkan tangannya seperti anak kecil tetapi aku lihat wajahnya masih datar dan aku tidak tahu dia sedang menyesal atau tidak.Aku langsung menghampirinya."Jawab, Mas. Kamu sudah menciumnya? Sudah memegang bagian tubuhnya yang lain? Jawab, Mas!"Aku mengatakan itu dengan mengguncang tubuhnya.Dia tetap membisu.
Tangisku akhirnya pecah. Air mata itu turun secara perlahan."Aku pikir dengan memiliki anak perempuan, kamu akan mengerti dan menahan diri."Aku memukul-mukul dadanya dan dia hanya diam membiarkan aku melakukannya."Fuchsia masih kecil, Mas. Aku sudah berusaha memaklumi semuanya tapi kenapa kamu masih juga...""Ini karena kamu yang nggak mau tinggal di sini. Tinggalah di sini, Mas nggak akan kaya gitu lagi," ucapnya.Aku menghapus air mataku dengan kasar."Jadi kamu mau menyalahkan aku, Mas? Padahal kamu itu kan tahu pasti kenapa aku nggak mau tinggal di sini. Kalau aku di sini bahagia, aku nggak mungkin tinggal di sana."Mas Gandhy mendongak, "Terus mau kamu gimana?"Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung. "Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu. Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia. "Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur." "Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi. "Iya, Bu." Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku. "Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku. Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku. "Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?" "Nggak. Na
Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu
"Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak
Sakit? Tentu saja sangat sakit. Siapa yang tidak merasakan sakit jika pernikahan yang baru saja terjalin seumur jagung harus kandas begitu saja dikarenakan orang ketiga?Yang lebih menyakitkan lagi setelah mencoba memberikan solusi dan menekan ego untuk menyelamatkan rumah tanggaku, dia tetap saja lebih memilih wanita itu. Bahkan dia sudah tidak memikirkan nasib anaknya lagi.Aku tak bisa berkata-kata lagi begitu dia berkata seperti itu. Hal ini tak mudah bagiku. Mengingat meskipun awalnya aku begitu emosi dan langsung ingin bercerai darinya tetapi setelah memikirkan lagi, aku takut. Aku tidak takut sendiri. Aku tidak takut menjadi seorang janda dan harus banting tulang demi anakku. Bukan itu. Aku hanya takut anakku yang tak memiliki sosok ayah untuk selalu ada bersamanya."Ya sudah, yang urus perceraiannya aku atau kamu, Mas?" tanyaku. Hatiku tidak baik-baik saja tetapi aku tak mungkin menunjukkan itu di depannya."Nanti Mas ngomong dulu sama Bapak," jawabnya.Aku mengangguk. Memang
Usai mengetik itu, langsung saja banyak respon yang aku dapat. Aku terkejut. Padahal bisa dibilang aku sangat jarang menimbrung di dalam obrolan mereka. Dan aku pun juga beberapa kali membuat beberapa member dari group chat itu merasa tak nyaman dengan kata-kataku.Sungguh aku tak pernah menduganya. Respon mereka beragam. Ada yang ikut geram dengan ceritaku, ada juga yang menyarankan banyak hal-hal. Banyak pula yang memberiku semangat dan juga doa. Jujur, dengan respon mereka yang seperti itu hatiku mulai sedikit menjadi ringan. Mungkin hal ini bisa dikatakan sebagai membicarakan masalah pribadi di depan umum, tapi aku hanya ingin teman. Aku ingin teman yang mau mendengarkan aku. Aku pun tahu jika aku bisa melakukan sesi curahan hati ini pada Allah, tetapi saat ini aku juga ingin ada manusia yang mendengar ceritaku. Salahkah aku?Apakah ini termasuk membuka sebuah aib? Aku rasa memang iya. Namun, dengan cara bercerita, aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Jadi aku a
Aku tak bisa berkutik saat Papa berbicara seperti itu.Aku tak mengerti dan bingung harus bagaimana saat ini. Mas Gandhy jelas-jelas tak mau menemui anaknya jadi apa yang harus aku bicarakan dengannya lagi? Bukankah tak ada gunanya?Namun, saat aku melihat anakku yang masih belia itu, sekali lagi aku berusaha menelan egoku bulat-bulat dan mulai memutuskan untuk membaca pesannya. Tetapi pesannya kali ini sungguh membuatku terkejut.'Jadi kamu sudah bilang ke Bapak kalau kamu mau pisah sama aku? Ya sudah kalau mau pisah ya pisah.'Hatiku panas langsung. Dengan cepat aku langsung mengetik balasan untuknya dengan tangan gemetar.'Jadi bapak bilang apa?'Dia rupanya sedang online, karena pesanku dengan cepat dibalasnya.'Suruh lepaskan saja. Orang kamu juga nggak mau tinggal di sini.'Aku syok seketika. Aku melihat berulang-ulang balasan pesan itu dan tetap bingung karena rasanya masih tak bisa mempercayainya. Jadi orang tuanya yang tidak lain adalah mertuaku itu malah mendukung anaknya un
Jujur saja, aku rasanya mau marah pada orang yang sudah aku anggap sebagai ayahku itu. Bisa-bisanya dia dengan enteng mengatakan hal itu padahal jelas-jelas dia tahu jika anaknya yang salah.Namun, aku melirik ke arah Gandhy. Hatiku yang sedang tak baik-baik saja ini membuatku berkata, "Ngomong dong, Mas. Kenapa kamu diam saja?"Gandhy tetap tak mau berbicara dan malah menundukkan kepala, enggan bertatapan denganku atau dengan siapapun.Apa maksudnya bersikap seperti itu? "Perempuan itu kalau sudah menikah harusnya patuh dan ikut apa kata suami, bukan malah melawan dan tinggal di tempat lain tanpa suami. Anak juga sudah jarang diajak ke rumah barat setelah dapat surat-surat." Bapak mertuaku kembali mengoceh sambil menggendong anakku.Surat-surat yang dimaksud oleh Bapak Mertuaku itu adalah akta kelahiran dan juga kartu identitas anak. Tetapi kenapa Bapak Mertuaku itu malah membahas hal itu? Apa hubungannya coba?Mamaku langsung menyahut dengan cepat, "Yang salah itu Gandhy, Pak. Kena
Aku hanya bisa beristigfar begitu mendengar dugaan Mama.Sesungguhnya hal itu mungkin saja memang benar. Karena yang aku tahu, Bapak Mertuaku itu selalu sering membicarakan soal beberapa orang yang dia kenal mau melakukan hal terlarang itu demi membuat suaminya nurut."Mungkin dia berpikir Zara itu nggak memiliki iman yang kuat," ucapku kemudian."Benar-benar sangat keterlaluan. Kalau papamu dengar soal ini, dia bisa murka," ujar Mama.Ya, tentu saja akan begitu. Papaku begitu taat beribadah dan selalu mengajarkanku untuk lebih menjaga ibadahku. Mana mungkin aku bisa berbuat hal yang bertentangan begitu demi masalahku? "Sudahlah, Ma. Biarkan saja. Lagi pula, semuanya sudah selesai. Gandhy sepertinya juga sudah benar-benar melepaskan Zara dan Fuchsia kok," ucapku lagi.Mama yang masih menggendong Fuchsia menidurkan anakku ke dalam kamarku yang sudah mulai terlelap itu.Sementara aku memilih untuk mengambil sebuah minuman dingin di dalam kulkas lalu meminumnya sampai habis. Aku duduk
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin