Beranda / Rumah Tangga / Talak Aku, Mas! / 7. Ponsel Mas Mana?

Share

7. Ponsel Mas Mana?

Penulis: Zila Aicha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-08 12:27:43

Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung.

"Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. 

Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu.

Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia.

"Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur."

"Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi.

"Iya, Bu."

Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku.

"Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku.

Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku.

"Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?"

"Nggak. Nanti ada penyembelihan sapi di depan rumah," jawabnya.

Aku terdiam, bingung harus membahas apa lagi. Sedangkan Mas Gandhy masih diam saja seperti patung.

"Ada apa? Ada masalah?" tanya ibu mertuaku tampak curiga.

Aku menggeleng dengan cepat. Aku tak mau dia mengetahui perkara ini karena pasti semua akan tambah rumit.

"Ya sudah, Ibu mau ke depan."

Aku mengangguk dan berbalik menatap suamiku itu. Aku segera mengeluarkan ponselku dan mematikan recordingnya. Aku membuka aplikasi chat lagi dan mengetik pesan untuk Deva.

Aku: 'Mbak, di mana?'

Deva: 'Di rumah barat. Ada apa, Ra?'

Aku: 'Oh, aku kira udah di rumah timur.'

Deva: 'Bentar lagi ke sana. Ada apa memangnya?'

Aku: 'Mas Gandhy nggak bisa dihubungi.'

Aku ingin tahu sejauh mana orang itu berlagak sok baik di depanku. 

Deva: 'Ntar aku tak berangkat. aku bilangin nanti untuk hubungi kamu.'

Aku ingin mengumpat rasanya, kata-katanya seolah jika dia yang bilang ke Mas Gandhy, dia akan langsung mau menjawab pesanku.

Karena rupanya aku tak bisa menahan lagi, aku langsung saja mengirim sebuah foto tentang chat mereka yang aku ambil sebelum membangunkan suamiku tadi.

Deva: 'Itu nggak benar. Itu hanya bercandaan saja.'

Aku: 'Cepat ke sini!'

Deva; 'Suamimu yang mulai duluan.'

Aku: 'Kalau aku yang datang ke sana, kamu akan malu ntar.'

Deva: 'Ya.'

Aku ingin mengamuk, sungguh. Rasa kesalku tak bisa ditahan lagi.

"Siapa yang mulai, Mas?" tanyaku pada Mas Gandhy.

"Aku."

"Kenapa harus dia, Mas?" Pertanyaan yang tetap saja masih menggangguku.

"Karena ketemu setiap hari. Ya sudah, terbiasa."

Aku mendesah lelah. 

"Mas, aku setiap hari ketemu tukang sayur yang lewat depan rumah tapi aku nggak tertarik sama dia. Padahal dia nggak jelek," sindirku.

Mas Gandhy menoleh ke arahku tetapi tak membalas.

"Kalau posisinya di balik gimana, Mas? Kalau aku yang selingkuh gimana?"

"Ngomong apa sih kamu. Lagi pula aku sama dia belum lakuin apapun. Aku cuma chat aja sama dia," ucap Mas Gandhy.

Inilah dia. Baginya hal seperti itu bukanlah hal besar.

"Mas, kamu nggak pernah mikir ya. Kamu itu udah nikah, udah punya Fuchsia. Kamu nggak bisa seenaknya main-main terus. Kamu bukan pria single yang bisa pindah dari satu wanita ke wanita lainnya."

Dia diam lagi. Aku tak tahu diamnya karena malas menanggapi aku atau tak tahu cara membalasku.

"Aku udah berusaha terima kamu. Kamu pikir mudah nerima kamu padahal masa lalu kamu yang berhubungan dengan banyak wanita itu? Nggak mudah, Mas. Aku takut kamu punya penyakit atau semacamnya. Tapi aku coba mikir jika aku akan baik-baik saja dan kamu akan berubah. Tapi nyatanya apa?"

Mas Gandhy berdiri. "Terus kamu mau bilang kalau kamu menyesal kalau nikah sama aku?"

"Bukannya kamu yang bilang nyesal nikah sama aku? Kamu bahkan bahas itu sama Deva kan? Kok bisa-bisanya kamu bahas hal itu sama dia. Itu sama aja kamu mau bilang kamu menyesali kelahiran Fuchsia," ucapku.

Dia menatapku datar. Kemudian yang tidak aku sangka-sangka dia malah mencari-cari ponselnya lagi.

"Di mana ponsel Mas?" tanya Mas Gandhy.

Aku tak menjawab. Kata-kataku tak dia dengarkan. Aku akhirnya keluar dari kamar.

Ibu mertuaku masuk ke rumah lagi, katanya mau ambil pisau.

Aku sedang berdiri di dekat jendela, melihat ke arah kebun belakang. Suasana hatiku tentu tak baik.

Tak lama kemudian, aku melihat Mas Gandhy ke luar kamar sambil membawa sebuah ponsel dengan tipe lama. Ponsel itu hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan dan menelepon saja.

Aku kesal sekali. Ponsel itu adalah milik mendiang Mas Jaka, suaminya Deva itu. Dulu saat aku bertanya kepadanya soal dia yang memakai ponsel itu sekaligus memakai tas kerja Mas Jaka, jawabnya enteng sekali. Alasannya ya karena untuk kerja. Aku percaya saja. 

Yah, mungkin dulu belum ada hubungan itu antara mereka tetapi setelah mereka menjalin hubungan di belakangku dan sekaran aku tahu, rasanya kemarahanku tak bisa ditahan.

"Kamu taruh di mana ponsel Mas? Mas harus kerja," ucap Mas Gandhy lagi.

Aku malas menjawabnya dan melihat ponselku lagi.

Deva: 'Aku dah sampai.'

Tanpa mengatakan apapun, aku ke luar dari rumah itu dan berjalan menuju rumah Deva yang terletak di belakang rumah mertuaku. Iya, mereka tetangga dekat. Bahkan saat berjalan ke sana pun hanya membutuhkan waktu satu menit saja.

"Eh, Mamanya Fuchsia. Kapan datang?" tanya Mbak Lina yang sedang memangku bayinya duduk di sebuah kursi depan rumah. 

"Tadi, Mbak. Eh, ini udah berapa bulan, Mbak?" tanyaku.

"Lima bulan. Fuchsia mana? Udah lama nggak lihat Fuchsia. Sepantaran sama Salsa ya?" tanyanya.

"Nggak, Mbak. Beda enam minggu," jawabku.

"Iya nggak beda jauh. Itu Salsa baru datang sama ibunya," ucap Lina.

"Ah, iya Mbak. Aku memang mau ketemu sama Ibunya Salsa."

Mbak Lina ini adalah kakaknya Mas Jaka yang berarti dia kakak iparnya Deva. Rumahnya tepat di sebelah rumah Deva. Aku cukup kenal dengan dia.

Tetangga mulai berdatangan dan aku harus menyapa mereka untuk menjaga kesopanan.

"Hoalah, Ra. Zara. Nggak betah ya hidup di desa? sampai jarang banget sekarang di sini," ucap Mbak Yani sambil menepuk punggungku. Aku hanya meringis.

Mbak Yani ini sangat baik terhadapku dan bahkan sering sekali membantuku sejak aku tinggal di sana. Aku cukup akrab dengannya karena orangnya yang sangat ramah dan hangat.

"Aku kan mau cari kerja, Mbak." Aku mengucapkannya sambil tersenyum.

Ini pertama kalinya aku tersenyum tulus sejak beberapa terakhir. Percayalah, Mbak Yani selalu membuat suasana yang mencekam jadi menjadi hangat. Dia juga suka sama sekali Fuchsia dan selalu bilang ingin menculik Fuchsia.

"Lha kamu ngapain di sini? Mana Gandhy?" tanyanya.

"Aku mau ketemu Mbak Deva, Mbak." 

Aku berbincang sebentar dengan para tetanggaku itu selama beberapa menit sebelum akhirnya berpamitan.

Aku menyeberang dan melihat Deva sedang membersihkan rumah. Rumahnya cukup luas tetapi sebagian besar dipenuhi dengan barang dagangan. 

Dia menoleh ke arahku dan menatapku dengan sinis.

Hatiku sudah kesal dibuatnya. Bukankah aku yang harus menatap dia sinis? Kenapa justru dia yang bersikap tidak bersahabat kepadaku? 

"Ayo bicara di dalam! Kamu nggak mau mereka mendengarkan semuanya kan?" ucapku sambil menoleh ke arah tetanggaku yang sedang menatap ke arah kami dari seberang jalan.

Bab terkait

  • Talak Aku, Mas!   8. Kok Bisa, Mbak?

    Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-11
  • Talak Aku, Mas!   9. Bermuka Dua

    "Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-15
  • Talak Aku, Mas!   10. Curhatan

    Sakit? Tentu saja sangat sakit. Siapa yang tidak merasakan sakit jika pernikahan yang baru saja terjalin seumur jagung harus kandas begitu saja dikarenakan orang ketiga?Yang lebih menyakitkan lagi setelah mencoba memberikan solusi dan menekan ego untuk menyelamatkan rumah tanggaku, dia tetap saja lebih memilih wanita itu. Bahkan dia sudah tidak memikirkan nasib anaknya lagi.Aku tak bisa berkata-kata lagi begitu dia berkata seperti itu. Hal ini tak mudah bagiku. Mengingat meskipun awalnya aku begitu emosi dan langsung ingin bercerai darinya tetapi setelah memikirkan lagi, aku takut. Aku tidak takut sendiri. Aku tidak takut menjadi seorang janda dan harus banting tulang demi anakku. Bukan itu. Aku hanya takut anakku yang tak memiliki sosok ayah untuk selalu ada bersamanya."Ya sudah, yang urus perceraiannya aku atau kamu, Mas?" tanyaku. Hatiku tidak baik-baik saja tetapi aku tak mungkin menunjukkan itu di depannya."Nanti Mas ngomong dulu sama Bapak," jawabnya.Aku mengangguk. Memang

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-18
  • Talak Aku, Mas!   11. Siksaan Dimulai

    Usai mengetik itu, langsung saja banyak respon yang aku dapat. Aku terkejut. Padahal bisa dibilang aku sangat jarang menimbrung di dalam obrolan mereka. Dan aku pun juga beberapa kali membuat beberapa member dari group chat itu merasa tak nyaman dengan kata-kataku.Sungguh aku tak pernah menduganya. Respon mereka beragam. Ada yang ikut geram dengan ceritaku, ada juga yang menyarankan banyak hal-hal. Banyak pula yang memberiku semangat dan juga doa. Jujur, dengan respon mereka yang seperti itu hatiku mulai sedikit menjadi ringan. Mungkin hal ini bisa dikatakan sebagai membicarakan masalah pribadi di depan umum, tapi aku hanya ingin teman. Aku ingin teman yang mau mendengarkan aku. Aku pun tahu jika aku bisa melakukan sesi curahan hati ini pada Allah, tetapi saat ini aku juga ingin ada manusia yang mendengar ceritaku. Salahkah aku?Apakah ini termasuk membuka sebuah aib? Aku rasa memang iya. Namun, dengan cara bercerita, aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Jadi aku a

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-23
  • Talak Aku, Mas!   12. Mau Pisah Ya Pisah

    Aku tak bisa berkutik saat Papa berbicara seperti itu.Aku tak mengerti dan bingung harus bagaimana saat ini. Mas Gandhy jelas-jelas tak mau menemui anaknya jadi apa yang harus aku bicarakan dengannya lagi? Bukankah tak ada gunanya?Namun, saat aku melihat anakku yang masih belia itu, sekali lagi aku berusaha menelan egoku bulat-bulat dan mulai memutuskan untuk membaca pesannya. Tetapi pesannya kali ini sungguh membuatku terkejut.'Jadi kamu sudah bilang ke Bapak kalau kamu mau pisah sama aku? Ya sudah kalau mau pisah ya pisah.'Hatiku panas langsung. Dengan cepat aku langsung mengetik balasan untuknya dengan tangan gemetar.'Jadi bapak bilang apa?'Dia rupanya sedang online, karena pesanku dengan cepat dibalasnya.'Suruh lepaskan saja. Orang kamu juga nggak mau tinggal di sini.'Aku syok seketika. Aku melihat berulang-ulang balasan pesan itu dan tetap bingung karena rasanya masih tak bisa mempercayainya. Jadi orang tuanya yang tidak lain adalah mertuaku itu malah mendukung anaknya un

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Talak Aku, Mas!   13. Mulut Kejam Bapak Mertua

    Jujur saja, aku rasanya mau marah pada orang yang sudah aku anggap sebagai ayahku itu. Bisa-bisanya dia dengan enteng mengatakan hal itu padahal jelas-jelas dia tahu jika anaknya yang salah.Namun, aku melirik ke arah Gandhy. Hatiku yang sedang tak baik-baik saja ini membuatku berkata, "Ngomong dong, Mas. Kenapa kamu diam saja?"Gandhy tetap tak mau berbicara dan malah menundukkan kepala, enggan bertatapan denganku atau dengan siapapun.Apa maksudnya bersikap seperti itu? "Perempuan itu kalau sudah menikah harusnya patuh dan ikut apa kata suami, bukan malah melawan dan tinggal di tempat lain tanpa suami. Anak juga sudah jarang diajak ke rumah barat setelah dapat surat-surat." Bapak mertuaku kembali mengoceh sambil menggendong anakku.Surat-surat yang dimaksud oleh Bapak Mertuaku itu adalah akta kelahiran dan juga kartu identitas anak. Tetapi kenapa Bapak Mertuaku itu malah membahas hal itu? Apa hubungannya coba?Mamaku langsung menyahut dengan cepat, "Yang salah itu Gandhy, Pak. Kena

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Talak Aku, Mas!   14. Praduga

    Aku hanya bisa beristigfar begitu mendengar dugaan Mama.Sesungguhnya hal itu mungkin saja memang benar. Karena yang aku tahu, Bapak Mertuaku itu selalu sering membicarakan soal beberapa orang yang dia kenal mau melakukan hal terlarang itu demi membuat suaminya nurut."Mungkin dia berpikir Zara itu nggak memiliki iman yang kuat," ucapku kemudian."Benar-benar sangat keterlaluan. Kalau papamu dengar soal ini, dia bisa murka," ujar Mama.Ya, tentu saja akan begitu. Papaku begitu taat beribadah dan selalu mengajarkanku untuk lebih menjaga ibadahku. Mana mungkin aku bisa berbuat hal yang bertentangan begitu demi masalahku? "Sudahlah, Ma. Biarkan saja. Lagi pula, semuanya sudah selesai. Gandhy sepertinya juga sudah benar-benar melepaskan Zara dan Fuchsia kok," ucapku lagi.Mama yang masih menggendong Fuchsia menidurkan anakku ke dalam kamarku yang sudah mulai terlelap itu.Sementara aku memilih untuk mengambil sebuah minuman dingin di dalam kulkas lalu meminumnya sampai habis. Aku duduk

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Talak Aku, Mas!   15. Jangan Lama-lama

    Apa yang harus aku lakukan? Aku sendiri bingung bagaimana cara mengatasi ini. Jika ini adalah sebuah hubungan pacaran mungkin aku akan dengan mudah mengambil keputusan untuk meninggalkan seorang pria. Akan tetapi, ini adalah hubungan pernikahan yang diatur dalam agama serta hukum negara.Aku tahu jika permintaanku bercerai dengan Gandhy mungkin benar dilandasi oleh sebuah emosi tetapi jelas saja jika permintaan itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Apalagi setelah Gandhy juga Bapak Mertuaku itu datang ke rumahku, rasanya memang tak mungkin lagi mengharapkan apapun dari pernikahan yang sudah terlanjur rusak ini.Aku memberanikan diriku untuk berkata, "Jika dia memang tak mau menggugat cerai Zara, Zara yang akan menggugatnya."Mungkin Mama sedikit terkejut dengan ucapanku sehingga dia membalas, "Kamu yakin, Nduk?""Ya mau gimana lagi, Ma. Zara juga nggak mau digantung terus-menerus tanpa adanya kepastian. Buat apa juga Zara menunggu dia padahal dia mungkin sedang asik-asikan d

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28

Bab terbaru

  • Talak Aku, Mas!   98. Akhir

    "Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la

  • Talak Aku, Mas!   97. Keterbukaan

    Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A

  • Talak Aku, Mas!   96. Rencana Aaron

    "Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.

  • Talak Aku, Mas!   95. Alasan Zara

    "Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i

  • Talak Aku, Mas!   94. Putus Asa

    "Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek

  • Talak Aku, Mas!   93. Keegoisan

    "Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "

  • Talak Aku, Mas!   92. Rencana Masa Depan

    "Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant

  • Talak Aku, Mas!   91. Debat Kusir

    "Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut

  • Talak Aku, Mas!   90. Kekacauan

    "Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status