“Kenapa wajah kau merengut aja? Enggak senang kau sama tugas kali ini?” tanya seorang pria yang mengenakan setelan rapi berlapis jaket dan topi. Tatapannya terlihat senang akan wajah kecut wanita di depannya.
“Cak kelen pikir, apa ada polisi disuruh jadi baby sitter?” gerutu Dira dengan bibir depan yang naik sebahagian. Matanya menatap tajam, menciutkan nyali lawan bicaranya.
“Tugas kita itu jaga keamanan. Ya udah, keamanan semua oranglah. Apa yang salah?” sambung teman yang lainnya yang sedari tadi duduk di kursi belakang mobil.
“Cakap kau enggak salah, yang salah pribadi polwan sebijik ini. Anti kali sama cowok ganteng. Kenapa, apa kau takut jatuh cinta terus cinta kau enggak terbalas?” ledek mereka diikuti tawa.
“Ah, banyak kali cakap kelen pun. Aku mau nugas dulu, awas kelen enggak bertugas ya?” ancam Dira sembari mengepalkan tangan ke arah dua temannya. Membuka pintu mobil lalu melangkah turun menuju mall dan hilang dalam keramaian.
“Eh, enggak curiga si Dira?”
“Entahlah. Keknya enggak,” ujarnya sembari mengangkat kedua bahu.
***
Dira melangkah dengan gagah memasuki mall, bunyi hak menapak lantai terdengar lantang. Tegap dan siaga, wajahnya menatap berani ke arah depan. Berbalut jaket dengan rambut diikat lalu disembunyikan kedalam topi, Dira nyaris seperti seorang pria.
Di tengah keramaian pengunjung, mata Dira hanya bertumpu pada seorang pria yang tengah berada di atas panggung. Pria berwajah India dengan berewok tipis menghiasi senyumnya. Dia Daffin-model yang tengah naik daun.
“Jika bukan karena tugas, yang malasan aku berurusan dengan artis,” gerutu Dira dengan penuh kekesalan, giginya merapat dengan tatapan mata hendak menerkam mangsanya. Meski merasa enggan, namun langkah kaki Dira terus saja bergerak mendekati panggung.
“Daffin Gay! Kami enggak sudi menerima gay di kota ini!” teriakan kencang dari seorang pria yang berada di ujung panggung.
Seketika semua mata berpaling ke arah pria itu, tatapan kaget sekaligus geram terlihat dari wajah para penggemar Daffin.
“Turun! Turun! Turun!” teriak beberapa orang dari tempat yang berjarak. Mereka cukup ramai, teriakan mereka menggema memenuhi mall. Tidak hanya dari lantai satu, bahkan para pengunjung di lantai lainnya ikut mengintip dari bibir pembatas. Tatapan demi tatapan yang dilayangkan membuat Daffin semakin tertekan. Suara yang meminta ia turun pun semakin lama, semakin terdengar deras.
Para kru sibuk meminta mereka untung tenang, sebahagian yang lainnya mencoba menyadarkan Daffin dari bawah panggung. Namun, Daffin terlalu takut Terlihat dari pupil matanya terus saja bergerak ke kanan kiri dengan cepat. Bergemuruh, dadanya bergerak kencang diikuti detak jantung yang bekejar-kejaran. Daffin begitu tertekan.
Kesal, Dira menatap kesekitaran mencari asal suara. Namun, ia kesulitan karena ada banyak orang yang terus berteriak meminta Daffin turun. Sesaat Dira tersadar akan sosok Daffin yang kini masih berdiri kaku di atas panggung. Kulit kecokelatannya mendadak pucat dengan tubuh yang sulit digerakkan.
“Sialan! Masalah lagi,” gerutu Dira yang semakin mempercepat langkahnya.
Dira terus berusaha melewati ratusan pengunjung. Para kru sibuk menenangkan keributan, namun tidak berhasil. Ditengah kekacauan yang ada, seorang kru meminta Daffin kembali ke belakang panggung. Namun yang terjadi, Daffin justru memilih untuk berlari jauh meninggalkan semua orang. Tubuhnya gemetar takut. Teriakan yang menggema mengembalikan masa traumanya. Dengan mata yang berkaca-kaca dan hati yang dipenuhi rasa takut, bergemuruh dengan pikiran yang kalud. Resah dan tertekan akibat harus menanggung malu. Ia benar-benar tidak menyangka mendapat perlakuan seperti ini.
Kakinya terus saja berlari, meski tak tahu kemana hendak pergi. Tanpa memperdulikan pengunjung yang ada di hadapannya, Daffin terus saja mengelak dan melewati mereka semua. Pintu lift terbuka, tak terlihat seorang pun di dalam dan tanpa meragu, ia masuk lalu menangis sejadi-jadinya di sana. Terduduk meringkuk di sudut ruang, Daffin menangis terisak dengan tangan yang terus menjambak.
Jauh di belakang, terlihat Dira juga berlari mengikuti Daffin. Gelar pelari tercepat yang ia miliki kini tak berarti, karena ada banyak pengunjung yang menghalangi. Tak kehilangan akal, Dira mengejar Daffin melalui tangga darurat setelah menyadari Daffin menaiki lift.
Seakan dikejar waktu, kaki Dira bergerak menaiki anak tangga dengan lincahnya. Mulai merasa sesak, langkah Dira terhenti kala melihat sosok Daffin berada di balkon mall yang ada di lantai tiga.
“Mau ngapain kau!” teriak Dira sembari mengontrol napas.
“Siapa kamu?” tanya Daffin dengan wajah takut, tubuh gemetar dan tangan yang memegang erat bagian besi pembatas. Kini dirinya sudah berdiri di atas pinggiran batu dan bersiap untuk terjun.
“Aku? Bukan siapa-siapa,” jawab Dira tenang, diikuti tatapan merendahkan sambil bersandar dengan kedua tangan berlipat di dada. Sedikitpun Dira tak memperlihatkan wajah hawatir seperti kebanyakan orang. Ia justru menunjukkan sikap acuh.
“Kau mau bunuh diri ya?” sambungnya dengan nada yang benar-benar tenang.
“Bukan urusanmu!” ucap Daffin dengan mata memerah dan wajah penuh kesedihan.
“Cuman nanya kok. Kalau mau bunuh diri juga silakan,” tantang Dira dengan nada yang tegas. Senyum disudut bibirnya menunjukkan keyakinan, keyakinan kuat kalau ia akan berhasil menghalangi keinginan Daffin untuk mengakhiri hidupnya.
Daffin terdiam, niatnya melemah. Seakan tersadar, ia mulai menunjukkan wajah meragu.
“Kok enggak jadi? Enggak serulah ceritanya,” ledek Dira yang kemudian mendengkus sebal.
Daffin semakin bingung akan sikap Dira yang justru mendukung tindakan bodohnya. Ia menatap Dira tajam dengan pikiran yang berkecamuk. Hanya seorang diri tanpa manajer di sisinya, Daffin merasa sangat kacau saat ini. Rasa tertekan ini membuat semangat hidupnya kian melemah, tepatnya semenjak kematian ibunya.
“Kau pikir dengan bunuh diri masalah selesai, hah?” tanya Dira dengan nada menyungut. Perlahan Dira melangkah mendekat ke arah Daffin.
“Lompatlah! Sukur-sukur mati, kalau setengah mati, apa enggak nambah beban. Cak kau pikir dulu,” suara lantang yang keluar dari mulut Dira membuat Daffin menelan ludah.
Ia hanya merunduk, karena kini niatan hendak melompat mendadak berselimut rasa takut. Omongan Dira benar-benar membuat dia berpikir berkali-kali untuk kembali melakukannya.
“Kalau enggak jadi bunuh diri, balek aja kemari. Jangan pula niat udah hilang, eh malah kepeleset terus jatuh betulan.”
Tersenyum bangga, trik Dira dalam menyelamatkan orang yang hendak bunuh diri kali ini kembali berhasil. Dengan penuh keangkuhan sembari menghitung dalam hati, Dira menatap tajam wajah Daffin.
“Satu, dua, ti ....”
Seketika terdengar suara yang sangat keras, “Ton, ton ...,” klakson sebuah truk pengangkat barang mengejutkan mereka. Tangan Daffin terlepas dari pegangan dan, “Brak!” suara benda jatuh pun terdengar.
Daffin terbaring di atas ranjang klinik sahabat. Klinik kecil yang berada di tengah pajak petisah, tepat di seberang carefour. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang bewarna merah alami. Masih dalam keadaan terpejam, Daffin mengigau menyebutkan sesuatu yang tidak dimengerti Dira. Igauan itu membuat wajah Daffin mendadak bersedih dengan air mata yang mengalir deras dari kedua sudutnya. Tidak ada yang bisa Dira lakukan, kecuali menatap wajah Daffin dengan dahi mengernyit. Hatinya merasa lega mengetahui keadaan Daffin yang baik-baik saja. Namun, ia tetap merasa kesal akan tingkah Daffin saat ini. Kekesalannya terus bertambah dan kain menumpuk. Hanya ada kebencian setiap kali ia menatap wajah Daffin. “Gara-gara kau ini, hampir aja jabatanku terancam. Aneh-aneh ajalah tingkah manusia jaman sekarang. Sikit-sikit bunuh diri, pikirnya yang enggak dituntutnya setelah mati. Huh! Udah jadi model terkenal pun goyang kali mentalnya. Enggak cocok k
Dira terbangun di atas ranjang, wajahnya terlihat bingung. Sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Dira segera membuka selimut yang ternyata tubuhnya masih mengenakan pakaian lengkap. “Sialan! Aku pikir dia ngapa-ngapain aku. Untungnya enggak,” gerutu Dira yang segera bangkit dan meraih jaket miliknya, Dira bersiap pulang. Dirinya benar-benar merasa lelah saat ini, meski tidak menghabiskan banyak tenaga, namun kurang tidur cukup membuat wajahnya terlihat lemas. “Eh, Mbanya mau kemana?” tanya Leo dengan senyum terkembang. “Mau pulang!” jawab Dira cuek, wajahnya terlihat tak senang sambil melirik tajam ke arah Daffin. “Mba tugasnya belum selesai. Mba harus temani kami selama di Medan,” jelas Leo dengan tubuh sedikit merunduk. Sepertinya ia takut sekaligus heran melihat tingkah kasar Dira yang awalnya ia kira gadis baik karena berwajah kalem. Namun, ternyata ia salah. Dira jauh lebih menakutkan
Seharian ini Dira terus menunjukkan wajah penuh kekesalan. Bibir cemberut dengan kaki yang menendang-nendang kasar ke arah benda yang ada di hadapannya. “Kok bisa anak itu kabur? Pintu terkunci, terus pun jendela dilapisi besi dalamnya kan?” gerutu Dira yang masih tidak terima akan hilangnya jejak sang penguntit. “Punya CCTV tapi kok belum dinyalakan. Percuma aja dipasang! Argh ... nyesal kali enggak aku hajar habis-habisan anak itu. Kalau aja yang punya kafe enggak datang, udah babak belur dia kubuat!” Dira masih saja tidak terima akan apa yang terjadi. Selain tidak mendapatkan informasi penting dari si penguntit, Dira juga harus menanggung malu kepada dua orang polisi yang diminta datang menangani masalah ini. Duduk di sudut meja sambil terus menatap cemberut, Dira mengepal erat kedua tangannya. Jika bukan karena harus kembali menjaga Daffin, Dira sudah pergi mencari si penguntit itu.
Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta, tepat pukul tujuh pagi. Terlihat ada banyak orang mengerumuni halaman bandara. Mereka terlihat seperti reporter dengan ciri khas tas kecil, kamera dan perekam suara yang berada dalam genggaman. Sekitar sepuluh orang, mereka duduk sambil berbincang menatap ke arah pintu keluar bandara. Diluar dugaan, Leo memasang wajah kaget saat menatap ke arah para pencari berita yang kini berdiri menunggu mereka. Tak lagi bisa mengelak, Daffin memutuskan untuk melewati mereka dengan raut wajah tenang. Tak lupa senyuman manis yang menjadi ciri khasnya. “Daf, apa benar kamu ingin bunuh diri?” “Kenapa kamu tidak terlihat di panggung para model? Bukannya kamu salah satu juri acara itu?” “Apa kamu pergi karena tuduhan Gay?” “Daf, beri kami jawaban!” Jutaan pertanyaan diabaikan begitu saja, hanya senyum dan sikap santun yang
Daffin terlihat bersedih memandangi wajah bibinya. Ia tak menyangka, serangan para media kini mulai merambat hingga keanggota keluarganya. “Bu, sebagai Bibi Daffin apa pendapat anda tentang tuduhan gay yang diberikan pada Daffin?” “Apakah anda yakin kalau Daffin tidak memiliki kelainan seks?” “Daffin tidak pernah mendekati wanita, apa itu benar?” Semua pertanyaan itu sontak membuat Bibi Daffin shok. Napasnya terasa sesak dengan pandangan mata yang perlahan meredup. Tak mampu lagi mengontrol diri, seketika tubuhnya tumbang dan terbaring lemah di atas lantai. Wanita dewasa yang menjadi pelayannya tak mampu berbuat apa-apa, selain meminta perawat mengangkat tubuh Devi ke atas ranjang dan menghubungi Daffin untuk segera datang. Betapa sedih dan hancurnya hati Daffin, air matanya terus mengalir deras menyaksikan sang bibi yang kini terpejam tak sadarkan diri. Rasa bersalah t
“Apa, apa lagi yang mau kau bilang? Aku sudah lelah. Semua uangku habis untuk biayai pengobatanmu. Bukannya sembuh, kau malah kambuh. Kau tau sudah berapa banyak uang yang aku habiskan untuk keluarga ini? Tapi apa yang aku dapatkan? Hah?” cibir ayah Daffin. Bibirnya terus saja berucap sumpah serapah, berisi kekesalan. Amarahnya meledak, kesabarannya telah lenyap. Hatinya begitu panas, tak henti-hentinya ia mengacungkan jari penuh amarah kepada wanita yang kini hanya bisa terduduk dan menangis. Bentakan, hinaan dan makian terlontar jelas. “Menyesal! Kalau aja aku tidak menikahimu, mungkin hidupku sudah bahagia sekarang. Hidup tenang dengan harta yang melimpah. Heh! Nasi sudah menjadi bubur. Aku enggak mau lebih lama hidup di rumah kumuh ini. Kalau aku bertahan di sini, hidupku tidak akan pernah berubah. Mulai sekarang, jangan pernah lagi mengingatku. Jangan pula menegurku jika bertemu. Ingat itu wanita sialan!” Ucap
Sepanjang penerbangan Dira terus saja memejamkan matanya. Bukan karena mabuk kendaraan, melainkan menahan kesedihan hatinya. Kepergian tanpa pamit yang ia lakukan saat ini ternyata menyakiti dirinya sendiri. Takut dan gelisah pun tak henti membayangi. Wajah kedua adik perempuannya selalu terbayang. Meski mereka tak banyak menghabiskan waktu bersama, namun mereka senantiasa bertemu di setiap harinya. Begitu pula wajah sang ayah yang tak pernah lupa memeriksa kamarnya di malam hari. Semua ini menyebabkan kerinduan hadir, meski baru beberapa jam ia meninggalkan kota kelahirannya. “Mba, Mba!” tegur seorang pria yang duduk tepat di samping Dira. “Maaf, Mba. Ini ada sekotak roti untuk Mba,” sambungnya yang hingga saat ini tak mendapat jawaban dari Dira. Dira masih saja diam dan mengabaikan pria itu. Sesungguhnya ia belum tertidur, hanya saja ia takut kalau air matanya mengalir jika ia memaksa untuk
Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira