Seharian ini Dira terus menunjukkan wajah penuh kekesalan. Bibir cemberut dengan kaki yang menendang-nendang kasar ke arah benda yang ada di hadapannya.
“Kok bisa anak itu kabur? Pintu terkunci, terus pun jendela dilapisi besi dalamnya kan?” gerutu Dira yang masih tidak terima akan hilangnya jejak sang penguntit.
“Punya CCTV tapi kok belum dinyalakan. Percuma aja dipasang! Argh ... nyesal kali enggak aku hajar habis-habisan anak itu. Kalau aja yang punya kafe enggak datang, udah babak belur dia kubuat!”
Dira masih saja tidak terima akan apa yang terjadi. Selain tidak mendapatkan informasi penting dari si penguntit, Dira juga harus menanggung malu kepada dua orang polisi yang diminta datang menangani masalah ini.
Duduk di sudut meja sambil terus menatap cemberut, Dira mengepal erat kedua tangannya. Jika bukan karena harus kembali menjaga Daffin, Dira sudah pergi mencari si penguntit itu.
“Awas aja kalau ketemu lagi! Habis kau kubogem,” gerutu Dira dengan tatapan penuh dendam.
Leo tengah asik menghubungi seseorang di ruang yang berbeda. Wajahnya terlihat senang sambil menunjukkan senyuman licik. Entah apa yang ia bicarakan, namun pembicaraan itu terlihat seru dengan sesekali menunjukkan tawa yang renyah. Sedangkan Daffin sedang asik berbincang dengan pemilik kafe. Ia meminta izin pamit setelah melihat keadaan Dira yang masih terlarut dalam kekesalan. Menggenggam segelas lemon tea hangat, Daffin berniat membuat Dira tenang dengan teh buatannya.
“Aduh!” teriak Daffin dengan tangan yang ditangkis kuat oleh Dira.
Sontak saja Dira kaget dan segera melirik ke arah belakang. Minuman yang dibawa Daffin tumpah sebahagian dengan tangan terlihat merah akibat pukulan Dira.
“Kau pun entah ngapain dari belakang datangnya,” ucap Dira dengan wajah semakin kesal. Gigi merapat dengan kedua tangan yang masih mengepal. Semakin kesal dan benci saja Dira jadinya.
“Anu, saya hanya ingin berikan ini. Mungkin kamu bisa lebih tenang setelah meminumnya,” ungkap Daffin sambil menunjukkan wajah kesakitan, bibirnya meringis dan terus mengelus tangan yang menjadi korban serangan Dira.
“Minuman apa ini?” tanya Dira yang kemudian mendekatkan bibir gelas pada lubang hidungnya. “Enggak ada yang aneh-aneh kan di dalamnya?” tanyanya dengan wajah penuh curiga.
Daffin hanya menggeleng dan berlalu pergi meninggalkan Dira. Ternyata tidak hanya sakit akibat pukulan yang harus ia rasa, melainkan rasa terbakar akibat ketumpahan minuman panas yang mengenai tangannya.
Dira terus saja memandangi teh yang tinggal setengah gelas, wajahnya terlihat ragu, namun juga berhasrat ingin mencoba. Terlebih setelah ia mencium wangi lemon dari dalam tehnya. Tetapi gengsinya begitu besar, hingga ia memutuskan untuk membiarkan minuman itu sambil menahan rasa haus.
Langit mulai gelap, Daffin dan Leo akhirnya keluar dari ruang pertemuan. Keduanya berjalan mendekati meja tempat Dira duduk menunggu. Daffin melirik ke arah meja Dira dan melihat teh pemberiannya belum tersentuh. Setelah memastikan Daffin menjauh, Dira segera meneguk habis lemon tehnya, lalu berjalan cepat mengikuti Daffin dan Leo yang sedang menuju mobil.
“Segernya ... setidaknya dia enggak tau, kalau tehnya udah aku habiskan,” gumam Dira dengan tatapan penuh kemenangan.
***
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, terjadi suara riuh dari kamar hotel milik Daffin. Ternyata mereka tengah bersiap untuk pulang ke Jakarta. Daffin dan Leo berkemas sembari mempersiapkan seluruh barang miliknya. Berbeda sekali dengan Dira yang hanya bisa menatap cuek sambil menahan kantuknya. Tubuhnya terasa sangat lelah dua hari ini, meskipun tidak banyak mengeluarkan tenaga.
Menggunakan mobil yang tersedia mereka bertiga bersiap menuju Bandar Udara Kuala Namu. Daffin dan Leo duduk di kursi belakang dengan pakaian yang rapi dan wajah terlihat segar. Berbeda sekali dengan Dira yang berwajah kusut dengan baju yang sudah seharian ia pakai.
Langit masih gelap dengan jalanan yang terlihat sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Ternyata Leo sengaja memesan tiket pesawat pagi agar keberadaan mereka tidak terdeteksi para penggemar. Kejadian yang menggemparkan kemarin ternyata masih membekas dalam ingatan Daffin. Ia kerap berdiam diri dengan tatapan kosong. Meskipun begitu, ia terus melakukan semua jadwalnya dengan wajah senang dan senyum terkembang.
Dira dan Daffin diminta menunggu di salah satu kafe yang ada, sedangkan Leo harus mengurus tiket pesawat mereka.
Berjalan beriringan dengan Daffin menggenggam koper di tangan membuat banyak mata melirik ke arah mereka. Gaya pakaian Daffin yang begitu mempesona membalut tubuh atletisnya sangat bertabrakan dengan gaya Dira yang masih mengenakan gaun panjang berbalut jaket dan topi hitam.
“Mata kelenlah! Macam lihat orang gila aja,” gerutu Dira diikuti bunyi gigi yang saling beradu.
Daffin masih saja termenung, meski kakinya terus melangkah menuju kafe, namun tatapannya terlihat tidak sedang berada di sana. Pikirannya jauh melayang merisaukan Bibi yang menjadi satu-satunya keluarga, ia miliki.
Seketika terdengar suara langkah kaki berlari mendekat ke arah mereka. Dira dengan sikap waspadanya menarik tubuh Daffin hingga ia terelak dari serangan seorang pria. Tak ingin kembali kehilangan incarannya, Dira berlari dan menendang kuat punggung pria yang menyerang mereka. Sedangkan Daffin masih terlihat shok dan hanya bisa menatap bingung dengan aksi Dira yang kini mengunci erat tangan pria berhoodie.
“Akhirnya ... tiba juga waktunya,” ungkap Dira yang kini dengan sengaja menyikut bokong si penyerang dengan lutut kanannya.
Menjerit, pria itu hanya bisa meringis. Tangannya dipegang terlalu kuat, hingga membuat ia kesulitan untuk berlari. Penjaga datang dan meminta Dira menyerahkan pria itu. Namun, Dira keberatan. Dengan lantang ia berucap, “Aku juga dari kepolisian. Aku harus ikut!”
Tanpa memperdulikan Daffin yang masih terpelanga, Dira pergi menuju ruang keamanan bandara. Ia terus mengawal ketat pria penguntit Daffin.
Leo datang dan menepuk pundak Daffin guna menyadarkan dirinya akan lamunan. Tak bisa berkata banyak, Daffin hanya menjelaskan kejadian sesuai dengan apa yang ia ketahui. Tanpa sempat berpamitan, Daffin dan Leo memasuki area penumpang. Ada banyak orang di sana yang merekam kejadian yang terjadi. Semuanya menunjukkan ekspresi beragam. Ada yang tersenyum riang karena mengetahui kalau Daffin seorang model terkenal, namun ada pula yang melihat dengan tatapan merendahkan dipenuhi rasa jijik.
***
Dira termenung sambil tersenyum di kamarnya. Hari ini ia bebas tugas dan berniat tidur seharian untuk mengumpulkan energi. Namun, semua tak berjalan dengan semestinya. Kedua adik perempuan Dira memasuki kamar dan mengganggu kedamaiannya.
“Kak, bener kau yang kemarin kawal Daffin selama di Medan?” tanya Alia dengan wajah penasaran.
“Is, kok enggak bilang kau Kak? Kami nge-fans kali loh. Maunya ... kau mintakan tanda tangan sama fotonya. Is, kaulah, Kak! Enggak bagus kali kau jadi Kakak!” ucap Arini dengan wajah sewot sembari memonyongkan bibirnya.
“Bising kali kelen pun! Balek kelen! Mau tidor aku. Kutendang juga kelen,” ucapnya bersungut.
Baru saja kedua adiknya pergi dari kamarnya, pintu kembali diketuk. Dengan wajah geram, Dira membuka pintu dan berucap, “Mau apa lagi kelen?”
“Ayak mau bicara!” ucap ayahnya sambil terbatuk-batuk.
Dira menjadi malu sendiri. Dengan sangat terpaksa ia mengizinkan ayahnya masuk dan duduk di atas ranjang kecilnya.
“Dir, kau tengoklah, Ayak udah tua, udah sakit-sakitan. Ayak pengen kali liat kau menikah. Kau kan anak pertamanya Ayak,” ucapnya yang kemudian terhenti karena batuk.
Dira hanya bisa menghembuskan napas berat dari mulutnya. Hatinya sangat kesal jika harus membahas tentang pria ataupun pernikahan. Jauh dilubuk hatinya, ia sama sekali enggan untuk menikah. Baginya, jika bisa bahagia tanpa menikah, kenapa harus menikah?
“Nanti sore ada yang mau datang. Kau tunjukkanlah sikap baikmu. Jangan buat malu Ayak!”
“Yak! Kenapalah sibuk kali nyuruh aku kawin? Rupanya kalau aku kawin, jamin panjang umur Ayak?” tanyanya berang sambil berdiri dengan tatapan kesal. Jika bukan sedang berbicara dengan ayahnya, mungkin meja kecil yang ada di sana sudah mendarat ke lawan bicaranya.
“Ya, panjang umur Ayak, tenang hati Ayak! Kau tau kenapa? karena tingkah kau ini. Ayak takut ... enggak ada cowok yang mau kawin sama perempuan macam kau!” ucap Ayahnya kasar yang kemudian pergi meninggalkan Dira seorang diri di kamar.
Terduduk lemas di bibir ranjang, hati Dira merasa sangat bersedih. Dari begitu banyak pertengkaran yang terjadi, baru kali ini ia merasa hatinya tertusuk dalam oleh ucapan ayahnya.
Sesaat kemudian matanya melirik tajam pada selembar kertas yang ada di atas meja. Sambil menunjukkan senyuman dan tatapan kepedihan Dira menganggukkan kepala. Tangan yang mengepal terlihat bergetar dengan napas yang berderu kencang.
Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta, tepat pukul tujuh pagi. Terlihat ada banyak orang mengerumuni halaman bandara. Mereka terlihat seperti reporter dengan ciri khas tas kecil, kamera dan perekam suara yang berada dalam genggaman. Sekitar sepuluh orang, mereka duduk sambil berbincang menatap ke arah pintu keluar bandara. Diluar dugaan, Leo memasang wajah kaget saat menatap ke arah para pencari berita yang kini berdiri menunggu mereka. Tak lagi bisa mengelak, Daffin memutuskan untuk melewati mereka dengan raut wajah tenang. Tak lupa senyuman manis yang menjadi ciri khasnya. “Daf, apa benar kamu ingin bunuh diri?” “Kenapa kamu tidak terlihat di panggung para model? Bukannya kamu salah satu juri acara itu?” “Apa kamu pergi karena tuduhan Gay?” “Daf, beri kami jawaban!” Jutaan pertanyaan diabaikan begitu saja, hanya senyum dan sikap santun yang
Daffin terlihat bersedih memandangi wajah bibinya. Ia tak menyangka, serangan para media kini mulai merambat hingga keanggota keluarganya. “Bu, sebagai Bibi Daffin apa pendapat anda tentang tuduhan gay yang diberikan pada Daffin?” “Apakah anda yakin kalau Daffin tidak memiliki kelainan seks?” “Daffin tidak pernah mendekati wanita, apa itu benar?” Semua pertanyaan itu sontak membuat Bibi Daffin shok. Napasnya terasa sesak dengan pandangan mata yang perlahan meredup. Tak mampu lagi mengontrol diri, seketika tubuhnya tumbang dan terbaring lemah di atas lantai. Wanita dewasa yang menjadi pelayannya tak mampu berbuat apa-apa, selain meminta perawat mengangkat tubuh Devi ke atas ranjang dan menghubungi Daffin untuk segera datang. Betapa sedih dan hancurnya hati Daffin, air matanya terus mengalir deras menyaksikan sang bibi yang kini terpejam tak sadarkan diri. Rasa bersalah t
“Apa, apa lagi yang mau kau bilang? Aku sudah lelah. Semua uangku habis untuk biayai pengobatanmu. Bukannya sembuh, kau malah kambuh. Kau tau sudah berapa banyak uang yang aku habiskan untuk keluarga ini? Tapi apa yang aku dapatkan? Hah?” cibir ayah Daffin. Bibirnya terus saja berucap sumpah serapah, berisi kekesalan. Amarahnya meledak, kesabarannya telah lenyap. Hatinya begitu panas, tak henti-hentinya ia mengacungkan jari penuh amarah kepada wanita yang kini hanya bisa terduduk dan menangis. Bentakan, hinaan dan makian terlontar jelas. “Menyesal! Kalau aja aku tidak menikahimu, mungkin hidupku sudah bahagia sekarang. Hidup tenang dengan harta yang melimpah. Heh! Nasi sudah menjadi bubur. Aku enggak mau lebih lama hidup di rumah kumuh ini. Kalau aku bertahan di sini, hidupku tidak akan pernah berubah. Mulai sekarang, jangan pernah lagi mengingatku. Jangan pula menegurku jika bertemu. Ingat itu wanita sialan!” Ucap
Sepanjang penerbangan Dira terus saja memejamkan matanya. Bukan karena mabuk kendaraan, melainkan menahan kesedihan hatinya. Kepergian tanpa pamit yang ia lakukan saat ini ternyata menyakiti dirinya sendiri. Takut dan gelisah pun tak henti membayangi. Wajah kedua adik perempuannya selalu terbayang. Meski mereka tak banyak menghabiskan waktu bersama, namun mereka senantiasa bertemu di setiap harinya. Begitu pula wajah sang ayah yang tak pernah lupa memeriksa kamarnya di malam hari. Semua ini menyebabkan kerinduan hadir, meski baru beberapa jam ia meninggalkan kota kelahirannya. “Mba, Mba!” tegur seorang pria yang duduk tepat di samping Dira. “Maaf, Mba. Ini ada sekotak roti untuk Mba,” sambungnya yang hingga saat ini tak mendapat jawaban dari Dira. Dira masih saja diam dan mengabaikan pria itu. Sesungguhnya ia belum tertidur, hanya saja ia takut kalau air matanya mengalir jika ia memaksa untuk
Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan
Jantung Dira berdenyut kencang dengan nada yang lembut, aneh dan membingungkan. Keadaan ini bermula saat ia kembali bertemu Daffin. Kedatangan Daffin yang begitu mendadak membuat Dira terus teringat pada dirinya. Terlebih saat tangan Daffin menyentuh lembut wajahnya. Jarak pandang yang begitu dekat sungguh membuat Dira tak nyaman.Kulit kecokelatan dan hidung yang mancung itu terlihat jelas olehnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh sekitar pipi dan dagu tertata begitu rapi. Meskipun Daffin menggunakan kacamata, namun Dira dapat melihat dengan jelas matanya yang menatap tajam ke arah dirinya. Tatapan penuh rasa hawatir hingga membuat Daffin nekad mengorbankan diri demi melindungi Dira.Jeritan, “Aduh!” nya saja hingga kini masih terngiang di telinga Dira. Hembusan napas dan aroma tubuhnya juga melekat erat dalam ingatan.“Argh ... katanya Jakarta luas, kenapa pulak aku bisa jumpa dia lagi?” gerutu Dira
Pagi yang mengesalkan, Dira tidak menyangka Jakarta begitu macet. Tak seperti kota Medan yang hanya berhenti kala lampu jalan menunjukkan warna merah. Jika saja ia tidak menurut akan ucapan teman serumahnya, mungkin ia akan datang telat pagi ini.“Tak, tuk, tak, tuk!”Suara langkah kaki Dira menggema di sepanjang lorong. Berjalan gagah dengan wajah angkuh Dira menjadi pusat perhatian banyak orang. Bukan karena parasnya yang cantik, melainkan karena rambutnya yang panjang dan terlihat disanggul.“Hei, siapa tuh? Dari mana dia? Tampangnya lumayan juga,” ucap salah satu polisi pria yang lebih dulu melihat Dira memasuki pagar kantor polisi.“Mayan sih, tapi tuh kakinya kok ngentak-ngentak gitu. Udah macam sepatu kuda aja. Tuk, tik, tak, tik, tuk,” sambung polisi pria lainnya diikuti tawa meledek.Menyadari tertawaan itu dilayangkan untuknya, Dira t
Tendakan kuat Dira membuat engsel pintu terlepas, hingga kini pintu terbuka lebar. Sontak saja semua mata menatap ke arah Dira, namun ia tak gentar. Dengan tenang dan penuh keangkuhan Dira berkata, “Ngapain kelen?”Tatapan bingung dan merendahkan pun dilayangkan untuk Dira. Seorang pria bertubuh tegap dengan perut yang buncit menatap tak senang ke arah Dira.“Bukan urusanmu, keluarlah!” pinta Denis dengan sikap mengabaikan.“Hei, kau! Ikut aku!” pinta Dira mengarah kepada Tomi.Terdiam, kini mata Denis dan kedua temannya berbalik menatap ke arah Tomi. Diam dan merasa takut, Tomi masih saja betah menempelkan tubuhnya di dinding.“Tunggu apa lagi? Satu, dua, ti-”Tomi dengan segera menggerakkan tubuhnya mendekati Dira.“Tidak semudah itu teman,” ucap teman Denis. Tangannya bergerak
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira