Dira Jadi Pusat Perhatian Sekantor

Pagi yang mengesalkan, Dira tidak menyangka Jakarta begitu macet. Tak seperti kota Medan yang hanya berhenti kala lampu jalan menunjukkan warna merah. Jika saja ia tidak menurut akan ucapan teman serumahnya, mungkin ia akan datang telat pagi ini.

“Tak, tuk, tak, tuk!”

Suara langkah kaki Dira menggema di sepanjang lorong. Berjalan gagah dengan wajah angkuh Dira menjadi pusat perhatian banyak orang. Bukan karena parasnya yang cantik, melainkan karena rambutnya yang panjang dan terlihat disanggul.

“Hei, siapa tuh? Dari mana dia? Tampangnya lumayan juga,” ucap salah satu polisi pria yang lebih dulu melihat Dira memasuki pagar kantor polisi.

“Mayan sih, tapi tuh kakinya kok ngentak-ngentak gitu. Udah macam sepatu kuda aja. Tuk, tik, tak, tik, tuk,” sambung polisi pria lainnya diikuti tawa meledek.

Menyadari tertawaan itu dilayangkan untuknya, Dira terlihat tidak perduli. Dengan santai ia pun melewati kedua polis yang sedari tadi membicarakan dirinya.

“Eh, itu yakin cewek?” tanya polisi itu kembali.

“Yah ceweklah? Emang kelihatan seperti cowok apa?” sambung temannya.

“Lihat aja dadanya, tenggelam,” ucapnya diikuti gelak tawa.

“Sstt! Entar kedengaran,” lalu mereka kembali tertawa bersama.

“Keknya kalau belum kena bogem muncung orang ini belum bisa diam yah,” gerutu Dira yang ternyata sempat mendengar apa yang mereka berdua bicarakan.

Menemui kepala kepolisian Dira diminta menunggu di ruang tunggu. Ia pun duduk bersandar tenang sambil mengamati keadaan kantor. Semua barang yang ada di sana terlihat rapi, bahkan tak ada sedikit debu pun di sana. Salud, Dira cukup kagum akan keadaan kantor pusat Jakarta.

Semua benda yang ada di sana sudah ia lihat berulang kali, hingga ia nyaris hapal letak benda-benda itu. Namun, kepala kepolisian tidak kunjung hadir. Sebuah nama disebut, ternyata dua orang polisi wanita yang ada di sana sedang membicarakan Tomi.

“Payah tuh, enggak bisa diajak join. Makanya belum laku-laku.”

“Padahal aku mau jodohin dengan adik sepupuku lah.”

“Tomi itu aneh, lemah. Diriku aja heran kenapa bisa lolos kepolisian kalau mentalnya begitu.”

Terdiam, Dira tidak bermaksud mncuri dengar. Hanya saja mereka berbincang dengan suara kuat hingga ia mendengar jelas semua percakapan mereka.

Rasa kesal pun kembali hadir saat ia mendengar nama Tomi. Ingatannya kembali membawa pada perbincangan tadi malam kepada sesama polisi wanita yang menginap di rumahnya.

“Susah enggak, cari alamat rumah ini?” tanya polwan yang ternyata berasal dari Kalimantan.

“Enggak, kan aku dijemput sama utusan orang kantor,” jawab Dira tenang.

“Jemputan? Mana ada jemputan begitu,” ucap Ria yang merasa bingung sendiri dengan pernyataan Dira.

Sesungguhnya ada tiga utusan yang ikut dalam program ini. Namun, salah satunya tengah sakit dan menjalani opname hingga menunda keberangkatan. Tak heran hanya ada Dira dan Ria yang tinggal di rumah ini.

“Hah? Serius? Dia kepolisian juga kok. Buktinya dia tau nama sama asalku? Dia juga kok yang ngantarin aku ke sini,” jelas Dira dengan wajah tak senang.

“Enggak tau juga sih, tapi setahuku enggak ada begituan. Makanya aku naik taksi, karena pakai acara musing-musing kena ongkos mahal deh,” jelas Ria dengan wajah kecewa karena merasa ditipu si sopir taksi.

Ingatan ini kembali membuat Dira geram. “Daripada nunggu di sini, mending kucari tuh orang. Minta dihajar juga nih, bocah,” gerutu Dira dengan tangan kanan yang mengepal dan terus menghantam telapak tangan kirinya. Ia pergi begitu saja tanpa sempat pamit kepada dua polisi wanita yang ada di ruangan. Rasa lelah menunggu kini berubah kemarahan setelah merasa ditipu oleh Tomi.

Terus melangkah tanpa tahu dimana keberadaan Tomi, Dira memilih berjalan menuju kantin. Ia berniat menanyai pelawan kantin akan keberadaan Tomi. Namun, ia mendengar suara gertakan di balik pintu yang saat ini ia lewati.

“Jangan sok alimlah, mana cukup kalau hanya ngandelin gaji. Jadi kalau kamu enggak mau bantu, mending diam aja!” ucap seorang pria dengan nada tinggi. Sepertinya ia sedang mengancam seseorang.

“A, aku enggak berani. Aku enggak mau ikut terjerat kalau diam aja,” ucap seorang pria yang terdengar bersuara tak asing di telinga Dira.

“Tomi?” gumam Dira yang kini merapatkan telinga tepat di daun pintu.

“Kamu belum bekeluarga, pantas ajalah cukup. Intinya kalau ini sampai ketahuan, habis kamu!” ucap pria itu dengan lantangnya.

Merasa Tomi berada dalam keadaan tak aman, Dira dengan penuh keberanian mendobrak pintu yang ternyata sedari tadi dikunci dari dalam.

“Brak!”

Terlihat Tomi berdiri tersudut dengan tiga polisi mengelilinginya. Tubuh Tomi tersandar pada dinding dengan wajah takut bercampur kaget melihat kehadiran Dira.