Dira terbangun di atas ranjang, wajahnya terlihat bingung. Sambil menahan rasa sakit di kepalanya, Dira segera membuka selimut yang ternyata tubuhnya masih mengenakan pakaian lengkap.
“Sialan! Aku pikir dia ngapa-ngapain aku. Untungnya enggak,” gerutu Dira yang segera bangkit dan meraih jaket miliknya, Dira bersiap pulang. Dirinya benar-benar merasa lelah saat ini, meski tidak menghabiskan banyak tenaga, namun kurang tidur cukup membuat wajahnya terlihat lemas.
“Eh, Mbanya mau kemana?” tanya Leo dengan senyum terkembang.
“Mau pulang!” jawab Dira cuek, wajahnya terlihat tak senang sambil melirik tajam ke arah Daffin.
“Mba tugasnya belum selesai. Mba harus temani kami selama di Medan,” jelas Leo dengan tubuh sedikit merunduk. Sepertinya ia takut sekaligus heran melihat tingkah kasar Dira yang awalnya ia kira gadis baik karena berwajah kalem. Namun, ternyata ia salah. Dira jauh lebih menakutkan dari seorang preman.
“Enggak bisa! Aku harus pulang. Nanti datang polisi lain yang akan nemani kalian!” ungkapnya kasar sembari merapikan rambut ke dalam topi. Lalu berlalu pergi begitu saja meninggalkan dua pria dengan wajah kebingungan.
Tetapi, baru beberapa langkah ia keluar dari kamar, gawainya berdering.
“Ya Komandan!” jawab Dira dengan nada tegas, sigap, layaknya abdi negara.
Sebuah kalimat dilontarkan, hingga membuat Dira berucap, “Apa?!” teriak Dira dengan wajah kesal. Dahinya mengernyit dengan mulut yang ternganga lebar. Dengan sangat terpaksa ia memutar balik badan dan kembali ke dalam kamar hotel. Kakinya menghentak-hentak kuat sehingga membuat kebisingan area lorong.
Pintu terbuka, terlihat Leo tersenyum menyengir ke arahnya. Tangan Leo masih menggenggam gawai dengan layar menyala.
“Arghhh! Pasti bujang sebijik ini yang melapor. Awas saja kalian berani macam-macam, kubogem baru tau!”
Dira mengeram dengan gigi yang merapat. Matanya menatap tajam ke arah keduanya. Leo memilih mengalihkan pandangan, sedangkan Daffin hanya menatap bingung karena tak tahu menahu akan apa yang terjadi.
***
Daffin dan Leo menganga saat melihat Dira keluar dari ruang ganti. Keduanya saling bertatapan dengan kedua bahu yang diangkat tinggi.
“Kenapa pakai jaket? Kan jadi aneh?” tanya Leo sambil terus menatap ke arah Dira.
“Punggungku panuan!” jawab Dira ketus.
“Topinya dilepas aja. Biar rambutnya terurai. Rambut kamu bagus kok,” pinta Leo kembali.
“Rambutku ketombean.”
“Sepatunya-.”
“Sstt!” ujar Dira segera mematahkan ucapan Leo. “Mau dikawal apa enggak?”
Mata terbelalak dibalik wajah dingin Dira membuat Leo ciut. Mulutnya tertutup rapat dan kemudian melanjutkan langkah menuju mobil.
“Mau ngawal orang aja repot kale. Harus pakai beginian segala,” gerutu Dira yang kini duduk di samping sopir. “Dari awalkan aku udah bilang, enggak mau ngawal artis. Buat repot!”
Mobil melaju kencang tanpa suara. Semuanya mengunci mulut dengan rapat karena ancaman dari Dira. Mereka menuju sebuah kafe yang hendak melakukan grand opening dan Daffin diundang untuk memeriahkan acara. Di sana Daffin akan menunjukkan keahliannya, yaitu memasak. Serta memotong pita bersama-sama pemilik kafe.
Seketika Dira terpesona akan keahlian Daffin saat memasak. Ia dengan ahlinya menggunakan pisau dan memotong buah dengan beragam bentuk. Selayaknya chef handal, Daffin berhasil menghidangkan makanan yang lezat dengan hiasan buah berbentuk bunga di sekitarnya. Mata Dira tak berkedip memandangnya, rasa kagum seketika hadir dan membuat ia lupa betapa bencinya dia akan sosok Daffin.
Di tengah keramaian pengunjung, Dira menyadari keberadaan seseorang yang terus mengikutinya. Meski tidak tahu siapa orangnya, namun Dira yakin dengan perasaannya. Matanya melirik ke sekitaran, tidak ada yang bisa ia curigai karena semua orang asik menatap Daffin dengan tangan menggenggam gawai.
Pakaian Dira yang nyentrik dengan gaun berlapis jaket dan topi, serta mengenakan sepatu dinas berhasil menjadi sorotan banyak orang. Terlebih keberadaannya yang selalu ada di samping Daffin, menyebabkan banyak mata menatap curiga akan siapa dirinya. Tak ingin menjadi incaran masa, Dira menurunkan topinya hingga menutupi sebahagian wajahnya.
Acara selesai, Daffin, Leo dan Dira diminta memasuki ruangan khusus untuk beristirahat. Dira sengaja berjalan lambat dan memilih bersembunyi dibalik pot besar yang bisa menutupi tubuhnya. Dirinya bersiap siaga mengincar sosok yang mungkin kembali mengikuti mereka.
“Bug!”
Kaki panjang Dira melayang tepat di perut seorang pria yang berusaha mengikuti Daffin. Pria itu tersungkur hingga terlentang di atas lantai. Tanpa buang waktu Dira segera menangkap pria itu. Namun, ia cukup kuat dan berhasil dengan mudah menghindari pegangan Dira.
Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Ditengah lorong panjang yang sepi, Dira terus berlari cepat. Kecepatan berlarinya berhasil membuat pria itu kembali tertangkap. Tak ingin kembali kehilangan. Dira dengan segera mengunci tangan pria itu, lalu membanting tubuhnya ke atas lantai.
“Aw!”
Jeritnya dengan wajah meringis. Pria bertubuh gemuk dengan mata sipit itu terlihat takut.
“Ada apa ini?” tanya salah satu karyawan kafe.
“Dia menguntit kami!” jawab Dira tegas dengan wajah penuh bangga. Tatapan percaya diri Dira terlihat aneh bagi para karyawan, terlebih dengan pakaian yang tengah digunakan Dira. Namun, bukan Dira namanya jika ia tidak mengenakan celana di bagian dalam. Sebagai polisi, Dira selalu siap sedia melaksanakan tugasnya. Kapanpun dan dimanapun, karena inilah cita-citanya sedari kecil.
Sesuai saran pemilik kafe, pria itu diikat dalam sebuah ruangan sembari menunggu pihak kepolisian datang. Daffin dan Leo terlihat bingung dengan keadaan yang ada. Mereka tidak menyangka, keterlambatan Dira ternyata karena menangkap pria penguntit.
“Kok bisa sih? Bukannya dia pakai gaun?” bisik Leo ke telinga Daffin.
Daffin hanya mengangkat bahu, sambil melirik takut ke arah Dira yang kini sedang menatap tajam ke arahnya.
Suara sirine mobil kepolisian tidak terdengar, namun tiba-tiba saja beberapa polisi masuk ke ruangan mereka.
“Dir, kau yang ditugaskan jaga ya?” tanya salah seorang polisi.
“Yuhu,” jawab Dira dengan angkuhnya, sembari menaik turunkan alis mata kanan.
“Mari, Pak!” pinta salah satu karyawan yang kemudian membukakan kunci pintu ruang tempat pria penguntit itu diikat.
“Apa?” teriak Dira dengan kedua mata terbelalak, diikuti dahi yang mengernyit. Wajah berang pun kembali diperlihatkan Dira.
Seharian ini Dira terus menunjukkan wajah penuh kekesalan. Bibir cemberut dengan kaki yang menendang-nendang kasar ke arah benda yang ada di hadapannya. “Kok bisa anak itu kabur? Pintu terkunci, terus pun jendela dilapisi besi dalamnya kan?” gerutu Dira yang masih tidak terima akan hilangnya jejak sang penguntit. “Punya CCTV tapi kok belum dinyalakan. Percuma aja dipasang! Argh ... nyesal kali enggak aku hajar habis-habisan anak itu. Kalau aja yang punya kafe enggak datang, udah babak belur dia kubuat!” Dira masih saja tidak terima akan apa yang terjadi. Selain tidak mendapatkan informasi penting dari si penguntit, Dira juga harus menanggung malu kepada dua orang polisi yang diminta datang menangani masalah ini. Duduk di sudut meja sambil terus menatap cemberut, Dira mengepal erat kedua tangannya. Jika bukan karena harus kembali menjaga Daffin, Dira sudah pergi mencari si penguntit itu.
Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta, tepat pukul tujuh pagi. Terlihat ada banyak orang mengerumuni halaman bandara. Mereka terlihat seperti reporter dengan ciri khas tas kecil, kamera dan perekam suara yang berada dalam genggaman. Sekitar sepuluh orang, mereka duduk sambil berbincang menatap ke arah pintu keluar bandara. Diluar dugaan, Leo memasang wajah kaget saat menatap ke arah para pencari berita yang kini berdiri menunggu mereka. Tak lagi bisa mengelak, Daffin memutuskan untuk melewati mereka dengan raut wajah tenang. Tak lupa senyuman manis yang menjadi ciri khasnya. “Daf, apa benar kamu ingin bunuh diri?” “Kenapa kamu tidak terlihat di panggung para model? Bukannya kamu salah satu juri acara itu?” “Apa kamu pergi karena tuduhan Gay?” “Daf, beri kami jawaban!” Jutaan pertanyaan diabaikan begitu saja, hanya senyum dan sikap santun yang
Daffin terlihat bersedih memandangi wajah bibinya. Ia tak menyangka, serangan para media kini mulai merambat hingga keanggota keluarganya. “Bu, sebagai Bibi Daffin apa pendapat anda tentang tuduhan gay yang diberikan pada Daffin?” “Apakah anda yakin kalau Daffin tidak memiliki kelainan seks?” “Daffin tidak pernah mendekati wanita, apa itu benar?” Semua pertanyaan itu sontak membuat Bibi Daffin shok. Napasnya terasa sesak dengan pandangan mata yang perlahan meredup. Tak mampu lagi mengontrol diri, seketika tubuhnya tumbang dan terbaring lemah di atas lantai. Wanita dewasa yang menjadi pelayannya tak mampu berbuat apa-apa, selain meminta perawat mengangkat tubuh Devi ke atas ranjang dan menghubungi Daffin untuk segera datang. Betapa sedih dan hancurnya hati Daffin, air matanya terus mengalir deras menyaksikan sang bibi yang kini terpejam tak sadarkan diri. Rasa bersalah t
“Apa, apa lagi yang mau kau bilang? Aku sudah lelah. Semua uangku habis untuk biayai pengobatanmu. Bukannya sembuh, kau malah kambuh. Kau tau sudah berapa banyak uang yang aku habiskan untuk keluarga ini? Tapi apa yang aku dapatkan? Hah?” cibir ayah Daffin. Bibirnya terus saja berucap sumpah serapah, berisi kekesalan. Amarahnya meledak, kesabarannya telah lenyap. Hatinya begitu panas, tak henti-hentinya ia mengacungkan jari penuh amarah kepada wanita yang kini hanya bisa terduduk dan menangis. Bentakan, hinaan dan makian terlontar jelas. “Menyesal! Kalau aja aku tidak menikahimu, mungkin hidupku sudah bahagia sekarang. Hidup tenang dengan harta yang melimpah. Heh! Nasi sudah menjadi bubur. Aku enggak mau lebih lama hidup di rumah kumuh ini. Kalau aku bertahan di sini, hidupku tidak akan pernah berubah. Mulai sekarang, jangan pernah lagi mengingatku. Jangan pula menegurku jika bertemu. Ingat itu wanita sialan!” Ucap
Sepanjang penerbangan Dira terus saja memejamkan matanya. Bukan karena mabuk kendaraan, melainkan menahan kesedihan hatinya. Kepergian tanpa pamit yang ia lakukan saat ini ternyata menyakiti dirinya sendiri. Takut dan gelisah pun tak henti membayangi. Wajah kedua adik perempuannya selalu terbayang. Meski mereka tak banyak menghabiskan waktu bersama, namun mereka senantiasa bertemu di setiap harinya. Begitu pula wajah sang ayah yang tak pernah lupa memeriksa kamarnya di malam hari. Semua ini menyebabkan kerinduan hadir, meski baru beberapa jam ia meninggalkan kota kelahirannya. “Mba, Mba!” tegur seorang pria yang duduk tepat di samping Dira. “Maaf, Mba. Ini ada sekotak roti untuk Mba,” sambungnya yang hingga saat ini tak mendapat jawaban dari Dira. Dira masih saja diam dan mengabaikan pria itu. Sesungguhnya ia belum tertidur, hanya saja ia takut kalau air matanya mengalir jika ia memaksa untuk
Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan
Jantung Dira berdenyut kencang dengan nada yang lembut, aneh dan membingungkan. Keadaan ini bermula saat ia kembali bertemu Daffin. Kedatangan Daffin yang begitu mendadak membuat Dira terus teringat pada dirinya. Terlebih saat tangan Daffin menyentuh lembut wajahnya. Jarak pandang yang begitu dekat sungguh membuat Dira tak nyaman.Kulit kecokelatan dan hidung yang mancung itu terlihat jelas olehnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh sekitar pipi dan dagu tertata begitu rapi. Meskipun Daffin menggunakan kacamata, namun Dira dapat melihat dengan jelas matanya yang menatap tajam ke arah dirinya. Tatapan penuh rasa hawatir hingga membuat Daffin nekad mengorbankan diri demi melindungi Dira.Jeritan, “Aduh!” nya saja hingga kini masih terngiang di telinga Dira. Hembusan napas dan aroma tubuhnya juga melekat erat dalam ingatan.“Argh ... katanya Jakarta luas, kenapa pulak aku bisa jumpa dia lagi?” gerutu Dira
Pagi yang mengesalkan, Dira tidak menyangka Jakarta begitu macet. Tak seperti kota Medan yang hanya berhenti kala lampu jalan menunjukkan warna merah. Jika saja ia tidak menurut akan ucapan teman serumahnya, mungkin ia akan datang telat pagi ini.“Tak, tuk, tak, tuk!”Suara langkah kaki Dira menggema di sepanjang lorong. Berjalan gagah dengan wajah angkuh Dira menjadi pusat perhatian banyak orang. Bukan karena parasnya yang cantik, melainkan karena rambutnya yang panjang dan terlihat disanggul.“Hei, siapa tuh? Dari mana dia? Tampangnya lumayan juga,” ucap salah satu polisi pria yang lebih dulu melihat Dira memasuki pagar kantor polisi.“Mayan sih, tapi tuh kakinya kok ngentak-ngentak gitu. Udah macam sepatu kuda aja. Tuk, tik, tak, tik, tuk,” sambung polisi pria lainnya diikuti tawa meledek.Menyadari tertawaan itu dilayangkan untuknya, Dira t
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira