Sepanjang penerbangan Dira terus saja memejamkan matanya. Bukan karena mabuk kendaraan, melainkan menahan kesedihan hatinya. Kepergian tanpa pamit yang ia lakukan saat ini ternyata menyakiti dirinya sendiri. Takut dan gelisah pun tak henti membayangi.
Wajah kedua adik perempuannya selalu terbayang. Meski mereka tak banyak menghabiskan waktu bersama, namun mereka senantiasa bertemu di setiap harinya. Begitu pula wajah sang ayah yang tak pernah lupa memeriksa kamarnya di malam hari. Semua ini menyebabkan kerinduan hadir, meski baru beberapa jam ia meninggalkan kota kelahirannya.
“Mba, Mba!” tegur seorang pria yang duduk tepat di samping Dira.
“Maaf, Mba. Ini ada sekotak roti untuk Mba,” sambungnya yang hingga saat ini tak mendapat jawaban dari Dira.
Dira masih saja diam dan mengabaikan pria itu. Sesungguhnya ia belum tertidur, hanya saja ia takut kalau air matanya mengalir jika ia memaksa untuk membuka matanya.
Tidak butuh waktu lama untuk Dira tiba di Jakarta. Kembali teringat akan kejadian malam kemarin. Malam di mana ia bertengkar hebat dengan ayahnya, hingga memutuskan untuk menerima tugas mandah.
“Huh! Sakit sih. Tapi ... kalau enggak ada kejadian kemarin, mungkin aku masih ragu aja buat keputusan,” gumamnya sambil menatap selembaran kertas yang berisi tawaran pemindahan Dira. Penugasan Dira di Jakarta demi untuk penilaian akan kepantasan dirinya dalam menaiki jabatan. Awalnya Dira meragu, hidup di daerah asing yang sama sekali belum pernah ia singgahi. Namun, semua kebimbangan mendadak lenyap. Rasa lelah akan perjodohan membuat ia bertekad untuk menerima tawaran pusat.
Mengenakan kemeja lengan panjang, lengkap dengan celana kain dan sepatu tanpa hak, Dira bersiap meninggalkan bandara. Tangan menggenggam koper berukuran kecil, Dira sedang berdiri menanti taksi di bagian lobi.
Matanya terus menatap kosong ke arah parkiran, ternyata ia masih kepikiran akan wajah kaget adik dan ayahnya jika tahu kabar keberangkatannya.
“Copet ...! tolong, copet ...!” teriak beberapa orang yang menunjuk ke arah Dira.
Lamunan Dira pun lenyap, matanya menatap awas sekitaran. Di tengah keramaian bandara Dira mendapati seorang pria yang berjalan aneh di tengah kerumunan. Ia menutupi wajahnya dengan topi, merunduk seakan bersembunyi dibalik punggung-punggung pengunjung.
“Tangkap copetnya!” teriak Dira memastikan targetnya.
Benar saja, pria berjaket dan bertopi itu segera berlari menuju pintu. Dira dengan penuh keberanian berlari mengikuti si pencopet. Melewati beberapa orang, lalu kembali berlari di atas tangga jalan Dira terus menatap fokus pada targetnya. Meski ia tidak mengenal baik bandara ini, namun ia mampu mengatasi.
Melompat dari eskalator menuju lantai, Dira pun menjadi tontonan banyak pengunjung. Beberapa petugas keamanan pun ikut berlari, tetapi sia-sia karena mereka tak mengetahui siapa pencopetnya.
Terus berlari dan sengaja memilih keramaian pencopet itu berharap bisa menghindar dari Dira. Namun, dia salah besar. Dira dengan andalan kaki cepatnya pun berhasil mendekati pria itu. Ia melepas sepatu kanannya dan melemparkan tepat di kepala si pencopet. Membuat pria itu berlari lambat karena kesakitan, keadaan ini pun menjadi kesempatan emas untuk Dira. Dengan lihatinya, Dira menendang kaki pencopet itu hingga terbanting di atas lantai. Meraih tangan dan menguncinya hingga ia tak bisa bergerak sedikitpun.
Aksi heroik Dira pun menjadi tontonan, tidak hanya untuk bagi pengunjung yang datang. Tetapi juga masyarakat banyak. Karena semua tindakan Dira terekam dan sudah disebarkan melalui media online.
Tepuk tangan dan tatapan bangga pun diberikan pada Dira. Dira hanya bisa menatap kaku tanpa senyuman. Cantik dengan rambut panjangnya, namun Dira begitu gagah dalam menjalankan tugasnya.
“Ini sepatunya, Mba,” ucap seorang pria dengan senyuman ramah sambil menyerahkan sepatu Dira yang sempat terlempar.
“Makasih!” ucap Dira ketus yang segera memasang kembali sepatunya. Sedikitpun ia tidak menunjukkan rasa senang, pergi dengan acuh setelah korban, pencopet dan pihak keamanan berkumpul di sana.
Kembali ke tempat semula, Dira tak lagi menemukan koper miliknya.
“Mampus aku! Koper pakek hilang segala,” gerutunya sambil celingak-celinguk menggaruk rambut.
“Ini tasnya, Mba,” ucap seorang pria yang mendadak datang mendekati Dira.
“Kau lagi, kau lagi. Siapa sih kau?” tanya Dira dengan nada menyolot.
“Kenalkan, saya Tomi. Saya diminta menyembut Mba-nya,” ungkapnya sambil menyodorkan tangan.
“Heh?” seru Dira dengan bibir monyongnya. Menunjukkan wajah tak yakin, Dira sama sekali tidak mengira akan sosok pria yang ada di hadapannya.
“Dira kan? Asal Medan?” sambungnya berupaya meyakinkan Dira.
Dira menunjukkan wajah tak percayanya. Namun, ia melihat dengan baik kopernya berada dalam genggaman pria yang ada di hadapannya.
“Jangan bingung begitu. Saya diminta menjemput karena Mba itu spesial. Maksudnya termasuk dalam tugas khusus,” ucap Tomi dengan nada belibet karena ia begitu takjub akan sosok Dira yang terlihat cantik, namun berani.
***
Video aksi Dira viral. Sosoknya pun menjadi perbincangan banyak orang. Semua aksinya begitu nyata seperti sedang menonton film aksi. Membuat semua orang berdecak kagum dan terus menggelengkan kepala melihat kehebatan Dira dalam menangkap pencopet.
Dalam sebuah kamar terlihat dinding yang dipenuhi dengan banyak foto Daffin serta titik lokasi. Salah satu foto yang tertempel terlihat foto Daffin dan seorang gadis yang tengah terbaring di atas ranjang.
“Tunggu dulu, kenapa wajah perempuan ini terlihat enggak asing yah?” ucap pria bertubuh gemuk yang sedang menatap layar komputer. Ia begitu asik melihat video Dira yang sedang trending.
“Di mana ya? Sebentar,” ucapnya yang kemudian menghentikan video beberapa saat. “Rambutnya, tubuhnya, warna rambutnya,” ucapnya sambil terus memandangi video Dira.
Dira dan Tomi berada di kafe Tjikini yang ada di Jakarta Pusat. Duduk tenang di sudut ruang sambil menikmati teh hangat. Suasana terasa sepi dengan Dira yang begitu betah berdiam diri. Berbeda dengan Tomi yang terkesan hangat dan ramah, hingga ia begitu banyak bicara.“Terima kasih, Mba,” ucap Tomi kepada seorang pelayan wanita.Meja yang kosong pun kini telah berisi dengan beragam macam menu. Lontong cap gomeh, nasi goreng belacan dan tape bakar.“Silakan makan,” ucap Tomi kepada Dira. Ia menyeringai lebar merasa yakin kalau diantara pilihannya pasti ada yang Dira suka.“Kamu nyuruh aku habisin semua?” tanya Dira dengan kedua mata menyala. Tak henti-hentinya Dira menatap satu demi satu menu yang ada. sesungguhnya, ia begitu ingin mencoba semuanya. Terlihat menggairahkan, terlebih masih dalam keadaan panas. Terutama menu lontong yang kembali mengingatkan Dira akan
Jantung Dira berdenyut kencang dengan nada yang lembut, aneh dan membingungkan. Keadaan ini bermula saat ia kembali bertemu Daffin. Kedatangan Daffin yang begitu mendadak membuat Dira terus teringat pada dirinya. Terlebih saat tangan Daffin menyentuh lembut wajahnya. Jarak pandang yang begitu dekat sungguh membuat Dira tak nyaman.Kulit kecokelatan dan hidung yang mancung itu terlihat jelas olehnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh sekitar pipi dan dagu tertata begitu rapi. Meskipun Daffin menggunakan kacamata, namun Dira dapat melihat dengan jelas matanya yang menatap tajam ke arah dirinya. Tatapan penuh rasa hawatir hingga membuat Daffin nekad mengorbankan diri demi melindungi Dira.Jeritan, “Aduh!” nya saja hingga kini masih terngiang di telinga Dira. Hembusan napas dan aroma tubuhnya juga melekat erat dalam ingatan.“Argh ... katanya Jakarta luas, kenapa pulak aku bisa jumpa dia lagi?” gerutu Dira
Pagi yang mengesalkan, Dira tidak menyangka Jakarta begitu macet. Tak seperti kota Medan yang hanya berhenti kala lampu jalan menunjukkan warna merah. Jika saja ia tidak menurut akan ucapan teman serumahnya, mungkin ia akan datang telat pagi ini.“Tak, tuk, tak, tuk!”Suara langkah kaki Dira menggema di sepanjang lorong. Berjalan gagah dengan wajah angkuh Dira menjadi pusat perhatian banyak orang. Bukan karena parasnya yang cantik, melainkan karena rambutnya yang panjang dan terlihat disanggul.“Hei, siapa tuh? Dari mana dia? Tampangnya lumayan juga,” ucap salah satu polisi pria yang lebih dulu melihat Dira memasuki pagar kantor polisi.“Mayan sih, tapi tuh kakinya kok ngentak-ngentak gitu. Udah macam sepatu kuda aja. Tuk, tik, tak, tik, tuk,” sambung polisi pria lainnya diikuti tawa meledek.Menyadari tertawaan itu dilayangkan untuknya, Dira t
Tendakan kuat Dira membuat engsel pintu terlepas, hingga kini pintu terbuka lebar. Sontak saja semua mata menatap ke arah Dira, namun ia tak gentar. Dengan tenang dan penuh keangkuhan Dira berkata, “Ngapain kelen?”Tatapan bingung dan merendahkan pun dilayangkan untuk Dira. Seorang pria bertubuh tegap dengan perut yang buncit menatap tak senang ke arah Dira.“Bukan urusanmu, keluarlah!” pinta Denis dengan sikap mengabaikan.“Hei, kau! Ikut aku!” pinta Dira mengarah kepada Tomi.Terdiam, kini mata Denis dan kedua temannya berbalik menatap ke arah Tomi. Diam dan merasa takut, Tomi masih saja betah menempelkan tubuhnya di dinding.“Tunggu apa lagi? Satu, dua, ti-”Tomi dengan segera menggerakkan tubuhnya mendekati Dira.“Tidak semudah itu teman,” ucap teman Denis. Tangannya bergerak
Dari kejauhan Alia melihat ada keramaian di depan rumahnya. Beberapa orang asing dengan pakaian casual. Menggunakan kaos berlapis jaket dan celana lea. Mereka ramai menanyai beberapa orang tetangga Alia. “Ngapain orang itu? Kok ditanyai? Apa lagi ada shooting TV?” gerutu Alia yang mulai merasa curiga. Mereka membawa alat perekam suara dan kamera kecil yang diduga bisa digunakan untuk merekam video. “Keknya enggak ada yang aneh lah. Enggak ada kejadian apalagi bencana. Apa ini lagi buat konten? Tapi kok ditanyai gitu. Enggak mungkin ah,” ungkapnya yang memilih menjauhi gang rumahnya. Ia merasa resah dan memutuskan untuk menunggu di kedai simpang rumah menunggu kepulangan ayah atau kakaknya. “Buk, ngapain orang itu rame-rame di situ, Buk?” tanya Alia kepada ibu pemilik kedai. “Entah, Ibuk pun baru tau. Kalau enggak si Ucok yang bilang, Ibuk pun enggak tau,” jawab ibu itu cuek sambil terus melih
“Heh! Cantik kali mukak kau malam ini. lagi jatuh cinta kau yah?” ucap Arini yang berupaya memancing kejujuran Alia. Namun, sepertinya kali ini Alia tidak terpancing. Terlihat dari sikapnya yang masih terus diam mengabaikan kakaknya-Arini.Dengan dahi mengernyit Arini mencari akal kembali.“Eh, tadi aku ada dengar kabar tentang Kak Diralah. Tau kau?” ucap Arini yang dengan sengaja menghentikan ucapannya.Benar saja, seketika wajah Alia menatap kaget ke arahnya. Namun, masih saja mengunci rapat mulutnya.“Apa yang ko dengar, Kak?” ucapnya sambil menunjukkan wajah cemas.Sontak saja Arini menjadi bingung sendiri. Ia pun menduga berita buruk yang mungkin Alia tahu berhubungan dengan kakak mereka Dira.“Ko dengar apa pulak dari orang ini? kau dululah yang cakap,” ucapnya memujuk. Wajahnya terlihat tegas seakan menun
“Daf, senyum lu mana? Senyum?” ucap salah satu kru.Daffin mencoba tersenyum sedikit lebih lebar dan itu semakin membuat wajahnya terlihat kaku. Senyum yang sangat tidak mengalir itu tak cocok dengan tema pengambilan foto hari ini.“Haduh ...! Gimana sih? Senyumnya kepaksa itu,” ucap pria dengan gaya berkelas. Memakai barang branded dimulai dari kemeja hingga aksesoris terkecilnya. Dia Leon-perancang dan pemilik busana sekala internasional.Dua orang kru yang sedari tadi berdiri di samping Leon pun menunjukkan wajah takut. Tanpa diminta mereka mendekati kru yang bertugas mengarahkan Daffin.“Bos marah tuh, senyumnya kaku. Gimana sih model kalian?” ucap mereka dengan tatapan kesal.“Kalian tau enggak kalau bos udah marah bisa gawat. Mending buruan suruh tuh cowok senyum alami, biar cepat kelar semuanya,” sambung temannya.&nbs
Sudah pukul tiga pagi, namun tak sedetikpun mata Daffin mampu terpejam. Pikirannya terus saja melanglang buana jauh pada artikel yang ia baca. Semua berita utama membahas dirinya. Bukan hanya dia, melainkan Dira. Meskipun dalam wacana itu tidak tertulis nama Dira, namun Daffin menyadarinya. Cepat atau lambat media pasti akan mencari tahu sosok Dira.“Semoga aja enggak terjadi. Gua enggak mau hidup tuh cewek jadi kacau gegara gua. Udah cukup gua aja yang diribetin dengan masalah ini. Dia atau siapapun jangan. Gua enggah tahu harus berbuat apa. Tapi gua tau media kejam banget nyebarin berita seenaknya,” gumam Daffin.Matanya terus saja menatap kosong ke langit-langit kamar. Berulang kali ia menggosok kuat wajahnya dengan tangan berharap bisa menenangkan hatinya. Namun, entah mengapa kali ini ia begitu tersiksa. Padahal ini bukan kali pertama ia terlibat hal seperti ini. Sudah ada ratusan cewek yang menjadi viral karena tersandung d
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira