Hari ini seharusnya menjadi hari senin yang terik di Kota Carson negara bagian Nevada karena matahari bersinar sepanjang siang, tetapi kemudian gerimis turun di sore hari dan hingga sekarang masih belum berhenti. Jam di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul delapan malam. Havard Heiberg tampak fokus berlari melewati beberapa lorong kecil tetapi getaran dari ponsel yang ada di sakunya mengakibatkan Havard berhenti lalu mengambil ponsel dan menerima panggilan yang masuk ke ponselnya.
"Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi, " ucap Havard datar, uap hangat mengepul keluar dari mulutnya.
"Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi," balas orang di balik telepon, suaranya terdengar seperti suara perempuan.
"Ada apa?" tanya Havard tanpa basa-basi.
Dari dalam teleponnya, Havard dapat mendengar suara seorang wanita yang sedang menghela napas. "Aku ada pekerjaan untukmu, apakah pekerjaanmu di sana sudah selesai?"
"Hampir."
"Jadi kamu belum membunuh manusia biasa itu." Orang di seberang telepon tampak sedikit terheran, membuat dahi Havard langsung terlipat. Havard beranggapan orang di seberang telepon sedang merendahkannya dan ia tidak menyukainya.
"Biar kutebak, sekarang kamu pasti sedang mengerutkan dahimu," tebak seorang di seberang telepon sambil terkekeh.
Kini kerutan di dahi Havard semakin bertambah. "Psyche, sudah hampir delapan belas tahun aku bekerja denganmu tetapi sampai sekarang kamu belum membawaku kehadapannya. Setelah misi itu selesai kamu harus menepati janjimu atau aku akan mencarimu."
"Oke, oke, aku memiliki perasaan yang sangat bagus tentang misi ini dan entah kenapa aku merasa misi akan sangat cocok denganmu. Misi ini akan menjadi misi terakhirmu," sergah Psyche, kode nama seseorang yang ada di seberang telepon sana. Tampaknya ia tidak sedikit pun takut terhadap ancaman Havard barusan.
"Ngomong-ngomong apakah di sana gerimis?" Psyche mencoba mengganti topik pembicaraan.
Tetesan kecil air hujan menghujani topi fedora dan jas hitam yang dikenakan Havard, wajah berumur lima puluh lima tahun yang berbentuk persegi dengan kumis dan jenggot yang tercukur rapi sekarang mengeluarkan ekspresi keras. Sebuah koper hitam berbentuk persegi panjang berukuran lima puluh empat kali tiga puluh dua sentimeter tergenggam di tangan kirinya.
"Apa itu penting?" Havard balas bertanya.
"Tidak." Psyche mendesah.
"Kalau begitu kenapa bertanya?"
"Baiklah, aku yang bodoh karena bertanya seperti itu." Psyche menyerah berbasa-basi. "Kamu akan selamanya menjadi seorang kakek-kakek yang membosankan tapi untunglah cerita hidupmu tidak sama membosankannya dengam dirimu, itulah kenapa aku tertarik denganmu."
Havard diam mendengarkan sembari menatap lurus ke depan.
"Tadi kamu bilang hampir, bukan? Berarti sekarang kamu sedang memburu orang itu. Cepat selesaikan lalu aku akan memberikan informasi mengenai misimu selanjutnya!"
Sebelum Havard membalas ucapan Psyche, hubungan ponselnya dengan Psyche telah terputus. Havard lantas menggertak giginya lalu menyimpan ponselnya ke dalam sakunya. Tak lama kemudian tubuhnya menghilang dari tempat itu.
Dari lokasi Havard barusan, kurang lebih seratus meter jauhnya, seorang pria berseragam kantoran tengah berlari terkocar-kocir menjauh dari lokasi Havard beberapa saat yang lalu. Name tag yang terpasang di dadanya bertuliskan, Ethan Frank, merupakan nama pria paruh baya itu.
Dia adalah seorang direktur dari salah satu perusahaan pertambangan terbesar yang ada di dunia, yaitu Orion Gold yang mengelola Tambang Corta yang berada di Nevada, Amerika Serikat. Satu alasan kenapa dia terus berlari dikarenakan sebelumnya mobil yang di tumpanginya mengalami kecelakaan.
Bukan hanya itu, setelah Ethan keluar dari mobilnya dengan selamat, seorang pria misterius datang kepadanya, pria itu adalah Havard Heiberg. Setelah kemunculannya, Havard langsung membunuh supir pribadi Ethan dan sekarang mengejar Ethan yang melarikan diri menuju ke keramaian sembari menelepon polisi.
Ketika Ethan melihat banyak orang berlalu lalang barulah ia menyadari bahwa dirinya telah berada di tengah kota. Jantungnya yang tak henti-hentinya berdetak kencang bagai roller coaster kini sedikit demi sedikit mulai tenang, Seluruh tubuhnya yang tegang dan keras berangsur-angsur santai, bagai melihat cahaya harapan di hadapan sebuah Keputus-asaan.
Akhirnya Ethan bisa merasakan dadanya yang kembang kempis, juga menyadari tubuhnya yang tak berhenti bergetar. Di tengah jalan area penuh pejalan kaki, Ethan mengetik satu demi satu nomor polisi pada ponselnya dengan jari yang tak bisa berhenti bergerak.
Setiap suara langkah kaki keras yang tertangkap telinganya membuat Ethan gelisah. Dengan ponsel di depan telinganya, Kepala serta matanya dengan waspada menoleh ke kanan kiri, berharap agar pria misterius itu tidak berada di sekitarnya saat ini.
Bersamaan dengan bunyi ponselnya yang berusaha tersambung dengan polisi, setiap detik bagai setiap detik terpanjang dalam hidupnya. Pada waktu ini, Ethan tampak seperti orang gila yang sedang menatap setiap orang di sekelilingnya.
Semakin banyak detik yang berlalu maka semakin kuat pula rasa cemasnya menjadi-jadi. Tanpa Ethan sadari, butiran kecil keringat dingin sudah muncul di wajahnya, berbeda dengan punggungnya yang sudah lama basah oleh keringat dingin.
"Selamat malam, kami dari kepolisian lokal kota carson, apa ada hal yang dapat kami bantu?" Suara perempuan tegas tiba-tiba keluar dari ponselnya.
Mendengar suara itu, ketakutan di mata Ethan perlahan sirna. Selepas melewati waktu yang sangat mengerikan itu, Ethan akhirnya bisa melihat sebuah harapan. Tepat saat ia ingin berbicara, ia tiba-tiba melihat Havard Heiberg berada samping tubuhnya. Sekilas, Ethan dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak.
"Kesalahanmu cuma satu, kamu memiliki musuh yang mengenal dunia busuk ini." Havard menjawab pandangan mata Ethan yang seolah-olah bertanya kepadanya, Kenapa?
Ethan tampaknya ingin mengucapkan sebuah kata tapi suaranya tidak dapat keluar. Ketika tangannya menyentuh lehernya, ia dapat merasakan sebuah cairan hangat. Di telapak tangannya, Ethan melihat darahnya lalu dalam sekejap seluruh tubuhnya ambruk.
"Halo!"
"Halo!"
"Apakah ada orang di sana?"
Suara wanita tegas terdengar dari ponsel Ethan yang tergeletak di tengah jalan. Bersamaan dengan itu, orang-orang yang ada di sekitar mayat Ethan berteriak histeris lalu tak lama tempat itu menjadi ramai.
Orang berbondong-bondong mendekati mayat pria itu sedangkan Havard dengan santai berjalan menjauhinya. Setelah membunuh pria itu, Ethan Frank, tidak sedikit pun membuat ekspresi Havard berubah. Ia tetap datar dan keras seolah tidak akan pernah terganggu dengan apa pun yang akan terjadi dalam hidupnya.
Segera Havard melihat kegelapan lalu memasukinya. Jalan kecil yang kotor serta ditutupi bayangan bagi Havard adalah salah satu dunianya. Langkah kakinya yang tanpa suara berhenti, kepalanya menoleh ke belakang. Ia merasakan seseorang mengikutinya.
Segera sesosok pria muda berusia dua puluhan muncul di depan matanya. Havard menghela napas kasar, ia tidak menduga akan ada seorang penyihir di sekitar lokasinya.
"Aku melihatmu Dead Flowers! Jangan pikir bisa kabur setelah membunuh seseorang di kotaku!" seru pria yang baru muncul itu.
Retakan kecil muncul di tempat pria itu berpijak. Havard mendongak, melihat pria itu telah berada di depannya. Pria itu lekas meninju Havard tapi sebelum sempat mengenai lawannya, Havard mundur.
Brak!
Tinju pria itu menabrak lantai jalan, mengakibatkannya hancur berkeping-keping. Pria itu memandang ke depan, ke arah Havard Heiberg yang terlihat memandang ke bawah, menatap pria itu rendah.
"Cuma penyihir kelas tiga," ucap Havard, jelas merupakan ejekan kepada pria itu.
Mata pria itu melotot usai mendengar ejekan Havard. Kakinya lantas menerjang ke depan lalu melayangkan sebuah tinju ke wajah Havard. Dengan cepat Havard menghindarinya tapi pria itu lantas melayangkan tinju lainnya dengan tangan kirinya, membuat Havard terpaksa mundur.
Pria itu mengejar Havard kemudian melayangkan sebuah pukulan hook menggunakan tangan kanannya, sebuah pukulan arah setengah lingkaran yang mengincar bagian kiri tubuh Havard.
"Cepat!" seru Havard dalam hati.
Havard tidak sempat mundur, tangannya segera membuat pertahanan tapi pukulan itu tepat mengenainya, menyebabkan Havard terlempar ke dinding. Tiba-tiba Havard merasakan kakinya menjadi dingin, ia menunduk lalu melihat dari ujung sepatunya sampai pahanya telah terbungkus oleh es.
Es itu berasal dari dari kaki pria itu. Melihat Havard terperangkap dengan esnya, tanpa membuang waktu, pria itu kembali menerjang ke arah Havard. Bertepatan dengan itu, es dengan cepat muncul di lengan kanan pria tersebut, membentuk sebuah lengan monster, dengan jari-jari panjang dan tajam.
Kini tangan itu mencoba menusuk Havard Heiberg yang berada di depannya. Tepat saat pria itu merasa kemenangan sudah berada dalam genggamannya, di bawah kakinya muncul sebuah bayangan berbentuk lingkaran yang cukup besar. Tanpa pria itu sadari, bayangan di bawah kakinya adalah sebuah mulut monster.
Bagai sebuah gambar yang dapat keluar dari kertasnya. Bayangan itu menerkam serta memakan pria itu bulat-bulat lalu kembali lagi menjadi bayangan biasa yang menempel di jalan basah. Gerimis menyebabkan suasana kembali tenang dengan cepat.
"Sepertinya aku terlalu meremehkanmu." Havard memandang tangan kirinya, lumayan sakit. "Setidaknya, untuk saat ini aku tidak perlu mencari makanan yang berkualitas."
Drrttt....
Havard menghela napas kemudian mengambil ponsel yang ada di sakunya.
"Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi." Suara seorang wanita keluar dari ponselnya. Dari suara itu, Havard tahu suara itu adalah suara Psyche.
"Dilitiriódis petaloúda skarfaloméni se éna maraméno louloúdi," balas Havard, datar seperti biasa.
"Misimu selanjutnya adalah menyelidiki anggota kita yang hilang di Pulau Siuma, Kota Ivasaar. Beberapa laporan di kota itu menunjukkan jejak-jejak Lord Morgan yang hilang setahun lalu," ucap Psyche.
Dalam pandangannya yang berkabut, samar-samar Xavie dapat melihat keadaan lingkungannya yang kacau. Rumah, toko, gedung, bahkan bangunan pencakar langit, semuanya roboh dan tenggelam ke dalam tanah. Akibatnya, kematian terjadi di seluruh penjuru kota. Di sekitarnya, Xavie melihat banyak mayat manusia yang mati dengan sangat mengenaskan. Rata-rata tertimbun bangunan yang hancur, tetapi dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada beberapa yang anggota tubuhnya tercerai berai, ada yang kepalanya pecah, ada yang isi perutnya tumpah, dan banyak lagi yang mati dengan mengerikan seperti itu. Hanya sedikit orang yang mati dalam kondisi utuh. Beberapa masih hidup namun dalam kondisi kritis, artinya sebentar lagi mereka juga akan mati. Seorang anak perempuan berumur delapan tahun, satu-satunya manusia yang Xavie lihat masih hidup dan sadar sekarang sedang menangis. Sekujur tubuhnya di peduhi memar dan luka-luka berdarah, terlebih kedua kakinya yang hancur. Sambil menyerer
Pintu terbuka, seorang berjas rapi memasuki ruangan. Orang itu adalah Andre Blanchet. Kurang dari lima belas menit lagi rapat akan segera di laksanakan, tetapi pria merepotkan yang sangat tak ingin Anna temui kini masuk ke ruangannya. Seperti biasa, Andre terlihat tampan dengan gaya fashion formal yang terlihat elegan. berbeda dengan Anna yang memakai kemeja putih polos, Wajahnya yang selalu tanpa emosi menggunakan make up tipis sedangkan rambutnya diikat cepol, sangat fresh dan sederhana. "Maaf atas kedatanganku yang tiba-tiba, apakah aku mengganggumu?" Andre berjalan mendekati Anna lalu duduk di kursi depan mejanya, berhadapan dengan Anna. "Tentu tidak Tuan Andre," jawab Anna sambil tersenyum, seperti saat bertemu klien-klien penting. Mendengar itu, ujung bibir Andre terangkat. "Apakah Tuan memiliki kepentingan dengan saya," tanya Anna sebagai formalitas. Anna tahu, tentu saja ada! baru dua hari yang lalu Andre melamarnya unt
Brak! Sebuah mobil Audi A5 berwarna putih melesat dari belokan gang kecil, menabrak body bagian depan mobil yang di kendarai Xavie. Hantaman yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat Xavie terkejut. Ia berusaha mengendalikan mobilnya agar tidak menabrak benda-benda di sekelilingnya namun gagal. Mobilnya tetap menabrak tiang listrik diikuti kepalanya yang terbentur oleh kemudi. Dahinya sedikit lecet, darah mengalir keluar lewat sana. Sambil teraduh-aduh, perlahan kepalanya terangkat dan melihat mobil BMW M3 milik istrinya telah mengalami kerusakan yang parah. Body bagian depan mobil itu telah hancur, asap mengepul keluar lewat sana. "Ini karma, kamu seharusnya mendengarkan perkataan orang yang lebih tua." Anaemia berkomentar di dalam kepala Xavie, seolah mengejek dirinya. Usai mendengar perkataan Anaemia, pembuluh darah di bagian samping dahinya tampak membesar, pertanda Xavie benar-benar kesal. "DIAM!" teriak Xavie dalam hati
Langit semakin menggelap, tirai malam sebentar lagi akan terbuka. Di tengah ramainya pepohonan pinus, Winda Jiao berlari melewati berbagai rintangan alam demi mengejar Xavie yang berada jauh di depannya. Sebelum memasuki hutan, Winda selalu bertanya-tanya mengenai alasan dibalik pria itu, Xavie, berlari menuju kedalaman hutan kecil ini. Winda memikirkannya sambil melangkahkan kakinya kencang tetapi sebelum ia mendapatkan jawabannya, hutan telah memberikan jawaban : gemerisik dedaunan, deru sungai kecil yang deras, derik serangga malam, dan kukuk burung hantu di kejauhan. Suara-suara itu menggema dari segala arah, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Sang surya tenggelam, Winda Jiao akhirnya bergidik. Ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Jika harus jujur, Winda Jiao merasa malu. Di usianya sekarang, ia masih bisa merasa ketakutan di tempat seperti ini. Walau begitu, kakinya tetap tidak berhenti. Winda masih melangkah maju, berusaha
"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu. Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya. Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya. Di sisi lain, Winda langsung melangkahkan kakinya terbirit-birit meninggalkan Xavie bersama dengan monster itu. Bagi Winda saat ini, nyawanya adalah yang paling utama. Setelah keluar dan berlari cukup jauh dari gudang itu, ia bisa melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Itulah yang Winda rencanakan pada waktu itu. Kembali kepada Xavie. Baik tatapan mata atau pun raut wajahnya, tidak ada yang berubah ketika melihat Winda meninggalkannya. Ia fokus memindai seluruh tubuh monster yang dengan cepatnya bergerak
Sosok penyihir yang menggunakan sapu terbang itu lekas turun begitu mengetahui Xavie telah menyadari keberadaannya. Di sisi lain, Xavie mewaspadai sosok penyihir yang dengan kencangnya terbang dan menghampirinya."Akar sihir tipe angin," pikir Xavie."Pakai! Orang aneh." Penyihir itu melemparkan jubahnya, Xavie dengan santainya menutupi tubuh telanjangnya. Kewaspadaannya telah hilang begitu melihat hal yang dilakukan dan mendengar suara penyihir itu.Penyihir itu adalah seorang wanita, ia langsung melirik Xavie yang telah selesai menutupi tubuhnya dengan jubah miliknya. Rhongomyniad di tangan Xavie sudah menghilang sebelum penyihir itu melihat dirinya. Kurang lebih, Xavie paham dengan situasinya sekarang."Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apakah kamu penyihir dari luar kota?" tanya penyihir itu."Ya," jawab Xavie singkat.Ketika Xavie dan penyihir itu saling berbicara, monster itu mengambil kesempatan deng
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam dan sekarang ketiga penyihir itu sudah selesai menyelidiki area pertempuran di dalam maupun di luar gudang tua itu. Tidak banyak informasi yang mereka peroleh namun ketiga penyihir itu tetap harus melaporkannya ke markas Asosiasi Penyihir Ivasaar. Markas Asosiasi Penyihir Ivasaar berada di kawasan sepi layaknya sebuah hutan namun dengan beberapa bangunan perumahan yang masih cukup berjarak. Pada umumnya orang yang tinggal di kawasan itu adalah penyihir sama seperti mereka bertiga. Butuh waktu sebanyak dua puluh menit untuk sampai bila menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata dan itulah yang mereka kendarai hingga sampai di sebuah bangunan perkantoran. Bangunan perkantoran itu terlihat sederhana, tidak mencurigakan. Seseorang tidak akan pernah menyangka bahwa tempat seperti itu adalah sebuah markas dari para penyihir yang ada di kota ini. Suasana hening saat memasuki bangunan itu sudah biasa mereka rasakan t
Ruangan itu lenggang, suara jarum jam dinding menyesak diantara mereka. Dengan meja kecil sebagai pembatas, Xavie dan Anna duduk di sebuah sofa saling berhadapan. Wajah Anna yang datar menatap Xavie dengan tajam, tampak sedang memperhitungkan sesuatu. "Jadi, kamu merusak mobilku hanya dalam sehari?" sindir Anna, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ketika ia pulang ke apartemennya, ia mendapati satu mobilnya sudah hancur. Kini Anna mulai menimbang kembali, apakah menikah dengan Xavie adalah sebuah kesalahan? "Ya." Xavie tersenyum canggung. Ia sudah menjelaskan persoalan remaja yang menabrak mobilnya tapi kelihatannya alasan itu tidak dapat diterima Anna. Wajah dan tatapan Anna semakin merendahkan dan semakin tajam menatap Xavie yang sedang menjelaskan. Seharusnya Xavie membuat alasan yang lebih bagus lagi. "Lupakan!" Anna mendesah. "Masalah mobil itu, nanti akan kita bahas. Sebentar lagi temanku akan datang berkunjung untuk melihatmu."
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.