Brak!
Sebuah mobil Audi A5 berwarna putih melesat dari belokan gang kecil, menabrak body bagian depan mobil yang di kendarai Xavie.
Hantaman yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat Xavie terkejut. Ia berusaha mengendalikan mobilnya agar tidak menabrak benda-benda di sekelilingnya namun gagal. Mobilnya tetap menabrak tiang listrik diikuti kepalanya yang terbentur oleh kemudi.
Dahinya sedikit lecet, darah mengalir keluar lewat sana. Sambil teraduh-aduh, perlahan kepalanya terangkat dan melihat mobil BMW M3 milik istrinya telah mengalami kerusakan yang parah. Body bagian depan mobil itu telah hancur, asap mengepul keluar lewat sana.
"Ini karma, kamu seharusnya mendengarkan perkataan orang yang lebih tua." Anaemia berkomentar di dalam kepala Xavie, seolah mengejek dirinya. Usai mendengar perkataan Anaemia, pembuluh darah di bagian samping dahinya tampak membesar, pertanda Xavie benar-benar kesal.
"DIAM!" teriak Xavie dalam hati sembari memegang kepalanya yang pusing. Bagaimana ia akan menjelaskan ini kepada istrinya?
Xavie menyipitkan matanya lalu menoleh ke kanan kiri untuk melihat mobil yang menabrak mobil istrinya. Sebuah Audi A5 berwarna putih dengan body bagian depan lecet berat terlihat tidak jauh dari lokasinya.
Meski begitu, mobil bermerek Audi itu terlihat masih dapat berfungsi. Sepertinya mobil itu sempat di rem ketika menabrak mobil yang dikendarai Xavie. Memikirkan itu, membuat Xavie kesal dan berniat untuk keluar dari mobilnya, meminta ganti rugi kepada si penabrak.
Kaca pada pintu mobil Audi A5 itu sedikit demi sedikit turun kemudian menampilkan sosok orang yang berada di dalamnya. Seorang pemuda berusia lima belas tahun yang berwajah cukup tampan dengan rambut pendek dicat pirang kini melotot marah ke arah Xavie.
Kedua bola mata Xavie menyipit memindai wajah pemuda di dalam mobil tersebut namun tak lama kemudian wajah Xavie memerah. Pemuda itu menutup kembali sosoknya kemudian menjalankan mobilnya, meninggalkan Xavie yang berdiri terpaku di tengah jalan sepi.
"Ini karma!" Anaemia kembali berbicara.
Xavie diam, tidak menanggapi suara serak di dalam kepalanya. Anaemia terkekeh untuk memancing emosi Xavie namun itu malah membuat wajah Xavie menjadi gelap. Sekarang Anaemia dapat merasakan aura Xavie berubah menjadi hitam.
"Jika perjanjian kita selesai, aku akan langsung membunuhmu!"
Suara itu dingin sekali, terdengar sangat serius. Dalam sekejap suara Anaemia menghilang dari dalam pikiran Xavie. Sepertinya ia tahu kalau Xavie tidak bercanda dengan dirinya. Xavie menghela napas kemudian mendongak melihat langit, sedikit gelap. Matahari sudah hampir terbenam.
Sialan!
Belum genap satu menit semenjak pemuda sialan itu meninggalkan Xavie. Suara sirene mobil polisi yang memekakkan telinga terdengar. Xavie menoleh ke arah suara itu lalu melihat mobil polisi berwarna hitam putih bergaya klasik.
Mobil polisi itu menepi ke pinggir jalan, dekat dengan mobil hancur milik istrinya. Pintu mobil polisi itu terbuka, memperlihatkan sosok polisi wanita.
***
15 Februari.
"Kenapa kamu mengucapkan kata-kata itu!? Setelah memerkosaku, kenapa kamu masih ingin menyiksaku!? Padahal ini bukan urusanmu! Kamu pikir aku akan memaafkanmu. Sampai mati pun aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
"Kamu tidak perlu memaafkanku. Tapi, biarkan aku berusaha menebus kesalahanku."
"Apa yang bisa dilakukan pria miskin seperti dirimu!"
"Semua. Semua akan kulakukan untukmu selama aku masih hidup."
"Kalau begitu, menikahlah denganku."
"Baiklah."
Di balik dinding perumahan, sekitar dua puluh lima meter jauhnya dari tempat Anna dan Xavie, seorang polisi wanita dengan name tag bertuliskan Winda Jiao saat itu tengah mengintip serta menguping pembicaraan Anna dan Xavie.
Awalnya Winda di perintahkan oleh atasannya untuk mengejar Xavie karena pria itu terlihat mencurigakan. Mungkin saja pria itu terlibat dalam insiden pembunuhan dan insiden orang hilang yang terjadi di Kota Ivasaar setengah tahun belakangan ini. Namun setelah mendengar percakapan Xavie dan Anna, Winda langsung menghembuskan napas panjang. Ternyata pria itu cuma pria berengsek saja.
Winda mengambil ponselnya lalu menelepon atasannya untuk melaporkan hal yang baru saja ia lihat dan dengar.
"Jadi begitu, sepertinya kasus ini sama dengan kasus yang terjadi dua minggu lalu dan sampai saat ini kita belum mempunyai petunjuk mengenai si pelaku." Suara atasan Winda terdengar dari dalam ponselnya.
"Datanglah ke kantor! Laporkan semua yang anda temukan dari tempat kejadian!" lanjut atasan Winda.
"Baik, Pak!" seru Winda kemudian memutus sambungan teleponnya. Sebelum Winda pergi dari tempat berdirinya saat itu, kepalanya menoleh kembali ke arah Anna dan Xavie lalu menghembuskan napas panjang untuk kedua kalinya.
"Kamu tahu, aku lebih suka perempuan yang malu-malu daripada perempuan yang agresif."
Plak!
***
"Kamu... Pria berengsek waktu itu?" Winda berjalan mendekati Xavie sambil mengingat beberapa kejadian mengenai pria itu kemarin.
Di panggil berengsek oleh orang tak dikenal membuat kekesalan Xavie bertambah. Xavie melirik name tag yang terpasang di dada polisi wanita itu, Winda Jiao, itulah yang tertulis di situ. Jiao? Dari namanya serta penampilannya, Xavie tahu polisi wanita itu merupakan keturunan cina. Berkulit putih, bermata sipit, berhidung kecil, dan berwajah oval. Tubuhnya yang ramping tampak terlatih.
"Jadi, pemuda sialan itu dikejar oleh polisi ini," tebak Xavie, memikirkan kembali pemuda sialan yang menabrak mobil istrinya.
Ketika Xavie diam menunggu kedatangan polisi wanita itu tepat di hadapannya, angin kencang tiba-tiba berembus dari arah barat, membawa aroma dari darah dan mayat yang busuk. Xavie menoleh ke barat, matanya melebar tidak percaya. Lima detik kemudian, kakinya bergerak cepat menuju asal bau itu, meninggalkan Winda Jiao yang bingung dengan kelakuan Xavie yang Aneh.
***
Sesekali Anna melirik jam tangannya, tinggal tiga menit lagi waktu sebelum rapat perusahaannya dimulai. Semenjak Anna mulai membahas tentang Sean, anak laki-laki dari temannya itu. Amara tidak pernah berhenti membicarakan anaknya.
Sekarang Anna mulai menyesal mengganti topik pembicaraannya beberapa saat yang lalu. Dengan mata berkaca-kaca, Amara menceritakan Sean yang sudah tidak lagi menganggapnya sebagai ibunya. Amara juga menceritakan tentang usahanya untuk memperbaiki hubungan ibu dan anak dengan Sean yang berakhir dengan kegagalan. Semua ceritanya itu disisipi dengan Sean yang sudah menjadi berandal jalanan dan ucapan 'aku gagal sebagai seorang ibu'.
Anna diam mendengarkan curhatan Amara. Anna tahu sekarang amara sedang mencurahkan segala perasaannya kepada dirinya. Setelah Amara selesai melampiaskan emosinya, Amara pasti akan merasa lebih baik. Hal itu mengakibatkan Anna berpikir tentang usahanya yang ingin bunuh diri tetapi digagalkan Xavie. Setelah semua itu, perasaannya menjadi lebih baik.
Jika saja Anna mengetahui cara untuk membantu memperbaiki hubungan Amara dengan anaknya, pasti Anna sudah memberitahu Amara. Untuk orang yang hampir tidak pernah berhubungan dengan orang lain, yang dapat Anna lakukan dalam situasi ini hanyalah diam mendengarkan.
"Maaf, aku sekarang seharusnya bahagia setelah mendengar kamu sudah menikah, bukannya menceritakan semua masalahku," tutur Amara seraya mengelap air matanya dengan sebuah sapu tangan.
"Tidak masalah," jawab Anna.
"Terima kasih sudah mendengarkan keluhanku, kamu sebentar lagi akan mengadakan rapat perusahaan, bukan? Aku telah mengahabiskan banyak waktumu. "Sehabis mengelap air matanya, Amara menyimpan sapu tangannya kembali. "Sebenarnya aku masih penasaran dengan suamimu, jadi nanti malam aku akan berkunjung ke apartemenmu. Mungkin aku akan membawa anakku, sean."
Anna mengangguk.
"Sekali lagi, aku berterimakasih. Sampai jumpa nanti malam."
Usai mengatakan itu, Amara langsung meninggalkan Anna sendirian di ruangannya. Begitu sosok Amara lenyap, Anna menghela napas. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Rapat perusahaannya akan dimulai satu menit lagi.
Langit semakin menggelap, tirai malam sebentar lagi akan terbuka. Di tengah ramainya pepohonan pinus, Winda Jiao berlari melewati berbagai rintangan alam demi mengejar Xavie yang berada jauh di depannya. Sebelum memasuki hutan, Winda selalu bertanya-tanya mengenai alasan dibalik pria itu, Xavie, berlari menuju kedalaman hutan kecil ini. Winda memikirkannya sambil melangkahkan kakinya kencang tetapi sebelum ia mendapatkan jawabannya, hutan telah memberikan jawaban : gemerisik dedaunan, deru sungai kecil yang deras, derik serangga malam, dan kukuk burung hantu di kejauhan. Suara-suara itu menggema dari segala arah, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Sang surya tenggelam, Winda Jiao akhirnya bergidik. Ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Jika harus jujur, Winda Jiao merasa malu. Di usianya sekarang, ia masih bisa merasa ketakutan di tempat seperti ini. Walau begitu, kakinya tetap tidak berhenti. Winda masih melangkah maju, berusaha
"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu. Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya. Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya. Di sisi lain, Winda langsung melangkahkan kakinya terbirit-birit meninggalkan Xavie bersama dengan monster itu. Bagi Winda saat ini, nyawanya adalah yang paling utama. Setelah keluar dan berlari cukup jauh dari gudang itu, ia bisa melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Itulah yang Winda rencanakan pada waktu itu. Kembali kepada Xavie. Baik tatapan mata atau pun raut wajahnya, tidak ada yang berubah ketika melihat Winda meninggalkannya. Ia fokus memindai seluruh tubuh monster yang dengan cepatnya bergerak
Sosok penyihir yang menggunakan sapu terbang itu lekas turun begitu mengetahui Xavie telah menyadari keberadaannya. Di sisi lain, Xavie mewaspadai sosok penyihir yang dengan kencangnya terbang dan menghampirinya."Akar sihir tipe angin," pikir Xavie."Pakai! Orang aneh." Penyihir itu melemparkan jubahnya, Xavie dengan santainya menutupi tubuh telanjangnya. Kewaspadaannya telah hilang begitu melihat hal yang dilakukan dan mendengar suara penyihir itu.Penyihir itu adalah seorang wanita, ia langsung melirik Xavie yang telah selesai menutupi tubuhnya dengan jubah miliknya. Rhongomyniad di tangan Xavie sudah menghilang sebelum penyihir itu melihat dirinya. Kurang lebih, Xavie paham dengan situasinya sekarang."Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apakah kamu penyihir dari luar kota?" tanya penyihir itu."Ya," jawab Xavie singkat.Ketika Xavie dan penyihir itu saling berbicara, monster itu mengambil kesempatan deng
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam dan sekarang ketiga penyihir itu sudah selesai menyelidiki area pertempuran di dalam maupun di luar gudang tua itu. Tidak banyak informasi yang mereka peroleh namun ketiga penyihir itu tetap harus melaporkannya ke markas Asosiasi Penyihir Ivasaar. Markas Asosiasi Penyihir Ivasaar berada di kawasan sepi layaknya sebuah hutan namun dengan beberapa bangunan perumahan yang masih cukup berjarak. Pada umumnya orang yang tinggal di kawasan itu adalah penyihir sama seperti mereka bertiga. Butuh waktu sebanyak dua puluh menit untuk sampai bila menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata dan itulah yang mereka kendarai hingga sampai di sebuah bangunan perkantoran. Bangunan perkantoran itu terlihat sederhana, tidak mencurigakan. Seseorang tidak akan pernah menyangka bahwa tempat seperti itu adalah sebuah markas dari para penyihir yang ada di kota ini. Suasana hening saat memasuki bangunan itu sudah biasa mereka rasakan t
Ruangan itu lenggang, suara jarum jam dinding menyesak diantara mereka. Dengan meja kecil sebagai pembatas, Xavie dan Anna duduk di sebuah sofa saling berhadapan. Wajah Anna yang datar menatap Xavie dengan tajam, tampak sedang memperhitungkan sesuatu. "Jadi, kamu merusak mobilku hanya dalam sehari?" sindir Anna, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ketika ia pulang ke apartemennya, ia mendapati satu mobilnya sudah hancur. Kini Anna mulai menimbang kembali, apakah menikah dengan Xavie adalah sebuah kesalahan? "Ya." Xavie tersenyum canggung. Ia sudah menjelaskan persoalan remaja yang menabrak mobilnya tapi kelihatannya alasan itu tidak dapat diterima Anna. Wajah dan tatapan Anna semakin merendahkan dan semakin tajam menatap Xavie yang sedang menjelaskan. Seharusnya Xavie membuat alasan yang lebih bagus lagi. "Lupakan!" Anna mendesah. "Masalah mobil itu, nanti akan kita bahas. Sebentar lagi temanku akan datang berkunjung untuk melihatmu."
Anna segera menyambut kedatangan Amara dan anaknya, Sean. Seorang remaja berumur lima belas tahun yang selalu mencari masalah dengan orang disekitarnya. Tak lama, mereka bertiga memasuki ruang tamu dan duduk di sofa saling berhadapan. Amara dan Sean duduk bersebelahan sedangkan Anna duduk berhadapan dengan mereka berdua. Sembari berbincang ringan dengan Amara, Anna sesekali melirik Sean yang diam sejak mengucapkan selamat kepada Anna atas pernikahannya. Di wajah remaja itu terdapat sebuah kekesalan dan kebosanan. Anna tebak, Sean pasti dipaksa oleh ibunya untuk mampir ke apartemennya. "Jadi, dimana suamimu? Kamu tidak menyembunyikannya, kan." Amara sudah tak lagi dapat menahan rasa penasarannya. Jawaban atas pertanyaannya barusanlah yang menjadi alasan kenapa Amara mendatangi kediaman Anna walau sudah larut malam. Anna tersenyum sebagai jawaban, kepala Amara menoleh ke arah suara langkah kaki. Sean mengikuti ibunya, mungkin ia juga penasaran dengan iden
Pintu depan mobil camaro itu terbuka, siluet pria keluar dari dalam mobil itu di saat yang bersamaan ketika Xavie menutup pintu, menghalangi penglihatan Anna yang terfokus melihat seseorang yang baru saja keluar dari dalam mobil. Baru saja Xavie berbalik tetapi suara Anna yang terdengar sangat memerintah sekejap memasuki pendengarannya. "Buka pintunya!" Xavie melirik Anna sejenak, merasakan perubahan pada suara begitu juga raut wajah istrinya. Suara langkah kaki dari balik pintu tiba-tiba tertangkap oleh telingannya, Xavie segera menyadari bahwa perubahan Anna berasal dari seseorang yang ada di seberang pintu ini. Pintu kembali terbuka, Andre Blanchet sudah berdiri tepat di depan pintu, bersiap menekan bel namun terhenti setelah melihat pintu terbuka dan Xavie yang sekarang berada di depan dirinya. Kedua pria itu saling tatap sebelum akhirnya tersenyum ramah, mencairkan udara dingin menusuk yang menerpa daerah tersebut.
Malam itu sedikit berawan dengan beberapa bintang bersinar menghias tirai angkasa. Sebuah mobil camaro berwarna hitam melesat menuju jalan utama yang ada diperkotaan Kota Ivasaar. Gedung-gedung tinggi bercahaya dan tiang-tiang lampu yang terpasang di jalanan membuat suasana malam kota itu tampak tak ada bedanya dengan siang hati.Saat ini jalanan di perkotaan masih terbilang cukup ramai dengan kendaraan roda empat yang sibuk berlalu lalang, mencoba melewati kendaraan lain yang berada di hadapannya.Di tengah itu semua Andre Blanchet mengemudikan mobil camaro-nya dengan santai dan tenang. Di saat ada mobil memotong jalannya, dia tetap santai. Di saat mobil melewatinya, dia tetap santai. Di saat orang-orang di belakangnya mengomel kepada dirinya karena mobilnya melaju terlalu santai, dia tetap santai.Tidak ada yang bisa mengganggu suasana hatinya saat ini. Senyum tipis sedari tadi tidak pernah menghilang dari wajahnya.Saat rambu la
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.