Ruangan itu lenggang, suara jarum jam dinding menyesak diantara mereka. Dengan meja kecil sebagai pembatas, Xavie dan Anna duduk di sebuah sofa saling berhadapan. Wajah Anna yang datar menatap Xavie dengan tajam, tampak sedang memperhitungkan sesuatu.
"Jadi, kamu merusak mobilku hanya dalam sehari?" sindir Anna, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ketika ia pulang ke apartemennya, ia mendapati satu mobilnya sudah hancur. Kini Anna mulai menimbang kembali, apakah menikah dengan Xavie adalah sebuah kesalahan?
"Ya." Xavie tersenyum canggung. Ia sudah menjelaskan persoalan remaja yang menabrak mobilnya tapi kelihatannya alasan itu tidak dapat diterima Anna. Wajah dan tatapan Anna semakin merendahkan dan semakin tajam menatap Xavie yang sedang menjelaskan. Seharusnya Xavie membuat alasan yang lebih bagus lagi.
"Lupakan!" Anna mendesah. "Masalah mobil itu, nanti akan kita bahas. Sebentar lagi temanku akan datang berkunjung untuk melihatmu."
Anna segera menyambut kedatangan Amara dan anaknya, Sean. Seorang remaja berumur lima belas tahun yang selalu mencari masalah dengan orang disekitarnya. Tak lama, mereka bertiga memasuki ruang tamu dan duduk di sofa saling berhadapan. Amara dan Sean duduk bersebelahan sedangkan Anna duduk berhadapan dengan mereka berdua. Sembari berbincang ringan dengan Amara, Anna sesekali melirik Sean yang diam sejak mengucapkan selamat kepada Anna atas pernikahannya. Di wajah remaja itu terdapat sebuah kekesalan dan kebosanan. Anna tebak, Sean pasti dipaksa oleh ibunya untuk mampir ke apartemennya. "Jadi, dimana suamimu? Kamu tidak menyembunyikannya, kan." Amara sudah tak lagi dapat menahan rasa penasarannya. Jawaban atas pertanyaannya barusanlah yang menjadi alasan kenapa Amara mendatangi kediaman Anna walau sudah larut malam. Anna tersenyum sebagai jawaban, kepala Amara menoleh ke arah suara langkah kaki. Sean mengikuti ibunya, mungkin ia juga penasaran dengan iden
Pintu depan mobil camaro itu terbuka, siluet pria keluar dari dalam mobil itu di saat yang bersamaan ketika Xavie menutup pintu, menghalangi penglihatan Anna yang terfokus melihat seseorang yang baru saja keluar dari dalam mobil. Baru saja Xavie berbalik tetapi suara Anna yang terdengar sangat memerintah sekejap memasuki pendengarannya. "Buka pintunya!" Xavie melirik Anna sejenak, merasakan perubahan pada suara begitu juga raut wajah istrinya. Suara langkah kaki dari balik pintu tiba-tiba tertangkap oleh telingannya, Xavie segera menyadari bahwa perubahan Anna berasal dari seseorang yang ada di seberang pintu ini. Pintu kembali terbuka, Andre Blanchet sudah berdiri tepat di depan pintu, bersiap menekan bel namun terhenti setelah melihat pintu terbuka dan Xavie yang sekarang berada di depan dirinya. Kedua pria itu saling tatap sebelum akhirnya tersenyum ramah, mencairkan udara dingin menusuk yang menerpa daerah tersebut.
Malam itu sedikit berawan dengan beberapa bintang bersinar menghias tirai angkasa. Sebuah mobil camaro berwarna hitam melesat menuju jalan utama yang ada diperkotaan Kota Ivasaar. Gedung-gedung tinggi bercahaya dan tiang-tiang lampu yang terpasang di jalanan membuat suasana malam kota itu tampak tak ada bedanya dengan siang hati.Saat ini jalanan di perkotaan masih terbilang cukup ramai dengan kendaraan roda empat yang sibuk berlalu lalang, mencoba melewati kendaraan lain yang berada di hadapannya.Di tengah itu semua Andre Blanchet mengemudikan mobil camaro-nya dengan santai dan tenang. Di saat ada mobil memotong jalannya, dia tetap santai. Di saat mobil melewatinya, dia tetap santai. Di saat orang-orang di belakangnya mengomel kepada dirinya karena mobilnya melaju terlalu santai, dia tetap santai.Tidak ada yang bisa mengganggu suasana hatinya saat ini. Senyum tipis sedari tadi tidak pernah menghilang dari wajahnya.Saat rambu la
Mimpi buruk Anna selalu diawali dengan keberadaannya disebuah ruangan gelap gulita. Seberkah cahaya remang-remang menyoroti dirinya layaknya seseorang di pentas pertunjukan. Gadis kecil itu merasa takut, tapi tidak tahu takut kepada apa atau siapa. Ketakutan itu membuatnya meringkuk, menangis, dan memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan. Anna ingin sekali berteriak minta tolong, tapi tidak bisa. Dia tidak dapat menggerakkan mulutnya untuk bersuara. Dia juga tidak bisa berdiri dan berlari keluar dari lingkaran cahaya. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku di tempat dan tidak bisa kemana-mana. Seraya menutup mata dan menyembunyikan wajah. Kehangatan tiba-tiba datang menghampiri dirinya. Ketika Anna sadar, seorang perempuan yang sangat mirip dengan dirinya tengah memeluknya erat. Pelukan itu terasa sangat nyaman. Anna lekas memeluk perempuan itu, tetapi ketika kedua tangan Anna berhasil melingkari pinggang perempuan itu, Anna merasakan cairan hangat membas
"Pada siang ini saya akan meminta para manager divisi khususnya manager pemasaran saudari Izza, dan selebihnya kepada manager produksi maupun keuangan. Kepada manager pemasaran saudari Izza, bagaimana pemasaran produk kita selama 1 bulan terakhir?" tanya Anna kepada manajer pemasaran. "Baiklah, saya akan melaporkan kegiatan pemasaran selama satu bulan terakhir ini, permintaan pasar turun sebanyak 30% dari bulan lalu, kami sudah usaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan omset pasar tetapi permintaan produk kita hari...." Kedua telinga Anna sayup-sayup mendengar penjelasan Izza, pandangan Anna juga semakin lama semakin mengabur. Di tempat duduknya, Anna memijat-mijat kedua pelipisnya untuk sedikit meredakan rasa sakit di kepalanya. Sejak tadi pagi, Anna sudah mengetahui bahwa kondisi tubuhnya sudah kurang baik hari ini, tetapi ia memilih untuk tetap mengabaikannya. Ia tidak ingin pekerjaannya sampai menumpuk hanya karena kondisinya tersebut.
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.